Share

9. 40 hari tanpamu

~Tanpamu, apalah arti hidupku? Tak bersemangat setoran. Hanya sibuk memikirkan. Ya. Dirimu yang selalu ku rindukan~

                               ♤♤♤

Malam jum'at hari libur setoran. Digantikan kegiatan khitobah perkamar. Acara bertempat di musholla pondok putri. Peserta pertama perwakilan dari kamar Ar-rahim. Dia adalah Cika. Pendukung dari kamar Ar-rahim tepuk tangan bergemuruh.

"Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarakatuh..." ucap salam Cika dengan semangat.

"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh..." jawab santri putri serempak.

Durasi hanya diberikan tujuh menit. Cika harus menyampaikan singkat, padat dan jelas.

"Apa perbedaan cantik luar dan cantik dalam menurut kalian?" Cika bertanya pada audiens.

"Cantik luarnya karena make up, cantik dalamnya karena cuma pura-pura." 

Sahut dari ujung kanan berteriak. Para santri sontak tertawa.

"Bedakan berapa harga perawatan dengan harga hati?" 

Cika menyampaikannya dengan senyuman tulus. Pakaian gamis berwarna pink kalem dengan motif sedikit kebaya selaras pada warna kulitnya.

"Creambath harganya lima juta. Pedicure menicure 10 juta. Luluran 20 juta. Apa manfaatnya mementingkan cantik luar kalau pada akhirnya kita semua menjadi nenek-nenek suka makan peyek ketiban mobil derek sampai deyek-deyek?"

Para santri tertawa lepas.

"Kalau harga hati? Oh sangat murah. Tapi banyak manfaatnya. Disayang Allah, keluarga yang sakinah, rezeki kemana-kemana dan meninggal khusnul khotimah dalam surga-Nya."

Para santri takjub. Bertepuk tangan memekik ruangan saking semangatnya.

"Lalu bagaimana bentuk harga hati?"

Tepukan tangannya terhenti.

"Ada dua hal bentuk harga hati dalam diri seorang wanita. Apa itu?"

Para santri terdiam.

"Yaitu MAPAN. Apa itu mapan?"

Mereka terdiam.

"Pemalu dan sopan." Cika sesekali mondar-mandir untuk merelaksasikan pikirannya, "dalam kitab mukhtarul hadits dijelaskan bahwa malu adalah sebagian dari iman bukan sebagian dari percintaan."

"Janganlah malu karena kebaikan. Tapi malulah karena kemaksiatan. Yang kedua adalah sopan. Sopan itu sikap nomor satu didunia. Percuma orangnya pintar, lulusan S2, tapi tak punya adab pada gurunya. Dengan ketidak adabannya, guru itu menjadi merasa tidak dimulyakan. Mau dibawa kemana hubungan kita?"

Para santri bersorak riuh.

"Saya punya sebuah cerita." Suara Cika dilantangkan. 

Para santri diam. 

Dilanjutkan, "suatu hari, ada seorang preman. Sebut saja namanya William. Dia pernah mencuri dompet ibu-ibu yang di depan toko. Karena dianya pernah menjadi santri, dia ingat dawuhnya Kiyai, beretikalah kepada siapapun walapun banyak yang membencimu. Sebelum dia mencuri dompet ibu-ibu tersebut, dia bersalaman dengannya lalu berkata, 'Bu, mohon maaf sebelumnya, saya ingin mengambil dompet ibu lillahi ta'ala.' Dia bicaranya sopan sambil tersenyum. Ibu itu menjawab, 'untuk apa nduk?' William berkata lagi, 'untuk bekal di akhirat nanti bu. Supaya saya tidak masuk neraka.' Lalu, ibu itu marah dan berteriak, 'oh, dasar bocah edan!!!"

"Saya Cika..." sambil membungkukkan punggung, "wabillahi taufik wal hidayah wa ridho wal inayah. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..."

"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh."

