Share

8. Kopi panas

Sabtu sore akhirnya proposal ini selesai, ku print satu rangkap dan kuserahkan pada Bang Joseph dan tim pelaksana untuk dikoreksi, ternyata mereka setuju dengan isinya, hanya ada beberapa hal yang harus direvisi. Jam 4 sore semua sudah selesai, sudah diprint dan dijilid. Semua proposal kumasukkan ke tas ransel dan cau, mengunjungi pak kumis baplang. Aku tidak sabaran ketemu dengannya. Kuajak Widya untuk menemani.

"Cepetan Wid, nanti keburu sore," kataku mendesak Widya yang sedang memakai sepatu.

"Udah, pakai sandal aja, lama banget. Cuma dekat ini," lanjutku gak sabaran, duh, Widya tibang deket sini aja pakek sepatu kets, bener-bener ni anak.

"Sabar dong Lid, sendalku gak ada di sini. Sebagai mahasiswa, lebih berkarisma pakai sepatu," katanya sambil mengikat tali sepatu.

"Lagian buru-buru amat kamu tu, kayaknya kangen banget sama Pak Sumarlin," katanya lagi asal bicara.

"Iya, kangen aku ama kumisnya," jawabku yang juga asal.

"Ha?? Lidia... beneran kamu? Udah error nampaknya otakmu seharian di depan komputer."

Widya dahinya sampai mengernyit gitu, hi..hi... serius amat ni anak nanggapinya

"Makanya cepat!" Aku berlalu meninggalkannya.

"Lidia... tunggu, oi!" teriak Widya sambil berlari menyusulku.

Mencari rumah pak Sumarlin ternyata gak susah, ketemu jalan utama tinggal bertanya pada ibu-ibu yang tengah berkumpul di sebuah warung, langsung ditunjukkan. Bahkan salah seorang dari mereka bersedia mengantar kami, sebagai pegawai kecamatan sepertinya Pak Sumarlin cukup terkenal di desa ini. Kami berterima kasih sekali pada ibu yang mengantarkan itu, Widya sampai memegang kedua tangan ibu itu mengucapkan terima kasihnya, keramahtamahan bentuk budaya nusantara yang masih lestari di sini, salut dan bangga rasanya.

Rumah pak Sumarlin tidak begitu jauh dari posko cowok, sekitar 300 m. Masuk ke lorong jalan tanah paling ujung. Rumahnya berbentuk rumah panggung yang cukup kokoh. Tiang-tiang penyangga rumah terbuat dari beton cor-coran. Bagian depan langsung disambut anak tangga yang juga dari cor-coran yang dilapisi keramik. Setelah menaiki tangga terdapat teras rumah dipagar keliling yang terbuat dari kayu yang diukir, dari teras suasana terasa sejuk karena beratap genteng yang terbuat dari tanah liat, tanpa plafon dan lantainya terbuat dari kayu yang disugu halus. Lantai itu nampak mengkilat dan licin, sepertinya rajin dibersihkan dan dipel.

"Assalamualaikum...," ucapku dengan suara dikeraskan sedikit.

"Walaikumsalam...."

Seorang wanita paruh baya membukakan pintu untuk kami.

"Siapa dek?" tanya suara di belakangnya

"Pak ...," sapaku secepatnya sambil mengangguk.

"Ooo, adek-adek KKN? Ayo masuk-masuk!" Pak Sumarlin melambaikan tangan menyuruh kami masuk.

Setelah masuk, kami duduk di sofa jati panjang yang empuk. Di dinding rumah tampak hiasan dinding bergambar ka'bah yang cukup besar. Di sisi dinding lainnya banyak foto-foto Pak Sumarlin dan istrinya memakai pakaian ihram, atau pakaian muslim di kota Mekkah atau Madinah. Sepertinya mereka sudah berhaji ke tanah suci.

"Oh ya, ini dengan adek siapa ya?" tanya Pak Sumarlin membuka pembicaraan.

"Saya Lidia pak, ini teman saya Widya," jawabku memperkenalkan diri

"Wah kalian seperti anak kembar, Widya, Lidya. Apa kembar beneran?" katanya sambil menunjuk kami satu-satu.

"Oh, nggak pak__"

"Kami kembar, tapi tak sama pak, lain emak lain bapak." Widya memotong perkataanku dengan wajah cengengesan.

"Ha ... ha ... kalian ni, macam di sinetron ucok baba, sama siapa itu? Anjasmara dak?"

"Bukan Pak, Primus, Primus Yustisio bukan Anjasmara," kata Widya menanggapi gurauan Pak kumis baplang itu

"Ah ... iya ... iya. Primus yo ...."

Bersamaan itu, istri Pak Sumarlin datang membawa nampan berisi makanan ringan, dua gelas air mineral kemasan dan secangkir kopi panas yang asapnya masih mengepul, aromanya semerbak menggoda selera.

Dua gelas air mineral itu dihidangkan ke hadapan kami, secangkir kopi panas untuk suaminya.

Eladalah ... kami sebagai tamu cuma dikasih air putih doang, minimal teh manis panas kek, itu tuan rumah malah nyeruput kopi, terus terang aku penggemar kopi instan, biasanya sih untuk menemani belajar malam, karena biasanya begadang biar gak ngantuk.

"Ayo, dimakan pisang gorengnya, ada bakwan juga," kata Pak Sumarlin menawarkan.

