~Tanpa perlu meminta doa, tanpa izin aku telah menyematkan namamu disetiap salat lima waktu dan di sepertiga malamku~
♤♤♤
Udara malam terasa hangat. Musim kemarau enggan beranjak. Jam dinding berwarna coklat muda dengan jarum pendek putih bergerak ke arah angka delapan. Imaz masuk ke kamar Ning Fiyyah. Ia duduk bersantai bermain ponsel. Imaz duduk di sampingnya.
"Ning, maaf aku terlambat memberikan kado ulang tahun." Imaz menyodorkan kado kecil.
"Tidak masalah."
Ning Fiyyah menerimanya. Tangan sudah gatal ingin membuka kado. Perlahan ia menyobek bungkus kado. Sebuah bros kecil berbentuk kupu-kupu. Tersemat nama pada punggung kupu-kupu dengan tulisan 'Fiyyah'.
"Maaf hanya itu yang bisa saya berikan Ning." Imaz merendah.
"Ini kado yang paling indah yang pernah aku miliki dari seorang sahabat sepertimu." Kalimat Ning Fiyyah yang mendalam.
"Terima kasih Ning."
"Oh ya, "Ning Fiyyah mengganti topik pembicaraan, "kenapa akhir-akhir ini kau sering keluar malam?"
Mengingat akhir-akhir itu, Imaz bekerja setiap malamnya meskipun sering dipecat dan uang gajian tak sesuai harapan. Imaz tak menjawab apa-apa.
"Imaz...." tangan lembut Ning Fiyyah menggenggam tangannya, "Kalau kau ada masalah, cerita sama aku. Jangan kau pendam. Akhir-akhir ini, kau tampak cemas sendiri. Apa yang kau cemaskan?"
"Tidak, mungkin hanya kecapekan."
"Kalau begitu, mulai malam ini kau tidur saja disini. Kamarku juga menjadi kamarmu."
"Tidak perlu, Ning. Saya malah merepotkan Ning."
"Lagi-lagi kau merendah."
"Baiklah."
Imaz hanya pasrah menyetujui keputusannya.
Keluar kamar, ia masuk ke kamar Ar-rahim yang harus melewati dapur ndalem. Teman sekamar sudah bersiap-siap tidur. Ia mengambil bantal dari tatanan bantal juga selimut.
"Mau kemana?" Cika bertanya dengan tatapan sinis.
Dari kamar mandi, pintu sudah langsung ditutup. Teman lain yang hanya rebahan kali ini buru-buru bangun.
"Duduk!" Perintah Cika dengan tegas.
Cika dan Imaz duduk di tengah mereka yang bertatapan sinis. Imaz masih tak mengerti apa yang telah terjadi.
"Mau kemana?" Cika mengulangi pertanyaan.
"Aku diutus Ning Fiyyah tidur di kamarnya."
"Terus akhir-akhir ini kenapa kau sering keluar malam?" Pertanyaan yang sama dengan Ning Fiyyah dan tak bisa memberi alasan. Ia hanya tertunduk.
"Apa kau tidak malu menjadi buah bibir kamar lain? Sadar diri Imaz. Kita ini sama-sama menyantri. Patuh pada peraturan. Santri putri tidak boleh keluar. Jangan mentang-mentang kau menjadi khodam Ning Fiyyah kau berbuat semena-mena. Memangnya ini pesantren nenek moyang loe apa, hah?"
Cibiran Cika mematahkan hati Imaz. Teman yang lain bersitatap sinis memandang Imaz yang diam seribu bahasa.
"Kalau keamanan tahu soal ini, kita yang malu Imaz. Jangan bersikap egois. Kita disini sekamar, harus saling mengerti. Jika ada masalah cerita saja ke kamar sendiri. Jangan ke kamar lain. Mereka malah berpikir kita ini tidak memedulikanmu."
"Disini tidak seperti pesantren lain. Ini pesantren dengan garis keturunan darah biru. Apalagi sistem seperti kerajaan tidak ada CCTV tapi prajurit. Apalagi yang masuk prajurit hanya sedikit. Maka dari itu, pesantren ini banyak yang mengincar."
"Terus sekarang kau ingin menjatuhkan pesantren ini dengan sifat keegoisanmu?"
Suasana menjadi senyap. Kamar lain sudah meredupkan lampu, mengukir mimpi. Sementara kamar mereka lampu berpendar. Hati mencekam.
"Kau ulangi tidak perilakumu tadi?" Cika menegaskan.
"Tidak cika." suara lirih Imaz.
"Awas kalau kau ulangi lagi, aku lapor keamanan." Cika mengancam.
Imaz mengangguk pelan. Tatapan sinis mereka membuncah hati Imaz. Sambil melampirkan selimut ke tubuh, mereka tidur tanpa berkata. Membiarkan Imaz diam membeku.
