Share

Nothing Like Us

 “Hati-hati, ya. Titip salam buat Imo, kamu jangan bandel, jangan pacaran terus, pacarnya nggak boleh banyak-banyak, denger nggak?”

“Iya.”

Inara menyengir dengan rambut cokelatnya yang sengaja Sayna selipkan di belakang telinga. Dia semakin menggemaskan ketika kupingnya terlihat dengan ukuran daun telinga yang lebih lebar dibanding seharusnya.

“Naik bus yang mana?” Danish menimbrung obrolan. Pagi itu mereka telah sampai di terminal Cibiru untuk mengantar Inara pulang ke Sumedang. Banyak bis antar kota dan minibus elf berjejer di sana. Rata-rata jurusan Bandung – Cirebon – Majalengka, entah yang mana satu milik Inara.

“Aku mau naik Buhe!” Gadis Sunda berwajah bule itu menunjuk salah satu nama armada dengan mayoritas minibus berwarna merah tua keunguan, Buhe Jaya. “Biar kayak terbang dari Bandung ke Sumedang.”

“Ih, jangan!” Sayna segera melarangnya. “Naik bis aja, turun di pintu keluar tol Kojengkang terus naik ojeg dari sana. Jangan pake Buhe, ngeri, De.”

“Emang kenapa?” Danish bertanya bingung.

“Naik Buhe tuh bisa-bisa badannya udah nyampe Sumedang tapi nyawanya masih ketinggalan di Bandung. Jangan, ya?”

“Ih, si Kakak mah, padahal aku udah lama nggak naik wahana ekstrem.”

“Nanti kita main ke Transtudio aja kalau pengen wahana ekstrem, lebih aman. Naik Buhe kamu itu nitipin nyawa, De. Punya berapa emangnya? Ada cadangan?”

Meski tampak nakal dan usil, pada akhirnya Inara menuruti titah sang kakak dengan menaiki salah satu bis yang melintas di Bandung dan Sumedang. Gadis itu duduk di dekat jendela, masih melambai-lambai pada Danish dan Sayna hingga ia menghilang bersama bisnya dari pandangan.

Dan di detik itu, Sayna langsung merasa kehilangan.

Dia selalu merasa begitu tiap bertemu Inara dan berpisah setelahnya, mungkin karena mereka jarang bertemu juga.

“Pokoknya, Kakak sama Aa kasep jangan putus, ya? Kalau putus siap-siap aja, aku langsung masukin slot kedua. Kakak mending pulang ke Jakarta, Ibu pasti kangen. Nggak apa-apa, Kak, jangan terus merasa bersalah, sedihnya juga butuh jeda.”

Sedihnya juga butuh jeda...

Entah kenapa kalimat gadis itu terngiang di telinga Sayna.

Dirinya memang berdosa, Sayna tidak akan melupakan kesalahannya, dia akan menebus itu semua, tapi saat ini—saat kekasihnya ada di depan mata, dia ingin rehat sejenak. Seperti kata Inara, sedihnya juga butuh jeda. Sayna ingin berhenti merasakan itu meski sebentar saja.

“Mau makan dulu, Say?”

Danish memecah hening. Sejak masuk tol menuju Jakarta, hanya suara sayup-sayup alunan lagu Nothing Like You yang berdenging. Dia membiarkan Sayna tidak mengeluarkan suara, gadis itu terlihat sendu begitu tidak bisa lagi melihat sepupunya. Dan Danish cukup terkejut dengan kenyataan bahwa Sayna sedekat itu dengan Inara, padahal mereka jarang berjumpa, terlebih Sayna jarang sekali bercerita soal sepupunya.

“Nanti aja di rumah. Udah lapar, ya?”

“Nggak sih, gue makan snack bar juga kenyang.”

“Kita makan bareng Ayah sama Ibu, ya.”

