Share

7. Ketika rasa itu hadir

~Ketika rasa itu hadir, aku bermain mata, bergejolak hati yang menemukan sebuah rasa cinta~

                               ♤♤♤

Majalah dinding mengibarkan berita. Segerombolan santri putri berdesakan. Imaz berjinjit berusaha ingin tau berita baru. 

Meskipun mata kelihatan setengah tentang informasinya setidaknya membuat hatinya lega. Ya. Ia terpilih menjadi khodam Ning Fiyyah. Sesuai ekspektasi. Jadwal setoran Alfiyah dilaksanakan sehabis isya' dengan guru Robithus Sabilillah atau yang dikenal dengan Robet. Mereka bertemu kembali.

"Masakan cumi dan udang bakar madumu sungguh enak. Kapan-kapan buatkan lagi ya?" Kata Ning Fiyyah memuji dan bersandar di tembok.

Setelah sekian segerombolan santri putri makin mengecil di majalah dinding. Imaz memutuskan berkunjung ke kamar Ning Fiyyah untuk mengucapkan terima kasih atas kerelaan dia menerima sebagai khodamnya.

"Iya, Insya Allah aku buatkan."

"Oh ya, siapa gurumu?" Ning Fiyyah mengubah topik pembicaraan.

"Gus Robet."

"Akhirnya, kalian bertemu lagi."

Imaz terhenyak. Akhirnya bertemu lagi. Seolah-olah kalimat itu memojokkan untuk membuat terus memikirkannya. Apalagi pertemuan mereka di sepertiga malam. Dia pernah menjadi Imam sepertiga malamnya. Tapi mau tak mau ucapan Ning Fiyyah ia balas dengan senyum memaksa. Pikiran tentang Robet dibuang jauh kala ia melihat Ning Fiyyah secara dekat ternyata pucat entah bedaknya yang tebal atau hal lain.

"Ning, bolehkah aku menanyakan sesuatu?" 

Imaz meminta izin terlebih dahulu sebelum langsung menyimpulkan apa yang ia lihat.

"Boleh. Biasa sajalah Imaz. Malah kau sudah ku anggap sebagai sahabatku."

"Terima kasih Ning." Ucap Imaz. 

"sebenarnya apa yang terjadi neng Ning kok wajah Ning selalu pucat?"

"Dari kecil aku sudah punya penyakit." suara Ning Fiyyah tiba-tiba terdengar sendu. "kanker paru-paru. Sudah stadium empat."

"Ya Allah Ning, aku sama sekali tidak membuatmu sedih. Maafkan aku."

"Sudahlah. Biasa saja. Ini sudah takdirku."

"Jangan begitu Ning."

"Tidak apa. Aku akan menceritakan semuanya."

Sepeninggal Bu Nyai sewaktu Ning Fiyyah berumur lima tahun ia dirundung kesedihan amat dalam. Selama itu, penyakitnya tak separah saat Bu Nyai masih hidup. Keluarganya panik melihat batuk Ning Fiyyah disertai darah menguras cairan energi kekuatan dalam hidupnya. Ia menjadi mudah letih dan lesu. Kecantikan yang terbingkai dalam wujud penciptaan sang ilahi terbentuk turun pada hati yakni keikhlasan diri menerima takdir ilahi.

Masa-masa berjalan di atas kursi roda, diberi jalan pintas semangat oleh Robet. Ya. Dulu sekali sewaktu Robet masih duduk dikelas lima, dia menyantri di pesantren Benang Biru dan resmi menjadi teman kecil Ning Fiyyah.

Dia menjadi pondasi kehidupannya. Dia menjadi madrasah ilmu pengetahuannya. Meskipun ia tak menaruh hati padanya sama sekali.

Sekarang dia dinobatkan sebagai prajurit utama serta anak angkat Romo Kiyai. Saking ambisinya beliau memiliki anak laki-laki. Padahal Robet memiliki keluarga kaya. Ayahnya memiliki bisnis hotel dan Ibunya memiliki toko butik yang sudah diiklankan. Robet seorang polisi. Adiknya kuliah fakultas bisnis di luar negeri.

