Aveline ke Rafael : "Cassian itu suami gue.." ~~~ “Kayaknya kamu selalu anggap aku remeh…” Ujar suara tajam di belakangku. Aku menatap Cassian lewat cermin. “Maksudnya?” Tanyaku pura-pura tidak mengerti maksudnya. Cassian terkekeh sinis. “Dasar manipulatif. Jangan pura-pura naif. Aku tau rencana kamu itu.” Aku berbalik menghadapnya dan menatapnya. “Aku gak ada rencana apa pun.” Cassian menatapku dengan tajam. “Kamu selalu tau cara untuk kendalikan situasi sesuai mau kamu. Pasti sekarang ini kamu lagi mikirin rencana supaya aku tetap tinggal dalam pernikahan ini, kan?” Aku merasa tertohok mendengar kata-kata Cassian. Aku mengepalkan tangan di samping tubuh, mencoba menahan emosi yang mulai meledak. “Kamu salah paham.” Cassian mendekatkan wajahnya ke telingaku dengan nada merendahkan, “Kamu pikir aku bodoh? Kamu tau kalau dengan kehamilanmu, aku akan merasa bertanggung jawab dan ragu buat ninggalin kamu. Trus kamu nyuruh ibu buat tinggal disini supaya kita selalu keliatan harmoni
Aveline berhasil tidur sekamar dengan Cassian. Tapi ... ~~~ Rafael menatapku dengan mulut terbuka. Terlihat keterkejutan di wajahnya. “Cassian suami lo?” Aku mengangguk. Heran dengan reaksinya. “Jadi lo putri pemilik Rinaldi Corp.?” Aku mengangguk ragu. “Ya. Kenapa?” “Astaga, Ave. Lo anak sultan ternyata. Padahal pas kuliah dulu kayak miskin banget. Alat gambar aja kadang minjem ke gue.” Ujarnya kembali mengenang masa lalu. Aku tertawa mendengar komentar Rafael. Memang dulu bisa dibilang aku hidup hemat. Bukannya Papa Vincent tidak menafkahiku, tapi aku berusaha menabung karena aku tau kalau Papa Vincent tidak akan memberikanku modal untuk membangun usaha jasaku. Kalau ada pertanyaan yang bilang, berarti aku juga bisa bisnis? Jawabannya ya. Tapi itu bukan minatku. Aku ingin mendesain tanpa mau dipusingkan dengan urusan bisnis. Lagipula Dreamweaver Interiors juga punya Sofia, kan, sebagai manajer. Dia mulai bergabung saat Dreamweaver Interiors sudah menerima jasa selama dua tahun
Aveline mengerti profesionalitas itu seperti apa. Tapi membiarkannya menunggu dan tidak diberi kepastian, bukannya keterlaluan? ~~~ Aku meringis kecil dan menyapa ibu mertuaku. “Pagi, bu..” Ibu Diana berbalik dan tersenyum hangat. “Pagi, Ave. sini sarapan, sayang.” Ujarnya sambil memberikanku jus yang dibuatnya tadi. Aku menerima itu. “Makasih, bu. Ehm maaf aku bangunnya kesiangan.” Ibu mertuaku mengangguk dengan senyum hangat. "Tidak apa-apa, sayang. Kamu lagi hamil. Jadi harus banyak istirahat.” Aku tersenyum mengangguk, merasa senang dengan pengertian ibu mertuaku. “Kak Ian udah berangkat?” Ibu Diana meletakkan salad dan nasi ayam goreng dihadapanku. Dia mengangguk kemudian duduk dihadapanku. “Iya udah dari tadi.” Aku mengangguk dan menatap makanan dihadapanku. Entah kenapa melihat penampakan salad membuatku mual. Tapi aku berusaha untuk menghargai apa yang disajikan oleh Ibu Diana untukku. Nasi ayam gorengku sudah habis setengahnya saat Ibu Diana menegurku. “Saladnya dimak
Aveline mengalami ngidam di tengah malam dan ketahuan ibu mertuanya keluar rumah sendiri.. ~~~ “Halo, bu.” Ibu mertuaku menelfon saat aku mencoba mengalihkan rasa kecewaku dengan desain di tanganku. “Kamu jangan lupa makan siang, yah. Tadi sarapannya dikit karena muntah-muntah, kan.” Ujarnya diseberang sana dengan perhatian. Aku terharu. “Iya, bu.” “Ibu udah telfon Cassian juga tadi. Suruh dia ingetin kamu makan.” Aku tersenyum. “Iya, bu. Ini lagi nungguin Kak Ian buat makan siang bareng.” Bohongku. “Yaudah kalau gitu. Ibu cuma mau bilang itu aja.” “Iya, bu. Makasih banget.” “Iya,” Tuut Aku memandang ponselku dengan mata berkaca-kaca. Tidak pernah habis rasa syukurku bisa memiliki mertua yang sangat sayang padaku. Sayangnya, kedua anaknya membenciku. Cassian dan Adelia. Aku menghela napas panjang untuk mengurangi kesesakan di dadaku. Aku mulai kembali fokus pada desain untuk ruangan Cassian, dengan mulai menandai poin penting pada desain ruangannya ini. Aku berusaha memband
