Aveline akhirnya hamil dan waktunya untuk menjalankan rencana berikutnya..
~~~
Cassian duduk di sofa tunggal masih di ruangan yang sama tempat Aveline tiba-tiba pingsan. Tubuhnya tegang dan rahangnya mengeras. Matanya kosong, menatap Aveline yang terbaring di sofa panjang, wanita yang secara teknis masih istrinya.
"Saya nggak bisa pastiin, Pak. Sebaiknya cek langsung ke dokter kandungan," ujar dokter perempuan bernama Riana dengan nada hati-hati. Cassian hanya mengangguk singkat, matanya tetap terfokus pada Aveline yang mulai sadar.
Aveline perlahan membuka matanya, kebingungan, lalu memberi senyum tipis kepada dokter.
"Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" tanya dokter Riana lembut.
Aveline menjawab dengan suara pelan, "Hanya pusing aja."
"Terima kasih, Riana. Bisa kalian tinggalkan saya dan istri saya?" Suara Cassian terdengar datar, seperti biasa.
Begitu ruangan sepi, Cassian berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari wajah Aveline, seakan melihatnya terlalu lama bisa membuatnya goyah dan itu adalah hal yang paling dibencinya.
"Sepertinya kamu hamil," ucapnya cepat dan tanpa ekspresi. Sekedar hanya menginformasikan tanpa maksud apa pun.
Aveline terdiam sejenak, kemudian menggumam, "Hamil?"
Ia menyentuh perutnya, dan senyum itu… senyum yang dulu mampu meluluhkan hati Cassian kembali muncul. Tapi bagi Cassian, senyum itu sekarang hanya mengingatkannya akan masa lalu yang rumit dan penuh luka.
Cassian menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan rasa muak yang tiba-tiba datang. Bukan pada anak yang sedang dikandung, tetapi pada keadaan, pada Aveline, dan pada dirinya sendiri yang terlalu lemah untuk menolak sejak awal.
"Kayaknya cuma aku yang bahagia saat ini," ujar Aveline, suaranya terdengar lebih perih daripada marah.
Cassian diam, tetap mematung.
"Aku paham kalau kamu nggak menginginkan ini. Tapi tenang aja, aku nggak akan nyusahin kamu," lanjut Aveline sambil mulai bangkit. Cassian hanya memperhatikannya dengan pandangan kosong.
"Mau ke mana?" tanyanya singkat.
"Ke klinik. Mau cek kondisi anakku."
Anakku. Bukan anak kita.
Kata itu menghantam Cassian, seolah palu godam yang tak terelakkan. Entah kenapa, dia merasa bahwa dia pantas mendapatkannya.
Cassian mengerjap, dan tangan kanannya mengepal tanpa sadar, tapi dia tetap diam.
"Oh iya, sebaiknya Kak Ian pulang nanti. Kontrak pernikahan kita perlu diperbarui," tambah Aveline sebelum akhirnya meninggalkan ruangan.
Pintu tertutup dengan lembut, meninggalkan Cassian yang masih duduk di tempatnya, menatap kosong ke lantai. Entah apa yang sedang dipikirkannya, yang jelas, dia merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak pernah ia pilih.
~~~
Aveline duduk gelisah di ruang keluarga, matanya tak lepas dari jam dinding yang berdetak pelan, tapi terasa lebih menyiksa dari biasanya. Malam sudah makin larut, dan kekhawatiran mulai menguasai pikirannya.
Kalau Kak Ian gak pulang lagi, gimana?
Tangan Aveline terulur, menyentuh perutnya dengan lembut, mencoba menenangkan diri sendiri. Sepulang dari kantor Rinaldi Corp., Aveline menyempatkan diri ke klinik. Hasilnya? Ia hamil, dan sudah memasuki minggu keempat. Kabar bahagia, tapi belum sempat ia bagikan ke siapapun.
Deru mesin mobil di luar rumah memecah lamunannya. Dengan cepat, ia bangkit dan berjalan cepat ke pintu. Cassian akhirnya pulang. Seperti biasa, Aveline menyambutnya dengan senyum dan uluran tangan. Hatinya hangat saat jemari mereka bersentuhan. Ia merindukan momen-momen seperti ini. Ketika mata mereka bertemu, seolah waktu berhenti sejenak. Wajah Cassian terlihat lelah, namun ada kelembutan samar di balik matanya.
