"Gimana gue bisa nilai ini penting atau enggak, kalau artinya aja gue enggak tau," gerutu Luna yang diangguki Maya.
"Lah, kalian enggak tau kalau ini sandi?" tanya Galih menaikkan sebelah alisnya.
"Enggak, gue enggak paham soal sandi-sandi gitu," jawab Maya jujur.
"Gue nemu kertas ini tuh di cermin kamar mandi. Oke, sekarang gue jelasin ya. Ini namanya sandi merah putih, gue mulai dari kertas pertama," ucap Bella mengambil kertas sebelah kanan, kemudian meletakkannya semakin ke tangah.
"AP - AU - MP - EP - MP - EU - MP - AU - MT - MP - AT - MI - MP - AT - EU - HP - RI - MP - AT."
"MT - HP - RI - MP - RT - MP - RU - MP - AT - AP - MP - AT - MT - HP - MI - AU - AT - HI - MP - RI - MP - AT - AT - HH - EP - HP - EU - AU - HI - MH - ET - MH - MP - RI - EP - AU - MP - AI - MP."
"MP - MT - MH - AI - MP - ET - MH - HI - HI - MP - MI - AU - MP - MT - MH - EP - HP - AT - RP - AU."
"RU - AU - AT - EU - EU - MP - AP - AU - EP - MP - RH - MP - RU - AI - AU - AT - MP - RI - RI - HP - RT - EP - MH - ET - MP - AT."
"AP - MP - RI - MP - RU - AT - HH - MP - RT - HP - AT - EU - MP - ET - AU - RI - AP - MP - RI - AU - MI - HP - RI - EU - HP - ET - MP - AT - EU - MP - AT - AT - HH - MP."
"Gue langsung bacain artinya aja ya, daripada kalian kalian pusing dan akan makan banyak waktu kalau diartikan satu-persatu." Bella menatap sahabatnya serius, lalu beralih pada kertas merah itu.
"Dia bagaikan pangeran. Keramahan dan kepintarannya begitu luar biasa. Aku salut, tapi aku benci. Hingga di bawah sinar rembulan, darahnya mengalir dari pergelangan tangannya," ujar Bella membaca isi kertasnya.
Melihat semua sahabatnya terdiam, Bella melanjutkan pada kertas kedua.
"AI - AU - RT - MI - MP - AT - AI - HP - RT - MH - MP - MT - HP - AT - MP - AT - EU - MP - AT - HI - HP - AT - HI - MP - AT - EU - AT - HH - MP."
"MT - MP - RI - HP - AT - MP - AP - AU - MP - AI - MH - AP - MP - RU - HI - AU - MP - AP - MP."
"MP - MT - MH - MP - MT - MP - AT - RT - HP - AT - RP - MP - RI - AU - MT - MP - AT - HI - HP - RT - MP - AT."
"Simpan semua kenangan tentangnya, karena dia sudah tiada, aku akan mencarikan teman," lanjut Bella.
"Gue merinding," celetuk Luna memeluk lengan Bella erat. Jika tau artinya seperti ini, dia tidak akan mau mendengarkan. Lebih baik dia menjadi anak bodoh yang tidak paham tentang sandi, daripada membaca hal mengerikan seperti ini.
"Kalau dilihat dari artinya, ini benar-benar mengarah ke Alvin. Dia pintar dan ramah, dia juga tipe laki-laki idaman. Fiks sih ini kalau Alvin bukan bunuh diri," ucap Maya serius. "Terus maksudnya mencari teman itu apa?"
"Sepertinya teman untuk Alvin. Guys, apa mungkin ini pembunuhan dan akan ada korban selanjutnya?" Bella menatap kedua kertas itu bergantian. Tulisannya sangat rapi, membuat dia sulit menebak siapa yang menulis ini. Meskipun dia tidak mengetahui gaya tulisan satu-persatu mahasiswa di kampus ini, tetapi untuk serapi ini rasanya mustahil.
"Gue juga ngerasa gitu, tetapi lebih baik kita pura-pura enggak tau aja," sahut Galih menghela napas pelan.