Tidak ada sahutan, sebab itu bukan jenis kalimat diskusi, tapi keputusan dan permintaan berbalut perintah dari Sayna. Danish mengemudi dengan tenang, sementara kekasihnya duduk di sisi kiri sembari memangku anak berbulu mereka yang terlihat mengantuk ketika tubuhnya dielus-elus.

Danish sengaja mengajak Bolu untuk menemui Sayna ke Bandung. Dia bingung karena nyaris dua minggu kekasihnya menolak diajak bertemu, Danish datang sendiri tanpa meminta izin, menyusun strategi hingga ide membawa Bolu terlintas karena Sayna pasti rindu pada anaknya, dia tidak akan menolak kehadiran bocah berbulu itu jika Danish membawa Bolu ikut serta.

“Nish, gue mau ngomong sesuatu...”

Kalimat yang terngiang-ngiang di telinganya hingga sekarang.

Namun reaksi Sayna setelah mengatakan hal itu sangat di luar dugaan. Dia gemetar hebat, terlihat ketakutan dan sekarat, Danish tidak sanggup menyaksikannya. Pasti yang akan dia katakan adalah hal yang berat, yang membuat dadanya sesak, tapi Sayna memaksakan diri dan Danish menyuruhnya untuk berhenti.

“Jangan bilang apa-apa kalau itu bikin lo makin terluka. Jangan bilang apa-apa, gue cuma mau lo baik-baik aja.”

Entah apa yang akan dikatakan Sayna, kalau itu sebuah pengakuan untuk kesalahan, Danish sudah berjanji akan memaafkannya, sebesar apa pun, dia tidak peduli, asal Sayna baik-baik saja. Asal mereka bisa tetap bersama.

“Nanti kita main, ya.” Suara Sayna tiba-tiba terdengar, padahal Danish membiarkan gadis itu merenung, menenangkan diri atau mungkin tidur.

“Main apa?” tanya Danish polos.

Sayna mengerling. “Main...” ujarnya sambil tersenyum geli. “Nggak kangen, ya?”

Danish membeliak. Maksudnya, suasana sedang tidak mendukung untuk hal seperti itu saat ini. Dia kira Sayna akan butuh waktu lebih lama untuk menenangkan diri dan tidak mau diganggu, apalagi disentuh olehnya lebih jauh. Danish cukup terkejut dengan pernyataan gadis itu, tiba-tiba saja wajahnya panas, pasti dia sedang merona malu. Payah sekali ya, baru dua minggu tidak bertemu dan sudah secanggung itu.

“Uh... kangen banget,” jawab Danish setelah butuh waktu untuk berpikir dulu.

Sayna tersenyum manis, sebelah tangannya terulur untuk mengusap rambut Danish. Kegiatan seperti itu salah satu cara melepas stres yang paling baik, jadi Danish akan melakukan permainan terbaik agar Sayna merasa lebih baik.

Terdengar bodoh dan murahan sekali, tapi nyatanya Sayna merasa perlu melakukan hal itu segera dengan kekasihnya. Licik memang, dia ingin menghapus jejak Giovanni dan meminta Danish melakukannya diam-diam. Sebab sampai sekarang Sayna tidak mampu mengatakan kejujurannya. Danish memintanya segera untuk diam.

“Kalau lo takut itu bakal jadi pemicu kemarahan dan kekecewaan gue, nggak apa-apa disimpan sendiri aja, Sayna. Nggak semua hal harus dibagikan, dan kita satu sama lain juga tahu kalau lo atau pun gue, bukan orang yang sempurna. Asal kita tetap sama-sama, kita baik-baik aja, gue bahagia.”

Dia bahagia, katanya.

Danish bahagia karena sering berpura-pura tidak tahu saat dia dibohongi, dicurangi, agar hubungan mereka baik-baik saja. Agar keduanya tidak bertengkar. Dulu, Giovanni adalah pemicunya, dan Sayna menyesal sekali saat ini. Kekasihnya melakukan pengorbanan untuk hal tidak berarti.

“Intinya, Kak Gio nggak akan lagi gangguin kita.”

