Malam yang di tunggu telah tiba, Kardun segera membangunkan istri dan anaknya sebagai syarat untuk menemui Ki Demang.Sehari sebelumnya, Kardun nekad menemui Ki Demang pada malam Jumat kliwon. Ditemani sahabatnya, Sarip.Malam itu Kardun dan Sarip berjalan sangat pelan. Sambil menengok ke sana kemari untuk melihat keadaan di sekitar mereka. Kardun dan Sarip tentu tahu, konsekuensi bila mereka terlihat oleh warga desa. "Aku hanya bisa mengantar sampai di sini saja. Aku tak bisa mengantarmu ke dalam." Sarip berbisik tatkala menarik lengan Kardun yang berjalan di depannya.Kardun mengernyitkan keningnya, "Kenapa memangnya, Rip?" tanya Kardun heran."Kau harus menemui Ki Demang sendiri. Ini perintah langsung dari beliau," jawab Sarip menegaskan. Malam begitu sunyi. Angin malam yang menusuk kian berhembus di sekitar tubuh Kardun. Kardun menggenggam erat ujung baju yang sudah lusuh dengan tangan yang bergetar. Apa ini sudah benar? Sebuah pertanyaan terus terngiang di telinga Kardun. Dia ta
Lewat tengah malam, ritual baru selesai dilakukan oleh Ki Demang. Kardun dan Suminah pamit pulang sembari menggendong Mustika yang tengah tertidur saat ritual berlangsung. Malam akan berlalu berganti fajar, Kardun dan Suminah berjalan tergesa menuju rumah mereka yang tidak begitu jauh dari rumah Ki Demang. Sesuai dengan perintah Ki Demang. Kardun dan Suminah harus melakukan ritual ini setiap malam jumat kliwon. Dengan membawa semua persyaratan yang diminta Ki Demang. Saat hari menjelang petang. Kardun terlihat mondar-mandir di teras rumahnya. Tampaknya dia tengah menunggu seseorang. Kring ... kring ... Suara bel dari sepeda tua menghampirinya dari luar pekarangan rumahnya. Rupanya itu Sarip. Kardun segera membuang lintingan tembakau yang baru saja dihisapnya. "Ke mana saja kau, Rip? Lama sekali." Tanya Kardun yang sepertinya sudah tak sabar. Sarip menepikan sepeda tuanya, dia menaiki tangga rumah panggung milik Kardun. "Sabar , Dun. Tadi aku baru mengantar istri dan anakku k
Pada suatu malam, Kardun telah merencanakan pembunuhan untuk Suminah. Kardun telah mengasah golok yang biasa dia pakai untuk menyembelih binatang peliharaannya. Saat Suminah masih tertidur pulas di kamarnya, Kardun mengendap masuk ke kamar dengan sebuah golok di tangannya. Tanpa berpikir panjang, Kardun mengambil ancang-ancang untuk menebas leher Suminah. Tapi, Suminah tiba-tiba bangun dan langsung menjerit. Kardun terkaget dan mengurungkan niatnya. Kardun menyembunyikan golok itu dibelakang tubuhnya, wajahnya berubah tegang. "Istigfar, Pak. Nyebut." Teriak Suminah yang langsung berdiri menjauh. Kardun menyeringai, seperti bukan Kardun yang biasanya. "Pak. Ini Ibu, Pak. Bapak kenapa?" ucap Suminah dengan suara bergetar. Air liur terus keluar dari mulutnya yang menganga. Kardun tak bisa mengontrol tubuhnya, seperti ada sosok yang masuk ke dalam tubuhnya dan mengendalikannya. Kardun kembali mengayunkan goloknya. Namun nahas, Suminah tak bisa menghindar lagi. Kardun berhasil mene
Saat gadis itu menoleh padaku, terlintas bayangan aneh yang mengikuti gadis itu dari belakang."Kau ... Mustika?" ucap Yanto sembari tergagap.Gadis itu mengangguk pelan. Dia menunduk seperti sedang menghindari tatapan dari semua orang.Aku terkejut. Secepat ini Bulan membawa Mustika ke hadapanku. Gangguan pada Mustika dari Bulan pasti sangat keterlaluan, pikirku."Kenapa kau kemari? Kau ingin membuat desa ini mengalami teror lagi?" teriak Yanto. Mustika hanya diam, tak satu pun kata keluar dari mulutnya.Agus dan beberapa orang langsung menghalangi Yanto agar tak membuat keributan. Begitu pula aku, aku ikut berdiri melerai walaupun aku terganggu dengan sosok di samping Mustika. Sosok nenek tua yang menyeramkan dengan rambut abu-abu yang tergerai tak beraturan. Dia memakai kebaya dan kain jarik jaman dulu. Tubuhnya membungkuk sembari memegang tongkat kayu di tangannya. "Saya tahu rumah Pak RT. Mari saya antar," ajakku pada Mustika yang terlihat sedikit ketakutan.Aku segera memberita