Mendengar ucapan Galih, membuat Bella langsung menoleh dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Gue enggak setuju kalau kita harus pura-pura enggak tau. Ini penting dan gue pengen cari tau pelakunya. Bagaimana pun juga, Alvin butuh keadilan kalau memang benar dibunuh," tegas Bella dengan tangan yang terkepal erat. Dia dan Alvin sudah banyak menghabiskan waktu bersama. Entah itu belajar bersama atau sekedar jalan-jalan. Lalu sekarang, Alvin meninggal karena dibunuh dan dia diam saja? Oh no!
"Bel, lo jangan gila! Gimana kalau pembunuhnya itu seorang psyco? Akhirnya bukan cuma Alvin aja yang meninggal, tetapi kita juga!" sungut Maya menatap Bella tidak suka.
"Kalau kalian enggak mau, gue sendiri aja. Karena kalau dibiarin, akan semakin banyak korban yang berjatuhan. Gimana kalau pihak kampus dan keluarga menutup kasus ini? Dilihat dari luka Alvin tadi, mereka pasti berpikir kalau Alvin bunuh diri," ujar Bella panjang lebar.
"Lo serius? Ini bukan masalah sepele, ibaratnya main petak umpet sama seorang pembunuh. Bel, lo ... yakin mau nyari pelakunya?" tanya Davin ragu.
Bella menghela napas panjang, kemudian mengangguk mantap. Tidak ada keraguan sama sekali di matanya, karena dia sudah bertekad di dalam hati.
"Gue enggak akan ngebiarin lo sendirian, jadi gue ikut," ucap Davin tersenyum manis. Terdengar nekat memang, tetapi dia tidak bisa membiarkan seorang gadis menerjang bahaya sendiri. Lagi pula mereka bersahabat dan arti sahabat yang sesungguhnya adalah saling membantu serta selalu ada di saat susah maupun senang.
"Gue suka berpikir," sahut Galih tersenyum tipis.
Maya dan Luna saling pandang dan menghela napas, tidak lama kemudian keduanya kompak mengangguk mantap. Sejujurnya mereka takut, tentang bahaya apa yang sudah menanti di depan sana. Namun, membiarkan Bella mencari seorang diri juga bukan pilihan yang baik.
Sudut bibir Bella terangkat membentuk senyuman, hingga semakin lama semakin lebar. "Terima kasih, karena kalian sudah mau membantu gue."
"Kita sahabat," ujar mereka kompak.
**
Di sebuah kamar yang bernuansa elegan dengan warna gold, terdapat seorang gadis yang sedang duduk melamun di atas ranjang. Dia adalah Bella, gadis yang tadi siang sudah membuat sebuah keputusan besar. Sekarang, pikirannya melayang ke sana ke mari. Hatinya menjadi bimbang dan perasaannya tidak enak. Dia merasa ragu untuk menyelidiki kasus Alvin, tetapi dia juga merasa seperti memegang sebuah tanggung jawab.
"Sebenarnya, siapa yang nulis ini?" tanya Bella pada dirinya sendiri seraya menatap kedua kertas yang berada di tangannya. Jika hanya kertas ini yang menjadi bukti, lalu bagaimana cara dia menemukan sang pelaku yang sudah membunuh Alvin?
Tok! Tok!
"Masuk!" titah Bella bergegas menyimpan kertas tersebut ke dalam laci nakas yang berada di samping tempat tidurnya.
"Sayang," panggil Dion - Papa Bella.
"Iya," jawab Bella tersenyum manis, seolah dia baik-baik saja.
Papa Dion mendudukkan diri di samping Bella, tangannya terulur menggenggam tangan Putri bungsunya dengan lembut.
"Papa dengar, di kampus kamu ada mayat. Apa benar?" tanya Papa Dion lembut.
Bella menunduk sebentar, kemudian kembali menatap wajah tampan Papanya. "Benar, Pa. Dia Alvin, laki-laki yang akhir-akhir ini dekat sama Bella."
"Papa tau kamu pasti sedih, tetapi kamu harus ingat, jangan sampai kesedihan itu membuat nilai dan prestasi kamu menurun," ujar Papa Dion menatap manik mata Bella dalam.
"Enggak akan, Pa. Semuanya akan tetap sama seperti dulu dan kemarin, mendapatkan nilai yang sempurna," jawab Bella tersenyum meyakinkan. Bagaimana mungkin menomor duakan sebuah nilai? Dia memang sedih, kehilangan dan tidak rela, tetapi nilai tetap nomor satu.
