Kantor kecamatan seperti sebuah bangunan perkantoran pemerintah daerah pada umumnya. Di tengahnya terdapat gerbang masuk perkantoran. Halamannya nampak gersang, bagian pinggirnya ditumbuhi pohon pinang yang buahnya sudah banyak yang masak. Di depan kantor, terdapat beberapa motor yang terpakir.
Kami di sambut salah satu pegawai yang memakai baju olah raga, sepertinya kalau hari jumat mereka memakai seragam olah raga semua, sebelum memulai tugas mereka melakukan senam SKJ dahulu. Namun ada beberapa orang memakai pakaian biasa sedang duduk di bangku panjang yang disediakan, sepertinya mereka warga mau mengurus surat menyurat seperti KTP atau kartu keluarga.
Kami menyalami para pegawai di sana, mereka menyambut kami dengan ramah. Selanjutnya kami diarahkan ke sebuah ruangan, di sana kami di sambut oleh seorang bapak, kumis tebalnya membuat bapak tersebut penuh wibawa.
"Pak Camat ada urusan di kabupaten, rumah dinasnya ada di belakang kantor ini, tapi kalau akhir pekan beliau pulang ke rumah pribadinya di kota kabupaten," kata bapak tersebut memulai percakapan.
Akhirnya urusan kami diskusikan dengan bapak tersebut, bang Joseph mempresentasikan garis program kerja KKN kami, sesekali meminta pendapat teman-temannya. Bapak tersebut menyimak obrolan kami dengan antusias, sesekali diselingi candaan membuat kami tertawa. Tiba-tiba rasanya aku pingin pipis, dan tidak bisa tertahan. Akhirnya aku permisi keluar dan mencari toilet.
Lega rasanya habis membuang air kecil, aku segera kembali keruangan tadi.
"Ngapo anak KKN tu tinggal di situ?"
Mendengar seseorang menyebut tempat tinggal anak KKN spontanitas kuhentikan langkahku, aku berusaha mengintip ke dalam ruangan asal pembicaraan tersebut. Di sana terdapat empat orang pegawai laki-laki dan tiga orang pegawai perempuan yang terlibat pembicaraan.
"Entahlah, datuk kepala desa yang menempatkannya."
"Dak ado tempat lain apo?"
"Manalah ada rumah kosong di kampung ni, cuma rumah dua itu yang kosong."
"Mano orang baru lagi, mereka tu anak muda, biasanya suka cakap baseng."
"Anak mudo biasanya lakunya sembrono pulak."
Haaa? Mereka ngomongin rumah posko kami, ada apa emangnya di rumah posko kami?
"Sedang apa?"
"Ha!"Aku terkejut, tiba-tiba di belakangku ada seorang lelaki paruh baya, wajahnya dicondongkan kearahku dengan posisi menguping.
"Bapak lagi ngapain?"
"Lah, kamu lagi ngapain?" jawab lelaki dengan kumis baplang dan rambut yang sudah ditumbuhi uban itu
"Lagi nguping apa?" lanjutnya.
"It _ itu pak ... bapak-bapak itu lagi ngomongin rumah posko kami," kataku sambil berbisik
"Oh?" katanya sambil berlalu
"Eh, ngapain masih disitu?" ujarnya sambil menoleh kearahku yang masih bertahan pengen menguping pembicaraan para pegawai tersebut.
"Ayo," ajaknya lagi
"Tap_ tapi pak__"
"Hmm, mau tahu tidak?" tanyanya dengan mata membulat
"Ha? Ya,ya!" jawabku cepat sambil mengikutinya.
Aku berharap bapak itu mau memberi tahukan, what wrong with the house? Rasa penasaran ini, butuh jawaban.
Kami berdua masuk keruangan di mana anak-anak KKN berada, aku terus membuntuti bapak tadi dan menatapnya dengan harapan bapak tadi mau menceritakan segalanya, namun nampaknya bapak tadi cuek saja, bahkan sempet-sempetnya memelintirkan kumis baplangnya.
