Buat seluruh kapasitas otak Misha Khanza Mahreen, dua-tiga tugas lebih yang diberikan sekolah bukanlah apa-apa alias sesuatu yang tidak perlu begitu dicemaskan jika dibandingkan sebuah tugas dari Dewa Asmara. Mengapa demikian?
Dewa Asmara yang Misha kenal tidak segan memberikan tugas-tugas rumit yang tak biasa seperti saat memberi pengarahan pada cupid-cupid junior maupun senior yang lain. So, dirinya dapat dikategorikan spesial atau istimewa dalam tanda kutip.
Hanya di depan Misha-lah Dewa Asmara membuka topeng dinginnya dengan leluasa, dapat langsung meluapkan segala emosinya, atau bisa disebut lebih terbuka pada Misha. Tak perlu mengkhawatirkan kritikan dari lisan orang-orang yang membencinya yang tak memercayai adanya cinta di dunia ini.
Yah, bisa dibilang Misha dan Dewa Asmara berhubungan baik, mereka kompak hampir di setiap hal. Dewa yang pengertian dan dirinya yang pintar menyesuaikan diri.
Sama-sama saling melengkapi, tetapi kadang-kadang justru menyulut perselisihan yang disebabkan sifat kurang kooperatif dan perbedaan antarpendapat. Ya, Misha atau Dewa Asmara—keduanya harus ada yang mengalah untuk meredakan kendala yang terjadi.
Dengan langkah yang gontai seakan tak bertenaga, Misha merentangkan tangan ketika sudah membuka gerbang berbahan emas asli yang ukurannya sebesar raksasa, menandakan dirinya telah tiba di kediaman Dewa Asmara yang sangat mewah.
Hm? Di mana dia? Misha berusaha menahan kata-kata kasar yang tertelan di tenggorokan. Dirinya celingak-celingukan mengitari kediaman Dewa Asmara yang panjangnya berhektar-hektar, matanya melihat kolam air mancur yang terdapat patung panah yang terpahat di atasnya.
"Ah, Anda silakan ikuti saya, Miss." Kedatangan Misha tentu disambut dengan baik oleh jejeran pelayan yang sudah bertahun-tahun bekerja di tempat ini, mereka semua mengiringi langkahnya menuju singgasana milik Dewa Asmara di pelosok rumah yang seperti miniatur istana ini. Jalan yang tak mudah diakses karena termasuk tempat keramat yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kepentingan.
"Ada apa lo manggil gue, Dew?" Misha sekali pun tidak pernah merasa bersyukur karena termasuk salah satu dari beberapa orang yang berperan penting di sini. Jika dapat memilih, dia tak akan mau diberi gelar cupid.
Misha kadang masih risih jika ada yang memanggil Miss, walaupun sering mendengarnya berulang kali setiap mendapat panggilan. Meski rasanya akan menyenangkan bila tinggal di kediaman seluas ini, tetapi tak ada yang lebih nyaman kecuali rumah sendiri, bukan?
Maka dari itu Misha tidak pernah setuju saat ditawari oleh Dewa Asmara untuk menetap di kediaman ini, alasan paling yang bisa diterima adalah agar gadis itu tak bersusah payah pergi jarak jauh dan menguras biaya bahan bakar alat transportasi. Sisanya jangan ditanya, deh, jawaban orang yang mengaku-ngaku dewa itu suka nyeleneh.
"Yo, Mis. Apa kabar?" Dasar semprul! Misha bertanya apa, dijawabnya lain lagi bikin tambah darah tinggi saja. Namun, yang hanya bisa dilakukan Misha—mengusap dada, bersabar.
"Baik, baik banget malah. Situ gimana kabarnya?" Misha yang kesal bukan main terang-terangan menyindir. Dia justru minum jamu di depan orang yang tak menyukai baunya. Sopankah seorang Dewa bersikap begitu?
"Jelas dong, lo bisa lihat sendiri." Dewa Asmara juga sama seperti manusia normal yang berbicara menggunakan bahasa gaul. Bedanya wajahnya tampan sekali (re: burik) sampai-sampai Misha ingin muntah.
Akan tetapi, sebenarnya Dewa Asmara tak begitu burik. Buktinya bisa memikat banyak hati para gadis saat sedang menyamar menjadi manusia biasa. Dia yang jadi objek pujian menyunggingkan senyum pongah sambil mengangkat gelas berisi jamu yang sekarang tinggal seperempat air.
"Sha, mau coba minum ini nggak?" Dewa Asmara menyodorkan segelas jamu itu tepat ke depan mulut Misha.
