Danish merasa jantungnya lelah sekali saat ini. Bulu kuduknya juga berdiri. Meski bukan pertama kali, tapi kenapa sensasinya tetap begini? Dia dan Sayna bergandengan tangan, sejak di alun-alun tadi hingga berjalan menuju parkiran. Danish buru-buru ingin sampai agar tautan tangan mereka bisa segera dilepaskan.
Dia takut, jujur saja. Danish takut mereka melangkah lebih jauh. Dia takut melakukan hal yang sama seperti dulu karena tidak bisa menahan diri. Kadang-kadang pikiran dan hasratnya muncul disaat tertentu, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa karena terbiasa dengan Sayna. Danish tidak mahir melakukan itu dengan sabun atau semacamnya. Dan saat ini berusaha mati-matian menjaga diri mereka, menghindari terbunuhnya Arunika lain di masa depan.
“Nish?” panggil Sayna saat mereka menuruni tangga menuju mobil Danish. “Bolu apa kabar?”
Danish refleks tersentak. Tiba-tiba rasa takut langsung menyergapnya. Selalu ada dua kemungkinan untuk semua h
Pukul berapa ini? Sayna merasa pusing, bahkan obat tidur pun tidak bisa membuatnya benar-benar tidur. Padahal seingatnya tadi cukup banyak pil yang dia telan, untung saja Sayna tidak terkena efek halusinasi atau bahkan mati. Gadis itu bahkan belum berganti pakaian, kelelahan lahir dan batin seusai berkencan. Dia meraih benda pipih yang tergeletak di nakas, melihat waktu yang tertera di layarnya. Pukul dua dini hari, apa Sayna harus menambah dosis obat agar bisa tidur lagi? Dalam keadaan terjaga seperti sekarang, dia terus terbayang soal dirinya dengan Danish tadi. Sayna yang menyodorkan diri, Sayna yang tidak lagi memiliki harga diri, Sayna yang berjuang sendiri. Gadis itu menangis, merasa hidupnya malah makin mengerikan akhir-akhir ini, padahal seharusnya sudah baik-baik saja. Di mana letak salahnya? Apa kerenggangan ini karena kurangnya sentuhan fisik di antara mereka? Sayna menjambak rambutnya frustrasi, mengusir pikiran mengerikan itu buru-buru. D
Seperti dejavu, Sayna bahkan harus mengulang hingga sepuluh kali dan mencoba belasan jenis merek alat tes kehamilan demi menemukan hasil yang berbeda. Ah, tidak. Bukan itu yang dia inginkan. Sayna justru diam-diam mengharapkannya, dia ingin sesuatu untuk menahan Danish, untuk menarik pemuda itu kembali, untuk mengikatnya lagi.Ini jelas sebuah kesempatan. Ini jelas harapan Sayna karena akal sehatnya sudah tidak lagi bekerja. Dia ingin hamil lagi agar Danish kembali seperti dulu, saat keduanya nyaris memiliki Arunika. Sayna tidak tahan diperlakukan seperti sekarang, dia biasanya si dominan, dia yang biasanya dipuja dan diinginkan, Danish harus kembali seperti itu.Kali ini, Sayna memutuskan untuk meneruskan kehamilan. Dia siap bertemu dengan Melia, bicara dengan orangtuanya dan bersedia menikah muda asal Danish menanggung biaya kuliahnya.Ya, seperti itu. Pasti seperti itu yang Danish mau sejak dulu. Sekarang Sayna akan menurutinya, memenuhi harapan kekasihnya.&n
Bau disinfektan, uap humidifier, obat-obatan adalah apa yang Sayna temukan begitu dia membuka kelopak matanya. Gadis itu melengos, dia kira dirinya akan tiba di neraka tak lama setelah kejadian semalam. Kenapa dia ada di sini? Siapa yang membawanya ke rumah sakit? Apakah Arvin? “Teh? Teh? Teteh! Teteh!” “Bu, Ibu... Teteh siuman!” “Teteh... Sayna... anak ibu....” “Ayah! Si Teteh udah sadar!” Sayna ingin mati saja mendengar suara-suara itu yang menyambutnya ketika dia baru membuka mata. Dia tidak bisa melihat wajah Ibu, Ayah, atau adiknya. Air mata menggenang di pelupuk mata Sayna, dia menolak membuka kelopak matanya meski jelas-jelas ibu tengah sibuk meminta Sayna untuk terjaga. Tubuhnya digerakkan, Sayna semakin banjir saat merasakan ciuman bertubi mendarat di wajahnya. “Teteh, makasih udah bertahan. Makasih udah kembali demi Ibu... demi Ayah...” Bagaimana dia harus menjelaskan semuanya pada mereka? Sayna tidak tahu. Ap