Entah dapat keberanian dari mana, kalimat itu terlontar dari mulutnya, bahkan setelah mereka memutuskan untuk mengubur itu semua.

“Ketahuan belangnya?” seringai Danish sambil melirik kecil, urat-urat di lehernya terlihat. Merasa terkejut karena perubahan Sayna akhir-akhir ini dipicu oleh kakak tingkatnya itu, hal yang tidak pernah terpikirkan olehnya.

“Iya.” Sayna mengangguk. “Gue udah menghalau dia sejauh mungkin, dia nggak akan gangguin kita lagi.”

Bagus sekali, Sayna. Katakan saja kebohongannya, cuci tangan yang bersih, buat dirinya sesuci mungkin.

“Bagus.” Danish tersenyum tipis. “Gue nggak akan tanya kalian kenapa dan dia ngapain aja, tapi gue harap yang dia lakukan sepadan sama perubahan lo akhir-akhir ini. Udah kayak putus cinta sih, Say.”

Tidak. Danish, jangan salah pengertian padanya. Sayna berubah bukan karena patah hati tidak bisa berteman—atau bergantung, pada Giovanni lagi.

“Gue justru takut kita putus, Nish. Gue patah hati sama hubungan kita, bukan dia.” Sayna membela dirinya.

Danish berbelok ke kiri, peduli setan saat ini tengah berada di jalan bebas hambatan. Dia menepi agar bisa mendengar suara Sayna lebih jelas lagi.

“Lo juga matahin hati gue, Sayna, dua minggu nggak ada kabarnya—” Danish membuang napas keras, dia janji akan memaafkan gadis itu apa pun yang terjadi. Tapi Danish tidak bisa untuk tidak marah mendengar alasannya.

“Maaf...” Sayna buru-buru memegang tangan Danish, menatapnya penuh rasa bersalah. “Gue janji nggak akan gitu lagi.”

“Oke, udah lupain aja. Gue kangen sama lo, kita jangan berantem lagi, ya?”

Sayna segera menganggukkan kepala. Dia sudah memikirkannya dengan Inara, bahwa memberi tahu Danish tidak sesederhana kedengarannya. Pemuda itu sumbu pendek, dia pencemburu, bukan mustahil Danish akan memukul Gio hingga babak belur, dan urusan bisa lebih panjang. Sayna tidak mau kuliahnya terganggu, dia tidak ingin lebih mengecewakan Ayah dan Ibu.

“Beberapa hal memang lebih baik disimpan sendiri untuk kebaikan semuanya, Kak. Itu nggak membuat kita lantas jadi orang jahat kok, justru Kakak rahasiakan soal itu buat kebaikan bersama, kan?”

Meski pada akhirnya, Sayna harus menanggung rasa sesak itu sendirian sebagai risiko. Dia tidak apa-apa, asal hubungannya dengan Danish baik-baik saja, asal Danish tetap mencintainya.

Untung Inara datang. Orang pertama yang dia ajak bicara sejak tragedinya dengan Giovanni terjadi. Inara adalah sahabat sekaligus obat, dia hadir disaat yang tepat, kendatipun mereka tidak begitu dekat. Ada ratusan kilometer jarak yang membuat keduanya jarang berjumpa dan bicara.

Setiap orang yang hadir dalam hidup punya perannya sendiri-sendiri, seperti orang-orang dalam hidup Sayna. Siapa sangka kakak tingkat rupawan yang ia jadikan panutan berakhir dengan label bajingan? Siapa yang mengira jika saudari yang jarang sekali hadir dalam momen pentingnya justru datang saat Sayna sendiri?

Dan siapa sangka seseorang merelakan peluknya saat ini ketika Sayna merasa dunia tengah melemparinya dengan tatapan benci?

Bahkan dirinya pun terluka, Sayna diam-diam telah melukainya, tapi dia tidak pernah pergi, dia selalu datang lagi dan lagi.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status