Halo, Moonlovers! Terima kasih sudah mau membaca kembali cerita Aldi dkk. Mohon bantuannya untuk selalu mengikuti cerita ini agar saya lebih bersemangat lagi untuk update setiap hari. Akan banyak lagi cerita mengenai teman-teman Aldi yang lainnya. Jangan lupa tetap ikuti ceritanya dan tulis komentarnya, ya. Untuk menjadi penyemangat dan menjadi bahan koreksi agar saya bisa lebih baik lagi. Hug!
Aku tak dapat berkata-kata. Saat ini, aku benar-benar tak tahu harus bagaimana. Salah satu hal yang kutakutkan selama ini terjadi. Aku takut peringatan dari Mbah Atmo benar-benar terjadi. Bahwa aku tak bisa berhenti dengan keinginanku sendiri. Sekali mencoba mau tak mau aku akan terus berhubungan dengan mereka."Tapi, Pak. Mohon maaf, sepertinya Bapak salah orang. Saya bukan orang yang seperti Bapak kira," jawabku. Semoga penjelasanku ini dapat dimengerti oleh Pak Yanto. Tatapan mata Pak Yanto mengisyaratkan kekecewaannya. Dia kemudian menunduk sangat dalam."Saya sudah sangat putus asa melihat keadaaan istri saya yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Saya memiliki 4 orang anak yang masih sangat kecil.""Saya tak sanggup kalau harus kehilangan istri saya," ucapnya lirih."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya tidak bisa membantu Bapak. Lebih baik, Bapak mencari orang yang lebih mengerti dengan keadaan istri Bapak." "Tapi, Nak. Kami penduduk Desa Purnama melihat langsung apa ya
Nur dengan girang segera mengambil sepeda tuanya yang terparkir di pelataran rumah.Aku juga sudah bersiap untuk mengajaknya berbelanja di warung Bu Wangsih. Saat hendak pergi, dari kejuhan aku melihat Mustika berjalan ke arah kami dengan membawa beberapa keranjang."Aldi, Nur, apakah kalian akan pergi?" "Iya. Kakak sudah baikan?" tanya NurMustika mengangguk. Dia lalu melirik ke arahku."Kau bagaimana, Aldi?""Ah. Aku baik-baik saja."Aku belum sempat berterima kasih padamu. Ini, aku bawakan sedikit makanan dan buah-buahan. Kebetulan tadi pagi aku sempat ke pasar," ucap Mustika."Kenapa repot-repot. Aku senang bisa membantumu."Aku mengambil keranjang itu, kemudin menaruhnya di atas meja di teras rumah."Oh, ya. Kalian mau pergi ke mana? Apa aku mengganggu?""Tidak, Kak. Tidak mengganggu sama sekali. Kebetulan kami akan pergi berbelanja ke warung Bu Wangsih. Kakak mau ikut?" ajak Nur ramah.Mustika kembali melirik ke arahku, sepertinya dia ingin meminta izin dariku. Tentu saja aku
Sebelum berpamitan pulang, aku merasa ada yang aneh saat melewati kamar mandi yang berada di sebelah kamar. Aura yang menyesakkan untukku kembali ku rasakan."Pak. Bolehkah saya numpang ke kamar mandi?""Boleh, Nak Aldi. Silahkan, di sebelah sini."Pak Yanto langsung menunjuk ke kamar mandi yang baru saja aku maksudkan.Aku benar-benar terkejut kali ini. Sosok yang kulihat di pangakalan ojek yang menggangggu Pak Sarip tempo hari telah berada di sini. Sosok hitam besar itu berdiri di balik pintu kamar mandi sembari melotot ke arahku yang sedikit gemetar.Taring panjang dan tanduk yang melingkar menjadi ciri khasnya. Sebenarnya makhluk apa itu?"Aduh maaf, Nak Aldi. Saya belum sempat mencuci baju jadi sangat menumpuk," ucap Pak Yanto, melihat tumpukkan baju kotor di samping bak mandi yang berserakan.Sepertinya Pak Yanto melihatku yang nampak terkejut tapi dengan maksud yang lain."Oh, tidak apa-apa, Pak. Saya tidak jadi ke kamar mandi. Kita kembali ke dalam saja, Pak."Aku bergidik, ru
Jadikan hanya aku satu-satunyaSang garwa pambage, sang pelipur laraNyanyikan 'ku kidung setia Tak! Suara nyanyian dari radio itu berhenti. Aku menghela nafas dalam. Hari ini ditemani Mbah Atmo aku akan mengunjungi kembali istri Pak Yanto, Bu Rusmini. Di malam harinya aku tidak bisa istirahat dengan baik. Hatiku masih dengan dua pilihan yang belum aku putuskan, antara membantu Pak Yanto atau memilih melupakan semuanya dan kembali ke kota. Itulah tujuan orangtuaku dan paman mengirimku kemari. Mereka ingin aku menentukan pilihanku sendiri, seperti percakapan tadi malam antara aku dan paman. "Keputusan sepenuhnya ada di tanganmu. Menerima atau melepaskan, hanya itu. Kami tak bisa terus menutupi semuanya. Karena, suatu hari nanti kamu pasti akan mengetahui kebenarannya." Ucapan Paman Suwarno itu membuatku sadar akan sesuatu. Bahwa aku memang sudah ditakdirkan untuk berhubungan dengan mereka. Ini bukan lagi soal kutukan dan ramalan. Melainkan soal keinginanku untuk membantu penduduk D
"Nana! Ke mana saja selama ini? Aldi sudah mencari Nana ke mana-mana. Kenapa menghilang begitu saja?" ucapku menahan tangis. Nana hanya tersenyum tanpa beban. Sungguh anak kecil yang lugu. "Saat di perkebunan, Nana melihat kelinci putih yang lucu lalu mengikutinya. Tanpa sadar Nana tersesat dan banyak yang mengganggu Nana," ucap Nana polos."Lalu apa yang terjadi?" Suaraku bergetar, entah mengapa pertemuanku kali ini dengan Nana membuatku sangat bahagia."Mereka ingin Nana tinggal bersama mereka. Tapi, Nana tak mau, Nana ingin selalu bersama Aldi. Nana tak mau lagi jauh dari Aldi. Nana takut Aldi berada dalam bahaya." Rengekan Nana begitu membuat hatiku sakit. Bagaimana tidak, dia pasti kesulitan saat tersesat dan mencari jalan. Tapi dia malah terus mengkhawatirkan keadaanku. "Baiklah. Aldi akan selalu bersama Nana," ucapku spontan. Baru kali ini, rasanya aku sangat dibutuhkan. Aku merasa menjadi orang yang berguna walaupun untuk Nana, anak kecil yang sudah meninggal sekalipun.