"Najis, sialan! Ogah gue. Ya kali!" hardik Misha sambil mendelik tajam. Dewa Asmara terkekeh kecil, merasa terhibur tatkala ada yang tak sok jaim ketika menumpahkan caci-maki manifestasi kekesalan di depan Dewa.
Misha ingin membocorkan satu rahasia yang disembunyikan rapat-rapat oleh Dewa Asmara dari orang-orang yang dekat dengannya. Ketika stress akibat dilanda masalah, dia pasti akan menjadikan jamu yang beraroma pahit sebagai pelarian, meminum sampai merasa baikan.
Jika orang yang stress melampiaskan ke minum-minuman beralkohol dari dosis rendah ke tinggi sampai mabuk, pelarian Dewa Asmara paling berbeda di antara yang lain ketika larut dalam masalah.
"Ayolah. Gue jamin rasanya enak." Dewa Asmara tetap bersikukuh untuk memintanya agar bersedia mencoba. Astaga, mengapa Dewa yang satu ini terus beleter, padahal Misha sudah menolak mentah-mentah?
"Maaf, Tuan. Saya tidak perlu, Anda yang lebih membutuhkannya." Misha mendorong lembut gelas jamu yang dijulurkan kepadanya. Begini-begini juga, gadis itu masih punya attitude terhadap orang yang jauh lebih tua darinya.
"Ish, menyebalkan." Dewa Asmara bergumam dan kembali meneguk jamunya sedikit demi sedikit. Misha memutar kedua bola matanya malas.
Dewa Asmara tersedak air jamunya di tengah-tengah obrolan karena ucapan yang terlontar dari bibir Misha yang tak dapat diprediksi dan tak pernah disaring, terlalu to the point.
"Cepat jelasin. Kenapa lo manggil gue, sih? Lo ngerasa galau cinta pertama lo nggak berjalan sempurna, ya?" tuding Misha tanpa tedeng aling-aling, dia sama sekali tak menghiraukan wajah Dewa Asmara yang memerah karena terbatuk-batuk cukup lama.
"Jahat banget lo, masa nggak cepat tanggap ambilkan air putih gitu buat gue minum kek," kata Dewa Asmara yang kini misuh-misuh karena ulah Misha yang saat ini tertawa penuh kemenangan.
Biarkan Misha bercerita sekilas, jadi Dewa Asmara yang diagung-agungkan tengah jatuh hati beberapa waktu lalu kepada seorang gadis yang kira-kira selisih umurnya hanya setahun di bawahnya, ditaksir sekitar lima belas tahunan.
"Bukan karena gue galau," sanggah Dewa Asmara yang kelabakan. Peluh sebesar biji jagung itu mengalir di sekitar pelipisnya. Misha berkacak pinggang, mendecih.
"Dewa, nggak usah ditutup-tutupi kali. Lo itu nggak pandai berbohong, tau nggak?" Fase sejenis cinta pada pandangan pertama dan ya, bertepuk sebelah tangan karena gadis itu telah dimiliki orang lain. Ironis sekali, pikir Misha.
Dewa Asmara menggebrak meja kerja yang terletak di hadapan singgasana. "Sudah gue bilang bukan! Lo tuh ya nggak sabaran. Gue mau ngasih lo tugas baru buat lo, Sha!"
"Oh, fernyata begitu, Dewa? Maaf, karena saya udah berburuk sangka terhadap Anda," ungkap Misha dengan pura-pura terlihat syok, telapak tangannya menempel di daerah wajah manisnya membuat Dewa Asmara jengah bukan main.
"Mengejek, nih? Lo nggak percaya gue?" Misha memejamkan mata, bukan Dewa namanya kalau tak tahu arti gestur tubuh dan pesan tersirat dari Ratu Gombal Sejagat Raya.
"Apa? Siapa yang berani-beraninya nggak percaya Anda, ya, Dewa? Anda membuat saya sedih sekali karena dituduh yang enggak-enggak." Misha sengaja menjatuhkan diri ke lantai pualam rumah Dewa Asmara, gadis itu benar-benar menghayati perannya dalam berakting.
"Lo yang berani nggak percaya gue. Jangan playing victim, elo mau berhadapan sama Hakim Agung yang gue bayar dari Kerajaan Cinta karena bikin gue emosi?"
Hakim Agung katanya? Oh, tidak-tidak. Misha merespon dengan pelototan, mendadak langsung bangun dari lantai yang mengilap terang. Gadis yang genap berumur enam belas tahun itu menatap horor Dewa Asmara yang mengancam akan membawanya ke ranah hukum.