Atau gue lagi halu?
Cassian menarik tangannya dan memalingkan pandangannya. “Aku mau mandi dulu. Setelah itu kita bicara di ruang kerjaku,” katanya datar, sebelum berlalu begitu saja.
Aveline menghela napas pelan, matanya menatap dua benda yang ada di tangannya—surat keterangan hamil dan kontrak pernikahan baru yang sudah ia siapkan setelah dari klinik. Kini ia duduk di ruang kerja Cassian, menunggu dengan jantung berdebar-debar.
Sambil menunggu, ia membuka ponsel, mencoba mengirimkan foto USG ke keluarga mereka. Sayangnya, tidak ada balasan. Mungkin keluarganya dan keluarga Cassian sedang beristirahat, mengingat sekarang waktunya beristirahat.
Cklek
Cassian masuk ke dalam ruangan. Suami Aveline itu mengenakan kaos rumahan dengan aroma sabun yang masih melekat di tubuhnya. Dengan raut wajah andalannya ketika bersama Aveline, ia langsung menuju meja kerjanya, duduk, dan menatap Aveline yang kini berdiri mendekatinya.
“Aku rasa kita nggak perlu memperbarui kontrak,” ucapnya, nada suaranya tetap dingin.
Aveline terperangah. “Hah?” tanyanya, hampir tidak percaya.
“Pernikahan kita cuma untuk setahun. Dan itu bakal berakhir dalam tiga bulan lagi,” jelas Cassian dengan suara yang tetap datar.
“Dan anak aku jadi nggak jelas statusnya?” sahut Aveline, suaranya meninggi, kesal.
“Kamu belum tentu hamil, Ave,” sahut Cassian tanpa ekspresi.
Dengan cepat dan emosi yang memuncak, Aveline menyodorkan surat keterangan hamil dari klinik, lengkap dengan foto USG. “Aku hamil. Dan ini buktinya,” tegasnya.
Cassian terdiam, hanya menatap kertas-kertas itu tanpa ekspresi jelas. “Kejadian ini karena ulah kamu sendiri,” ucapnya datar.
Amarah Aveline benar-benar memuncak. “No. Ini solusi yang kamu minta. Anak ini yang bakal jadi penerus Rinaldi Corp. Dia yang bakal buat kamu bebas.”
Wajah Cassian tetap tenang, meskipun terlihat lelah. “Oke. Maumu apa sekarang?”
Aveline meletakkan kontrak baru di hadapannya. “Aku ajukan kontrak kedua, sebelum kita bercerai.”
Isi kontrak itu nggak main-main. Aveline sengaja membuatnya rumit. Ia bilang nggak mau nyusahin, tapi ia tahu kalau kenangan harus dibangun, dan intensitas kebersamaan harus dipaksa jika tidak datang secara alami.
Ada tiga syarat:
Pernikahan ini nggak akan berakhir sebelum aku melahirkan.
Kita harus tidur di ranjang yang sama.
Kamu harus ngajak aku berkencan dan menghabiskan waktu berdua setiap akhir pekan.
Cassian membaca sekilas dan langsung menjauhkan kontrak itu. “Syarat macam apa ini? Aku nggak mau.”
“Kita nggak lagi negosiasi, KAK IAN,” jawab Aveline tenang, tapi tegas.
“Kamu salah. Harusnya kita diskusi dulu sebelum kamu nulis semua ini.”
“Aku berniat diskusi. Tapi kamu yang selama satu bulan ini menghindar,” sela Aveline. “Cih, bahkan gak pernah pulang ke rumah. Entah nginep dimana selama dua minggu ini.” lanjutnya dengan gumaman yang terdengar jelas di telinga Cassian.
Cassian terdiam, beberapa detik kemudian ia menyeret kembali kontrak itu ke arahnya, tapi tetap bersikukuh, “Aku nggak mau tidur seranjang.”
“Kalau satu kamar?” Aveline menawarkan, tetap tenang.
Cassian menggeleng. Aveline tidak memaksa. Dia sudah menyiapkan rencana lain.
