Hari-hari bahagia yang dirasakan semua wanita yang telah menikah tak pernah di rasakan Ririn. Dia hidup penuh dengan aturan dan kekangan dari pihak keluarga Santana. Ririn masih bekerja di rumah itu walau pun telah berganti status menjadi menantu. Malah kali ini lebih parah, hampir semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Ririn yang tengah hamil. Saat kandungannya memasuki usia tujuh bulan, Ririn nekat meminta Santana untuk membawanya keluar dari rumah itu. Setelah melewati berbagai pertikaian antara dirinya dan Santana, akhirnya Santana mau mengalah. Santana dan Ririn kemudian pindah ke suatu rumah kecil di desa Purnama. Berbaur dengan penduduk desa adalah hal yang diinginkan Ririn saat itu. Walaupun berat harus meninggalkan Mbok Dar di rumah itu. Demi anak yang dikandungnya Ririn memberanikan diri hidup mandiri jauh dari Mbok Dar dan kedua orangtua Santana. "Pergilah, Nak. Jangan mengkhawatirkan Ibu, Ibu akan baik-baik saja di sini. Pesan Ibu. Baik-baiklah pada suamimu dan jagala
Tin ... tin .... Kedatangan motor tua yang berhenti di pekarangan rumah itu telah kami tunggu. Udara dingin ini hampir membuat kami membeku. Setelah sholat subuh kami mulai menyiapkan keperluan untuk menyambut kedatangan adikku-Ayla. Ayla memakai setelan anak jaman sekarang, topi bundar yang besar, serta kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya. "Dasar anak ini. Dia pikir desa ini pantai!" gumamku kesal, melihat tingkah Ayla yang berlebihan. Kali ini, kami menggunakan jasa Pak Yanto untuk menjemput Ayla dari gapura desa. Aku menghampiri Pak Yanto sesaat setelah Ayla turun dari motornya. "Kakak!" teriak Ayla girang. Aku hanya tersenyum seadanya. Dari awal aku tak suka kalau Ayla datang kemari. Muah ...! Ciuman bibir berwarna merah jambu itu mendarat di pipi kananku dengan tiba-tiba tanpa aku sempat menghindar. "Apa sih, bikin jijik saja," ucapku kesal. "Kau kasar sekali pada adikmu. Sudah lama kita tak bertemu, kan? Kau tidak kangen padaku, Kak?" tanyanya dengan nada cen
"Sini, Bibi obatin dulu lukanya," pinta Bi Sari yang tengah menyiapkan obat.Aku lantas meninggalkan Ayla dan Bi Sari di dalam kamar. Terdenggar sura jeritan dari Ayla yang kesakitan. Walau pun aku tahu lukanya pasti tak begitu sakit, tapi aku tetap merasa kasihan padanya.Setelah beberapa saat, kuputuskan untuk menemui Nur yang tenah duduk di kursi teras rumah. Wajahnya masih sangat murung."Nur. Kau di sini?" sapaku.Nur yang terus menggoyang-goyangkan kakinya tampak kesal padaku."Sebenarnya, apa yang terjadi?" Aku mencoba terus bertanya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi."Kakak tanyakan saja pada Adikmu yang menyebalkan itu!" bentak Nur padaku."Dia sengaja melakukan itu. Seharusnya Kakak ajari Adik Kakak itu sopan santun.""Kenapa kau marah padaku? Seharusnya aku yang marah padamu. Kau yang membuat Ayla terluka," ucapku tak bisa menahan emosi."Kakak tak percaya padaku? Dia yang sengaja menjatuhkan dirinya sendiri. Bukan aku!""Ternyata Ayla itu pandai sekali berbohon
Salah satu yang membuat aku tak bisa beristirahat dengan tenang adalah kebisingan yang Ayla timbulkan setiap malam.Sama halnya seperti di rumah kami. Ayla selalu menyetel musik keras setiap malam. Entah itu lagu dari barat atau k-pop yang sedang tren saat ini."Ayla. Kecilkan suaranya! Aku tidak bisa tidur."Karena musik yang di setel sangat keras, aku terpaksa berteriak untuk mengingatkan Ayla."Ayla!" bentakku lagi.Drak! Ayla membuka pintu dengan keras. Membuatku agak tersentak."Apa?" "Kau ini! Kecilkan suara musiknya. Oranglain tak bisa tidur gara-gara itu.""Kalau aku tidak mau, Kakak mau apa?" jawabnya menantang."Apa kau bilang? Cepat matikan. Kalau tidak, aku akan mematikan listriknya," ancamku.Ayla sama sekali tak terlihat takut. Dia malah terus membantah ucapanku."Matikan saja kalau berani!"Dasar anak ini. Ah, tiba-tiba saja terlintas dipikiranku memberikan pelajaran pada Ayla untuk membuatnya jera."Baiklah kalau itu maumu. Jangan berteriak atau pun meminta tolong p