"Nanti proposal dan rencana kegiatan kalian di urus sama pak Sumarlin," kata bapak yang diawal kami temui menunjuk bapak kumis baplang.
"Hmm, antar saja proposalnya ke rumah saya ya, rumah saya dekat kok dari posko kalian," kata pak Sumarlin tersebut sambil mengerling mata padaku.
"Jangan lupo antar ke rumah sayo, nanti di sana kita ngobrol-ngobrol yo?"
Pak Sumarlin menghadap padaku, hmmm sepertinya ini kode untuk memberitahukan apa yang pengen kutahu.
"Okeh, Pak!"
Aku tersenyum sumringah kearahnya sambil mengacungkan dua jempol di dada, girang banget seperti mendapat undian berhadiah saja, orang-orang di dalam ruangan terlihat menatap keheranan dengan reaksiku. Ah, sepertinya reaksiku terlalu berlebihan.
***
Sepulang dari kantor kecamatan aku langsung mengerjakan proposal kegiatan, biasanya kalau sudah di depan komputer aku sering lupa waktu. Aku bisa betah berjam-jam di warnet atau di rental komputer untuk mengerjakan laporan atau membuat karya ilmiah sewaktu masih di kampus. Tidak heran skripsiku sudah selesai seminar proposal, selepas KKN ini aku tinggal penelitian, seminar hasil, dan sidang skripsi, sudah itu kelar tinggal wisuda deh. Kuliah di jurusan ekonomi keuangan dan akuntansi membantuku dalam merancang anggaran acara.
"Orang salat jumat sudah turun itu, Lid. Salat zuhur dulu," tegur Widya yang sedang melepas mukena selesai salat
"Hmmm."
Aku hanya berdehem, nanggung ni nyelesaikan bab pendahuluan.
"Jam berapa sekarang?" tanyaku.
Mataku melirik tampilan jam yang ada di sudut monitor layar komputer.
"Ha? Jam 2, salat dulu, ah."
Aku bicara sendirian sambil menyimpan data ketikan, tanpa mematikan komputer.
Sehabis salat dan makan siang kulanjutkan mengetik hingga sore. Sayang komputer Gina diletakkan di posko cowok, jika di posko cewek kugarap proposal ini lembur hingga malam hari.
Sabtu sore akhirnya proposal ini selesai, ku print satu rangkap dan kuserahkan pada Bang Joseph dan tim pelaksana untuk dikoreksi, ternyata mereka setuju dengan isinya, hanya ada beberapa hal yang harus direvisi. Jam 4 sore semua sudah selesai, sudah diprint dan dijilid. Semua proposal kumasukkan ke tas ransel dan cau, mengunjungi pak kumis baplang. Aku tidak sabaran ketemu dengannya. Kuajak Widya untuk menemani."Cepetan Wid, nanti keburu sore," kataku mendesak Widya yang sedang memakai sepatu."Udah, pakai sandal aja, lama banget. Cuma dekat ini," lanjutku gak sabaran, duh, Widya tibang deket sini aja pakek sepatu kets, bener-bener ni anak."Sabar dong Lid, sendalku gak ada di sini. Sebagai mahasiswa, lebih berkarisma pakai sepatu," katanya sambil mengikat tali sepatu."Lagian buru-buru amat kamu tu, kayaknya kangen banget sama Pak Sumarlin," katanya lagi asal bicara."Iya, kangen aku ama kumisnya," jawabku yang juga asal."Ha?? Lidia... beneran kamu? Udah error nampaknya otakmu seh