Papa Dion tersenyum lebar, kemudian mengelus rambut Bella lembut. Anak bungsunya memang tidak pernah mengecewakan, selalu menurut dan dapat diandalkan.
"Apa kamu mau pindah kampus? Papa yakin, semua yang ada di sana akan merasa takut," ujar Papa Dion.
Dengan cepat Bella menggeleng, jika dia pindah lalu bagaimana dengan kasus Alvin?
"Kenapa? Papa bisa mengurusnya dari sekarang, kalau kamu mau ke luar negeri juga enggak masalah." Papa Dion berusaha membujuk Bella supaya mau pindah kampus. Namanya juga orang tua, pasti ada rasa khawatir dan tidak tenang jika tempat sekolah anaknya terdapat mayat.
"Enggak usah, Pa. Sayang sama uangnya, lebih baik ditabung aja. Bella enggak papa kok, sudah terlanjur nyaman juga sama kampusnya," tolak Bella halus.
"Papa khawatir," ucap Papa Dion pelan.
"Benar apa kata Papa kamu, Sayang. Kami khawatir, jadi lebih baik kamu pindah aja ya?" tanya Dea - Mama Bella yang sudah berada di ambang pintu. Perlahan kalinya melangkah, mendekati anak dan suaminya.
Bella terdiam dengan mata yang memandang Mama dan Papanya bergantian. Dia tahu, sekeras apa pun mereka dalam mendidiknya untuk menjadi nomor satu, pasti ada perasaan khawatir dan cemas sebagai mana orang tua pada umumnya. Namun, dia juga tidak bisa pindah begitu saja. Selain biaya yang sudah dikeluarkan lumayan banyak, suasana kampus dan sahabatnya juga membuat dia berat untuk pergi.
"Maaf, Ma, Pa, Bella enggak bisa pindah," ucap Bella menunduk, merasa bersalah karena tidak bisa menuruti keinginan kedua orang tuanya.
Setelah mengambil sebuah keputusan besar untuk memecahkan kasus Alvin, sangat tidak mungkin untuk dia pindah dan lepas tangan. Apalagi sekarang para sahabatnya sudah menyetujui rencananya. Akan sangat tidak etis, jika dia mundur tanpa aba-aba.
"Tadi sudah ada mayat loh, Sayang. Apa kamu enggak takut, mama khawatir kalau itu bukan bunuh diri," terang Mama Dea mendudukkan diri di sebelah kiri Bella.
Bella mengambil sebelah tangan Mama dan Papanya, kemudian menggenggamnya lembut. "Pa, Ma, Bella enggak papa. Masalah tadi benar-benar bunuh diri, lagi pula banyak sahabat Bella yang siap menjaga Bella selama di kampus. Jadi, enggak perlu khawatir lagi. Kalian harus jaga kesehatan, jangan banyak pikiran."
"Yasudah kalau itu keputusan kamu, kami hanya bisa mendukung. Jaga diri dan kalau ada yang aneh, jangan takut untuk bilang sama kami ya, Sayang" pesan Mama Dea mencium kening Bella penuh sayang, kemudian berjalan keluar kamar dan diikuti oleh Papa Dion.
"Iya, Ma," jawab Bella tersenyum manis.
Setelah kepergian kedua orang tuanya, Bella bergegas mengunci pintunya. Huft! Dia merasa lega sekarang, karena tidak disuruh untuk pindah kampus lagi.
Dia membuka laci nakasnya, melihat kertas tersebut kemudian kembali menutupnya. Merasa matanya sudah tidak bisa diajak kompromi, Bella memutuskan untuk memasuki alam mimpi. Namun yang terjadi adalah, kata-kata kertas tadi membayangi pikirannya. Dia mencoba memejamkan mata, berharap langsung terjun bebas ke alam mimpi. Lagi dan lagi kata-kata di kertas itu terbayang di pikirannya.
Merasa kesal, Bella bangkit dan bersandar pada kepala ranjang. Dilihatnya jam dinding yang menggantung, menunjukkan pukul 9 malam membuat dia menghela napas panjang. Padahal besok dia ada kelas pagi, tetapi sekarang belum tidur.
