Share

8. Kopi panas

Penulis: Nainamira
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-17 20:51:55

Sabtu sore akhirnya proposal ini selesai, ku print satu rangkap dan kuserahkan pada Bang Joseph dan tim pelaksana untuk dikoreksi, ternyata mereka setuju dengan isinya, hanya ada beberapa hal yang harus direvisi. Jam 4 sore semua sudah selesai, sudah diprint dan dijilid. Semua proposal kumasukkan ke tas ransel dan cau, mengunjungi pak kumis baplang. Aku tidak sabaran ketemu dengannya. Kuajak Widya untuk menemani.

"Cepetan Wid, nanti keburu sore," kataku mendesak Widya yang sedang memakai sepatu.

"Udah, pakai sandal aja, lama banget. Cuma dekat ini," lanjutku gak sabaran, duh, Widya tibang deket sini aja pakek sepatu kets, bener-bener ni anak.

"Sabar dong Lid, sendalku gak ada di sini. Sebagai mahasiswa, lebih berkarisma pakai sepatu," katanya sambil mengikat tali sepatu.

"Lagian buru-buru amat kamu tu, kayaknya kangen banget sama Pak Sumarlin," katanya lagi asal bicara.

"Iya, kangen aku ama kumisnya," jawabku yang juga asal.

"Ha?? Lidia... beneran kamu? Udah error nampaknya otakmu seharian di depan komputer."

Widya dahinya sampai mengernyit gitu, hi..hi... serius amat ni anak nanggapinya

"Makanya cepat!" Aku berlalu meninggalkannya.

"Lidia... tunggu, oi!" teriak Widya sambil berlari menyusulku.

Mencari rumah pak Sumarlin ternyata gak susah, ketemu jalan utama tinggal bertanya pada ibu-ibu yang tengah berkumpul di sebuah warung, langsung ditunjukkan. Bahkan salah seorang dari mereka bersedia mengantar kami, sebagai pegawai kecamatan sepertinya Pak Sumarlin cukup terkenal di desa ini. Kami berterima kasih sekali pada ibu yang mengantarkan itu, Widya sampai memegang kedua tangan ibu itu mengucapkan terima kasihnya, keramahtamahan bentuk budaya nusantara yang masih lestari di sini, salut dan bangga rasanya.

Rumah pak Sumarlin tidak begitu jauh dari posko cowok, sekitar 300 m. Masuk ke lorong jalan tanah paling ujung. Rumahnya berbentuk rumah panggung yang cukup kokoh. Tiang-tiang penyangga rumah terbuat dari beton cor-coran. Bagian depan langsung disambut anak tangga yang juga dari cor-coran yang dilapisi keramik. Setelah menaiki tangga terdapat teras rumah dipagar keliling yang terbuat dari kayu yang diukir, dari teras suasana terasa sejuk karena beratap genteng yang terbuat dari tanah liat, tanpa plafon dan lantainya terbuat dari kayu yang disugu halus. Lantai itu nampak mengkilat dan licin, sepertinya rajin dibersihkan dan dipel.

"Assalamualaikum...," ucapku dengan suara dikeraskan sedikit.

"Walaikumsalam...."

Seorang wanita paruh baya membukakan pintu untuk kami.

"Siapa dek?" tanya suara di belakangnya

"Pak ...," sapaku secepatnya sambil mengangguk.

"Ooo, adek-adek KKN? Ayo masuk-masuk!" Pak Sumarlin melambaikan tangan menyuruh kami masuk.

Setelah masuk, kami duduk di sofa jati panjang yang empuk. Di dinding rumah tampak hiasan dinding bergambar ka'bah yang cukup besar. Di sisi dinding lainnya banyak foto-foto Pak Sumarlin dan istrinya memakai pakaian ihram, atau pakaian muslim di kota Mekkah atau Madinah. Sepertinya mereka sudah berhaji ke tanah suci.

"Oh ya, ini dengan adek siapa ya?" tanya Pak Sumarlin membuka pembicaraan.

"Saya Lidia pak, ini teman saya Widya," jawabku memperkenalkan diri

"Wah kalian seperti anak kembar, Widya, Lidya. Apa kembar beneran?" katanya sambil menunjuk kami satu-satu.

"Oh, nggak pak__"

"Kami kembar, tapi tak sama pak, lain emak lain bapak." Widya memotong perkataanku dengan wajah cengengesan.

"Ha ... ha ... kalian ni, macam di sinetron ucok baba, sama siapa itu? Anjasmara dak?"

"Bukan Pak, Primus, Primus Yustisio bukan Anjasmara," kata Widya menanggapi gurauan Pak kumis baplang itu

"Ah ... iya ... iya. Primus yo ...."