"Satu hal yang aku impikan tapi tak akan pernah bisa aku capai." Kalimat sendunya mengalirkan air mata. Imaz menatapnya penuh arti.

"Menikah." habis sudah perasaan Ning Fiyyah. 

Air mata terlanjur terjun merambah ke pipi. Imaz mengelus bahunya memberi ketenangan hati.

"Kenapa kau tidak menikah saja dengan Gus Robet? Teman kecil yang berarti buat Ning?" 

"Ini tidak mungkin. Aku dan Robet tidak punya rasa. Dia datang dalam hidupku hanya untuk penyemangat bukan pemikat."

Imaz tertunduk menyesali pertanyaan yang membahas lebih dalam tentang kehidupannya. Parahnya membuat dia jatuh menangis.

"Tapi aku berjanji. Aku sadar diri. Biarkan ta'aruf dan pernikahanku terjadi di surga nanti seperti nabi adam dan ibu hawa."

"Kau tidak boleh berbicara seperti itu, Ning. Aku yakin kau orangnya kuat menghadapi penyakit itu. Lawanlah dengan terus jaga kesehatan dan berdoa.

Ning Fiyyah terdiam. Air mata kesedihannya surut terarus oleh semangat Imaz.

Matahari menghapus bayangan benda. Sore hari tengah menunjukkan rupawannya. Ning Fiyyah tertidur setelah beberapa menit lalu mengangkat beban kesedihannya. Imaz setia menemaninya.

Suara knop pintu terbuka. Romo Kiyai datang. Melihat kedatangan beliau, Imaz terhenyak berdiri. Kepala ia tundukkan sebagai penghormatan.

"Imaz, aku ingin berbicara denganmu. Tapi tidak disini. Di ruang tamu saja." ajak Romo Kiyai. Imaz menerima ajakan beliau.

Romo Kiyai sesekali tak pernah berbincang-bincang dengan santri putri kecuali santri putra dan anak-anaknya. 

Di ruang tamu, Imaz duduk disofa pula di samping beliau. Meja kosong. Yang hadir hanya perbincangan serius mereka.

"Aku sebagai Ayah kandung Fiyyah berterima kasih kau sudah menerima dia." ucapan Romo Kiyai.

"Iya Romo. Ini sudah menjadi tugas saya sebagai khodam Ning Fiyyah."

"kau anak yang baik. Besok lusa adalah hari ulang tahun Fiyyah. Bersediakah kau menjadi panitia acara? Buat acara semeriah mungkin. Aku lakukan ini demi kebahagiaan Fiyyah.

"Demi Romo, saya bersedia."

                                ***

Malam ini menjadi malam mengerikan bagi santri khodam alfiyah yang hendak setoran. Budidaya santri ketika setoran adalah susah payah menghafalkan, hilang ditelan kegugupan. Apalagi Imaz setoran dihadapan Robet.

Kamar Ar-rahim yang daftar kelas khodam hanyalah Imaz. Parfum disemprotkan ke seluruh tubuh. Nadzom alfiyah disimpan ke dalam saku baju. Anak sekamarnya sibuk menambal kitab dan hafalan. Baju yang yang Imaz pakai muluk-muluk. Rok hitam bergandengan dengan baju tunik warna biru. Rambut dihiasi jilbab pink. 

Keluar kamar, ia bersamaan dengan gadis kamar al-malik yakni gadis yang menyemangati saat lomba memasak. Ya. Dia adalah Irma. Gadis yang dikarunia wajah jelita. Mata besar berlapis selaput bening. Hidung sedikit mancung namun menawan. Bibir tipis berkulit merah muda mulus. Alis tebal dan bulu mata lentik. Wajah terbingkai sungguh memesona. Pasti banyak pria yang jatuh hati padanya.

"Hai kita bertemu lagi. Ternyata kau berada di kamar Ar-rahim." sapanya. 

Mereka menikmati perjalanan menuju kelas dengan berbincang lebih dekat.

"Iya. Aku juga baru tau kau berada di kamar Al-malik."

"Lain kali main ke kamarku tak apa. Kalau memang kau bosan berada di kamar."