***
Terik matahari memang paling pas untuk mengeringkan pakaian. Setiap paginya, Imaz harus mencuci pakaian Ning Fiyyah.Sedan mewah berwarna silver terparkir di depan rumah Romo Kiyai. Robet menyambut kedatangan kedua orang tua dengan pelukan hangat. Ya, tibalah saatnya mereka memenuh panggilan Allah di Mekkah. Setelah puas melepas kerinduan, mereka berkumpul di ruang tamu. Sembilan putri Romo Kiyai ikut menyambut mereka dan duduk bersama mereka.
"Terima kasih, Romo. Selama ini Romo menjaga anak saya menjadi orang yang berguna di masyarakat." Ucapan Dewi, ibu kandung Robet.
"Jangan berterima kasih padaku. Tapi berterima kasihlah pada Allah yang menciptakan sosok Robet, anak hebat yang hafal Alquran." Romo Kiyai memuji. Robet malu dibuatnya.
"Putri Romo sudah menikah. Mana anak dan suami mereka?" Kata Sultan, Ayah kandung Robet mulai berbicara yang sedari tadi hanya diam saja.
"Suami bekerja. Anak lagi tidur."
"Keluarga besar yang menyenangkan."
Perbincangan akan semakin hangat dengan kehadiran teh panas yang dibawakan Bayu. Satu persatu diletakkannya. Dengan tundukan hormat, Bayu melangkah keluar.
"Ayo diminum."
Romo Kiyai mempersilahkan. Teh didepannya segera diseruput.
Perbincangan mereka yang dibahas semakin dalam, membuat waktu berputar tanpa toleran. Santri serta anak angkat Romo Kiyai akan menyelami ketakwaan dengan ibadah di Mekkah. Para santri putra maupun putri berkumpul di halaman pesantren menyambut keberangkatannya dengan diiringi talbiyah.
"Terima kasih atas partisipasi kalian menyambut keberangkatan saya." Suara tegas Robet menghentikan talbiyah,
"termasuk toleran kalian mengirim surat doa yang akan saya doakan di Mekkah." Sembari menunjukkan beberapa kertas ditangannya, "sebelum saya berangkat, siapa yang belum mengumpulkan?"
Mereka diam saling menatap.
"Siapa yang tidak berkumpul hari ini?" Robet bertanya sambil menyipitkan mata.
"Imaz." Dari ujung barisan santri putri, Ning Fiyyah menjawab.
"Dimana dia?"
"Menjemur pakaian."
Sebentar ia terpekur, kaki melangkah berjalan melewati ratusan santri, mereka memberi ruang jalan.
Tempat menjemur pakaian berada di belakang asrama putri. Tanpa malu, ia nekat mendatanginya. Imaz memang benar sedang menjemur pakaian. Ia menghampirinya dengan ucapan salam, menyipitkan mata akibat sinar matahari menembus ke wajahnya. Kegiatan Imaz terhenti, menatap Robet lantas menjawab salamnya.
"Rupanya ini alasanmu tidak bersama yang lain?" Tanya Robet menganggukkan kepala mengerti.
"Iya maafkan saya Gus. Tapi tenang. Saya sudah menulis doanya."
Surat tersimpan di dalam sakunya. Ia berusaha mengeluarkan dan menyodorkan surat tersebut. Robet menerimanya.
"Oh ya, masalah uang kembalian tidak perlu dipikir." Kata Robet menahan senyumnya.
"Maaf, Gus? Masalah uang kembalian apa ya? Saya tidak mengerti."
Imaz mengernyitkan dahi keheranan.
"Uang kembalian saat aku order makanan."
Imaz diam terpekur. Robet pergi begitu saja meninggalkan senyuman manisnya. Memori disaat ia mengirim barang pesanan, menutup wajah dengan helm sincan muncul dalam pikiran. Imaz baru menyadarinya. Polisi tidak mudah ditipu daya.
Sekembalian Robet, mobil sudah dinyalakan. Ia duduk di belakang kursi pengemudi. Dewi duduk di sampingnya. Keluarga Romo kiyai beserta santri-santri melambaikan tangan. Empat puluh hari akan merindukan suasana di pesantren. Mobil melaju merambah jalanan raya.
Perjalanan menuju bandara menyisakan kerinduan mereka. Tangan Robet masih memeluk erat kertas dari Imaz. Sisanya masuk ke kantong saku bajunya. Perlahan tapi pasti tidak sampai ketahuan Dewi, Robet diam-diam membuka kertas dari Imaz.
Sepucuk surat yang isinya berbeda dari yang lain.
Robet hanya bisa tersenyum mendengus setelah membaca isi suratnya.
