Share

1. Anak kecil di tengah sawah

POV Lidia 

Desa Manau, dua puluh lima tahun kemudian 

*

*

*

Pov Lidia

"Bugdetnya kebanyakan,Bang," kata Rasyid.

Pemuda itu memperlihatkan catatan Anggaran acara penyuluhan Pertanian yang akan diadakan besok lusa kepada Joseph.

Sebagai ketua dan wakil kelompok mereka kompak banget tetap bersemangat mengerjakan proker sampai tengah malam. Sebenarnya aku sudah ngantuk berat, namun sebagai sekretaris aku harus menunjukan dedikasi ikut rakor terbatas ini, Rani sebagai bendahara sepertinya senasib denganku, dari tadi kulihat dia sudah menguap beberapa kali sampai mengeluarkan air mata. Gina dan Sarah yang menemani kami bahkan sudah tertidur lelap diatas tikar pandan. Mereka menemani aku dan Rani karena di desa ini posko perempuan dan laki-laki terpisah berjarak 200 meter, melalui pematang sawah dan jembatan di sungai kecil. 

Malam ini hari ke tiga kami di desa ini. Kami masih buta dengan keadaan desa ini. Ketika kami datang, Datuk kepala desa sudah mempersiapkan rumah untuk posko, posko laki-laki di pinggir jalan utama desa dengan suasana yang lumayan ramai, sedangkan posko perempuan masuk ke dalam melewati persawahan, di sana ada 3 rumah, satu rumah kosong di belakang posko kami, dan sebelahnya rumah cukup besar di huni seorang janda bernama nyai Rudiah dengan ketiga putrinya yang masih SMP dan SD.

Posko perempuan diwanti-wanti sama nyai Rudiah (nyai panggilan untuk nenek yang di hormati) di larang keras untuk dimasuki laki-laki.

"Lidia, coba catat biaya konsumsinya." Joseph memberi perintah

"Hah? O ... iya Bang. Nggg apa tadi Bang?"

"Biaya konsumsi."

"Oh ...."

Aku malas sebenarnya, mataku sudah tidak bisa diajak kompromi.

Tok...tok...tok....

Tiba-Tiba pintu diketuk dengan keras, membuat mataku dan Rani yang sudah mengantuk kembali terjaga. 

"Dek ... Dek! Oi, Dek," panggil suara dari luar

Secepat kilat Rasyid bangkit dan membuka pintu, nampak di luar seorang pria paruh baya memakai sarung dan peci, dia kepala desa yang biasa dipanggil Datuk. Nama aslinya kami belum ada yang tahu

"O, Datuk. Ada apa tuk?" tanya Rasyid

"Oi, Dek. Kan la sayo bilang, budak betino dilarang ke siko sampe jam 9, kini ko la jam 12."

(Kan sudah saya bilang, anak perempuan dilarang ke sini sampai jam 9, sekarang sudah jam 12.)

"O, maaf, Datuk. Kami ada rapat sampai lupa waktu. Mereka sekarang mau pulang ke poskonya kok," kata Joseph menimpali

"Ayo Lidia, Rani, pulang sana," lanjutnya.

"Iyo, baleklah. Antar anak betino ni, hari la tengah malam," kata datuk sambil berlalu.

Rani segera membangunkan Gina dan Sarah, mereka bangun dengan malas- malas.

"Ayo, Syid, antar kami," kataku

Aku meminta Rasyid mengantar, bukan tanpa alasan aku memintanya mengantar kembali ke posko cewek, alasannya ... Ah, ada deh, aku belum berani mengungkapkan.

"Gak usah, Rasyid masih ada yg mau dibahas sama aku. Minta antar Markus sama Andre saja," potong Joseph, meruntuhkan harapanku.

Rasyid segera membangunkan Markus, Andre dan Ilham untuk mengantar kami. Dengan perawakan Markus tinggi besar dan berdarah batak setidaknya kami merasa aman, ditambah Andre yang bertampang badboy kurasa bisa nakut- nakuti pemuda nakal di kampung ini. 