"Sama saja." Imaz tertawa seperlunya.

"Oh ya, guru kita sama. Gus Robet. Dapat berapa hafalanmu?"

"Masih sedikit."

"Apalagi aku." Giliran Irma tertawa.

Perjalanan singkat membawa mereka semakin dekat. 

Murid-murid Robet sudah singgah di kelas. Fitur ruang kelas tak seperti sekolah umum. Cukup hanya menggunakan meja belajar dengan tempat duduk lantai. Imaz memutuskan duduk berdua bersama Irma. Suara dengung hafalan mereka meriuhkan ruangan. Imaz mengeluarkan nadzom alfiyah dari saku, lalu ikutan melancarkan hafalannya.

Suara decit sepatu terdengar dari luar kelas. Robet menongolkan wajah dari kaca jendela. Memberi teguran untuk diam dan siap setoran. Ia duduk didepan ambang pintu. Bersama hidangan air putih dan permen di meja kecil khusus guru mengoreksi hafalan mirid. Satu persatu mereka saling menatap. Melukiskan raut wajah tak mau menjadi penyetor pertama. Pukulan lengan tangan dari arah samping meja Imaz. Memberi isyarat terlebih dahulu menyetorkan hafalannya. Mau tak mau ia terpaksa duluan.

Diambang pintu, ia menyapanya. Senyum merekah serta anggukan lembut menyambut penyetor pertama. Tujuh muqoddimah sudah terbebas dari ingatan. Awal bab masih dalam perjalanan. Tengah bab ia lajukan. Pada puncak, sumber ingatan tak bisa ia tambah kecepatan. Tuntas sudah malam itu disetorkan. Lumayan dapat tabungan tiga ratus bait untuk menambah semangat.

"Assalamu'alaikum Imaz..." 

Robet dengan sopan memberi ucapan salam. Berprofesi sebagai guru, Robet terlihat kewibawaannya.

"Wa'alaikum salam Gus..."

"Bagaimana kabarmu?"

Sikap keprihatiannya menegunkan hati Imaz.

"Alhamdulillah saya baik-baik saja Gus."

"Alhamdulillah...tingkat hafalan Imaz sangat bagus. Baru hari pertama sudah berani lebih banyak menyetorkan hafalan. Tetap jaga hafalannya ya Imaz." 

Kritik dan masukan Robet.

"Insya Allah Gus."

"Boleh tau, apa yang membuat Imaz sesemangat ini menghafalkan alfiyah.?

"Iya..." entah kenapa, sikap dewasa Robet membuat Imaz terbuka, "saya punya nazar. jika nanti saya khatam menghafalkan alfiyah, saya bernadzar akan menikah. Saya tidak akan menikah sebelum alfiyah saya khatam."

Robet tertawa renyah, "iya...iya...apapun nadzar Imaz, harus ditepati. Tetap jaga hasil tabungan. Terus beri pemasukan hafalan agar hasil tabungan terpenuhi."

Saran, kritikan, dan motivasi Robet memuaskan hati Imaz. Ia tersenyum penuh arti terhadap Robet.

                              ***

"Ilmu yang dapat dipetik hari ini, manusia harus berusaha bersyukur ketika menghadapi derajat paling bawah. Diatas langit masih ada langit. Dibawah bumi masih ada bumi." 

Ning Maryam mengakhiri kelas khodam alfiyah dengan menutup salam. Beliau melangkah keluar menyisakan barokah diikuti Irma sebagai khodam beliau. 

Santri khodam alfiyah baru melangkah keluar sambil menggendong kitab.

Masuk kamar Ar-rahim disambut canda mereka. Imaz tak banyak kata. Cukup mengukir senyuman melepas kepenatan. Kitab diletakkan d irak atas loker baju.

"Imaz, tas besarmu itu isinya apa sih kok tidak ditaruh ke atas rak buku." Ujar Cika melihat tas besar Imaz terkapar dipojok kamar.

"Oh itu perlengkapan." Jawab Imaz cengengesan.