"Lo apa-apaan, sih? Jangan dibawa serius, gue cuman bercanda doang." Dewa Asmara hanya mendengkus tak peduli akan ocehan Misha, dia beralih ke berkas-berkas menggunung yang diberikan sekretaris sehari yang lalu.
"Hah, maafin gue manggil lo tiba-tiba begini, deh. Ini gue punya tugas yang syaratnya harus elo yang ngerjain, yaitu cari arti cinta." Misha menghela napas lega. Akhirnya Dewa yang satu ini sadar diri atas kesa—eh, apa yang dia bilang tadi?
Tugas wajib mencari arti cinta? Misha mengorek kotoran yang hinggap di kupingnya. Serius dirinya betul-betul tidak salah mendengar, 'kan? No way! Dewa gila ini ingin menyuruhnya yang notabene adalah jomblo sejati untuk pacaran, begitu?
"Dewa, lo nggak habis salah makan, kan?" tanya Misha menatap lelaki berparas rupawan itu dengan sorot mata skeptis, "jangan-jangan jamu yang lo minum itu mengandung racun atau sianida?"
"Enggak, kalo gue habis minum racun. Berarti gue nggak bakalan santai gini ngobrol bareng elo." Misha menganga lebar, sedangkan Dewa Asmara sudah menduga reaksinya akan seperti ini jadinya.
"Gue nggak nyuruh lo pacaran, kok. Tapi gue cuman minta elo buat nyari jawaban dari arti cinta." Sebenarnya ini bukanlah kemauan Dewa Asmara, melainkan perintah dari sang atasan, Dewa Semesta yang jabatannya tentu paling tinggi lain dari yang lain.
Suka tidak suka, Dewa Asmara memang harus menyampaikan secara langsung. Misha merupakan kandidat yang memenuhi kriteria cupid senior menurut atasannya dan itu tak bisa diganggu gugat.
"Maafin gue, Mis, tapi mau gimana lagi? Tugas lo kali ini waktunya tiga bulan dari sekarang buat mencari arti cinta yang sesungguhnya." Misha melontarkan berbagai sumpah serapah yang diterima lapang dada oleh Dewa Asmara yang mengakui keotoriteran dalam menyulitkan hidupnya.
"Arti cinta sesungguhnya lo bilang? Konyol, gue mau protes ke Dewa Semesta!"
"Gila lo parah, jangan lakukan kalo lo masih mau pulang dalam keadaan hidup-hidup!"
Misha mengentak-entakkan kakinya, merasa tak adil karena memperoleh tugas lancut yang menguji kesabarannya. Dari sini, gadis manis itu jelas tak menyangka bahwa ini adalah awal mula dari semua peristiwa yang akan segera menimpa ke depannya.
Tibalah dirinya di kamar menghadap cermin dengan bantuan sihir Dewa Asmara sembari merapikan rambut yang cukup berantakan akibat tiupan angin."Nah, udah. Lanjutkan bualan lo yang barusan."Misha cekikikan saat Dewa Asmara mengembuskan napas kasar seakan menahan gemas.Yeah,siapa suruh membuat cewek itubad moodparah?"Nggak mau tau, lo harus menyamar biar nggak ketahuan sama dia! Ikutin Nata yang bakal ngedate sama Karin, oke?"Misha langsung mendengkus, menguatkan diri agar tidak bunuh diri karena telanjur depresot. Lagian kan, yang harusnya mati adalah Dewa Asmara, bukan dirinya!"Nyamar gimana, hah? Masa sih, gue harus nutupin kecantikan gue yang udah ada sejak lahir?!"Tanpa sadar Dewa Asmara melengo
Misha balik mengerjap, masih agak ragu.Namun jauh dari lubuk hati, Misha sudah tidak sabar untuk melempar wajah sok Dewa Asmara memakai bubuk berisi Kapulaga yang sudah dihaluskan, namanya ajang balas dendam sampai mata cowok burik tersebut perih dan memerah! Baru Misha sedikit puas. Ya, baru sedikit saja, hahaha!"Thank you,La. Lo yang terbaik deh, hehe." Misha cengengesan membuat Shilla mengembuskan napas sekilas. Baguslah, cewek berwajah tegas itu berhasil mengembalikan senyum di iras ayunya."Sha, lo pasti udah tau kapan harus berhenti, 'kan?" Sepertinya ada satu hal yang aneh? Kenapa Shilla berkata dengan nada yang menyimpan makna tersirat seakan tahu sesuatu? Ataukah ini hanya perasaan Misha saja?"Maksud lo apa,
"Hah?"Sialan. Mengapa Dewa Asmara tidak langsung bergerak cepat? Misha menghela napas panjang, mengumpul sisa-sisa kesabaran yang lesap ditelan oleh inti bumi."Lo nggak apa-apa, Sha?" Karin yang merasa khawatir mengguncang tubuh Misha berulang kali membuat cewek itu terkesiap, lamunannya membuyar."Oh, iya-iya." Misha asal mengangguk-anggukkan kepala demi tak menatap mata Karin yang mengerling cemas melihat kondisi teman barunya. Akh, andai cewek itu langsung enyah dari pandangan ketiganya pasti langsung menggemparkan satu sekolah.Ctak.Suara jentikan jari yang paling Misha sesali karena setelah itu, gadis itu tiba-tiba terlempar, menghantam lantai yang dingin. Seharusnya Dewa Asmara kalau menggunakan kekuatan sihirnya kira-kira, dong, tempatnya!