“Okelah. Tapi kita ganti dengan syarat, kita harus nunjukin kemesraan di depan orang tua. Gimana?” tawarnya.
Cassian berpikir sejenak, lalu mengangguk.
Aveline hampir bersorak. Ia mengambil kontrak itu, mengoreksi isi poinnya, dan menandatanganinya dengan senyum puas. Kontrak itu kemudian ia sodorkan kembali pada Cassian.
“Makasih, Kak Ian. Aku janji nggak bakal nyusahin kamu selama pernikahan kita. Kecuali untuk hal-hal yang udah kita sepakatin,” ucapnya tulus.
Ia mencium pipi Cassian, membuat pria itu membeku dalam diam. Aveline tidak peduli Cassian akan marah, ia terlalu senang malam ini.
Keluar dari ruang kerja Cassian, ia menutup pintu perlahan dan segera menghubungi seseorang. Rencana berikutnya harus disusun dengan sempurna.
Misi pertama hamil anak Cassian, BERHASIL.
Misi kedua Tidur sekamar dengan Cassian.
Dan permainan baru saja dimulai.
“Keluar!” desis Hans dingin sambil menarik paksa Aurora dari kursi penumpang. Gadis itu menjerit kecil, tubuhnya terhempas ke jalan.Nicholas yang baru saja melumpuhkan rekan Hans menoleh cepat. Matanya menyipit, pupilnya tajam, seperti mata predator yang terkunci pada mangsanya. Sorot itu membuat Hans, meski hanya sekejap, merasakan hawa ancaman.Hans masih tersenyum meremehkan. “Anak kemarin sore mau lawan gue?”Tapi Nicholas tidak menjawab. Ia bergerak. Sekejap, langkahnya meliuk ke kiri, lalu kanan, lincah seperti bayangan yang sulit ditebak. Dalam hitungan detik, ia sudah berada di belakang Hans, menendang keras bagian lutut hingga tubuh Hans sedikit goyah.Hans mendengus, berusaha menahan. Namun Nicholas kembali berputar, kali ini hantaman sikunya mengarah ke rusuk. Suara benturan membuat Hans tersentak, napasnya terhenti sejenak.Sore itu, jalanan yang sepi menjadi arena kecil pertarungan dan Hans mulai menyadari bahw
Aurora tak berkata apa pun, namun tangannya meraih sandaran jok depan untuk bertumpu. Lalu ia melepaskan diri dari pegangan Nicholas.Nicholas mencoba menahan bahunya, tapi Aurora menepis tangan pria itu, meraih gagang pintu, dan menariknya hingga terbuka. Udara luar yang terasa hangat dibandingkan suhu dalam mobil langsung menerpa wajahnya.Tanpa menunggu reaksi pria itu, Aurora melangkah cepat keluar dari mobil.“Ra—” panggilan Nicholas tertahan di tenggorokannya. “Kita baik-baik aja sebelum ini.”Aurora berdiri di pinggir jalan, matanya menatap tajam ke arahnya. “Cih. Itu menurut lo.” Ucapnya sinis. “Lo gak bisa seenaknya muncul lagi di hidup gue buat dijadiin tameng kelakuan lo like the past. Gue gak sudi.”Setelah mengucapkan itu, Aurora berjalan menjauh. Beruntungnya, ada taksi kosong yang lewat.Nicholas keluar dengan cepat dari mobil berusaha untuk menahan Aurora. Namun wanita itu sudah masuk ke dalam taksi yang dihentikannya.“RA…” panggilnya. “Sial…” umpatnya sambil menendan