Tepuk tangan bergemuruh seisi ruangan. Cika bisa bernapas lega setelah sekian menit akhirnya terobati. Bisa lancar berpidato dan audiens antusias mendengarkan adalah suatu kebahagiaan dalam diri Cika. Terkecuali Imaz. Ruang tamu bersama Romo Kiyai dengan hidangan makanan dan minuman di atas meja, tak biasanya dilakukan beliau. 

Sembilan putri sembilan menantu ikut serta kegiatan malam jum'at. Wajah Romo Kiyai menunjukkan keseriusannya. Tundukan kepala serta diam seribu bahasa adalah jimat kehormatan untuk beliau.

"Aku sengaja mengajakmu berbicara empat mata karena ada hal yang penting." Romo Kiyai mengawali pembicaraan. Sesekali menyeruput teh panasnya.

"Kau lihat foto itu." Romo Kiyai menunjukkan foto beliau dengan istri dalam pigora yang digantung di dinding. Imaz menatapnya ramah, "dia adalah istriku. Aku sangat mencintainya. Dia meninggal ketika Fiyyah berumur lima tahun."

Imaz mendengarkan cerita beliau antusias.

"Pernah aku berfikir ingin menikah lagi tapi setelah ku pertimbangkan, untuk apa menikah lagi? Umur juga sudah tua. Lebih baik mendekatkan diri kepada Allah. Lagipula istri adalah amanah. Harus dijaga dan disayangi. Seperti romantisnya cinta Nabi dengan Aisyah."

"Anakku yang paling melarang keras aku menikah lagi adalah Fiyyah. Aku juga membatalkan keinginanku. Karena aku ingin melihat Fiyyah menikah. Tapi dia menolaknya karena penyakit yang dideritanya."

"Semenjak ada kau yang selalu menemani Fiyyah, dia kembali ceria. Dia butuh teman dan butuh figur seorang ibu seperti kau."

"Haa? Jangan-jangan Romo Kiyai mau melamarku, oh tidak!" 

Batin Imaz berfikir aneh-aneh.

"Dia butuh teman curhat, nasehat, seseorang yang selalu mengingatkan dirinya pada Allah. Semua itu terangkum dalam dirimu, Imaz." Romo Kiyai menatap Imaz penuh arti.

"Tuhkan, Romo Kiyai pasti suka sama aku. Plis Romo, jangan aku." Batin Imaz tak bisa berkutik.

"Seandainya kau ku jodohkan dengan pria buta, tuli dan bisu, bagaimana? Apakah kau bersedia? Dia juga tidak tampan tapi bisa mengaji."

"Siapapun yang Romo jodohkan, yang penting dia soleh dan menjaga kesucian dirinya." Jawab Imaz dengan bijak.

"Jawaban yang bagus." Romo Kiyai menilai. 

Tidak sampai disitu, beliau ingin menggali beberapa pertanyaan untuk menguatkan keputusan beliau.

"Seandainya kau berada disebuah gua, di sana gelap sekali. Sementara kau tidak bawa senter, obor atau ponsel, kau hanya bawa tangan kosong. Apa yang pertama kali kau lakukan?"

"Saya tetap berjalan perlahan-lahan yang penting bisa sampai tujuan."

"Lalu, kau menemukan sebuah tiga lilin dan satu lampu senter, mana yang akan kau pilih?"

"Saya memilih keduanya."

"Kenapa?"

"Karena menurut saya, lilin mudah meleleh. Jadi buat jaga-jaga saya menyimpan lampu senter."

"Mana yang kau rawat, lilin atau lampu senter?"

"Lampu senter. Meskipun nanti akan rusak, dia bisa diperbaiki beda lagi dengan lilin."

"Saat di gua, tiba-tiba ada nenek-nenek lewat. Kau melihatnya. Apa yang akan kau lakukan?"

"Saya bantu dia berjalan."

"Setelah melewati rintangan, kau bisa keluar dari gua. Namun, ada seorang pria masuk jurang dan minta tolong. Melihat dia, kau menolongnya atau tidak?"

"Iya. Saya akan menolongnya."

"Tapi ada syaratnya. Jika kau menolongnya, kau yang mati. Tapi jika kau tidak menolonya, dia yang mati."