Cassian merasa aneh, apa dia merasa bersalah? ~~~ “Trus Ian? Kenapa gak bangunin dia kalau memang gak enak bangunin, ibu?” Aku menggigit bibirku, berusaha untuk berpikir cepat atas pertanyaan ibu mertuaku. Pasalnya aku sudah berjanji tidak akan merepotkan Cassian selama masa kehamilanku. Dan itu berlaku pada kasus malam ini. “Kak Ian capek banget keliatannya, bu. Aku gak tega bangunin.” Ibu Diana duduk tepat di hadapanku, di meja makan. “Ave, Ian suami kamu. Kamu itu tanggung jawab dia. Dia juga punya kewajiban buat penuhi keinginan kamu pas kamu lagi ngidam.” Aku hanya menunduk, merasa tidak nyaman saat mendengar omelan dari ibu mertuaku. “Nanti ibu bilangin Ian. Masa istrinya di biarin berkeliaran di luar larut malam begini.” “Jangan, bu.” Ujarku cepat. Aku tidak mau dianggap pengadu oleh Cassian. Persepsinya tentangku sudah buruk. Aku tidak mau menambah daftar keburukan lagi di matanya. Tidak saat aku tetap ingin membuatnya tidak menceraikanku. “Loh, kenapa?” Ibu Diana meng
Cassian tidak menyangka kalau Aveline sebegitu memperhatikannya.. ~~~ Cassian merasa sedikit kaget ketika dia terbangun dan menemukan wajah Aveline begitu dekat dengannya. Dia heran bagaimana bisa Aveline tidur dengan posisi duduk semalaman seperti itu. Tapi dia ingat kalau Wanita itu sudah tertidur di tempat tidurnya tepat saat dia masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Lalu mengapa dia justru berada di dekatnya? Cassian dengan cepat kembali memejamkan matanya saat merasakan Aveline akan bangun. Dia tidak tau harus merespon apa di saat posisi mereka seperti ini. Aveline perlahan membuka matanya dan tersenyum saat mendapati wajah Cassian begitu dekat dengannya. Dia terdiam sambil mengamati wajah tampan suaminya itu. Cup Aveline mengecup ringan kening Cassian dan mencoba untuk melepaskan tangannya yang masih terjepit dalam dekapan Cassian. Dia bergerak perlahan, berusaha agar tidak membuat Cassian terbangun. Aveline beranjak dari tempat duduknya. Namun, rasa pegal di punggungny
Sungguh sial, Aveline harus bertemu kembali dengan orang gila yang terobsesi padanya.. ~~~ “Bisa saya lihat?” Ujar Cassian kemudian. Sofia dan Fredi mengangguk. Fredi kemudian menyerahkan tabletnya yang menampilkan konsep desain ruangan Cassian. “Untuk konsepnya, kami tetap mengaplikasikan modern masculine, namun kami akan fokus mengurangi furniture agar lebih luas. Kami juga akan memasang cermin besar disini.” Tunjuk Fredi pada sisi samping meja kerja Cassian. “Jadi ketika orang masuk, ruangannya tidak kelihatan sempit..” Cassian mengangguk paham. Dia menyukai desain itu. “Kami juga ingin mengusulkan untuk merubah jendela di ruangan bapak dengan jendela besar.” Ujar Fredi, meminta persetujuan Cassian. Cassian mengangguk puas. “Saya serahkan semuanya pada kalian.” Sofia tersenyum senang. “Jadi bagaimana dengan desainnya, Pak?” “Saya suka sekali. Terimakasih.” Sofia dan Fredi hampir bersorak, namun mereka menahannya. “Desain ini karya Aveline, Pak, desainer kami yang lain.” U
Aveline senyum-senyum sendiri saat Cassian mulai sedikit memperhatikannya.. ~~~ Cassian melirik Aveline yang tampak ketakutan. “Kamu gak apa-apa?” Aveline menoleh sekilas pada Cassian dan memaksakan senyumnya. “Iya. Aku baik-baik aja. Makasih udah nolongin tadi.” Bohong. Aveline berbohong. Tentu dia tidak baik-baik saja bertemu lagi dengan Nicholas. Terlihat dari wajah pucat dan tangannya yang masih dingin. Cassian dengan cepat sadar akan hal itu. “Mau minum?” Tawarnya sambil menyodorkan botol kemasan air mineral pada Aveline. Aveline menerima itu dan mengucap terima kasih. Masih dengan tubuh yang bergetar, dia mulai membuka tutup botol dan meminum airnya. “Apa kata dokter tadi?” Tanya Cassian saat Aveline selesai minum. “Bukan masalah serius. Cuma masuk angin aja.” Ujar Aveline singkat lalu menatap pemandangan di sampingnya. Lidah Cassian terasa gatal ingin menanyakan tentang pria tadi. Dia sebenanrnya ingin mencoba mengalihkan pikiran Aveline dari kejadian tadi, karena Wanita