"Bukannya kami lancang ya, tapi tanganku kegatelan tak sengaja buka tasmu itu. Kau keluarga konglomerat juga ya?" Cika berkata seenak perut.

"Bagi-bagilah buat kado ulang tahun Ning Fiyyah." Sahut Jihan merapikan pakaian mulai berbicara semena-mena.

"Maaf. Itu bukan uangku. Tapi uang titipan." Imaz menjawab seadanya. 

Dari awal datang ke pesantren, ia tak pernah menyentuh uang dari Tuan Darwin. 

"Sampai kapanpun aku tak sudi dapat uang dari Tuan Darwin. Aku bisa kok cari uang sendiri." Umpat Imaz dalam hati.

Kegiatan berada di pesantren memang sederhana. Tertawa membahas gebetan. Sok-sok akting membahas bullian. Karena Imaz santri baru, mereka belum berani membully. Sudah menjadi ritual santri saling membully bukan untuk saling membenci melainkan saling melengkapi. Kesederhanaan dalam kebersamaan.

Puas tertawa membahas gebetan yang membuat Imaz tak tau akar permasalahan. Lebih baik menghibur diri untuk mempersiapkan acara ulang tahun Ning Fiyyah. Jam segini yang tidak terlalu siang, Ning Fiyyah masih tertidur pulas. Kesempatan emas memuaskan perlengkapan acara.

Akar lokasi acara berada diruang tamu. Imaz mengerahkan beberapa khodam putra dan putri ikut serta mempersiapkan khodam putra bertanggung jawab masalah renovasi dekorasi. Sementara khodam putri bertanggung jawab masalah kebersihan. Tak seenaknya perut Imaz hanya memerintah ia sebagai ketua panitia juga ikut serta.

Bayu dan Cakra memasang gorden jendela. Panjat tangga bagi mereka hal lumrah. Meja tamu berserakan hidangan. Imaz bersihkan. Di antaranya, kue nastar, krupuk ikan, dan hal yang aneh, ada telur mentah. Penting ataupun tidak hal-hal di atas meja harus bersih. Digantikan Irma membawa serumpun bunga untuk mempercantik riasan meja. Berjalan melangkah sambil membawa keranjang berisi telur. 

Tiba-tiba gorden yang dipasang Bayu terlepas. Terjatuh di atas kepala Imaz.Telur berjatuhan di atas kaki pria yang ada di depannya. Mereka terbingkai dalam gorden. Dilihat siapa gerangan, ternyata guru sendiri. Ya. Dia adalah Robet.

"Maaf Gus. Saya tidak sengaja." Permohonan maaf disertai membersihkan bekas telur dikakinya ia lakukan. Saking paniknya, ia tak menggunakan tisu tapi roknya. Robet menghempaskan gorden di kepalanya. ia berlutut di depan Imaz.

"Tidak perlu. Nanti aku bersihkan sendiri." 

Mata Robet menyorotkan arti. Mengalir ke ujung nadi. Parahnya lagi, menghadirkan detakan cepat dari hati. Apakah ini rasanya jatuh cinta pada hamba ilahi? Imaz terkesiap berdiri. Wajahnya berubah menjadi canggung.

"Mmm..."Imaz kikuk dibuatnya, "saya mau menengok Ning Fiyyah terlebih dahulu. Sekali lagi saya minta maaf." 

Baru saja melangkah satu langkah, Robet menghentikan langkahnya. Tangan mendarat ke pundaknya. Imaz memunggunginya. Tak ingin pipi semu merah tampak jelas di depannya.

"Nanti, aku absen menyimak setoran. Ada tugas patroli hari ini. Kau beritau ya anak-anak yang lain." Informasi Robet.

"Insya Allah."

Cepat-cepat Imaz melangkahkan kaki menghindarinya. Menutup pintu menutupi kegelisahan. Debaran hati sudah tak terelakkan. Ning Fiyyah yang baru bangun dibuat terkejut olehnya.

"Kenapa Imaz?" Ning Fiyyah penuh tanya.

Tergesa-gesa Imaz duduk di sebelah Ning Fiyyah. Orang melihat pasti mengira dia dikejar makhluk gaib. Namun ternyata dikejar makhluk Tuhan paling idaman.