Kami mengangguk, tapi mataku masih menatap kopi di hadapannya.

"Hmmm ...." Pak Sumarlin berdehem, membuatku tersadar dan memalingkan muka menatapnya

"Di kampung itu kalian harus hati-hati, apabila berkunjung ke rumah orang, minta air mineral, atau air putih biasa. Kalau mau teh, yang kemasan saja seperti teh botol sosro gitu."

"Kenapa Pak?" tanyaku penasaran.

"Kita tidak tahu apa yang ditaruh orang kalau minumannya berwarna, bisa jadi minuman itu mengandung andun," jawabnya.

"Ha?apa Pak? Andun?" tanya Widya

"Andun itu sejenis racun hidup, biasanya orang yang tinggal di deretan bukit barisan biasa memelihara ini, ya seperti jin peliharaan yang turun temurun diwariskan, di daerah asal saya juga begitu," terang Pak Sumarlin

"Memangnya Pak Sumarlin asalnya dari mana pak?" tanyaku makin penasaran.

"Gak usah manggil saya Pak Sumarlin, gak enak dengarnya. Panggil Pakdo Marlin bae. Pakdo, artinya bapak mudo, ya seperti paman atau om gitulah," ujarnya

"Oo iya, Pakdo Marlin ... itu pertanyaan saya belum dijawab," kataku sambil menengadahkan tangan dan mengayunnya.

"Pakdo asalnya dari Kabupaten ini juga cuma lain kecamatan, Pakdo dari lembah Masurai, makdo kau ni yang asli sini," jawab Pakdo Marlin.

"Itu, Pakdo, orang melihara kekgitu untuk apa?" tanya Widya.

"Awalnya mungkin untuk kesaktian, atau untuk pesugihan atau untuk keamanan," kata Pakdo Marlin

"Ooo, mungkin kayak saudara sepupu mbah saya di jawa, kata mbah saya dia punya ingon-ingon, kalau ada maling di rumahnya tu maling cuma muter-muter doang. Pernah pisangnya ditebang orang mau di paling, ee yang maling itu malah ngantarkan tu pisang tempat sepupu mbah saya," cerita Widya panjang lebar, yah... aku sedikit nangkap maksud ceritanya, walau agak njelimet.

"Nah, mungkin seperti itu. Tapi yang namanya perjanjian sama jin, mereka itu akan meminta tumbal, makanya andunpun tidak bisa dikendalikan. Akhirnya mereka menyerang siapa saja." Pakdo Marlin melanjutkan ceritanya.

"Nih, kopi," katanya sambil mengangkat kopi panas itu.

"Ciri-ciri diminuman ini ada andunnya, jika kopi ini panas kalian sentuh bagian bawahnya ... alasnya, jika alasnya ternyata dingin, bahkan sedingin es, berarti minuman itu ada andunnya," terangnya sambil menyentuh alas cangkir kopi panas itu.

"Ya, amannya kalau ke rumah orang minta air putih saja kalau perlu yang kemasan. Nanti kalau disediain kopi panas atau teh kalian sentuh-sentuh bawahnya tersinggung pulak yang punya rumah," tambah Pakdo Marlin membuatku makin penasaran.

"Biasanya orang-orang yang memelihara andun itu, jika di depan rumahnya ada pohon, maka pohon itu gersang, daunnya meranggas seperti dimakan ulat atau hama. Ya tapi tidak semua sih, tapi itu tanda-tandanya," lanjutnya

kring ... kring ... kring

Tiba-tiba HP di sakuku berbunyi dan bergetar

"Sebentar ya Pakdo aku angkat telpon dulu," kataku, kuangkat disitulah, terlihat di layar nomor tidak dikenal.

"Hallo ...."

"Lidia, kamu dimana?" kata suara di seberang sana sepertinya suara Bang Joseph

"Masih di rumah Pak Sumarlin,"jawabku

"Dosen pembimbing kita datang nih, Pak Ahmad meminta proposal kegiatan kita, di mana kamu tarok?"

"Wah, saya bawa semua Bang?"

"Ya sudah cepetan ke sini, tahu sendiri kan pak Ahmad itu killer nya kayak apa?"

"Oya Bang... aku segera kesana," kataku langsung kututup telponnya.

"Pakdo, maaf nampaknya dosen kami nyariin nih."

"Emmm, ini proposal kegiatan kami, kalau ada yang perlu direvisi atau ditanyakan silahkan telpon atau SMS kami, itu nomor telponnya sudah saya cantumkan."

"Oke, nanti hari senin ke kantor kami lagi ya? Mudah-mudahan Pak Camat ada," katanya

"Oya, Pakdo, sebenarnya kan, saya penasaran pengen dengar cerita tentang rumah posko kami," kataku sambil berdiri, bersiap-siap pamit

"Aiii, kapan-kapan be, waktu masih ada. Sekarang cepatlah kamu balek ke posko, nanti dosen kamu marah pulak, kan?"

Pakdo Marlin mengantar kami keteras, di sana Widya sudah duduk sambil memasang sepatunya.

"Janji yo Pakdo, cerita ya...," tagihku

"Gampang la tu, sering be kamu main-main ke sini," jawabnya.

Kami berpamitan menyalami kedua suami istri itu, duh ... seret ni tenggorokan, ya ampun air mineral yang disajikan tadi belum sempat aku minum.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status