Tangannya terulur mengambil handphone yang berada di atas nakas. Setelah beberapa detik mengotak-atik, dia mengangkatnya sejajar dengan wajah. Tidak perlu menunggu lama, wajah kedua sahabatnya sudah muncul di layar handphonenya.
"Gue enggak bisa tidur, kalian gimana?" tanya Bella kepada Maya dan Luna.
"Gue juga enggak bisa, makanya sekarang gue alihin dengan nonton film," jawab Luna menunjukkan laptopnya yang menayangkan film komedi.
"Enggak tau kenapa, gue kepikiran sama kertas itu. Setiap nutup mata, pasti terbayang," tutur Bella lesu. Padahal dia sudah sangat mengantuk, tetapi tidak kunjung tertidur.
"Bel, gue takut. Apa keputusan kita sudah benar?" tanya Maya dengan wajah seriusnya.
"Iya, lo tau sendiri 'kan, kalau gue ini penakut. Gimana kalau nanti dia neror gue?" tanya Luna panik, bahkan dia sampai menggigit guling yang berada di pelukannya.
"Guys, tenang! Gue rasa, pilihan kita sudah tepat. Kita enggak mungkin diam aja 'kan, saat orang terdekat kita dibunuh? Berdo'a aja, semoga kedepannya kita diberi kemudahan," kata Bella tersenyum lembut. Bohong jika dia tidak merasa takut, karena sesungguhnya dia sangat-sangat takut. Namun, jika dia mengungkapkannya, bagaimana dengan kedua sahabatnya? Siapa yang akan menenangkan dan memberi keyakinan?
"Apa kertas itu bisa dipercaya?" tanya Luna ragu.
"Gue ngga pernah nyangka bakal ngalamin hal kayak gini," celetuk Bella memecah keheningan di antara dirinya dan Davin. Saat ini mereka berdua berada di halaman belakang rumah Bella. Duduk berdua di atas rumput dengan memandang ribuan bintang yang menghiasi langit malam.Tadinya, Davin merasa sangat khawatir kepada Bella. Mengingat wajah gadis itu yang berubah pucat setelah keluar dari rumah nomor dua puluh itu. Hatinya sedikit lega saat melihat wajah Sahabatnya yang jauh lebih baik.Namun, hal itu tidak mengurungkan niat Davin yang akan mengajak Bella mencari ketenangan. Terlebih dia sendiri sudah membawa gitar."Semuanya emang ngga bisa diprediksi," sahut Davin menunduk, menata kedua tangannya yang saling memilin. "Bohong kalau semua ini ga bikin gue takut. Orang gila yang sedang kita cari itu bisa ada di mana aja. Karena nyatanya, kita ngga punya petunjuk penting yang mengarah ke ciri fisik dia."Bella memutar duduknya hingga menghadap ke arah Davin. "Maafin gue. Setelah kejadian t
Hal yang mereka lihat kali ini bukan lagi sebuah foto, melainkan seorang mayat yang digantung dalam keadaan terbalik. Tentu, siapa yang tidak akan terkejut dan takut saat melihat pemandangan itu begitu membuka pintu?Yuda, orang pertama yang bisa menetralkan degup jantungnya mencoba melangkah pelan agar lebih masuk ke ruangan itu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, tidak ada apa pun di sana selain mayat itu dan berbagai macam senjata tajam.Tunggu, senjata tajam? Jantung Yuda yang tadinya sudah berdetak normal kini kembali berdetak kencang, bahkan jauh lebih kencang daripada tadi.Jadi, rumah ini sudah sering dipakai untuk mengeksekusi seseorang. Entah musuhnya atau bagaimana, Yuda tidak bisa berpikir jernih.Perlahan kakinya melangkah mundur lalu berbalik sambil mendorong Galih yang menghalangi pintu. Kemudian dia menutup pintunya."Ke ruangan lain aja," ucap Yuda pelan.Dia menggeleng lalu melangkah mendahului yang lain. Entah dosa apa yang dia perbuat sampai bisa berakhir di