Bersamaan itu, istri Pak Sumarlin datang membawa nampan berisi makanan ringan, dua gelas air mineral kemasan dan secangkir kopi panas yang asapnya masih mengepul, aromanya semerbak menggoda selera.

Dua gelas air mineral itu dihidangkan ke hadapan kami, secangkir kopi panas untuk suaminya.

Eladalah ... kami sebagai tamu cuma dikasih air putih doang, minimal teh manis panas kek, itu tuan rumah malah nyeruput kopi, terus terang aku penggemar kopi instan, biasanya sih untuk menemani belajar malam, karena biasanya begadang biar gak ngantuk.

"Ayo, dimakan pisang gorengnya, ada bakwan juga," kata Pak Sumarlin menawarkan.

Kami mengangguk, tapi mataku masih menatap kopi di hadapannya.

"Hmmm ...." Pak Sumarlin berdehem, membuatku tersadar dan memalingkan muka menatapnya

"Di kampung itu kalian harus hati-hati, apabila berkunjung ke rumah orang, minta air mineral, atau air putih biasa. Kalau mau teh, yang kemasan saja seperti teh botol sosro gitu."

"Kenapa Pak?" tanyaku penasaran.

"Kita tidak tahu apa yang ditaruh orang kalau minumannya berwarna, bisa jadi minuman itu mengandung andun," jawabnya.

"Ha?apa Pak? Andun?" tanya Widya

"Andun itu sejenis racun hidup, biasanya orang yang tinggal di deretan bukit barisan biasa memelihara ini, ya seperti jin peliharaan yang turun temurun diwariskan, di daerah asal saya juga begitu," terang Pak Sumarlin

"Memangnya Pak Sumarlin asalnya dari mana pak?" tanyaku makin penasaran.

"Gak usah manggil saya Pak Sumarlin, gak enak dengarnya. Panggil Pakdo Marlin bae. Pakdo, artinya bapak mudo, ya seperti paman atau om gitulah," ujarnya

"Oo iya, Pakdo Marlin ... itu pertanyaan saya belum dijawab," kataku sambil menengadahkan tangan dan mengayunnya.

"Pakdo asalnya dari Kabupaten ini juga cuma lain kecamatan, Pakdo dari lembah Masurai, makdo kau ni yang asli sini," jawab Pakdo Marlin.

"Itu, Pakdo, orang melihara kekgitu untuk apa?" tanya Widya.

"Awalnya mungkin untuk kesaktian, atau untuk pesugihan atau untuk keamanan," kata Pakdo Marlin

"Ooo, mungkin kayak saudara sepupu mbah saya di jawa, kata mbah saya dia punya ingon-ingon, kalau ada maling di rumahnya tu maling cuma muter-muter doang. Pernah pisangnya ditebang orang mau di paling, ee yang maling itu malah ngantarkan tu pisang tempat sepupu mbah saya," cerita Widya panjang lebar, yah... aku sedikit nangkap maksud ceritanya, walau agak njelimet.

"Nah, mungkin seperti itu. Tapi yang namanya perjanjian sama jin, mereka itu akan meminta tumbal, makanya andunpun tidak bisa dikendalikan. Akhirnya mereka menyerang siapa saja." Pakdo Marlin melanjutkan ceritanya.

"Nih, kopi," katanya sambil mengangkat kopi panas itu.

"Ciri-ciri diminuman ini ada andunnya, jika kopi ini panas kalian sentuh bagian bawahnya ... alasnya, jika alasnya ternyata dingin, bahkan sedingin es, berarti minuman itu ada andunnya," terangnya sambil menyentuh alas cangkir kopi panas itu.

"Ya, amannya kalau ke rumah orang minta air putih saja kalau perlu yang kemasan. Nanti kalau disediain kopi panas atau teh kalian sentuh-sentuh bawahnya tersinggung pulak yang punya rumah," tambah Pakdo Marlin membuatku makin penasaran.

"Biasanya orang-orang yang memelihara andun itu, jika di depan rumahnya ada pohon, maka pohon itu gersang, daunnya meranggas seperti dimakan ulat atau hama. Ya tapi tidak semua sih, tapi itu tanda-tandanya," lanjutnya

kring ... kring ... kring

Tiba-tiba HP di sakuku berbunyi dan bergetar

"Sebentar ya Pakdo aku angkat telpon dulu," kataku, kuangkat disitulah, terlihat di layar nomor tidak dikenal.

"Hallo ...."

"Lidia, kamu dimana?" kata suara di seberang sana sepertinya suara Bang Joseph

"Masih di rumah Pak Sumarlin,"jawabku

"Dosen pembimbing kita datang nih, Pak Ahmad meminta proposal kegiatan kita, di mana kamu tarok?"

