Share

4. Sandi Merah Putih

Di taman belakang, terdapat seorang laki-laki yang sedang membaca buku di bawah pohon mangga. Dia adalah Galih, mahasiswa yang menyukai tempat sepi dan juga buku. Setelah melihat mayat Alvin tadi, dia langsung melangkah ke sini. Bohong jika dia tidak merasa kehilangan, karena semua yang berada di kampus ini sudah dia anggap saudaranya. Dia hanya bisa berharap, semoga Alvin tenang di alam sana dan semoga seberat apa pun masalah yang akan menimpanya, dia tidak sampai melakukan hal seperti itu.

Merasa sudah tidak fokus lagi, dia menutup bukunya pelan dan bersandar pada pohon yang berada di belakangnya. Pandangannya mengarah pada bunga-bunga yang tumbuh subur. Namun, yang menjadi fokusnya bukanlah bunga tersebut, melainkan kertas yang terikat di tangkainya.

"Iseng banget, kasihan bunganya jadi sesak," gumamnya seraya membereskan bukunya, kemudian melangkah mendekati kertas tersebut. Dia berniat melepaskan tali yang mengikatnya.

"Kalau gini 'kan enak." Galih tersenyum tipis, saat berhasil melepas tali yang mengikat batang tersebut. Namun, dia cukup penasaran dengan kertasnya, hingga memutuskan untuk membuka lipatannya.

Galih bergegas memasukkan kertas tersebut ke kantong bajunya. Dia harus memberitahukan hal ini kepada Davin - sahabatnya.

Di sepanjang koridor, dia mencoba untuk bersikap seperti biasa. Hingga akhirnya dia sampai di depan ruang musik, tempat di mana Davin sering mengisi waktu kosongnya dengan bermain alat musik.

"Vin," panggil Galih membuka pintu dan berjalan mendekati Davin yang sedang bermain gitar di sofa.

Davin menoleh, senyumnya mengembang saat tahu siapa yang datang. "Ada apa, Bro?"

"Gue ke sini karena mau ngasih tau lo sesuatu," jawab Galih mendudukkan diri di samping Davin.

Perlahan Davin menurunkan gitarnya, menyandarkannya pada dinding.

"Sesuatu apa?" tanya Davin.

Galih merogoh saku bajunya, mencari kertas yang tadi dia temukan di taman belakang. Kemudian menyodorkannya ke hadapan Davin.

"Apa ini?" Davin menaikkan sebelah alisnya bingung. Dia menatap Galih dan kertas yang berwarna merah itu bergantian.

"Lo enggak lagi nyatain cinta ke gue 'kan?" tanya Davin seraya menggeser duduknya menjauhi Galih. Dia menatap Galih ngeri, takut jika tiba-tiba diterkam. Meskipun sampai sekarang dia tidak memiliki pacar, tetapi dia masih normal. Apalagi Galih adalah sahabatnya, bagaimana mungkin?

"Bodoh!" Tanpa perasaan Galih meninju lengan atas Davin keras. Padahal sahabatnya ini pintar dalam segala bidang, tetapi kenapa dalam hal seperti ini nol besar?

"Baca! Biar pikiran lo enggak dangkal lagi," ujar Galih datar.

Masih dengan ringisan kecil karena lengannya yang dipukul tiba-tiba, Davin menerima kertas tersebut dan membukanya. Seketika rasa sakitnya hilang begitu saja, tergantikan rasa terkejut yang luar biasa. Setelah membaca hingga akhir, dia menatap Galih serius.

"Lo dapat ini dari mana?" tanya Davin kembali melipat kertasnya.

"Di taman belakang," jawab Galih jujur.

"Ayo ke sana! Mungkin ada kertas lagi, karena gue rasa ada kalimat lain sebelum ini," ungkap Davin bangkit dari duduknya.

**

"Maksud lo?" tanya Luna menggeser duduknya lebih dekat ke arah Bella.

Bukannya menjawab, Bella justru meneguk minumannya yang sisa setengah hingga tandas. Sungguh, keadaan jantungnya sekarang sudah tidak stabil.

"Bel, jawab dong! Apa maksud lo?" tanya Luna menggoyang pelan tangan kiri Bella.

"Lun, May, sepertinya dugaan kalian tadi benar. Kalau Alvin ... bukan bunuh diri," ujar Bella menatap kedua sahabatnya serius.

"Apa?" Luna berteriak kaget, membuat beberapa mahasiswa yang berada tidak jauh darinya menoleh.

"Kecilkan suara lo! Ini nih yang enggak gue suka dari lo, selalu heboh," ujar Maya mendengkus kesal. Meskipun baru bersama selama satu tahun lebih, tetapi dia sudah begitu paham dengan karakter kedua sahabatnya.

"He he maaf, gue kaget," ujar Luna cengengesan seraya mengangkat jari telunjuk dan tengahnya, hingga membentuk huruf v.

"Plis, suaranya jangan keras-keras! Ini penting, gue enggak mau ada yang mendengar pembicaraan kita. Tulisan di kertas ini, menggunakan sandi merah putih," kata Bella pelan.