Sebenarnya aku pengennya Rasyid yang mengantar, pemuda itu memiliki aura yang bisa membuatku nyaman, pertama bertemu aura ahli ibadah terpancar di wajahnya, membuatku... apa ya? Terpesona, penasaran atau apalah aku belum tahu.

Markus segera mengambil senter, begitu juga Ilham, bahkan Ilham melengkapi diri membawa sebilah belati yang disisipkan di balik jaketnya, perawakan Ilham biasa saja, tampang dan penampilan juga biasa tapi kudengar dia pintar bela diri, suatu prestise yang bisa diandalkan untuk seorang cowok. Hanya Andre yang tangan kosong, memakai celana pendek dan kaos oblong, rambut gondrong selehernya nampak acak-acakan sehabis tidur.

Kami berjalan mengikuti Markus berjejer ke belakang seperti kawanan itik. Ilham menjaga paling belakang. Sesekali Gina yang masih mengantuk hampir terjatuh, untung ada Andre di belakangnya yang sigap menangkap tangan Gina. Kami melewati jembatan setapak di sungai kecil yang kalau siang nampak jernih sekali airnya.

"Jalan hati-hati, ini pematang sawah agak licin lo, kepeleset dikit jatuh ke lumpur sawah," kata Markus ketika kami sudah melewati pematang sawah.

"Kau tu jalannya pelan-pelan Kus, aku susah ni ngejar kamu," kata Rani di belakangnya

"Jam berapa si ini, kok sepi banget." Sarah mulai sadar dan bersuara

"Gak dengar kau kata Datuk tadi sudah jam dua belas," kataku menimpali

"Tepatnya jam 12 lewat 15 menit," kata Ilham dari belakang setelah melihat jam tangannya yang disenteri

"Hii aku takut," ujar Gina

"Tenang saja, Cantik. Ada Bang Markus di sini," seloroh markus yang di ikuti koor dari semua

"Huuù ...."

Kami kompak menyahutnya di ikuti gelak tawa

"Cie ... Markus mulai merayu Gina," sahut Sarah

"Lagak kau Kus, Markus," timpal Andre

Tak terasa kami sudah ada seratusan langkah menyusuri pematang sawah

"Oi, ada orang oi!" kata Markus

Pemuda itu berhenti tiba-tiba. Otomatis kami ikut berhenti sehingga tubuh kami limbung kebelakang, untung kami masih berjarak, kalau tidak di antara kami pasti sudah ada yang jatuh ke sawah.

Nampak sekitar 50 meter di depan kami ada dua obor menyala di tengah sawah.

"Mungkin orang mencari ikan atau belut di sawah. Ayok, lanjut," kata Andre

 Kamipun melanjutkan perjalanan, baru beberapa langkah kami dikejutkan tawa renyah khas anak-anak kecil sedang bermain, nampak di depan kami dua orang anak laki-laki memakai baju khas melayu memakai ikat kepala berjongkok membelakangi kami, tertawa-tawa menusuk-nusuk sesuatu memakai ranting dan seorang anak perempuan memakai baju kurung tertawa sambil berlari menjauh dan mendekat lagi kearah anak laki-laki itu, kalau di taksir umur mereka sekitar 6 sampai 7 tahun. Pemandangan itu membuat sebagian kami takjub dan membatin tak masuk akal. 

"Lagi ngapain anak-anak itu?" tanyaku lirih

 

"Sepertinya lagi mainin kepiting," jawab Andre.

cowok itu tepat di depanku, suara pelan bahkan setengah berbisik.

"Hoii!!! Anak siapa kamu malam- malam berkeliaran di tengah sawah? Emang gak dicariin bapakmu ya?"

Tiba- tiba Markus berteriak ke arah anak- anak itu.

"Markus!!"

Serempak kami menghentikan aksi Markus. 

Beberapa detik kemudian anak-anak itu terdiam. Terlihat sorot mata tak biasa dari anak perempuan yang menghadap kami, seperti kilat yang tajam mengerikan membuat bulu kuduk kami berdiri, dan kaki kami sulit di gerakkan. Tanganku bahkan sampai gemetaran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status