"Wah, saya bawa semua Bang?"

"Ya sudah cepetan ke sini, tahu sendiri kan pak Ahmad itu killer nya kayak apa?"

"Oya Bang... aku segera kesana," kataku langsung kututup telponnya.

"Pakdo, maaf nampaknya dosen kami nyariin nih."

"Emmm, ini proposal kegiatan kami, kalau ada yang perlu direvisi atau ditanyakan silahkan telpon atau SMS kami, itu nomor telponnya sudah saya cantumkan."

"Oke, nanti hari senin ke kantor kami lagi ya? Mudah-mudahan Pak Camat ada," katanya

"Oya, Pakdo, sebenarnya kan, saya penasaran pengen dengar cerita tentang rumah posko kami," kataku sambil berdiri, bersiap-siap pamit

"Aiii, kapan-kapan be, waktu masih ada. Sekarang cepatlah kamu balek ke posko, nanti dosen kamu marah pulak, kan?"

Pakdo Marlin mengantar kami keteras, di sana Widya sudah duduk sambil memasang sepatunya.

"Janji yo Pakdo, cerita ya...," tagihku

"Gampang la tu, sering be kamu main-main ke sini," jawabnya.

Kami berpamitan menyalami kedua suami istri itu, duh ... seret ni tenggorokan, ya ampun air mineral yang disajikan tadi belum sempat aku minum.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Misteri Cinta di Lokasi KKNΒ Β Β 79. Samawa selamanya

    POV Bayu Arya"Kenapa ngelihatin aku kekgitu? Awas ... aku mau mandi!" teriaknya galak sambil mendorong tubuhku.Duh ... lucunya, kalau lagi malu kayak gitu toh tingkahnya, aku terus menatapnya dengan senyum menggoda. Dia hempaskan pintu kamar mandi dengan kuat. Tenang saja cantik, akan kutaklukan kegalakkanmu nanti.Selagi dia mandi aku keluar kamar, menyuruh pelayan hotel membawa minuman hangat karena yang dingin sudah ada di kulkas, serta menyuruhnya membawa penganan pempek kesukaan istriku, kuberi mereka beberapa lembar uang, aku menyuruhnya mencari di restoran yang terkenal menyediakan makanan tersebut, juga membeli sate madura kesukaanku, dan beberapa makanan ringan. Sesampainya di kamar, kulihat istriku itu sudah selesai mandi, dia masih memakai piyama mandi warna putih, duduk di tepi ranjang sambil memainkan handphonenya. "Darimana?" tanyanya"Pesan makanan. Nanti kalau pesanan datang, terima ya? aku mau mandi," kataku melangkah ke kamar mandi"Aku gak mau, pelayannya cowok

  • Misteri Cinta di Lokasi KKNΒ Β Β 78. Resepsi pernikahan

    Pov BayuSetelah akad nikah, aku kembali lagi ke hotel, sesuai perjanjian kami, kami tidak akan bermalam pertama jika resepsi belum di gelar.Kenapa aku menyetujui perjanjian konyol yang di ajukan Lidia itu. Ah, sekarang aku yang tersiksa sendiri kan? Wajah cantiknya di akad nikah tadi yang seperti bidadari turun dari kayangan sekarang jadi terbayang-bayang. Apa coba yang akan aku lakukan seharian besok Sabtu? Coba kalau ... jiah, aku benar-benar harus bersabar sekarang.Aku melangkah ke lobby hotel bintang lima di kota ini, menuju resepsionis. Aku pesan kamar presiden suit, sekarang aku tinggal di kamar VVIP. Kupesan agar kamar itu dihiasi dan didekorasi untuk bulan madu. "Untuk minggu Malam, ya!" kataku pada petugas hotel"Baik, pak," jawab petugas hotel ituAku kembali ke kamar dan rebahan, kucek status facebookku di grub relawan yang pernah aku ikuti, ternyata sudah ramai sekali. Ada yang mendoakan pernikahanku, bahkan sebagian mereka akan segera meluncur ke kota ini. Kubalas sa

  • Misteri Cinta di Lokasi KKNΒ Β Β 77. Akad nikah

    Pov LidiaPersiapan pesta pernikahan tinggal dua puluh persen, undangan sudah tersebar. Mas Bayu tidak mengundang temannya sama sekali, katanya hanya akan mengabari di grup facebook. Akad nikah akan diadakan hari Jum'at selepas salat Jum'at dan resepsinya hari minggu, sudah menjadi kebiasaan di sini resepsi diadakan hari minggu, mengingat hari libur, bagi yang kerja kantoran bisa menghadiri pesta.Selama persiapan pesta Mas Bayu tinggal di hotel, Mamak bilang pamali bertemu mempelai wanita sebelum hari H. Aku dan dia hanya bisa ngobrol via telpon, rasanya kangen banget tiga hari gak ketemu sama dia. Sebelum tidur, dia pasti selalu menghubungiku dulu. "Sayang, sedang apa?" tanyanya di seberang telpon.Aku masih belum terbiasa dengan panggilannya, rasanya ada yang menggelitik di hati ini, Sayang? Ow, uwu ...."Emm, baru mau tidur Mas," kataku malu-malu meong."Oya, tadi kata Pakdo Marlin Bibi Rudiyah sudah pulang dari Rumah sakit, keadaannya juga sudah membaik, InsyaAllah besok dia ke