"Terima kasih, kau sudah menyelamatkan para pekerja," ucap Razan. Razan memakai setelan rapi dengan kancing baju bagian atas yang sedikit terbuka. Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman denganku dan aku segera menyambutnya dengan ramah. "Bukan apa-apa. Aku hanya melakukan hal seharusnya aku lakukan. Lagi pula, berkat bantuanmu juga mereka mendengarkan perkataanku. Pemuda itu lantas tersenyum ramah. Lesung pipinya melengkung ke dalam tatkala pemuda itu melebarkan senyumnya. "Oh, ya. Siapa namamu?" tanyaku. Walaupun aku sudah tahu siapa dia. Aku tetap berpura-pura tak mengenalnya. "Namaku Razan. Kau?" tanya Razan padaku. "Namaku Mahesa Aldi Langga. Panggil saja Aldi," jawabku. Razan kembali tersenyum. "Oh, salam kenal ya, Aldi. Sepertinya kita seumuran. Hahaha ...." Aku hanya tersenyum tipis, mendengar guyonan Razan yang sama sekali tak lucu bagiku. "Ayo cepat. Pindahkan batang pohonnya agar tidak menghalangi jalan," perintah Razan pada pekerja laki-laki. "Bagaimana bisa
Mobil jeep warna putih itu berhenti di sebuah pekarangan rumah yang cukup mewah. Rumah yang dicat warna putih dengan dua lantai itu terlihat nyaman. Ditambah udara sejuk dari pohon-pohon dan tanaman hias yang tumbuh di sekitarnya."Ayo. Kita sudah sampai," ajak Razan, dia membuka pintu mobil dan memberikan isyarat untuk segera turun padaku."Apa ini rumahmu?""Ya. Maaf kalau kurang nyaman."Senyumnya melebar sembari merangkul pundakku."Cih ... sombong sekali dia. Dia bilang kurang nyaman? Padahal rumahnya adalah rumah paling besar dan mewah yang pernah aku lihat di Desa Purnama. Sungguh merendah untuk meninggi."Aku terus bergumam dalam hati, walaupun terasa kesal masuk ke rumah ini, tapi aku harus melakukannya demi Ririn.Saat memasuki rumah, kami di sambut oleh beberapa orang pekerja di rumah itu. Aku cukup kagum melihat isi rumah Razan yang sangat berbeda dengan rumah-rumah di Desa Purnama.Razan terlahir dari keluarga yang terpandang di desa ini. Ayahnya adalah seorang mantan kep
Aku berhenti di sebuah bangunan di antara kebun teh yang luas. Di sana aku melihat Bulan dan Razan tengah duduk berdua menikmati suasana sore hari. Tangan Razan merangkul pinggang Bulan dengan mesra. Sesekali Razan terlihat menatap Bulan yang tengah asyik melihat matahari terbenam. "Bagaimana bisa ada gadis secantik dirimu?" Razan berkata tanpa mengedipkan mata, pandangannya tak luput dari gadis di sampingnya. Bulan hanya tersenyum, raut wajahnya memerah. Sembari menyingkap rambut Bulan, Razan terus menatapnya dengan penuh cinta. Itu yang bisa kulihat dari mereka. Tapi, apa ini? Kenapa tiba-tiba aku melihat mereka? Seketika kesadaranku kembali. Aku terbangun dari mimpi itu. "Bagaimana menurutmu? Razan sangat mencintaiku, kan?" celoteh Bulan sumringah. "Jadi itu semua ulahmu? Kenapa menunjukkan itu padaku? Bikin kesal saja!" jawabku sedikit emosi."Kenapa kau kesal? Aku hanya ingin menunjukkan padamu betapa Razan itu sangat mencintaiku. Dia pemuda yang sangat baik dan lembut. D
Sekitar pukul sebelas siang, aku tengah bersiap untuk menemui Razan di rumahnya. Ide yang diberikan Ririn cukup bagus juga.Kali ini, aku membutuhkan bantuan Bulan lagi. Tapi, apakah Bulan akan bisa masuk ke rumah itu? Atau sama halnya seperti Ririn yang selalu dihalangi oleh sosok hitam itu?"Kau sudah siap?" tanyaku pada Bulan yang terlihat gugup. "Jaka. Aku titip Ayla dan Nana," ucapku juga pada Jaka yang tengah bermain petak umpet dengan Nana.Permainan yang sangat disukai Nana saat masih hidup atau pun sudah meninggal."Kakak tenang saja. Aku akan menjaga semua orang di rumah ini."Jaka tersenyum ramah. Dia sepertinya sangat senang berada di sini. Dia bilang seperti punya keluarga kedua setelah kematiannya.Selama ini, Jaka hanya berkeliling di pasar. Karena hanya itu ingatan yang dia ingat semasa hidup.Bahkan dia tak tahu arah jalan pulang ke rumahnya. Dia hanya ingat telah menjadi korban pembunuhan di pasar itu."Eh, Mustika? Sedang apa di sini?" Aku terperanjat saat melihat