"Shilla, kok, punya teman cakep kayak gini? Kenapa nggak bilang?" Sorotan mata sejuta makna itu menjurus tepat membuat tubuh Misha dilanda syok berkesinambungan.Sekarang apa yang harus dilakukan? Mata Misha berpendar gelisah, binar yang semula muncul ketika bercakap dengan Shilla seketika meredup. Dia menatap gadis itu dengan senyuman ramah, tetapi semua tindakannya itu adalah sesuatu yang semu. Bukankah sudah waktunya kabur?Namun, kedua kaki Misha seolah-olah membeku—tak bisa digerakkan sama sekali. Pikiran pun seketika menjadi kosong. Dirinya tak tahu bagaimana cara menjaga ekspresi terkejut sebab melupa sejenak, teralihkan dengan kehadiran Karin yang berkeliaran di sekitar Misha dan Shilla kini."Iya, gue belum sempat ngenalin dia sama lo karena akhir-akhir ini jadwal lo pasti padat banget." Shilla berucap sambil menggaruk pipi dengan bibir mengeluarkan kekehan pelan. Karin manggut-manggut dengan mata yang tak lepas menatap wajah Misha yang sudah para
"Papa, Mama. Acha udah dapet kabar burung dari mantan teman sekolah lamaku, kalo 'dia' udah kembali. Apa ini adalah kabar bagus?" tanyanya. Marsha dan Rey tersentak, mematung kaget saat mendengarnya membuat kepala Misha dipenuhi tanda tanya besar. Sebenarnya siapa 'dia' yang sang kakak maksud?"Kamu serius? Dari kapan?" Mengapa Marsha menunjukkan air muka yang penuh kelegaan seperti itu? Argh, lagi-lagi ada saja yang membuat cewek itu merasa penasaran, tetapi karena ini sepertinya pembicaraan sensitif jadi dirinya akan berusaha bungkam."Berdasarkan informasi temenku, dia sedang tinggal di daerah ibu kota. Dan memilih mengontrak di sebuah kost-kostan murah sejak tiga tahun lalu." Misha semakin tidak mengerti pada alur pembahasan yang entah akan dibawa ke arah mana, intinya yang pasti sekarang dirinya merasa lapar. Tangannya sudah gatal mengambil beberapa kudapan yang terletak di atas meja, semua itu terlihat amat menggugah selera."Kenapa baru tau sekarang?" Ach
Mengapa semuanya pada lari? Misha bertanya-tanya dalam batin saat ikut memutuskan berlari bersama yang lain menyamakan langkah manusia-manusia macam orang kesurupan saja. "Grace, sebenarnya ada apa?""Gue nggak tau juga. Jangan tanyain ke gue!" Grace balas berteriak seraya membelah kerumunan orang-orang dengan menarik tangan Misha yang sepertinya kelelahan karena terus-menerus berlari tanpa henti. Cewek manis itu menengok ke arah belakang yang rupanya menampakkan sebilah pisau yang siap memotong lehernya menjadi dua bagian. Astaga, harusnya Dewa Kematian tetap di zona nyaman yaitu kuburan atau pemakaman!"G-gue kenal orang ini! Lepasin elah!" Cewek yang berdandan seperti tante-tante girang itu melotot seolah tidak percaya ketika Misha menepis tangan yang saling bertautan dari tadi. Huft, beruntung dirinya bisa segera lepas.Misha mengalihkan atensi yang kini sepenuhnya menatap Dewa Kematian yang tengah menyeringai kepadanya. Kenapa, sih, dewa yang satu ini hobi