Share

Nothing Like Us 2

Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu...

Kemesraan ini ingin kukenang selalu...

Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu...

Hatiku damai... jiwaku tenteram bersamamu...

“Aduh, suaranya ngajakin berumah tangga ya, Teh.”

Sayna terkikik mendengar komentar ibunda saat mereka menonton Danish dan Chandraka tengah berkaraoke ria. Suara mereka menggema, memenuhi ruang keluarga.

Keduanya sampai di Jakarta siang menjelang sore, Danish langsung dicegat, tidak boleh pulang cepat, makan bersama dengan keluarga Sayna dan melakukan hal menyenangkan dengan mereka. Ikrar juga ada di sana, duduk di karpet lantai sambil memegangi senter dan menggoyangkannya ke kiri dan kanan bergantian, bertingkah seolah tengah menonton live music penyanyi papan atas.

“Tapi ibu tadi cuma bercanda,” ralat Linda segera, melihat putrinya tidak memberi reaksi apa-apa. “Ibu sangat berharap Teteh jadi sama Ninish, tapi nanti, ya? Selesai coass deh, biar perjuangan ibu sama Ayah ada hasilnya. Kuliahin Teteh sampai jadi dokter, kalau mau ambil spesialis silakan diobrolin sama Danish.”

Sayna tersenyum dan mengiakannya. Dia berjanji akan berjuang lebih keras lagi, Sayna akan menjadi anak yang baik untuk ibu dan ayahnya, dia tidak akan membuat orang sejenis Giovanni hadir ke hidupnya lagi. Sudah saatnya menyeleksi orang yang pantas dijadikan teman atau tidak. Dia pernah terjebak, dan akan lebih berhati-hati.

“Tahun depan kan De Ikrar tamat SMA. Ibu nyekolahin dua anak sendirian, maaf kalau Teteh harus lebih sabar tiap punya keinginan, ya?”

“Iya, Bu. Nggak apa-apa.”

“Padahal aku mau jadi tentara aja, nggak usah kuliah, aku mau melestarikan profesi Ayah.”

Suara Ikrar menyahuti keduanya. Tahun depan beberapa hal akan berubah, Chandraka pensiun, sumber pendapatan jauh lebih sedikit tentunya, dan Ikrar tamat SMA. Mungkin dia ingin jadi tentara, tapi tetap saja itu pun butuh biaya, belum lagi uang semesteran Sayna. Kampusnya—fakultasnya terutama, bukan tempat murah.

“Adek boleh jadi apa pun yang kamu mau,” ujar Linda berwibawa. Mereka tetap mengobrol kendati harus berpacu dengan alunan musik dari speaker dan suara Danish plus Chandraka terdengar bersahutan. “Buat Teteh, pesan ibu cuma satu, tolong lulus tepat waktu, ya? Bantu ibu.”

Sayna merasa matanya agak pedih mendengar ucapan itu, mengingat kelakuannya akhir-akhir ini yang hampir saja—andai Giovanni melapor dan membuat keributan, akan menghambat progress kuliahnya.

“Iya, Bu,” jawab gadis itu.

“Jadi mau pada main ke Puncak? Ibu sama Ayah ketemu kalian sebentar pisan.”

“Iya, Bu. Izin, ya? Teman kami ulang tahun.” Danish berjalan menghampiri Sayna dan Linda setelah selesai menyanyikan lagu terakhir bersama Chandraka, menyahuti obrolan segera.

“Ya udah, hati-hati. Ada siapa aja?”

“Rame kok, Bu.”

“Tidurnya di penginapan, kan? Jangan di tenda, Nish, kasihan nanti Sayna masuk angin.”

“Ih, Ayah!”

Tidak sulit meminta izin dari orangtua Sayna saat Danish ikut terlibat di dalamnya. Di awal kemunculan saja pemuda itu sudah sangat dipercaya, apalagi saat ini setelah dua tahun lebih dia resmi menjadi kekasih Sayna. Linda dan Chandra amat mempercayainya.

Dan Danish punya pesona aneh yang membuatnya nyaris selalu dimaafkan bagaimanapun dia membuat kesalahan. Maka dengan dia, Sayna tidak terlalu takut berbuat dosa. Ibu dan Ayah mempercayai Danish lebih daripada mempercayainya, bersama Danish dia akan aman sejahtera. Seperti hari ini, mereka tidak ikut ke pesta ulang tahun Rafid di Puncak—meski awalnya akan di Lembang, Danish dan Sayna memilih untuk ke daerah Jakarta Pusat, mencari hotel terdekat dan melakukan hal-hal nekat.

Mereka sudah biasa, jadi tidak apa-apa.

“Bolu, nginep di sini dulu. Mama sama Papa mau bikinin adek buat kamu.”