"Hai, Lia. Ini mantan istri saya, Karen. Karen, ini Adelia, mahasiswi saya," ujar Ryan.Adelia tersenyum canggung. Dia tidak mengerti mengapa Ryan memperkenalkannya pada mantan istrinya itu.Karen menatap Adelia dengan tatapan menilai, membuat Adelia tidak nyaman dengan itu.“Oh jadi ini selingkuhan kamu itu?” Ucap Karen dengan sinis.Adelia terdiam, terkejut dengan tuduhan itu. Dia baru saja datang, bahkan belum dipersilahkan duduk, namun ditodong dengan tuduhan yang tak menyenangkan.“Karen..” Tegur Ryan dengan tegas.“Why? Aku cuma mau tau dia tepat gak buat kamu dan Bryan.” Ucap Karen membela dirinya.“Tapi kamu gak perlu kayak gitu. Dia gak nyaman jadinya.” Ujar Ryan.Adelia menatap mereka pikiran berkecamuk. Lama-lama dia juga muak berada di tengah-tengah pertengkaran mantan pasangan suami istri ini. Trus apa coba maksudnya mengatakan Adelia pantas dan tak pantas buat Ryan dan Bryan? Bryan itu siapa lagi?“Maaf menyela. Saya kesini Cuma mau minta tandatangan anda, Pak Ryan. Buka
Rumah Keluarga Rinaldi“Leopard, boss?”“…”“Siap laksanakan, Boss Tiger.”Hans menutup panggilan telefonnya dengan Max. bossnya yang satu itu menginformasikan kalau aka nada bodyguard baru yang akan membantunya mengawal Aurora.“Leopard?” gumam Hans.Ia tau nama itu karena seringkali mendengar rumor dari camp pelatihan fortress. Namun ia belum pernah bertemu dengannya.Hans sendiri memang tidak lama mengikuti training di fortress karena ia memiliki basic beladiri bahkan sebelum bekerja dengan Nicholas. Makanya ia langsung diberi misi begitu bergabung dengan Fortress.“Ayo berangkat, Hans.”Suara Aurora dari belakang Hans terdengar, membuat pria itu menoleh ke arah pintu masuk rumah.“Kita langsung ke kantor pengacara,” ucapnya lagi pada Hans.Hans mengangguk. “Baik. Boss Tiger minta saya
Siang Hari – Kantin Fakultas“Eh.. eh.. itu kan cewek yang selalu ada di ruangannya pak Ryan, kan?”“Ih iya bener. Istrinya kah?”“Kayaknya bukan deh. Istrinya pak Ryan, dokter. Cantik lagi.”“Trus.. trus itu siapa dong?”“Selingkuhannya pak Ryan?”“Ih bisa jadi. Denger-denger, Pak Ryan cere kan?”“Berarti dia PELAKOR dong?”Adelia merasa tidak nyaman. SANGAT AMAT TIDAK NYAMAN. Sejak awal dia duduk di kantin fakultas, suara bisikan dan gosip tentangnya menjadi bahan perbincangan di antara mahasiswa dan dosen-dosen. Bukan hanya hari ini, tetapi sudah berlangsung sejak dia mulai menjadi salah satu penghuni ruangan Ryan Davis dua minggu ini.Dirinya selalu dikaitkan dengan penyebab perceraian Ryan dengan mantan istrinya. Meskipun Adelia hanya menyelesaikan kewajibannya sebagai mahasiswa pascasarjana, namanya terus digunakan sebagai bahan spekulasi. Dia merasa tidak adil karena tidak pernah berniat merusak hubungan rumah tangga orang lain.Meskipun dia juga memiliki perasaan untuk Ryan, A
“Mulai besok, kamu dateng lagi kesini. Kerjain revisi kamu disini. Saya gak mau dinilai gak kompeten sama dosen-dosen lain kalau tau tesis kamu lolos.”Ucapan Ryan kemarin masih terngiang-ngiang di kepala Adelia. Terdengar berlebihan memang. Tapi Adelia tidak punya pilihan lain selain mengiyakan, karena dari awal Adelia yang salah. Wajar kalau Ryan bersikap begitu.Adelia duduk di kursi tunggu di depan ruangan Ryan setelah mengecek kalau si empunya belum datang. Dia memainkan ponselnya sembari menunggu.Beberapa saat kemudian, Ryan datang dan membuka pintu ruangannya. Adelia bergegas berdiri dan menunggu Ryan selesai.Sekilas, Adelia sempat melihat sebuah seutas senyum dari Ryan. Senyum itu muncul begitu cepat sehingga Adelia tidak terlalu yakin apakah dia benar-benar melihatnya. Sepertinya Ryan menyembunyikan senyumannya dengan sengaja, seolah tidak ingin Adelia mengetahui apa yang ada di balik senyumnya yang singkat itu.“Masuk!” Perintah Ryan. Adelia mengangguk dan ikut masuk ke ru