"Kenapa sih?" Ning Fiyyah menekuk alis.

"Ning, tanda-tanda orang jatuh cinta bagaimana?" 

Imaz menyembunyikan tangan di balik roknya. Menghangatkan tangannya yang begitu dingin.

Mendengar pertanyaan Imaz bukan malah menaruh empati justru senjata tawa yang ia miliki.

"Memangnya kau tidak pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya?" Ning Fiyyah balik bertanya setelah puas menertawakannya.

Imaz hanya menggelengkan kepala.

"Tanda-tanda orang jatuh cinta, diantaranya, tapi ini bertahap. Ketika bertatapan, hati deg-degan. Ketika ada hal mengesankan, ingatan selalu bersahutan. Yang paling dalam..." Ning Fiyyah tak melanjutkan kalimatnya.

"Apa?" Imaz penasaran.

"Tidak, ah..." Ning Fiyyah menggoda.

"Ayolah...Ning." Imaz memaksa.

"Baiklah." Menyerah juga akhirnya, "ketika semua kenangan tersimpan dalam ingatan, rasa nyaman sudah tak bisa disembunyikan."

Imaz diam terpekur.

"Memangnya kau jatuh cinta dengan siapa?" 

"Tidak. Hanya ingin tau saja." Jawaban Imaz meragukan Ning Fiyyah.

Malam dingin menyibak lingkungan.

Sesuai permintaan, Imaz memberitau juga atas ketidak hadiran Robet. Rasa bahagia tak diragukan lagi. Kebebasan telah diraih. Tidak bagi Imaz. Entah kenapa, satu malam tak bertemu Robet, ia sudah merasa kehilangan. Apakah benar ia mulai jatuh cinta? Jika iya, tenggelamkan rasa itu.

Aku dan dia takkan pernah bisa bersatu.

                                    ***

Perhelatan acara ulang tahun Ning Fiyyah berlangsung meriah. Ruang tamu didesain apik oleh tangan kreatif bertemakan go green. Beberapa tumbuhan gantung terpajang di depan rumah. Bunga-bunga bermekaran disegala penjuru meja. Panggung bulat kecil dipasang berada pertengahan dengan lingkaran para tamu. Selain ada bunga di meja, makanan tersedia sesuai kehendak pilihan tamu.

Kue manis berwarna pink dengan ukiran happy birthday Fiyyah tertata rapi bersama perhiasan lilin berbingkai angka 20 di atas panggung.

Kedatangan para tamu memeriahkan acara. Selain para santri, teman lama, kerabat, keluarga besar Romo Kiyai juga mengundang para kiyai yang tak lain tak bukan teman Romo Kiyai yang tak pernah terputus rantai persahabatan mereka. Tempat duduk di depan panggung khusus diperuntukkan bagi mereka.

Ning Fiyyah duduk di kursi roda. Bertengger di panggung. Alunan merdu lagu tiup lilin dipersembahkan. Tepuk tangan menambah motif suasana. Lagu dan tepuk tangan selesai dipersembahkan. Sambutan tiupan lilin menyuguhkan kebahagiaan bagi Ning Fiyyah. 

Tepukan tangan disemarakkan lagi.

"Baik. Terima kasih atas kehadiran kalian." Kalimat sambutan dari Ning Fiyyah, "acara selanjutnya kalian boleh makan sepuas-puasnya. Dengan iringan lagu yang akan dinyanyikan oleh..."

Para tamu diam dengan wajah penuh tanya.

"Gus Robet..."

Tepuk tangan bergemuruh memekik ruangan. Robet datang membawa gitar. Duduk di kursi kehormatan. Diatas panggung penghargaan.

Robet menunjukkan suara emasnya. Menyanyikan lagu Cinta Luar Biasa.

Selesai.

Tepuk tangan bergemuruh seisi ruangan. Robet mengeluarkan sekuntum mawar dari saku celana. Melangkah berjalan perlahan. Berlutut di hadapan Ning Fiyyah. Sekuntum mawar merah diberikannya dengan seulas senyum memikat.