"Saya tetap menolongnya. Sebelum menolong, saya ingin dia berdoa agar saya bisa bertemu dengan Allah."

"Yakin kau tetap menolongnya? Padahal kau mencintai keluarga dan pria yang buta, tuli, dan bisu itu?"

"Saya yakin."

"Kau tidak penasaran siapa gerangan pria buta, tuli dan bisu itu?"

"Siapapun dia, saya yakin ada orang yang lebih baik dibanding saya."

"Meskipun dia mencintaimu?"

"Iya."

"Kau menjawabnya dengan ketakwaan. Aku yakin, aku tidak salah menjodohkanmu." Kata Romo Kiyai tersenyum lega.

"Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku mengundangmu kesini, memberimu beberapa pertanyaan? Karena aku menemukan pasangan di pesantren ini."

Imaz mengedikkan mata tak mengerti. Makanan dan minuman pun sudah tak hangat karena rasa penasaran semakin bersahabat.

"Iman dan takwamu membawaku ingin menjodohkanmu dengan.....Robet."

Hati Imaz tersentak. Mata membulatkan keterkejutan. Waktu seakan berhenti sesaat. Deretan memori bersamanya berputar bergantian. Cinta yang selama ini terpendam akan digali dan dibangun dalam bahtera rumah tangga. Wanita pilihan Romo Kiyai adalah dirinya. Dia yang hanya wanita miskin datang ke pesantren tanpa uang tapi membawa bencana yang akan meruntuhkannya. Dia yang hanya santri mengejar setoran bukan impian.

"Maaf Romo. Saya tidak bisa." Imaz menolak dengan halus. Rangkaian kata apapun tak bisa membujuk keputusan Romo Kiyai. Kesembilan putrinya tak ada yang berani membantah beliau. Santri-santripun juga. Dan baru pertama kali ini Imaz menolak tawaran beliau.

"Aku kecewa Imaz." Suara Romo Kiyai terdengar serak seperti menahan rasa sakitnya, "apa yang mendasarimu menolak permintaanku? Demi aku Imaz, menikahlah dengan Robet. Dia sudah ku anggap sebagai anakku."

"Saya punya nadzar, Romo. Saya tidak akan menikah dengan siapapun sebelum alfiyah saya khatam." Mata Imaz mulai berkaca-kaca.

"Kalau begitu, sebelum tidur, setoran saja padaku. Nanti akad nikah akan dilangsungkan. Aku mohon Imaz. Sebelum melihat kehadiran Allah, aku ingin melihat kalian menikah."

"Saya pertimbangkan Romo."

"Baik. Ayo dimakan. Nanti keburu dingin." Romo Kiyai mempersilahkan. 

Imaz memunguti makanan yang tersedia di meja makan.

Mungkin keputusan Romo terlalu mendesak bagi Imaz. Makin malam dingin makin menyengat. Pikiran tak bisa hangat seperti biasanya. Rebahan di atas ranjang bersanding Ning Fiyyah bertatap pada langit-langit atap. Wajah Robet terekam dalam langit. Tersenyum semerbak menghipnotis perasaannya. 

Sebentar lagi, sepertiga malam menyambut kehadirannya namun mata tak kunjung-kunjung terpejam. Ia terbangun. Kesal pada dirinya sendiri dan memilih keluar rumah mencari angin dingin.

Sambil menyilangkan tangan ia berjalan menembus embun berkibar. Dingin menelisik sekujur tubuhnya. Apakah ini suatu tanda akan turun hujan? Jika iya,berarti Robet mendoakannya. Di penghujung arah barat dekat taman santri ia menemukan tempat sunyi. Ia berjalan mengarah kesana. Melalui tangga berbahan kayu jati yang sudah diplitur.

Tempat itu lengang. Hampa nan datar. Tempat yang cocok dikunjungi insan yang bermuara hati. Tempat ini dinamakan balkon. Pemandangan juga dapat terlihat jelas di depan mata.