Suara Danish bergema di ruangan 5x3 meter itu ketika Sayna berganti baju.

“Nish,” tegur gadis itu tidak suka. Mereka harus selesai kuliah lebih dulu jika ingin memberi seorang adik untuk Bolu.

“Bikinnya aja, Say. Nggak dijadiin kok, kita cuma produksi, nggak langsung jadi.” Pemuda itu terkekeh geli. Wajah Sayna tampak khawatir sekali, mungkin karena obrolan dengan ibunya tadi.

Meski samar, tapi Danish masih bisa mendengar. Kekhawatiran keluarga Sayna, perubahan ekonomi yang akan mereka hadapi saat ayahnya tidak lagi bekerja, juga perjuangan untuk biaya pendidikan, dan beban Sayna sebagai tumpuan harapan. Dia anak sulung, ada tanggung jawab yang diembannya meski Danish tidak tahu itu apa. Mirip dengan Dinara dulu.

“Nish!” panggil Sayna ceria saat layar ponsel Danish menyala, ada panggilan video dari Arvin, dia segera mengangkatnya.

“Hei, Masbro! Belum mulai beraktivitas kan, kalian?”

“Hai, Vin!”

“Sayna!” pekik Arvin yang langsung dikerubungi teman-temannya.

“Makin cantik aja, Say. Apa kabar?” Herdian menyalip di depan layar.

“Hai, Ibu Negara. Kami telepon cuma buat ngelapor kalau Rafid menghabiskan uang Baginda Danish Adiswara dengan baik dan benar, kita party dan semua dia yang bayar.”

Sayna tertawa senang mendengarnya, ternyata dia rindu pada mereka—teman-temannya di SMA. “Have fun! Rafid, happy birthday. Wyatb, gbu, gws, spbu, sbmptn, snmptn, de el-el, de el-el. Hehe.”

“Ih, Sayna lucu! Jadi pengen cium.”

“Heh!” Danish melotot keji pada Hamam dan mulutnya yang serampangan itu. “Udahan ah, matiin dulu. Gue—” Danish menggantung kalimatnya, dia merasa melihat sesuatu yang aneh di layar itu. Seseorang, di belakang kerumunan teman-temannya. “Dya?”

“Hah?” Sayna ikut memperhatikan layar.

“DYA!” pekik Danish tak sadar—tidak terkendali, ketika benar-benar menangkap sosok Pramudya di sana. “Dya, lo ngapain di sana?!” tanyanya panik melihat gadis itu bergabung dengan teman-temannya, sementara Danish tidak ikut serta.

Dia memilih berduaan saja dengan Sayna karena waktu mereka jauh lebih berharga. Tapi kenapa melihat Pramudya bergabung dengan Hamam di ulang tahun Rafid membuatnya tidak tenang?

“Eh, sabar, Bos! Gue kan udah bilang mau ajak Dya,” kata Hamam dengan tampang tak berdosa.

“Gue kira lo bercanda, nyet!”

Hamam mendekatkan wajah dan berbisik, “Gue juga, anjim! Gue kira dia bakal nolak, lah ternyata iya-iya aja anaknya.”

“Sinting,” umpat Danish pelan.

“Gue pacarin, ya?”

“Jangan coba-coba!”

“Lo udah punya Sayna, pea! Masa lo mau beristri dua? Kasih gue kesempatan sama Dya.”

“Dya!” panggil Danish tak peduli pada ocehan Hamam. “Lo udah izin sama Mas Arya, kan? Gue nggak mau ya abang lo nanya-nanyain lo di mana ke gue kayak wak—”

Tut.

Beberapa detik yang lalu, suara tawa teman-teman Danish terdengar bersamaan dengan layar ponsel yang semakin dekat dengan Pramudya. Tapi begitu wajah Dya dan Danish berhadapan, tanpa menanggapi apa-apa, Pramudya mematikan sambungan secara sepihak.

“Mampus gue,” umpat Danish pelan.

“Cepet hubungi Mas Arya dan kasih tahu adiknya di mana, dan lo nggak ada di sana.” Sayna mengemukakan pendapatnya.

“Oh, bener juga.” Danish buru-buru mengetikkan pesan dan mengirim laporan itu pada kakak iparnya. Bahwa, dia sedang tidak bersama Pramudya, gadis itu hanya pergi dengan teman-temannya tapi Danish tidak ikut serta. Dan semoga dia baik-baik saja, semoga Dya tidak macam-macam dengan Hamam.

Danish mendadak khawatir, resah dan gelisah, dia harusnya ikut dengan mereka lalu menyewa kamar yang agak jauh agar bisa bebas berduaan dengan Sayna semalaman.