Siang harinya, aku dan Mbah Atmo mengunjungi Mustika di rumahnya. Rumah yang sudah sekian lama tak di tempati itu terlihat sangat kotor. Tumbuhan ilalang tumbuh tinggi melebihi tubuhku. "Assalamualaikum," ucap Mbah Atmo. "Waalaikum salaam." Terdengar seseorang telah menjawab salam Mbah Atmo dari dalam rumah. Rupanya itu Mustika, dia terlihat membuka pintu dan masih menggunakan kaos putih dan celana pendek selutut. Rambut pendeknya terlihat di kuncir seadanya. Sendal jepit berwarna kuning melekat di kakinya. "Mbah?"Teriak Mustika girang saat melihat kedatanganku dan Mbah Atmo. Mbah Atmo tersenyum, rupanya mereka benar-benar saling mengenal. "Apa kabar kamu, Mustika?" tanya Mbah Atmo. "Baik," jawab Mustika tanpa berkedip. Terlihat Mustika sangat senang bertemu Mbah Atmo, wajahnya berubah sumringah tidak seperti tadi pagi saat aku pertama kali melihatnya. "Masuk, Mbah, Aldi," ajak Mustika. Mbah Atmo kemudian masuk ke dalam diikuti Mustika dari belakang. Saat hendak mengikuti
Kegaduhan pun terjadi. Suara teriakkan dari warga terdengar bersaut-sautan. Meneriakkan pengusiran untuk Mustika."Usir dia dari kampung ini!""Ya. Usir saja. Kami tidak mau jadi tumbal pesugihannya'.""Bakar saja rumahnya!"Suara umpatan dan makian semakin terdengar jelas. Rupanya warga sudah sampai di depan rumah Mustika.Sesekali aku mengintip ke sebuah jendela yang telah ditutup gorden. "Mustika, tunggu di sini sebentar. Aku akan melihat keluar." "Cepatlah kembali, Aldi. Aku takut!" sembari masih menggenggam erat tanganku. Aku mengangguk, mengiyakan permintaan Mustika. Rupanya, para warga datang berbondong-bondong membawa balok kayu di tangan mereka dengan penuh amarah.Mbah Atmo terlihat mencoba menenangkan mereka. Tapi, warga semakin brutal. Mereka ingin memaksa masuk ke dalam.Walaupun sudah dicegah oleh Pak RT dan Mbah Atmo. Mereka tetap bersikukuh ingin mengusir Mustika. Aku memundurkan langkah, mencari tangan Mustika untuk ku genggam.Saat aku menolah, Mustika sudah tak
Hari semakin terang, cahaya matahari yang muncul perlahan menyinari sebagian ladang dan kebun milik warga di Desa Purnama.Aktivitas warga pun kembali di mulai. Seperti biasa, petani mulai menggarap sawah dan kebun mereka.Aku tak bisa tidur semalaman, memikirkan bagaimana keadaan Mustika. Bulan pun tak kunjung memberikan kabar. Apa Bulan belum menemukan Mustika? Apa yang sebenarnya terjadi pada Mustika? Pikiranku hanya bergelayut pada Mustika. Tak seperti biasanya, aku tak bisa tidak memilikirkannya walau sesaat.Aku merasa harus bertanggung jawab terhadap Mustika. Aku yang bersisikukuh untuk mengamankan desa dengan memunculkan kembali Mustika di desa ini."Ah ... kau memang bodoh, Aldi." Makian terus terucap dalam pikiranku.Tok! Tok! Tok! Suara ketukan dari balik pintu kamar, suara itu diikuti dengan suara parau dari Mbah Atmo. "Nak Aldi, sudah bangun?" "Iya, Mbah. Sudah." Aku bergegas menghampiri gagang pintu dan membukanya. Mbah Atmo juga terlihat lelah, seperti tidak tidur
"Kau yakin ini jalan yang benar?" tanyaku. Sudah hampir satu jam aku dan Nur berjalan. Tak kulihat Mustika atau pun makhluk lain yang biasanya mengikuti kami. "Tenang saja. Marni tak mungkin salah." "Sejak kapan Marni bisa mendeteksi hantu?" "Sejak malam ini." Nur terus bergumam sendiri, seperti sedang menyanyikan sebuah lagu jawa kuno. "Bahasa macam apa itu, Nur? Aneh sekali," ledekku terkekeh. Padahal saat ini aku merasakan ketakutan saat Nur tiba-tiba saja bernyanyi. "Ini untuk mengundang mereka. Agar mereka ikut membantu kita mencari jalan." Jawaban Nur sungguh membuatku terperanjat. Apa maksud dari perkataan Nur? Darimana dia tahu tentang hal seperti itu. Apa jangan-jangan dia bukan Nur? Apakah dia ... "Bulan?" Nur kemudian berbalik arah dan tersenyum menyeringai ke arahku. "Ah, kukira siapa. Kenapa kau masuk ke dalam tubuh Nur tiba-tiba? Bikin takut saja," ucapku lega. Baru kali ini aku merasa senang merasakan adanya Bulan di sampingku. Bukan aku sudah tak merasa ta