Hari minggu pertama di desa ini ... welcome sunday!Rencananya hari ini aku dan teman-teman mau mengobok-obok pasar kalangan. Tapi rencana itu masih jam sepuluh nanti, sekarang masih jam tujuh pagi, waktunya nyuci baju. Eh ... tapi tunggu dulu, aku belum punya ember besar nih, ember kecil seupil gini mana bisa membawa baju kotorku yang sudah empat hari belum di-eksekusi. Ah, mending main ke kontrakan mbak Zarimah, mumpung masih pagi.Sebelum ke rumah mbak Zarimah kusempatkan ke posko cowok, di sana Rani dan Gina sedang memasak, Ilham juga nampaknya sedang mencuci ikan dan wow ... nampak Markus sedang menggiling cabe pakai gilingan batu."Kenapa gak diblender saja Kus?" tanyaku"Ah, dak enak cabe blender-nya. Enak digiling tangan aja nya," jawabnya Sesekali anak itu menyeka keringat memakai bahunya. Hmm, dasar orang medan, kalau ngomong gak ketinggalan nya ... nya ...."Emang gak panas tanganmu?" tanyaku lagi"Ya panas lah ... ae, komentar aja nya kau ni, bantuin kek?" ujarnya masih
Hari senin ini giliran aku piket. Rasanya belum hilang capekku setelah kemarin menyusuri pasar kalangan, membeli semua sembako. Ada minyak, beras, tepung, gula, kopi yah... segala macam barang. Walau rame-rame aku kebagian membawa sekerdus mie instan. Memang tidak terlalu berat, tapi kalau berjalan 1 km? ya pegel juga.Aku piket bareng mbak Zarima, Nurulia, Rasyid dan Ilham. Mbak Zarima walau sudah menikah ternyata tidak pandai memasak.Kalau di kampus, dia jarang masak, seringnya beli lauk matang atau nasi bungkus. "Mbak cuma berdua dengan dedek Zidan. Bang Ikhram kan jarang bersama kami kalau nggak weekend," katanya memulai cerita."Bahkan waktu pertama nikah dulu, aku di suruh goreng ayam tepung sama mertua, luarnya sudah gosong, dalamnya masih mentah. Serumah ada ayah mertua, kakak ipar dan adik Ipar mau muntah makan masakan aku," kata mbak Zarima, sambil mengiris-iris bawang merah."Nggak kebayang itu ayam dua kilo tekenyah* untuk makan kucing sama anjing tetangga," sambungnya s
🏚🏚🏚🏚🏚"Nih, untuk kamu," kata lelaki jangkung di depanku sambil mengulurkan kantong plastik berwarna hitam"Apa ini,Bang?" tanyaku penasaran. Sebenarnya bukan penasaran dengan isi kantong plastik itu, tetapi lebih tepatnya penasaran dengan motif dibalik pemberian ini "Ambil saja, oleh-oleh dari kota," katanya sambil meraih tanganku dan menaruh paksa kantong plastik itu."Hei, cuma Lidia saja yang dikasih?" Tiba-tiba Widya muncul dan menyambar kantong plastik di tanganku dan membukanya."Wah, buah pir, nih. Kok cuma empat buah. Bener-bener ini cuma buat Lidia doang?" lanjutnya sambil mengerucutkan bibir."Ah, aku memberi Lidia cuma sebagai tanda terima kasih karena sudah membuat proposal kegiatan dengan sangat baik, kok.""Hmm, beneran cuma itu? Bukan karena Bang Joseph suka sama Lidia kan?" kata Widya lagi masih dengan ekspresi cemberut"Ngarang kamu," kata Joseph sambil berlalu, tapi kurasa ada gurat aneh pada ekspresinya."Apa-apaan sih, Wid? Pakek ngomong gitu sama Bang Jos
"Aida ... Aida, bangun!" "Aida ... Aida!" Teriakan itu benar-benar mengejutkanku. Ini masih jam empat pagi. Aku segera membangunkan teman-temanku, sepertinya teriakan itu dari rumah nyai Rudiyah.Tanpa menunggu lama aku sudah mengetuk, tepatnya menggedor rumah nyai Rudiah. Dor ... dor ... dor ... Suara gedoran itu menggema di pagi buta. "Nyai ... nyai Rudiah!" panggilku berulang-ulang. Pintu dibuka oleh Rofita, kulihat anak itu terisak-isak sambil menghapus air matanya. Tanpa bertanya aku langsung masuk ke kamar Aida. Di sana tergeletak Aida, tatapan matanya kosong. Nyai Rudiah berada di sampingnya bersama Atikah, mereka sedang menangisi Aida. "Aida kenapa nyai?" Aku bertanya dengan suara keras, agar orang tua itu menyadari kehadiranku. Tapi dia tidak menjawab, tangisnya malah makin kencang. Tak kuhiraukan orang tua itu lagi, segera kuperiksa keadaan Aida. Astagfirullah, badannya panas banget. Kuperiksa napasnya, hmm napasnya sepertinya tidak teratur. Kuperiksa perutnya se