"Pantas saja gue sama Maya enggak bisa baca, ternyata sandi," gumam Luna mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Isinya gimana, Bel?" tanya Maya penasaran. Dia jadi ingin tahu, siapa yang sudah membuat surat itu sampai harus menggunakan sandi. Untung saja Bella paham dengan sandi-sandi, jadinya tahu apa isi kertas itu. Coba kalau tidak, mungkin sekarang mereka plonga-plongo seperti orang bodoh.

"Gue kasih taunya di taman belakang aja ya? Di sini terlalu ramai, gue takut." Tanpa menunggu persetujuan kedua sahabatnya, Bella langsung menarik pelan tangan kedua sahabatnya.

Tanpa mempedulikan tatapan aneh dari mahasiswa-mahasiswi yang dilewatinya, Bella tetap menarik tangan kedua sahabatnya. Dia tidak sabar untuk sampai di taman belakang dan memberitahu isi kertas itu kepada mereka. Bella merasa bersyukur, karena dia lah yang menemukan kertas ini. Entah bagaimana jadinya jika orang lain yang menemukannya. Mungkin sekarang kampus ini sudah gempar dan bergosip sana-sini.

"Bel, gue bisa jalan sendiri." Luna meringis malu.

"Siapa juga yang mau gendong lo," celetuk Maya melirik Luna melalui ekor matanya.

"Diam!" titah Bella menoleh ke arah sahabatnya. Karena tidak memperhatikan jalan, dia menabrak seseorang hingga hampir jatuh tersungkur jika tidak dipegangi oleh sahabatnya.

Sedangkan dua orang yang ditabrak Bella jatuh terduduk, karena tadi mereka sama-sama tidak memperhatikan jalan. Hingga tidak bisa menyeimbangkan badannya.

"Aduh, ma-" ucapan Bella terhenti saat melihat sebuah kertas merah yang terasa familiar di samping laki-laki berbaju hitam yang dia tabrak.

Dengan cepat Bella mengambil kertas tersebut dan memasukkannya ke saku, bersama kertas miliknya.

"Loh, Davin, Galih," ujar Bella kaget saat dua laki-laki yang dia tabrak sudah berdiri tegak. Ternyata yang dia tabrak adalah sahabatnya sendiri.

"Hai, Bel. Lo mau kemana?" tanya Davin ramah.

"Gue mau ke taman belakang, maaf ya udah buat kalian jatuh," jawab Bella dengan raut wajah yang merasa bersalah.

Davin terkekeh kecil. "Kayak sama siapa aja lo. Lagian gue enggak papa kok, cuma jatuh aja. Oh iya, lo mau ke taman belakang 'kan? Bareng aja yuk, gue juga mau ke sana."

Enggak papa gigi lo ompong! Jatuh kok cuma, pantat gue sakit tau, batin Galih kesal.

"Ayok, sekalian ada yang mau gue omongin ke kalian," sahut Bella tersenyum tipis. Sekarang pikirannya sangat kacau, bahkan jantungnya berdegup kencang. Bayang-bayang mayat Alvin tadi kembali terngiang, ditambah dengan isi kertas yang berhasil membuatnya takut.

"Bel," tegur Maya menyenggol lengan Bella pelan. Dia merasa tidak seharusnya mengajak Davin dan Galih saat mereka ingin membahas kertas yang berisi sandi-sandi tadi.

"Enggak papa, ayok!" Bella melangkah mendahului para sahabatnya.

Maya hanya bisa menghela napas pasrah. Lagi pula dia yakin, kalau Bella tidak akan melakukan sesuatu tanpa alasan.

Diam-diam di dalam hati mereka tersenyum senang, karena sudah lama tidak berkumpul bersama seperti ini. Jika para perempuan ada waktu, maka yang laki-laki ada kegiatan lain, begitu pula sebaliknya.

Sesampainya di taman belakang, mereka langsung menghampiri Bella yang duduk bersila di rumput dengan mata terpejam. Mereka mulai mengambil duduk seperti Bella, hingga membentuk sebuah lingkaran.

"Bel," panggil Maya pelan.

Bella membuka mata dan menatap mereka serius. Tangannya terulur, meletakkan kertas yang berada di genggamannya di tengah-tengah mereka.

"Dav, Gal, kalian nemuin kertas ini di mana?" tanya Bella menunjuk kertas berwarna merah yang berada di sebelah kiri.

Galih dan Davin saling pandang, seolah berbicara melalui tatapan. Tentang bagaimana caranya kertas itu bisa sampai di tangan Bella.

"Tadi gue nemuin kertas ini di samping Davin waktu jatuh," ucap Bella seakan tahu apa yang berada di pikiran kedua laki-laki itu.

Luna dan Maya saling senggol siku, merasa bingung dengan apa yang terjadi. Apalagi setelah melihat kedua kertas yang memiliki warna dan tulisan serupa. Satu kertas saja sudah membuat mereka pusing karena tidak paham tentang sandi, apalagi dua.

"Gue nemu di tangkai bunga itu," jawab Galih akhirnya jujur seraya menunjuk jajaran bunga, tempat dia mengambil kertas tadi.

Bella mengikuti arah tunjuk Galih, kemudian kembali menatap sahabatnya.

"Menurut kalian, apa ini penting?" tanya Davin. "Kenapa lo juga punya kertas itu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status