"Untukmu bidadari." Katanya dengan suara lembut. Ning Fiyyah menerima dengan tersenyum.

"Ciyeee...." Para tamu menyoraki. 

"Atas kehadiranku, maukah kau menyanyikan lagu untukku?" Permintaan Robet masih berlutut.

"Atas permintaanmu, aku bersedia."

Tangan lembut Robet mendorong kursi rodanya. Menempatkannya diatas panggung. Robet duduk disampingnya sambil mengiringinya dengan gitar.

Ning Fiyyah juga menunjukkan kebolehannya bernyanyi di depan para undangan.

Tepuk tangan bergemuruh seisi ruangan. Kecuali Imaz. Kenangan selama bersama Robet terputar lagi. Saat di tepi laut menyaksikan senja. 

Saat menjadi Imam sepertiga malam di masjid. Saat dia menemukannya terkapar di Taman Santri. Saat dia menyemangati hafalannya dan terakhir saat bertatapan mata membersihkan telur yang mengenai kakinya.

Semua itu telah berlalu.

Hanyut dalam rasa.

Yang bernama cinta.

                                ***

Satu persatu Ning Fiyyah dan Imaz membuka kado ulang tahun. Dua malam ini Imaz tidak setoran. Desakan pertama disebabkan ketidakhadiran Robet. Desakan kedua disebabkan acara ulang tahun Ning Fiyyah.

Kado ulang tahun Ning Fiyyah beragam. Dan yang paling berharga kado dari Robet. Cepat-cepat ia membuka kadonya. Sebuah novel terlaris dan terkenal. Ya. Novel Ayat-ayat cinta hasil karangan Habiburrahman El-shirazy. Teriak senang ia tunjukkan.

"Ning suka ya sama Gus Robet?" Tanya Imaz pura-pura tersenyum meskipun hati terasa menusuk.

"Tidaklah Imaz. Aku senang karena pertama kali teman kecil memberi hadiah ini." Ning Fiyyah menjawab dengab seulas senyum. Tak ada beban hati terlukis di wajahnya.

"Tapi kalian terlihat sangat cocok." 

Kalimat Imaz antara terdengar dan tidak. Bertahan memendam rasa.

"Ngelantur. Sudahlah Imaz. Kau tidur saja. Sudah malam." Ning Fiyyah merasa salah tingkah. 

Baik,atas permintaannya, Imaz melangkah keluar. Pintu tertutup.

Perih hati tengah menggerogoti. Perasaan tak dapat dibohongi. Sudah jelas Ning Fiyyah jatuh cinta padanya. Korban luka hinggap di hati Imaz. Orang yang merasakan jatuh cinta yang sama, sahabatnya sendiri.

Adalah waktu berdetak tak mau berhenti. Sekembalian dari kamar Ning Fiyyah, Imaz tak sengaja mendengar pembicaraan antara Romo Kiyai dengan Robet di meja bundar ruang tamu menyisahkan bunga dekorasi. Acara ulang tahun Ning Fiyyah beberapa hari lalu. Ia bersembunyi di balik dinding. Sesekali menatap Robet yang makin pucat.

"Sudahlah Robet. Itu artinya kau harus berhenti di dunia kepolisian. Tak baik sering begadang malam hari." Romo Kiyai mencoba memberi pengertian demi masa depan Robet.

"Saya tidak begadang Romo. Saya harus melaksanakan kewajiban saya menjadi polisi. Lagipula ini juga bagian dari hobi saya."

"Iya aku tahu. Lihat sekarang, wajahmu makin pucat." Sambil menatap wajah Robet juga mencoba menyentuh dahinya.

"Astaghfirullah...dahimu panas Robet."

Telapak tangan Romo Kiyai merasakan panas pada dahinya. "Lebih baik kau batalkan saja naik hajinya."

Robet terhenyak. Tangan Romo Kiyai dilepaskan lalu ia genggam erat, "pergi memenuhi panggilan Allah adalah cita-cita saya Romo. Apalagi pergi bersama orang tua. Mulai hari ini, saya akan selalu jaga kesehatan."