  • Misteri Cinta di Lokasi KKNΒ Β Β 76. Lamaran

    Aku tak kuasa menahan tangis melihat kondisi Nyai Rudiyah yang tinggal kulit berbalut tulang. Napasnya tinggal satu, dua tersengal-sengal. Rofita, Afikah dan Aida begitu senang aku datang. Aku sempatkan membeli oleh-oleh jajanan di sebuah warung sebelum ke sini."Nyai, apa kabar? Ini Lidia ... Nyai sakit kenapa tidak ngabari?" kataku tulus sambil menggenggam tangannya."Lidia ... kenapa datang jauh-jauh? terima kasih sudah datang menemuiku." "Nyai, kami akan membawa nyai ke Rumah sakit. Mau ya, nyai dirawat di rumah sakit?" "Ah, tidak usah repot-repot Lidia. Sepertinya kau membawa teman, siapa dia?" kata Nyai Rudiah sambil menoleh ke arah Mas Bayu yang dari tadi berdiri di depan pintu kamar.Aku melambai ke arahnya, Mas Bayu mendekat ke arah kami."Bibi ... Bibi harus segera sembuh," kata lelaki itu mendekat ke arah Nyai Rudiyah.Wanita tua itu tercekat, dia sangat terkejut melihat siapa yang datang. Matanya melotot, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya gemetaran. Mas Bayu mer

  • Misteri Cinta di Lokasi KKNΒ Β Β 75. Menemui Pakdo Marlin

    Walau aku sudah mendengar tadi subuh obrolan mereka, namun mendengar langsung dari mulutnya membuatku sedikit berdebar. "Maukah kau menikah denganku?" tanyanya Aku hanya tersenyum simpul, jadi dia sedang melamar nih ceritanya? "Kau melamarku di mobil yang tengah melaju?" "Kenapa? Kurang romantis, ya?" "Lamarlah pada Bapakku, minta baik-baik sama dia." "Oo, itu pasti, sampai rumahmu langsung kuminta anak gadisnya," katanya tersenyum lebar. "Kalau gitu aku sekalian ngundang Pakdo Marlin sama Nyai Rudiyah," kataku "Kenapa? Mereka bisa tahu dong kalau aku masih hidup," katanya. "Sebaiknya mereka tahu, kau tidak perlu memusnahkan rumahmu, biar mereka yang melakukan. Sekalian Mas minta maaf pada nyai Rudiyah, walau bukan diri Mas yang menghabisi anak-anaknya, namun peliharaan Mas yang melakukannya, itu sama saja jadinya. Kalau Pakdo Marlin, diakan sudah tahu juga aku pernah bertemu denganmu," kataku "Ya, baiklah jika menurutmu begitu." ****Kami memasuki lorong kediaman Pakdo M

  • Misteri Cinta di Lokasi KKNΒ Β Β 74. Melamar di mobil

    Pagi ini aku bangun tidur lebih cepat, kulihat di handphone menunjukkan pukul 4 pagi. Aku segera melaksanakan salat Tahajud, kuminta Allah agar segera membebaskan lelakiku itu dari pasungan jin yang menguasainya selama ini.Aku masih terbayang bagaimana Kiyai Amran sangat kesulitan menaklukkannya, hingga Kiyai Amran kuwalahan menangkis serangan dari Mas Bayu. Ah, pria itu benar-benar sakti, dikeroyok beberapa orang saja menang. Semua orang sampai takut-takut menyerangnya. Sehingga dia dilumpuhkan pakai senapan obat bius. Ah, sudah seperti memburu harimau sungguhan.Selepas mengaji aku bergegas ke musola ingin ikut salat subuh berjamaah. Ternyata masih lima belas menit lagi Azan Subuh. Aku segera memasuki masjid yang masih lenggang belum ada jamaah putri yang datang. Aku duduk mengambil tempat paling depan. Rencana mau kusambung tilawahku sambil menanti Azan Subuh. Tiba-tiba beberapa jamaah pria datang, suara sandal dan obrolan jelas terdengar, karena tempat wanita dan pria dibatasi se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status