Share

6. Jatuh Dari Rooftop

Baik Bella maupun Maya, sama-sama terdiam setelah mendapat pertanyaan dari Luna. Mereka berperang dengan hati dan pikirannya sendiri, mencoba meyakinkan diri tentang kertas tersebut. Di satu sisi, mereka tidak yakin karena bisa saja ada orang iseng yang menulis itu. Namun di sisi lain, bisa jadi Alvin memang bukan bunuh diri. Apalagi dengan ditutupnya kasus tersebut, membuat mereka merasa ada yang janggal sekaligus tertantang.

Ya, tadi sekitar jam lima sore, pihak kampus memberi informasi bahwa Alvin dinyatakan bunuh diri karena tidak ada bukti selain sayatan di pergelangan tangan. Pihak polisi pun tidak bisa melakukan penyelidikan lebih dalam, karena pihak keluarga dan kampus menutup kasus ini.

"Benar atau tidaknya kertas itu, yang penting kita sudah memiliki niat baik. Besok, kita harus memberi tau dan meminta izin ke Pak Wiyo. Bagaimana pun juga, kita masih mahasiswi dan enggak ada yang tau kedepannya akan gimana," ucap Bella panjang lebar.

Meskipun masih terselip sedikit rasa ragu, Luna tetap mengangguk setuju.

"Yaudah, sekarang kalian tidur. Ini sudah malam, tuh sudah jam 11," ujar Maya memutar kameranya ke arah jam dinding. Tidak terasa mereka sudah menghabiskan waktu beberapa jam dalam membicarakan ketakutan dan keraguannya.

"Good night, Girls," ujar mereka kompak sebelum memutuskan sambungan video callnya.

**

"Kalian yakin, mau bilang hal ini ke pak Wiyo?" tanya Davin memastikan.

Saat ini mereka berlima sedang berada di depan ruangan pak Wiyo. Mereka sengaja datang lebih pagi hanya untuk membicarakan hal ini, sebelum kelas pertama di mulai. Namun, bukannya langsung mengetuk pintu dan membicarakan sesuai apa yang direncanakan, mereka justru saling berdebat karena ragu.

"Kalau gue sih yakin. Karena kita juga enggak tau kedepannya akan gimana, jadi setidaknya harus ada satu dosen yang tau keputusan kita," ungkap Bella mencengkeram buku yang berada di tangannya. Entah kenapa, sejak memasuki area kampus perasaannya menjadi tidak enak. Mungkin karena kejadian kemarin, batinnya mencoba berpikir positif.

"Gue ikut Bella," celetuk Galih bersandar pada dinding dengan kaki kanan yang ditekuk.

"Mau enggak mau gue tetap ikut, karena ucapan Bella ada benarnya juga," kata Davin setelah bergulat dengan pikirannya.

Senyum Bella mengembang, dengan cepat dia membalikkan badannya dan mulai mengetuk pintu kayu di depannya. Tidak membutuhkan waktu lama, sudah ada sahutan dari dalam ruangan yang menyuruh mereka masuk. Setelah menghela napas panjang, Bella memutar knop dan memasuki ruangan diikuti oleh keempat sahabatnya.

Galih yang masuknya terakhir, kembali menutup pintunya rapat supaya tidak ada yang mengintip atau menguping pembicaraan mereka. Setelah memastikan bahwa benar-benar aman, dia berjalan dan berdiri di samping Davin.

"Ada apa, Nak?" tanya Pak Wiyo bingung, karena tidak biasanya mereka mendatangi ruangannya secara ramai seperti ini.

Mereka saling pandang, kemudian mengangguk pelan. Bella membuka tas selempangnya untuk mengambil kertas kemarin dan meletakkannya di meja.

"Kemarin, saya dan sahabat saya menemukan kertas itu, Pak. Di situ tertulis sebuah puisi tentang Alvin," ujar Bella saat melihat raut wajah Pak Wiyo yang kebingungan.

"Apa?!" Saking kagetnya, Pak Wiyo spontan berdiri dengan suara yang meninggi.

"Maaf, maaf," ujar Pak Wiyo kembali duduk. Dia menatap kelima muridnya dengan serius, meminta penjelasan tentang apa yang disampaikan Bella tadi.

"Saya dan sahabat saya menduga kalau Alvin bukan bunuh diri, tetapi dibunuh, Pak. Jadi kami memutuskan untuk menelusuri kasus ini," papar Davin.

"Kalian yakin? Jika memang benar dibunuh, kecil kemungkinan untuk kalian tidak mengalami masalah. Bahkan nyawa kalian bisa menjadi taruhannya. Lebih baik kalian pura-pura tidak tahu, itu akan lebih aman, Nak," jelas Pak Wiyo mencoba memberi pengertian. Jelas dia tidak mau, jika anak didiknya mengalami masalah berat, apalagi sampai kehilangan nyawa.

Bella menggeleng cepat, tidak setuju dengan ucapan Pak Wiyo. Dia dan sahabatnya sudah meyakinkan diri untuk menyelidiki kasus Alvin. Bagaimana mungkin dia pura-pura tidak tahu, saat kertas aneh itu berada di tangannya?