"Aku mengagumimu Robet." Romo Kiyai menyeka air mata, "sesuai janjiku, kau orang pertama yang khatam Alquran sekaligus alfiyah, aku memberimu hadiah. Hadiah yang selalu menjagamu. Aku telah menjodohkanmu dengan wanita pilihanku."

Imaz tersentak. Bayangan yang ada dalam pikiran wajah Ning Fiyyah. Hati Imaz berdesir.

"Masalah itu, saya belum berfikir sejauh itu. Saya masih ingin membahagiakan orang tua saya." 

"Termasuk aku." 

Mata Romo Kiyai menatapnya penuh syahdu. Tangan terlepas dari genggamannya, "Demi aku, terimalah Robet. Sebelum aku menikmati dunia, menikahlah dengan wanita pilihanku. Wanita yang sangat mencintaimu. Yang selalu menjagamu. Yang setiap melihat kalian, entah anugerah apa aku ingin menjodohkan kalian."

"Boleh tau siapa?"

"Jika kau ingin tau, terimalah. Aku akan mempertemukan kalian."

"Bukannya saya tidak percaya." Robet merasa tak enak, "saya salat istikharah di Mekkah terlebih dahulu untuk menguatkan perjodohan ini."

"Baiklah, itu hal yang lebih baik." Romo Kiyai menyetujui argumennya.

"Imaz, ini kesempatanmu." Suara Tuan Darwin memekik telinganya. Rupanya mesin yang diciptakannya merekam pembicaraan mereka.

"Kesempatan apa?" Imaz berkata pelan.

"Seorang polisi di pesantren akan melaksanakan haji. Itu kesempatan emas. Aku memberimu tugas."

"Tugas apa?" Tanya Imaz sinis.

"Ambil harta warisan si kakek tua itu. Setelah itu, bunuh dia."

"Apa?." Imaz dibuat kaget, "kau gila ya, Darwin. Aku tidak sanggup melakukan itu. Aku disini untuk mencari barokah beliau bukan memberi bencana."

"Baiklah. Kalau kau tidak mau. Ibumu sekarang menjadi pelayanku. Bapakmu menjadi bodyguardku. Kapan saja aku bisa melenyapkan mereka." Tuan Darwin mengancam.

"Baiklah. Aku turuti permintaanmu." 

Imaz hanya bisa pasrah. Demi orang tua ia rela bersalah.

Pikiran tentang Tuan Darwin terbuang jauh. Muncul keprihatinannya pada Robet yang tengah sakit. Sebagai murid, sejak saat itulah ia memutuskan bekerja. Bukan hanya diperuntukkan baginya juga kebutuhan sehari-harinya. Apesnya, dia selalu bertemu Robet.

Pertama, ia bekerja di Supermarket sebagai kasir. Tak banyak pembeli. Namun batang hidung Robet muncul. Betapa terkejutnya. Imaz kelabakan mencari penyamaran. Robet hanya membeli minuman kaleng penyegar napas. Ia letakkan di meja kasir. Robet terperanjat melihat kasir menutup wajahnya dengan kantong plastik hitam. Tangan gugup Imaz meraih kalengnya. Mendeteksi harganya.

"Dua puluh ribu." 

Kata Imaz mencemprengkan suara. Robet menyerahkan uang lima puluh ribu heran. Ia terima uangnya. Membuka laci. Tangan meraba-raba dalam laci. Mata tak kuasa melihat. Terasa gelap.

"Kau ambil sendiri kembaliannya." 

Perintah Imaz. Robet terbata-bata mengambil uang tiga puluh ribu.

"Sampai jumpa kembali."

Keluar pintu Supermarket, Imaz bisa bernapas lega akhirnya. Kantong plastik hitam ia lepaskan. Napasnya tersengal. Sebuah kaki besar berhadapan dengan kakinya. 

Dilihat sampai keatas, sang pemilik supermarket membawa sorot mata tajam dan berteriak, "Kau ku pecat!!!" Sembari melempar uang gajian yang hanya lima puluh ribu. Hasil uang Robet tadi. 