"Ayla?" ucapku spontan."Kapan Ayla tiba di sini? Kenapa tidak memberitahuku dulu?" bentakku pada Ibu di seberang telepon.Aku mendapat kabar yang membuatku sangat terkejut. Adik perempuanku Ayla akan datang. Dia adalah anak yang sangat menyebalkan bagiku.Tak seperti gadis lain. Dia punya kepribadian yang sangat buruk. Sehingga tak ada yang mau berteman dengannya."Baiklah. Atur saja. Dia tidak akan lama di sini, kan?""Tentu saja aku akan menjaganya, Ibu tenang saja.""Ya sudah, aku ada urusan. Nanti berkabar lagi. Dah, Bu."Telepon pun ku matikan segera. Kalau tidak, Ibuku akan terus mewanti-wanti tentang keberadaan Ayla di sini."Kapan Kak Ayla datang?" tanya Nur yang sedari tadi mendengrkan percakapanku dan Ibu."Akhir pekan ini. Semoga saja tidak jadi.""Eh, apa kau mengenal Ayla?" tanyaku heran."Pertanyaan bodoh macam apa itu? Tentu saja tidak.""Lalu kenapa kau menyebutnya Kak Ayla?" "Supaya nanti kita jadi lebih akrab saja. Hehe," jawab Nur.Nur belum tahu saja semenyebalka
Santana membolak-balik tudung saji beberapa kali. "Apa tidak ada makanan?" ucapnya kesal. Ririn hanya mendengus. Dia terlihat kesal pada suaminya itu. Setiap hari, Santana pergi pagi dan pulang ke rumah pada tengah malam. "Ah ... sudahlah. Percuma bicara pada orang sepertimu!" ucap Santana kesal. Dia membanting pintu dan berlalu pergi meninggalkan Ririn yang terlihat tak acuh. Malam akan berganti subuh, Santana belum kunjung kembali. Ririn menjadi khawatir, lalu dia memutuskan untuk menunggu waktu subuh dan menelepon mertuanya."Halo?" Suara lembut Ririn menyapa saat telepon sudah mulai tersambung. "Ada apa kamu telepon Bapak subuh-subuh?" jawab Karsa ketus. Karsa adalah ayah mertua Ririn dan juga seorang kepala desa di Desa Purnama. "Ah ... itu, Pak. Mas Santana semalam tidak pulang ke rumah," ucap Ririn tergagap. "Kenapa bisa? Dasar kamu tidak becus jadi istri. Mengurus suami saja kamu tidak bisa!" bentak Karsa.Belum sempat berbicara, Ririn sudah dicecar dengan makian dar
Hari-hari bahagia yang dirasakan semua wanita yang telah menikah tak pernah di rasakan Ririn. Dia hidup penuh dengan aturan dan kekangan dari pihak keluarga Santana. Ririn masih bekerja di rumah itu walau pun telah berganti status menjadi menantu. Malah kali ini lebih parah, hampir semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Ririn yang tengah hamil. Saat kandungannya memasuki usia tujuh bulan, Ririn nekat meminta Santana untuk membawanya keluar dari rumah itu. Setelah melewati berbagai pertikaian antara dirinya dan Santana, akhirnya Santana mau mengalah. Santana dan Ririn kemudian pindah ke suatu rumah kecil di desa Purnama. Berbaur dengan penduduk desa adalah hal yang diinginkan Ririn saat itu. Walaupun berat harus meninggalkan Mbok Dar di rumah itu. Demi anak yang dikandungnya Ririn memberanikan diri hidup mandiri jauh dari Mbok Dar dan kedua orangtua Santana. "Pergilah, Nak. Jangan mengkhawatirkan Ibu, Ibu akan baik-baik saja di sini. Pesan Ibu. Baik-baiklah pada suamimu dan jagala