Mata Imaz temaram melihat sebuah kotak kecil mengkilap terkapar di pojok pagar balkon. Mungkin ada orang lain yang sudah pernah ke tempat ini. Penasaran ia buka kotak kecil tersebut. Mata terbelalak. Hati berteriak. Beberapa foto tersimpan dalam kotak kecil. Foto Ning Fiyyah bersama Robet.

Berkas masa lalu Robet. Foto sewaktu masih kecil. Mereka belajar bersama. Main ayunan bersama. Foto waktu sudah remaja, Ning Fiyyah juara satu nasional melukis wajah presiden. Senyuman mereka menyimpulkan ada rasa dan masa-masa kedekatan. Apalagi foto saat ulang tahun Ning Fiyyah. Robet menyerahkan bunga. Mereka bernyanyi. Semua terangkum ada dalam kotak kecil itu.

Hati berdesir. Air mata berderai. Ia memilih pergi meninggalkan tempat ini. Menuruni tangga sembari terisak hati bak tersayat-sayat. Tak mungkin ia menikah dengan pria yang mencintai lain. 

Langkahnya tiba-tiba terhenti. Suara berisik terdengar dari arah Taman Santri. Ia hapus air matanya lalu menyelidiki siapa mereka malam-malam bersuara dengan nada lirih. Dari balik dinding kantor madrasah, Imaz menyaksikan semuanya. Irma berciuman dengan seorang lelaki. Mungkin itu kekasihnya.

"Sayang, sudahlah. Lakukan rencana aku. Nanti kita akan bahagia." Kata si lelaki melepaskan ciumannya. Imaz hanya bisa beristighfar dalam hati.

"Aku tidak bisa Arman. Aku tidak mencintainya. Kau tau, pria yang aku cintai hanya kau." Mereka saling berpegangan tangan.

"Aku janji. Nanti setelah kau berhasil, kita akan kabur dari sini. Kita akan lari."

Mulut Imaz terbuka lebar dan segera membungkam dengan tangannya.

"Aku tidak mau kalau rencananya seperti itu." Irma merengek.

"Ayolah Irma. Hanya kau pura-pura mencintainya. Kau nikah siri sama dia. Terus aku bisa mengambil harta Kiyai Abdul."

Imaz semakin kaget. Pondok pesantren Benang Biru memang banyak yang mengincar dan menjatuhkan reputasinya. Tak terkecuali Tuan Darwin juga.

"Sudah saatnya aku mempertaruhkan nyawa demi pesantren Benang Biru." Tekad Imaz mengkristal dalam batin.

Bunyi sirine dinyaringkan.

Sepertiga malam membuka pertahanan keamanan. Prajurit datang berlarian membawa senjata. Irma dan Arman berpisah untuk sementara. Imaz segera berlari. Disusul Irma membelakangi.

"Angkat tanganmu! Atau kalian ku tembak." Langkah mereka terhenti dan kedua tangan langsung diangkat. Wafi, sebagai ketua prajurit menghampiri mereka.

"Kalian asli santri di sinikan? Kenapa malam-malam keluar asrama?"

Mereka saling memandang membisu.

"Kau..." Wafi menatap Imaz tajam, "wanita yang sering keluar malamkan? Aku sudah menegurmu waktu itu. Kau ulangi lagi?"

"Maaf Kang Wafi. Aku kepepet harus kerja. Aku tidak punya uang. Akulah wanita yang kalian temukan di Taman Santri."

"Baiklah. Kalian kembali ke asrama. Nanti setelah Robet balik, kau akan ditindak lanjuti."

Puas menginvestigasi mereka, akhirnya kembali ke asrama. Mereka bersitatap penuh tanya.

                                   ***

Mendung merajalela di kawasan langit. Awan menyembunyikan perasan matahari.