Bukan Imaz jika ia menyerah. Ia tetap mencari pekerjaan.

Kedua, ia bekerja di Restoran sebagai pelayan. Malam minggu sudah kebiasaan ramai pelanggan.

"Imaz, ada tiga pelanggan ke meja nomor 12." 

Teman sesama pelayan memberitau. Pelanggan pertama menanti kehadirannya. Berjalan sambil membawa catatan pelanggan. Lima langkah berjalan, Imaz terkejut. Pelanggan nomor 12, mereka adalah Robet, Rasya dan Saga. Imaz kelabakan mencari penyamaran.

"Pesan apa mas-mas?" Imaz menawarkan.

"Pesan...." Mereka seksama memilih menu, "spaghetti, ayam bakar dan hotdog." 

Bersamaan mereka mendaftar juga. Melihat sang pelayan menutup wajahnya dengan tas khas restoran berwarna hijau. Mereka ternganga.

"Mbak, jerawat?" Saga terheran.

"Cepat tulis sendiri." 

Perintahnya menyerahkan catatan daftar menu pelanggan. Mereka bergantian mencatat. 

Lantas kembali ke tempat kasir. Ia disambut tajam oleh boss restoran. Matanya membiaskan amarah. Sambil menggebrak meja kasir dan meletakkan uang gajian, Boss restoran berteriak, "Kau ku pecat!!!" lagi dan lagi hasil uang Robet menjadi gajiannya. Apapun hasilnya, Imaz takkan menyerah. Ia tetap lanjut mencari pekerjaan.

Ketiga, ia bekerja menjadi kurir perusahaan online shop.

"Imaz, antarkan barang ini ke jalan mawar putih nomor 15." Boss perusahaan online shop memerintah.

"Baik Boss."

Ini bukan pertama kalinya Imaz bisa naik motor. Sudah sejak remaja, ia sudah belajar naik motor tetangga. Tujuannya bukan apa-apa. Hanya iseng saja.

Tiba di jalan mawar putih, Imaz sambil membawa barang pesanan, membuka gerbang. Rumah bercat putih. Berlantai tiga. Sangat mewah dilihat. Yang patut diapresiasi bukan hasilnya melainkan usaha sang pemilik rumah.

Imaz menekan tombol. Seorang Ibu membukakan pintu.

"Ini bu, pesanannya." Kata Imaz menyodorkan barang pesanannya.

"Sebentar ya," Pinta Ibu,

"Robet...pesananmu..." Ibunya masuk lagi memanggil Robet. 

Imaz menepuk jidat. Tak ayal sang pemesan Robet lagi. Imaz kelabakan mencari penyamaran.

Knop pintu dibuka lagi. Robet terperanjat melihat sang kurir memakai helm bergambar sincan memberikan barang pesanannya. Robet menerimanya, menekuk alis keheranan. Ia sodorkan uang lebihan. Lagi-lagi, ia tak punya uang pas.

"Ambil saja uangnya." Pinta Robet. 

Tanpa kata lagi, Robet menutup pintu seperti ketakutan.

Tiga pekerjaan selama tiga hari berhasil dijalankan. Tapi percuma hasil uang dari Robet sendiri. Padahal hasilnya akan ia belikan obat untuk kesembuhannya agar cita-citanya berangkat haji terlaksana.

Malam terakhir setoran.

Murid-murid Robet berusaha keras memperbanyak hafalan. Termasuk Imaz. Sengaja menjadi penyetor pertama. Di ambang pintu, berhadapan dengan Robet, Imaz meluncurkan bait demi bait alfiyah yang landas dari otaknya. Sekitar lima puluh bait telah diselesaikan. Tak banyak kata, Robet hanya menyemangati agar tetap hafalan lantas diam begitu saja.

"Gus." Imaz mengambil obat dari saku roknya, "ini obat untuk Gus. Semoga Gus cepat sembuh." Obat diletakkan di atas mejanya.

"Sebentar lagi Gus berangkat haji. Dengan obat ini, semoga cita-cita Gus tetap terlaksana." Lanjutnya.

"Oh ya, terima kasih banyak Imaz."

                                ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status