“Nish, waktu lo turunin Dya di jalan itu Mas Arya marah banget, ya?” Sayna jadi ikut tidak tenang melihat kekasihnya panik tak keruan begitu tahu Pramudya ada di sana.

Dia bahkan tidak bisa marah atau merasa cemburu pada reaksi Danish barusan. Entah kenapa Sayna tahu bahwa Danish mengkhawatirkan Dya bukan dalam konteks yang membuatnya salah paham. Danish pernah dimarahi karena terlibat dalam kasus menghilangnya Pramudya, pantas jika saat ini dia resah melihat gadis itu bersama teman-temannya, tanpa dia ikut serta.

“Mas Arya selalu lebay kalau itu menyangkut adik-adiknya.” Danish berujar pasrah. “Dia pernah ngediemin gue karena insiden Pramudya yang lo siram pake kopi itu, Sayna. Inget, kan?”

Sayna gemetar. Dia ingat. Padahal itu sudah lama sekali. Dulu Sayna pernah sangat gila dalam menjaga Danish-nya.

“Gue nggak sengaja,” akunya memutar fakta. Itu sebuah kesalahan, Sayna yang sekarang tidak demikian.

Dia hanya minta Danish menjaga jarak dengan si kembar, itu saja. Namun sekarang bahkan sudah tidak bisa. Yang dia lakukan pada Danish jauh lebih kejam. Perbuatannya dengan Giovanni tidak terampuni, Sayna tidak punya hak melarang Danish untuk jauh dari ipar-iparnya lagi. Mereka bersaudara, jadi tidak apa-apa.

“Maaf gue merusak suasana.” Danish menghampiri Sayna, merangkulnya, mengendus wanginya yang memberi candu, bermukim di ceruk leher gadis itu. Menggodanya tanpa aba-aba. Danish merindukannya, sangat.

Sayna bingung, mendadak rasanya agak canggung. Kenapa aneh sekali? Mereka hanya dua minggu tidak bertatap muka, kenapa rasanya sudah sangat lama? Apa karena Sayna sempat lupa pada Danish dan perasaannya? Terlalu banyak bergulung dengan luka?

“I miss you,” bisik Danish pelan. Mata mereka bertatap. Sayna bahkan harus menelan ludah susah payah saat bertemu dengan netra jelaga milik kekasihnya yang berkilauan, membuatnya tenggelam, membawanya masuk seolah ingin menelan Sayna hidup-hidup. Terlebih saat Danish mendekatkan wajah hingga ujung hidung mereka bersentuhan, sekujur tubuhnya meremang hebat, suara rendah Danish mengalun di telinga. “Jangan begitu lagi, hm?”

Gadis itu mengangguk, dia terhipnotis, kesadarannya ditarik menjauh, alam bawah sadarnya mengambil alih. Ketika jari-jari Danish merapikan rambut di sekitar wajah, menangkup pipinya, meminta Sayna untuk balas menatapnya.

“Boleh sekarang?”

Tidak ada jawaban yang bergaung, entah kenapa tatapannya tertuju pada bibir pemuda itu, seolah menjadi isyarat dan ajakan untuk bercumbu. Dan Danish mengerti, bibir mereka beradu, manis, menyecap rindu, meski entah kenapa Sayna justru berdebar hebat hingga ingin menangis. Dia ingat kejadian hari itu. Pengkhianatannya pada Danish.

Sensasi asing saat kain yang mereka kenakan berhasil diloloskan berhasil membuat Sayna gemetar hebat. Dia menginginkannya, menginginkan ini, menginginkan Danish melakukannya. Menyentuh dan memanjakan tubuhnya—seperti yang dilakukan Gio waktu itu. Dia ingin Danish yang keras, memintanya meremas, sementara wajah keduanya tetap saling menyecap.

Sayna ingin, seperti yang dia lakukan dengan Gio waktu itu. Dia ingin menuntaskannya.

“Shit! Sayna...”

Danish mengerang hebat. Ini pertama kalinya Sayna melakukan itu, yang tidak dia tahu adalah dirinya bukan orang pertama bagi gadis itu. Sesuatu yang baru, getar yang hebat, debaran dahsyat merasuki keduanya, menguasai mereka.

Sumpah demi nirwana, Sayna menyukainya. Sangat menyukainya. Meski dia tahu ada yang tidak benar di sana. Tidak benar membuat Danish melakukan semua itu dengan refleksi Giovanni dalam kepala.

“Sayna, belajar ini dari mana?”

Mendengar Danish bertanya, membuat gadis itu semakin merasa berdosa.

“Ngh... gue suka.” Dia mengerang. “Jangan lakuin ini ke orang, ya? Sama gue aja.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status