***
~Kau pernah menjadi raja di hatiku, ketika rindu itu menggebu. Namun, justru Allah menjadikan aku permaisurimu ketika cinta itu bertemu~ ***Pesawat jatuh terseret arus banjir di kawasan Var. Tim sar segera mengerahkan tenaganya untuk mengevakuasi korban penumpang yang ada di pesawat. Terdapat 12 yang tewas. Mereka membawa 12 mayat ke rumah sakit untuk dimandikan. Sementara yang lain denyut nadinya masih berdetak.Berita bencana badai besar di perancis sudah disiarkan diberbagai media. Berita itu terdengar juga di telinga keluarga Hilda, Robet dan Ning Fiyyah. "Ya Allah, bagaimana keadaan Hilda?" Kiyai Usman sungguh cemas. Abah Hilda sudah makin keriput. Hanya bisa duduk di kursi roda. Ditemani istrinya yang juga sudah beruban. "Semoga Hilda bisa diselamatkan yah," Umik menenangkan. Sampai di rumah sakit, 12 yang tewas dibawa ke kamar mayat. Petugas polisi menyelidik atas nama siapa
~Jika aku bukan jalanmu. Ku berhenti mengharapkanmu. Jika aku memang tercipta untukmu. Ku 'kan memilikimu. Jodoh pasti bertemu~ ***Demi menyenangkan istri tercinta, akhirnya Robet mengajaknya bulan madu di luar negeri. Tepatnya di perancis. Sebelum berangkat, Hilda menyerahkan beberapa wisata yang ingin ia kunjungi, diantaranya; menara eiffel, sungai seine, jembatan gembok cinta atau pont des arts, dinding cinta atau Le Mur des Je T’aime, mobil 2cv, musium louvre, dan Jardin du Luxemburg atau taman bunga. "Ngidamnya banyak amat," goda Robet sambil mengendarai mobil menuju bandara. Sebelumnya mereka sudah berpamitan pada orang tua. Mereka mendoakan semoga Robet dan Hilda berhasil beribadah dengan penuh cinta di malam jum'at. Mereka saling tersipu. Jantung berdetak sudah tak menentu membayangkan akan beribadah penuh cinta di malam hari. "Memang itu yang aku idamkan, sayang," kata Hilda sambil
~Kecupan punggung tanganmu. Kecupan bibirku di dahimu. Belaian tanganmu mencuci kakiku. Tatapan matamu menyibak arti kecantikanmu. Dengan besanding bersamamu di pelaminan, inilah tahap awal belajar untuk mencintaimu~ ***Selesai prosesi pernikahan, para tamu dipersilakan makan hidangan yang tersedia di kursi tamu undangan. Para tamu undangan memakannya dengan lahap. Tambah nikmat dengan diiringi sholawat banjari. Sementara mempelai putra dan putri duduk saling diam di pelaminan. "Aku memang seperti ini orangnya," kata Robet memulai perbincangan pada Hilda karena sedari tadi saling diam membisu. "Iya Gus. Aku tahu mungkin kau butuh waktu menerima pernikahan ini." Hilda memaklumi. Usai mereka menikmati hidangan makanannya, para tamu undangan dipersilakan sesi foto. Foto bersama teman-teman, kerabat dan yang paling utama adalah kedua keluarga mempelai. Selesai sesi foto, kedua m
~بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ"Barakallahu laka wabaraka 'alaika wajama'a bainakuma fi khair""Semoga Allah memberi barakah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua dlm kebaikan." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi)~***Robet merasa ada yang mereka sembunyikan. "Bu, ayah kemana? Kok aku sama sekali tidak mendengar suaranya?" Ningsih bingung harus menjawab apa. Ia pun terpaksa menjawab seadanya. "Ayah sedang mencari makanan." "Oh, begitu." Ningsih menahan air matanya. Sultan dan pihak kepolisian membawa satpam ke kantor untuk dimintai keterangan. Saat Sultan bertemu langsung dengan geng mafia. Dengan emosi, dia menampar mereka satu persatu. "Sebenarnya, siapa kalian sampai berusaha membunuh Robet?" Pihak polisi berusaha menenangkan Sultan dengan menyuruhnya duduk. Ray sebagai ketua geng tersenyum licik. "Kau mau tau siapa kita?" Ra