"Pulang dulu, yuk, salat subuh dulu, mandi, sarapan baru nanti ke sini lagi," lanjutnya setelah beberapa detik tidak ada jawaban dariku. Aku mengangguk pelan, kemudian menghampiri nyai Rudiah untuk berpamitan. "Tolong tengok Rofita dan Atikah yo, Lidia," katanya memberi pesan padaku "Iyo, Nyai tidak usah kwatir." Udara dingin menusuk tulang, tadi karena terburu-buru aku tidak sempat memakai jaket, hanya kaos oblong dan celana training panjang yang kupakai. Bang Joseph melajukan motor dengan kecepatan sedang, ingin kupeluk dirinya dari belakang untuk mengusir dingin, sambil menceritakan rasa penasaranku dengan Nyai Rudiah dan Aida, tapi kami tidak seakrab itu, rasanya sungkan melakukan hal itu. Kulipat tangan kedepan untuk mengurangi rasa dingin, kutepis pikiran untuk memeluknya, Lidia ... sudah gila kau! Sampai di posko cowok Bang Joseph menghentikan motornya, di tidak bisa mengantar langsung ke posko cewek, karena harus melalui pematang sawah, hanya orang yang ahli dan terbias
Aku berlari cepat, napasku ngos-ngosan. Aku panik, aku tahu ada yang mengejarku di belakang, tapi siapa yang mengejar tidak tahu wujusnya. Sekarang aku berada di tengah persawahan, tidak ada tempat bersembunyi, karena tanaman padi hanya setinggi lututku. Aku terus berlari di pematang sawah, kutolehkan kepala kebelakang. Di belakang sana, tanaman padi bergoyang dengan sangat kuat, mustahil angin yang menggoyangnya, karena di sekitarnya tidak ikut bergoyang, pasti ada sesuatu yang menggerakkannya. Tanpa pikir panjang aku terus berlari... berlari... sampai kutemukan tempat sembunyi, sebuah gubuk tua berdiding anyaman bambu.Aku masuk ke dalam, kuintip keadaan di luar melalui lobang yang ada di dinding. Seekor harimau putih dengan santai berjalan kearahku, napas beratnya mengeluarkan suara geraman yang membuat tengkukku merinding, aku ketakutan luar biasa. Setelah sampai di gubuk itu, harimau itu berbalik arah, namun sebelum melangkah, kepalanya menoleh ke arahku. Harimau itu tersenyu
Prangg.... Aku terkejut, rupanya nyai Rudiah menatap kami dengan wajah pias, gelas dalam genggamannya terjatuh hingga pecah. Mbak Zarima dengan sigap membersihkan pecahan gelas itu. "Ap .... ap ... Apa yang kau cakap itu Aida?" Nyai Rudiah beringsut memegangi tangan Aida. "Aida ... Aida ...." Nyai Rudiah menangis kencang. Suara tangisnya mungkin terdengar seisi puskesmas, karena Dokter Idhar dan teman-temanku datang menghampiri kami. Mereka menanyakan apa yang terjadi. "Oh ... makasih Lidia ... makasih Lidia, kau selamatkan Aida," kata Nyai Rudiah, tangisnya mulai reda. "Nyai, jam berapa Aida mulai sadar?" tanyaku "Sekitar jam 3 malam tadi," kata nyai Rudiah sambil menyeka sisa-sisa air matanya. "Lidia ... jam 3 malam itu kamu mimpi kan?" Kata Rani sambil berbisik di dekatku. Ya, itulah yang sedang aku pikirkan Rani. Aku mengangguk ke arah Rani **** Jam dua belas siang Dokter kepala mengijinkan Aida pulang. Sepertinya dia sudah pulih seperti sedia kala.Teman-teman sudah pulan