"Kenapa kalian bisa di sini?" tanya seseorang itu lagi. Galih adalah orang pertama yang menoleh, diikuti yang lain tetapi dengan mata yang tertutup rapat. Tanpa sadar Galih menelan salivanya kasar saat melihat sosok di depannya. Seorang pria tua dengan rambut gimbal gondrong dan baju lusuh yang sudah sobek-sobek. Kakinya pun tidak memakai alas, sangat kotor. Mirip seperti orang gila. "Hei!" sentak pria tua. Matanya melotot, membuat kelima remaja yang menutup mata di depannya terkejut. Sedangkan Galih menggigit pipi bagian dalamnya untuk tidak mengumpat. "Anu ... ehem, kami nyari rumah, Kek," jawab Yuda gugup. "Rumah siapa?" tanya pria tua dengan wajah seramnya. "Kalau dilihat dari pakaian kalian, sepertinya kalian bukan orang sini. Apalagi tempat ini jarang dikunjungi orang, meskipun di sini ada saudara atau rumah dulu mereka tinggal." Bella yang tadinya takut kini melangkah lebih ke depan. Merasa ada yang aneh dengan kalimat yang dilontarkan
"Gery, lo ngapain di sini?" tanya Davin sesaat setelah Gery selesai bernyanyi dan semua orang pergi, menyisakan dirinya bersama sahabatnya serta Gery.Gery meletakkan gitarnya di atas kursi yang tadi dia duduki. Melangkah mendekati keenam remaja yang menatapnya dengan berbagai tatapan. Senyum ramah dia lemparkan untuk menyapa."Aku udah biasa main ke sini sejak kecil. Kayak yang kalian lihat tadi, aku ngehibur pengunjung taman dengan bernyanyi," jawab Gery dengan nada lembut seperti biasanya.Mendengar jawaban Gery, mata Maya, Galih dan Davin tidak bisa untuk tidak memicing curiga."Emangnya rumah lo di sekitar sini?" tanya Bella setelah tersadar dari kekagumannya. Matanya menjelajah ke sekitar taman yang sangat berbeda dengan taman bermain lainnya.Masih dengan senyum ramahnya, Gery menggeleng. "Enggak. Rumah aku satu komplek sama Maya."
"Jebakan atau bukan, yang penting besok kita ke sana," putus Maya tegas."Mending sekarang kita makan," celetuk Davin yang memang sudah merasa sangat lapar. Tatapannya beralih kepada Bella yang terlihat melamun. "Bel, lo mau mandi dulu apa makan?"Sedangkan yang diberi pertanyaan tetap diam dengan pikiran yang ke mana-mana. Jangankan menjawab, Bella saja tidak mendengarkan apa yang dibicarakan sahabat-sahabatnya.Luna yang berada di samping Bella pun menggoyang lengannya pelan. "Bel!"Bella tersadar dan menatap linglung sekitarnya. Setelah beberapa detik, dia menormalkan ekspresinya saat merasa banyak pasang mata yang menatap dirinya bingung."Lo kenapa? Ada yang lo pikirin? Apa orang itu bukan cuma nyuruh kita ke taman, tapi juga ngancem elo?" tanya Maya khawatir. Galih tersebut miring samar melihat itu. Kemudian melenggang pergi, kembali ke meja makan. Me
Di tengah ramainya taman bermain, terdapat anak perempuan berusia enam tahun sedang menangis dengan mata yang mengedar ke seluruh taman. Dia terpisah dari kakaknya.Tadinya, dia terlalu antusias melihat badut-badut yang sedang dikelilingi anak seumurannya. Hingga tanpa sadar telah melepaskan tautan tangannya dengan sang kakak.Air matanya semakin mengalir deras. Teriakannya yang memanggil-manggil kakaknya tidak mampu menumbuhkan rasa iba orang-orang yang berlalu lalang. Semuanya hanya menoleh tanpa bertanya apalagi membantu."Jangan nangis, ada aku di sini. Semuanya baik-baik aja." Secara tiba-tiba tangan mungilnya digenggam oleh anak laki-laki seumurannya.Tangis yang awalnya kencang perlahan berhenti, terganti dengan senyum lebar penuh kelegaan dan kebahagiaan. Apalagi saat matanya menangkap keberadaan dua anak kecil yang berdiri di samping anak yang menggenggam tangannya.