Saking sibuknya kembali merintis showroom mobil mewah yang reputasinya sempat hancur, Nicholas hampir tak punya waktu memikirkan hal lain.Hampir.Karena meskipun ia marah dan kesal pada Aurora. Perempuan yang telah membuatnya kehilangan hampir seluruh sumber pemasukannya, yang entah kenapa, malam-malamnya selalu dihabiskan untuk menunggu telepon dari wanita itu.Nicholas berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang remang. Jemarinya tanpa sadar menggulir layar ponsel, membuka kontak yang sama, menunggu nama “Rara” muncul di layar.Dia membenci dirinya sendiri karena ini.Dia tahu seharusnya dia marah, menjauh, atau bahkan melupakan perempuan itu. Tapi setiap kali mengingat suara lirihnya yang menangis di panggilan terakhir, ada bagian dari dirinya yang melunak.Panggilan terakhir dari Aurora adalah hampir sebulan yang lalu. Setelahnya sudah tidak ada lagi. Namun, ia masih menunggu hingga kini."Dasar bodoh…" gumamnya pada diri sendiri, membuang ponsel ke kasur, lalu me
“DASAR PENGKHIANAT! LO SEMBUNYI DI MANA, HAH?”Suara Nicholas menggelegar begitu keras hingga Aurora nyaris menjatuhkan ponselnya. Tubuhnya menegang. Mata membelalak, bibir bergetar. Tapi ia tetap diam, tak mematikan video. Hanya menatap wajah itu. Wajah yang selama ini ia rindukan, meski kini penuh amarah.Aurora tidak tahu apa yang terjadi di sana, tapi dari sikap Nicholas, sepertinya Ryan sudah bertindak.“Apa lo puas sekarang?” Nicholas menggeram. “Bisnis gue ancur. Gue kehilangan semuanya dan lo...—lo ternyata dalangnya?”Meski terbiasa dengan nada sinis dan bentakan Nicholas, kali ini tetap mengguncangnya. Dulu, sebelum hamil, Aurora masih bisa menahan diri. Tapi sekarang, entah karena hormonnya atau luka yang lama, air mata itu tak bisa lagi dia cegah.HiksSebuah isakan lolos dari bibirnya sebelum ia memutuskan panggilan secara sepihak.“Gak bakal gue telepon lo lagi,” ujarnya serak, masih dengan suara tangis.Air matanya belum sempat kering saat ponselnya kembali bergetar.Ni
“Jadi cowok yang di story lo itu tunangannya Letta, sekaligus sepupu lo?” Tunjuk Adit, salah satu teman seperjuangannya di bawah bimbingan Ryan, pada Bima yang duduk berdampingan dengan sang tunangan.Adelia mengangguk dengan raut wajah bingung. Begitupun dengan Bima dan Letta. Pasalnya, Adit secara tak terduga menghampiri meja mereka dan menanyakan pertanyaan itu tanpa berbasa-basi lebih dulu. Mereka saat ini tengah menghadiri acara ramah tamah fakultas mereka, karena besok sudah akan diadakan wisuda.Yah... Adelia bisa ikut wisuda besok. Bukan karena Ryan yang berubah pikiran, tapi karena bagian administrasi yang memperpanjang deadline pendaftaran sidang tutup.“Emangnya kenapa lo tiba-tiba nanya kek gitu, Dit?” Tanya Letta.Adit menghela napas lelah, lalu menatap Adelia dan Letta bergantian. “Kalian tau kan kalau gue sepupuan sama Pak Ryan?”Mood Adelia tiba-tiba jelek. Kenapa dosen menyebalkan itu disebut?“Iya kita tau..” Ujar Letta cepat. Dia merasa penasaran kenapa Adit membaha
Di sebuah ruang kerja dengan konsep tradisional, yang hampir semua furniturenya tampak mahal karena terbuat dari kayu jati, termasuk sofa yang tengah di duduki oleh dua pria paruh baya. Mereka duduk berhadapan dengan suasana berat disekitar mereka.“Bayu… aku terus terang aja, aku udah gak tenang lihat Aurora terus-terusan pasang badan buat Nicho.” Papa Vincent menghela nafas berat.Papi Bayu terlihat merenung sebentar sebelum menjawab. “Aku ngerti perasaan kamu, Vincent. Seharusnya suami yang melindungi istrinya. Bukan sebaliknya.”Papa Vincent mengangguk pelan. “Setelah kejadian itu… setelah semua yang Nicho lakukan ke Cassian dan Aveline, Aurora malah tetap pasang badan buat dia. Seolah-olah semua salah dunia kecuali Nicholas.”Papi Bayu menggenggam cangkir tehnya yang sudah mulai dingin. “Dia anak yang keras kepala… dan terlalu banyak menelan luka sendirian. Tapi bukan berarti kamu salah kalau ingin menyelamatkan putrimu dari pernikahan yang gak sehat.”Suasana hening sesaat, hany
“Pftt.. hahaha..”Suara tawa menggema di sebuah Gedung pernikahan yang ramai. Pasangan kekasih yang duduk dihadapan Adelia ini terlihat sangat menyebalkan setelah mendengar cerita Adelia tentang makhluk halus di koridor ruang jurusan.“Yaelah, Del. Siang bolong lo liat setan? Ngaco!” Ucap Bima di sela-sela tawanya.“Iya ngaco nih si Adel.” Ujar Letta sambil bangkit dari duduknya.“Mau kemana, by?” Tanya Bima yang melihat tunangannya berdiri.“Mau ke toilet bentar.” Kata Letta yang diangguki Bima.Adelia cemberut menatap Bima. “Gue gak ngarang, tau. Kalaupun iya, kenapa coba si Pak Ryan tiba-tiba nge-rem mendadak gitu? Atau mau nagih utang ke gue? Bikin gue tegang aja.”“Dia kali yang deg-degan liat lo.” Ujar Bima dengan santai.Adelia terkejut dengan pendapat Bima. “Hah? Serius? Mana ada! Ya kali dia naksir gue, orang gue bukan si
Setelah semalaman berpikir, Aurora akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran Ryan dan menghubungi Laura, sahabat Aveline yang juga seorang psikolog. Menurutnya, tidak ada salahnya mencoba berkonsultasi dulu soal kondisi mental Nicholas. Siapa tahu, dari Laura, ia bisa dapat insight atau pendekatan yang lebih realistis.Hari ini, ia kembali ke kotanya. Tanpa kabar ke siapa pun, kecuali Adelia.Kali ini, Aurora nggak repot-repot lagi bermain kucing-kucingan dengan Warrior Fortress. Biar saja keluarganya tahu dia pulang. Toh cepat atau lambat, mereka pasti akan tahu juga.Tujuan pertamanya setelah tiba adalah Renewal Mental Health Center, tempat praktik sekaligus pusat terapi yang kabarnya dikelola langsung oleh Laura Aditama. Hari ini hari kerja, jadi besar kemungkinan Laura ada di sana.MHC ini katanya adalah hadiah dari suaminya untuk Laura. Sederhana tapi elegan. Seperti sosok Lauranya sendiri.Aurora mulai membuka pintu kaca bertuliskan nama klinik itu, menghampiri front desk dan mem