Lamunanku buyar. Netraku teralih dari kertas yang baru datang itu. Surat panggilan dari pengadilan untuk sidang perceraian itu telah tiba setelah dua bulan berlalu.
Senyum samar nan masam tersungging di bibirku."Tidak. Hanya saja, rasanya lucu," tugasku, melipat kembali kertas itu.Tangan kekar itu mengusap lembut suraiku. Membawanya bersandar di pundak."Abang tahu. Pernikahanmu juga tidak sebentar. Lima tahun. Tapi, kalau memang tidak bisa dipertahankan lagi, mau bagaimana?""Iya, Bang. Akan berbeda kalau mas Angga masih membelaku. Aku mungkin akan mencoba bertahan. Seperti sebelum-sebelumnya. Tapi, sepertinya dia pun lelah," helaku pelan."Kalau sekiranya, Angga nanti mengetahui semuanya, terus dia mengajakmu kembali bersama, bagaimana?"Aku terdiam. Menatap langit bertabur bintang di atas sana. Memejamkan mata sejenak untuk menikmati hembusan dinginnya."Memang bang Aldi setuju?" tolehku pada pria yang menjadi cinta kedua setelah p"Haa.... Aa, maksud gue, hamil. Eh, apa sih!"Orang aneh. Jujur saja jantungku berdetak kencang. Entah kenapa perkataannya terakhir membuat pikiranku berkelana. "Aunty!"Perhatianku tertoleh. Jansen yang berlari ke arahku sambil tertawa, bersembunyi di balik punggungku. Niswah tertawa lebar, mencoba menangkap bocah itu."Eitss... Jansen kena. Haha."Keduanya tergelak bersama. Kulihat senyum terbit di bibir Zul, dengan netranya yang tertuju pada gadis itu. Ah, maafkan aku Della. Sebaiknya urungkan saja usahamu.Ku senggol bahu pemuda itu. Melirik dengan senyum tertahan."Ngapain Lo? Suka sama Niswah?" ledekku. Zul langsung mingkem. "Apaan sih. Ngawur."Aku tergelak. Sayangnya wajahmu memerah. Ternyata pria kalau tersipu lucu juga.Tak lama bang Aldi memberi kode untuk segera menghampirinya. Kami lapar. Dan restoran seafood adalah tujuan setelahnya.Zul, pria aneh yang kutemui di bar itu ikut bersama kami. Dia datang sendirian, d
Pagi sekali, aku sudah bangun. Tapi bukan untuk gegas bersiap. Melainkan tidurku saja yang tak nyenyak. Rasanya seperti tidak nyaman. Seolah akan ada sesuatu yang terjadi. Meraup wajah dan mengela napas pelan. Barulah aku ke kamar mandi. Lalu melanjutkan rutinitas pagi.Pukul delapan, kami sudah bersiap. Bang Aldi, mbak Dina, juga si kecil Jansen. Zul akan menyusul nanti ke kantor pengadilan langsung. Sedangkan Niswah, dia tidak ikut karena hari ini berbarengan dengan jadwal kampus hari pertama. Haidar, dia juga akan mengantar Niswah nanti. "Tenangkan pikiranmu, Din. Yakinlah berjalan lancar." Kuanggukkan kepala. Bang Aldi sepertinya menangkap sirat khawatir dari wajahku. Sedangkan mbak Dina mengusap pundakku, menenangkan. Kami gegas menaiki mobil. Bang Aldi dan mbak Dina di depan, sedangkan aku dan Jansen di bagian tengah. Aku tersenyum membaca pesan dari Della. Ya, begitu banyak orang yang mendukungku, tak seharusnya aku sekhawatir ini. Obrolan ringan dan juga c
Kulihat keterkejutan di wajah Haidar. Namun aku mengabaikannya. Dan menghampiri dokter itu."A... Anda istrinya?""Benar. Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" "Suami ibu mengalami luka yang cukup parah. Bentaran di kepalanya mengakibatkan efek yang hebat. Kemungkinan, dia akan mengalami amnesia.""A-amnesia?" ulangku. Menelan saliva kasar. Apa itu artinya...."Benar. Dan di tambah dia sepertinya sehabis mengonsumsi alkohol yang berlebih. Sementara saat ini pasien belum sadar. Tapi sudah bisa dikunjungi secara bergantian. Dua orang yang masuk perkunjungan."Aku meremat jemariku. Kemungkinan kemungkinan terbayang dalam otakku. "Saya permisi dulu."Dokter berlalu. Zul bergegas menghampiriku. Sedangkan Haidar dia diam saja tanpa komentar."Kamu serius? Mengakui sebagai istrinya? Wah... Apa itu berarti perceraian gagal?"Aku memejamkan mata sejenak."Bahkan, tanpa mengakui sebagai istrinya pun, sidang tidak mungkin dilanjut. Dia amnesia. Yang
Mas Angga sudah sadar. Meski tubuhnya masih sangat lemah. Sedari tadi dia menatapku dengan senyum tersungging di bibirnya. Jemari lemahnya memegang jemariku. Mas Angga mengalami amnesia anterograde, atau amnesia sebagian. Memorinya kembali ke tiga tahun silam, tepatnya saat sebelum kedatangan Riri. Aku sempat bingung, amnesia ini disebabkan oleh penyakit, bukan karena kecelakaan. Tapi mengingat kata dokter yang bilang kalau mas Angga sempat mengonsumsi minuman alkohol, barulah otakku sedikit menerima. Mungkin saja dia sebelumnya sempat keracunan yang kemudian menyebabkan kecelakaan. Hal yang memperparah kondisinya.Hening. Bang Aldi diam. Zul juga diam. Mbak Dina diam. Hanya sesekali isakan ibu mertua yang menangis sesegukan. Suara tak jelas dari mas Angga membuatku menoleh. Sedari tadi aku membuang pandangan. Bibirnya bergerak-gerak dengan suara yang tak jelas. Tapi aku paham yang dia maksud. Dia bilang, jangan meninggalkan dirinya. Ya Tuhan, bagaimana ini?"Dia c