~Kebahagianku adalah melihat Robet bahagia. Kesedihanku adalah melihat Robet sedih. Karena harta yang paling berharga adalah memiliki anak seperti Robet~ ---NINGSIH---- ***Hilda mencoba menelponnya, namun tak dapat dihubungi. Jadi benar ia telah memblokir nomornya. Apa dia merasa sakit hati? Air mata Hilda meleleh. Ia kemudian terisak. Kenangan bersamanya sungguhlah banyak. Ketika saat pertama kali bertemu dengan dia. Di sebuah jembatan ampera, ia tak sengaja menabraknya. Itu semua karena kecerobohannya. Bangun kesiangan. Tidak sempat sarapan. "Kau baik-baik saja?" Saga justru menanyakan keadaannya. "Iya, aku baik-baik saja. Maaf ya, aku buru-buru." Hilda meraih tasnya yang tergeletak di sampingnya. Lalu, berlari masuk ke kelasnya. Pertemuan itu ketika Saga skripsi jurusan bahasa inggris. Ia tetap lanjut kuliahnya di jurusan
~Ketika kedua kali aku mengucapkan Qobiltu, aku akan belajar untuk mencintaimu. Walau terkadang melawan hati sulit bagiku. Karena adanya keyakinan, aku percaya Allah yang memberi restu~ -----SAGA------ ***Hal yang paling dinantikan Robet adalah bisa melihat. Ketika sudah lama ia menunggu antrian, akhirnya Dokter Thomas memanggilnya juga. Ningsih dan Sultan senang melihatnya. Mereka menunggunya di depan ruang operasi sambil berdoa. Kapten Richard masih memberi pertanyaan pada geng mafia itu. Ia belum puas jika tidak ada bukti. Maka, kalau sampai hari ini ia tak menjawab jujur lagi, ia akan mencari bukti bersama anggota-anggotanya. Petugas polisi membawa Ray lagi. Ia menatapnya dengan memutar bola matanya malas. Lalu, duduk. "Ray, jangan bosan-bosan mendengar pertanyaanku jika kau tidak mau jujur," kata Kapten Richard."Apalagi yang
~Janji kita berdua yang dulu pernah kita ikrarkan untuk bersatu dalam ikatan cinta harus terpisah dalam alam berbeda. Akankah janji kedua bisa satu untuk selamanya?~ ***Sultan sudah meminta taarufan mereka selesai. Tak mau nanti kesiangan dan terlalu menunggu lama di bandara, Sultan menuntun Robet. Hilda menatapnya sangsi. Kiyai Usman juga merasa tak enak jika mengganggu keberangkatan mereka. Maka, beliau meminta maaf dan pamit langsung pulang ke rumah. Sultan menyalakan mesin mobilnya. Mobil siap melaju ke bandara. Robet siap untuk dioperasi. Mata siap untuk melihat luasnya dunia. Selama tiga bulan ini, mereka akan menetap di Singapura. Menanti keberhasilan penglihatan Robet. Masalah pekerjaan, Sultan sudah meminta Daniel menghandle-nya. Masalah jadwal pengajian, Robet sudah mencari penggantinya dari kang-kang lain yang siap mengajar. Masalah pernikahan, mereka serahkan semuanya pada Allah ta'ala. Mu
~Mencoba mengobati dengan pengganti baru. Mencoba melupakan karena dia bukan untukku. Dan mencoba mengikhlaskan walau kadang hati sering berdusta. Cinta tak salah. Tapi aku yang salah~ ***Senja membutakan segalanya dengan segala keindahannya. Ning Fiyyah dengan gesit melukisnya. Ibu Robet memotretnya. Keluarga Hilda merekam saat senja datang hingga menghilang. Mereka mengabadikan momen dengan cara masing-masing. Ketika senja menghilang, Ning Fiyyah mengucapkan terima kasih telah mengizinkan melukisnya. Robet mengucapkan terima kasih telah hadir walau dia tak bisa melihat kehadirannya. Hilda mengucapkan terima kasih sudah hadir walau sebentar. Tapi, ia yakin dia akan datang dengan segala keindahannya. Senja yang datang untuk mengindahkan, rela menghilang demi langit yang menggelapkan. Langit sudah menunjukkan kegelapannya. Keluarga Hilda memulai makan malamnya. "Hilda, besok pagi k
~ jika kau cinta, siapkan hatimu. Jika kau kecewa, siapkan akalmu. Jika sudah terlanjur sakit dan kecewa, siapkan relasi antara hati dan akalmu. Kadang punya hati tapi tak dapat memahami. Kadang punya akal tapi tak dapat berpikir~ ***Melihat kabar kematian Imaz, Irma ingin berkunjung ke makamnya. Tetapi, bagaimana bisa sedang dia di penjara. Penjaga polisi tadi langsung menarik tangan Irma. Mengisyaratkannya untuk kembali ke sel tahanan. Ia melintasi sel tahanan. Tepat di depan sel tahanan Arman, ia menghentikan langkahnya. Arman yang sedang duduk termenung di pojokan segera mendekat. Irma menatapnya nanar. "Man, apa kau sudah tau kabar tentang Imaz?" Tanya Irma menyeka air matanya. "Dia sudah ketemu?" "Iya.""Alhamdulillah.""Dan dia sudah bahagia disana." "Mereka menikah?""Imaz sudah bahagia di alam sana."Arman terperangah. Jantungnya berdetak