“Nish, kalian lagi ada masalah? Sayna pernah bilang kalau kalian putus, tapi ibu nggak tahu detailnya gimana. Terus... dia minum obat sebanyak itu buat apa? Kamu apain dia?”Kalimat putus asa itu yang terlontar dari ibu Sayna saat menghubungi Danish pertama kali dan menyaksikan keadaan putrinya. Tentu saja Danish adalah tersangka, dia yang bertemu terakhir kali dengan Sayna malam itu, sebelum Sayna menjadi frustrasi dan minum obat tidur dosis tinggi. Jelas Danish adalah penyebabnya, dia mungkin alasan terbesar Sayna melakukan hal nekat itu.Untuk berhari-hari setelahnya, Danish menginap di Bandung. Pulang pergi dari hotel keluarga Ranajaya dan rumah sakit demi menjaga Sayna kendati keluarga gadis itu pun ada di sana. Sebab Sayna berulang kali mengigau dan menyebut namanya.“Kamu harus tanggung jawab,” kata Linda waktu itu, saat Sayna belum sadar juga. Dia menatap Danish penuh amarah terpendam.Danish tidak pernah tahu apa arti tang
“AAAAAA... OM... TOLLOOONNGG!”Danish yang sibuk memeriksa lembar-lembar berkas laporan manual di ruangannya segera melesat begitu mendengar suara melengking dari sang keponakan. Dia menemukan Irya tengah berada di dalam mesin cuci dan mesin itu berputar sendiri. Tentu saja teriakan panik minta tolong bergema memenuhi tempat itu. Semua pegawai laundry Danish bergegas menyongsong asal suara.“Nish, sori...” Hamam memelas, Danish memang menitipkan keponakannya pada Hamam selama dia memeriksa berkas. “Tadi gue ke toilet sebentar dan nggak ada yang lagi free buat jagain Irya.”“Jadi ponakan gue lo masukin mesin cuci?” tanya Danish jengkel.“Iya, tapi tadi mesinnya mati, njir! Gue cuma nggak mau dia ke mana-mana. Jadi gue taro di sana sementara. Duh, Den maafin Om Hamam, ya? Jangan ngadu ke ibu apalagi ayah kamu. Bisa-bisa om dijadiin tempe mendoan kalau mereka tahu.”Irya lan
Sejak insiden obat tidur yang berefek fatal itu Sayna tidak lagi tinggal di kosnya yang lama. Dia dititipkan oleh ayah dan ibu di rumah saudara mereka, cukup jauh dari kampus, sampai dia harus berangkat dari sana pukul lima agar tidak terlambat masuk kelas. Lewat tol dan melakukan perjalanan lebih dari satu jam untuk benar-benar sampai.Sayna baru mendapat surat izin mengemudinya akhir-akhir ini dan langsung praktek di jalanan karena didesak oleh keadaan. Terbiasa dilindungi dan terlambat belajar mengemudi, membuat gadis itu masih sangat kikuk mengendarai mobil barunya. Bukan mobil mewah seperti milik Danish, tapi cukup tangguh untuk menemani perjalanannya ke kampus setiap hari.Danish bilang ini mobil sejuta umat, yang artinya bisa dimiliki hampir oleh sebagian besar masyarakat kelas menengah karena harganya yang murah. Harga mobilnya adalah 1 banding 8 dengan mobil BMW Danish, bukan Range Rover, ya. Mobil super mewah itu bisa membeli 30 unit mobil Sayna.Seper
Sayna pasti sudah gila. Dia sudah tidak waras lagi. Gadis itu berjongkok di sudut kamarnya sepulang menyambangi Giovanni di rumah sakit. Dia mematikan lampu, berpura-pura sudah tidur dan mengabaikan panggilan ibu pemilik rumah. Sayna tidak ingin makan, atau tepatnya dia memang sudah makan, dengan Gio, di kantin rumah sakit, berduaan.Niatnya yang hanya ingin mengucapkan terima kasih seperti saran Rafika justru melebar ke mana-mana. Aneh sekali mengetahui dadanya berdebar ketika mencoba berkomunikasi dengan pemuda itu. Pasti karena canggung, karena sudah lama tidak bertegur sapa atau pun bicara. Ya, pasti begitu.“Kakak pasti nggak tahu, kalau waktu itu... aku juga pernah jatuh hati ke Kakak.”“Terus sekarang?”“Kayaknya masih.”Gila. Percakapan macam apa itu? Sayna bahkan baru saja mengambil jeda dengan Danish karena terlalu lelah dan terbebani dengan urusan hati. Kenapa sekarang dia dengan cerobohnya justru berm
Danish: Sayna, apa kabar?Tidak pernah ada balasan atas pesan itu. Danish tidak tahu apakah jeda yang Sayna minta juga berarti menghentikan komunikasi di antara mereka. Namun seingatnya, ini sudah kali ketiga mereka menjeda hubungan, dan yang dua kali berawal dari kemarahan Danish. Baru kali ini terjadi atas permintaan Sayna. Jeda mereka yang dulu pun tidak pernah ada komunikasi, Sayna tidak menghubunginya, Danish juga sama. Dia kira kali ini akan sedikit berbeda, ternyata tidak juga.“Yang terpenting buat ibu dan Sayna sekarang adalah kesehatannya, kuliahnya. Dan saat hubungan kalian mulai mengganggu salah satu kepentingan itu, tandanya udah nggak baik, Nish. Ibu pun nggak akan membiarkan kamu lanjut sama Sayna lagi, untung dia intospeksi dan minta sendiri, dan jujur aja ibu mendukung pilihannya. Dia sampai sakit begini, berarti hubungan kalian memang udah nggak bisa diteruskan. Tolong, jangan ganggu Sayna dulu, ya? Kamu anak baik, ibu sering bi