"Maaf, Pak, kami tidak bisa berpura-pura tidak tahu. Meskipun belum jelas, tetapi kami sudah memiliki tekad dan niat baik untuk Alvin," tolak Bella halus.

"Tujuan kami ke sini hanya ingin memberi tahu, Pak. Kami ingin Bapak menjadi pemegang kunci cadangan dan biarkan hal ini menjadi rahasia kita," kata Galih datar. Jika bukan karena tidak mau berdebat dan bertele-tele, dia tidak akan mau berbicara panjang seperti ini.

Pak Wiyo memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, berusaha menenangkan diri setelah mendapat serangan mendadak. Mimpi apa dia semalam, hingga pagi-pagi seperti ini sudah mendapat kabar buruk. Ya, kabar tentang dugaan kematian Alvin dan keputusan muridnya untuk menerjang bahaya.

"Baik, bapak ijinkan, tetapi dengan satu syarat," celetuk Pak Wiyo setelah beberapa menit terdiam.

"Apa syaratnya, Pak?" tanya mereka kompak.

"Kalian harus hati-hati dan tidak boleh ada yang terluka, entah itu fisik maupun psikis. Informasi apa pun yang kalian dapat, wajib lapor ke bapak. Bagaimana, deal?" tanya Pak Wiyo mengulurkan tangannya.

Mereka saling pandang, tidak lama kemudian senyumnya mengembang, kecuali Galih yang hanya tersenyum kecil. "Deal," ujarnya serempak kemudian mencium tangan Pak Wiyo bergantian.

Bruk!

"Aaaaa!"

Mereka yang berada di ruangan Pak Wiyo tersentak kaget, saat mendengar suara sesuatu jatuh dan disambut teriakan keras.

Tanpa mengucapkan apa pun, Pak Wiyo langsung berlari keluar ruangan diikuti Bella dan sahabatnya. Di sela larinya, satu pertanyaan muncul di kepala mereka. Tentang apa yang sebenarnya terjadi, karena teriakan tadi berasal dari lapangan. Suara teriakan saling bersahutan dengan tangis histeris, hingga mereka yang jaraknya lumayan jauh bisa mendengar.

Sesampainya di lapangan, mereka langsung mencari celah untuk memasuki kerumunan. Meskipun telinga mereka terasa akan pecah, badan terhimpit dan terdorong sana-sini, tetapi mereka tidak menyerah hingga akhirnya sampai di barisan depan.

"Aaaa!" teriak Bella, Maya dan Luna kompak menutup mata. Sedangkan Galih dan Davin terdiam mematung, dengan mata melotot kaget.

Dengan napas memburu dan jantung yang masih berdebar kencang, mereka bertiga membuka matanya perlahan.

"I - ni Bi - ma bu - kan?" tanya Bella terbata-bata. Kakinya terasa lemas, seluruh aliran darahnya terasa berhenti dengan jantung yang akan lepas dari tempatnya.

Luna menutup mulut dan hidungnya karena bau darah yang menyengat, membuat perutnya bergejolak.

Di depan mereka terdapat mayat Bima - mahasiswa ekonomi yang merupakan teman sekelas Alvin dalam keadaan berlumur darah, bahkan sampai menggenang di lantai lapangan.

"Bel!" seru Davin memeluk punggung Bella dari belakang, saat gadis cantik itu hampir terhuyung.

"Lo enggak papa?" tanya Galih saat melihat wajah Bella yang begitu pucat.

Bella menggeleng pelan, kemudian mengambil napas dan mengembuskannya perlahan. Setelah merasa lebih baik, dia kembali berdiri tegak. Semua ini  sangat-sangat mengejutkan, membuat dia hampir kehilangan kesadaran. Dia ingin menangis keras, tetapi air matanya tidak bisa keluar. Bima adalah laki-laki humoris yang dua hari lalu menyatakan cinta padanya. Namun, karena tidak memiliki perasaan yang lebih dari sekedar teman, dia menolaknya. Apa mungkin Bima sakit hati hingga melakukan ini?

"Dia jatuh dari rooftop," ujar Galih menatap rooftop dan mayat Bima bergantian.

"Bel, apa dia sakit hati karena lo enggak nerima cintanya?" tanya Maya serius.

"Gue juga enggak tau," sahut Bella menggeleng pelan. Jika memang benar, maka dia akan terus dihantui rasa bersalah yang begitu besar.

"Minggir, minggir! Petugas rumah sakit dan polisi sudah datang!" teriak salah satu dosen memberi jalan untuk ambulance membawa jenazah Bima. Sedangkan para polisi meneliti sekitar dan mulai memberi batas.

Saat akan diangkat, tangan Bima tidak sengaja menjatuhkan sesuatu. Bella yang memang berada di depan bergegas mengambil dan memasukkannya ke tas selempangnya, sebelum ada yang melihat.

"Bel." Bisikan seseorang yang memanggil namanya dari arah belakang membuat bulu kuduknya berdiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status