Dua jam lalu, kegiatan belajar mengajar telah usai. Kelas alfiyyah khodam yang diajar oleh Ning Bilqis berakhir memuaskan. Sekitar dua lembar sepuluh hadits dalam satu pembahasan dikemas dengan penyajian yang bermakna. Hadits yang menjelaskan tentang ciri-ciri Nabi yang berbeda dengan manusia. Sebuah senyuman. Manusia meskipun menyembunyikan perasaan namun senyuman tak menggariskan raut muka sebenarnya. Tarikan hati tak bisa diputus begitu saja. Bibir mengulas senyuman, hati teriris luka pasti akan menerjunkan air mata. Beda lain dengan nabi. Ketika beliau melukiskan senyuman, seakan-akan alis, mata, hidung menerbitkan senyuman umat islam. Tak dapat menggambarkan sosok Nabi Muhammad.

Disini, di balkon, Imaz menggapai mendung. Bersiap menjalani derai hujan. Seperti potongan doa yang mengemban di setiap salatnya. Berharap dia juga pun begitu. Berlarian menyentuh hujan seperti impian yang menyentuh pikiran. Berharap dia juga pun begitu.

Mata menyalakkan kekecewaan. Langit menyeka air mata. Tak ada petir kemarahan. Hanya diam merautkan kesedihan.

Menangislah langit jika kau ingin menangis jangan kau tahan. Aku siap kau jatuhkan tangisanmu. Aku rela. Asalkan kau menuruti kata hatimu!

Masih tetap saja diam.

Hari-hari lewat sebagai iklan. Dilihat nampak menyenangkan tapi dirasakan tak selamanya sesuai harapan. Hampa, bosan, dan kurang dorongan. Diniyah hanya tertuju pada penjelasan. Setoran kadang hadir dan tidak. Hadir hanya menjalankan tugas. Absen semua pada bebas.

Skakmat!

Doa yang makbul.

Tengah hari langit menjatuhkan air matanya. Imaz meramaikan hati dengan menari-nari di tengah hujan. Menengadahkan wajah ke atas. Tetesan air hujan siap menghujam wajahnya.

"Pokoknya aku ingin kabur hari ini juga." Suara bising lagi dari arah Taman Santri. Sudah ku duga, mereka bermain cinta. Di balik dinding kantor madrasah, Imaz jadi tahu pertemuan mereka seringkali terjadi pada jam 12 malam.

"Tapi, cuaca hari ini tidak memungkinkan sayang." Arman memberi pengertian.

"Aku tidak betah disini. Anaknya kampungan semua. Semua serba antri." Kata makian Irma menggertak hati Imaz. Sebanding dengan hujan deras mendinginkan tubuhnya. Ia menyilangkan tangan menahannya.

"Ayolah sayang mengertilah. Demi cinta kita. Kita harus berkorban."

"Korban apaan dipimpin kakek tua yang sudah tak berfungsi lagi. Mending pergi saja, tidak berguna." Sumpah serapah memantik amarah Imaz.

"Tutup mulutmu!" Imaz memunculkan diri di depan mereka. Sorot matanya tajam. Kepalan tangan mengeras memperlihatkan urat nadinya.

"Eh, sudah ketahuan." Kata Irma terlihat santai. Dengan senyum palsunya, ia menghampiri Imaz, "kenapa? Tidak terima kakek tua itu dimaki? Lagian apa yang kau lakukan disini? Ini tidak ada urusannya denganmu. Ingat Imaz, kau disini hanya hasil temuan. Tidak perlu ikut campur urusanku."

PLAAAKK!!!

Tanpa kata bermain mata, tamparan dilayangkan. Tidak terima sang kekasih diintimidasi, Arman maju melayangkan pukulan ke arah pipi Imaz namun ditangkis dengan tendangan mengarah dadanya. Arman mengontrol pernapasan.

"Berani-beraninya kau..." memegang pipinya yang merah, tangan Irma mendorong kesal pundak Imaz. 

Sesaat mereka saling menatap licik, Irma menyandera kedua tangan Imaz. Kaki Arman dihentakkan dan melayangkan tendangan ke arah perut Imaz. Ia berteriak kesakitan. Darah meluber dari mulut. Irma menjatuhkannya. Entah mengapa mata terasa gelap. Telinga terasa buntu. Suara tak terdengar.

No signal...

"Tuan, ada apa dengan sistemnya?" 

Teriak anggota yang bertugas memantau sistem mesin suara.

                                   ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status