Aku terbangun sudah ada di kamar. Kedua sudut bibirku tertarik. Tetap sama seperti dulu saat aku ketiduran di luar, pasti bangun-bangun sudah ada di dalam. Bang Aldi adalah sosok pengganti papa. Beringsut menyandarkan tubuh di headboard, menarik selimut yang menutupi badanku. Melirik jam di nakas. Pukul tiga sore. Kuraih ponselku. Della, aku ingin menceritakan semuanya dengan sahabatku. Namun, justru yang kudapat, bekas panggilan dari nomor asing sekitar lima menit yang lalu. Sampai lima panggilan. Ponselku memang kubuat mode diam. Supaya tidak mengganggu jalannya sidang, tadinya begitu. Nyatanya gagal.Belum sempat kembali menghubungi nomor itu, ketukan di pintu lebih dulu mengambil alih perhatian. Pintu terbuka, menampilkan wajah bang Aldi."Sudah bangun?" Aku mengangguk. Bang Aldi menghampiriku. "Sudah baikan?""Udah, Bang. Bang Aldi kenapa? Kok kayaknya ada sesuatu?"Helaan napas terdengar. Berikut tepukan di pundakku."Sepertinya kali ini kam
"Rumah banyak yang berubah ya?" Aku diam saja. Mendorong kursi rodanya. Hari ini Mas Angga boleh dibawa pulang, setelah seminggu perawatan di rumah sakit. Berhubung aku tidak mampu membawanya ke lantai atas, jadi aku membawanya ke kamar di lantai bawah. "Lo, kamar kita kan di atas, Beib?" aku mengela napas. Membantunya berdiri dan memapahnya ke ranjang."Mas bisa jalan sendiri?""Hehe. Ya gak sih. Tapi kan kamu bisa memapahku. Istri yang baik pasti tidak akan merasa keberatan, Din. Justru berpahala lo, berbakti sama suami itu namanya."Satu sudut bibirku tertarik tipis. "Sayangnya, aku bukan istri yang baik," tukasku. Membenarkan letak baringnya. Dia memang masih lemas. Tapi dia sendiri yang memaksa untuk pulang dan di rawat di rumah."Kok kamu kayak gitu?""Kamu sendiri lo yang bilang. Makanya, sekarang aku turutin deh sesuai yang kamu katakan." "Aku? Kapan?""Tidak usah dipikirkan, Mas. Nanti juga ingat sendiri." Kulihat mas Angga masih
Pulang kerja langsung disambut dengan mas Angga yang ngambek. Dia tidak mau makan kalau tidak aku suapi. Mau tak mau, meski tubuhku letih, kusempatkan menyaupinya dulu. Memang berbeda, jika perasaan itu masih ada ataupun mati rasa. Hambar."Aku merindukanmu, tidak bisakah kamu memelukku?"Aku menoleh selintas. Jengah. "Maaf, Mas. Tapi sekarang tidak sama.""Maksudnya apa sih? Dari kemarin kamu selalu aja bilang kayak gitu. Kamu selingkuh?" rautnya tak suka. Aku tersenyum tipis. Menyodorkan sesendok ke arahnya."Mas kenal Riri?"Dia menepis tanganku. Menolak disuapi lagi. Tapi tatapannya heran ke arahku."Bagaimana kamu kenal dengan Riri?""Justru itu. Mas selingkuh dengan Riri. Mas ingat? Aku ini mandul, katamu dan ibu. Kita menikah lama tapi belum juga punya anak. Dan saat itu, mas datang dengan membawa anak kecil. Anak itu anakmu, kamu bilang seperti itu. Lalu, kamu lebih memilih anak itu, juga wanita bernama Riri. Kamu ninggalin aku, mas."
Suasana pesta yang meriah dan elegan. Seperti yang sudah aku duga. Memang tidak di ballroom hotel seperti yang biasa dilakukan oleh pengusaha lainnya, pak Andre mengadakannya di rumah beliau. Rumah yang besar dan megah. Banyak pengusaha besar yang juga datang. Setelah sempat menyapa beliau yang dengan sumringah membalas sapaanku. Berbasa basi sebentar, kemudian aku menyingkir. Paling tidak suka dengan keramaian seperti ini.Netraku mengedar ke sekitar. Beberapa wajah cukup akrab dalam pandanganku. Mereka adalah pejabat penting di instansi pemerintahan, dan juga di perusahaan. Mungkin hanya aku yang terlihat canggung disini. Seperti anak itik kehilangan induknya. Kusesap segelas lemon tea sebagai pengalih rasa jenuh. Ingin rasanya segera pulang dan bergumul dengan kasur dan selimut. Sayangnya, acara bahkan belum dimulai."Sendirian saja."Aku menoleh, mendapati senyum lebar pria yang tak asing. Mataku membola lebar. Lagi-lagi dia, manusia aneh yang suka muncul t