"Kakak, minumlah!" pinta Nur yang sedari tadi berada di sampingku.
"Mbah Atmo, Bi Sari, apa yang sebenarnya terjadi?"Mbah Atmo dan Bi Sari saling menatap, seperti tengah memikirkan sesuatu.Suasana hening seketika. Semua mata memandang ke arahku."Nur, sebaiknya kau tunggu di luar saja," pinta Mbah Atmo.Nur mengangguk, dia segera keluar dari kamar tanpa bertanya."Nak Aldi tenang dulu, ya. Mbah akan menjelaskannya perlahan, agar Nak Aldi tidak kaget."Penjelasan Mbah Atmo malah membuatku semakin terkejut, ternyata memang benar ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku. Mbah Atmo mulai bercerita, saat pertama kali aku memasuki desa misterius ini.Seminggu yang lalu, saat Mbah Atmo menerima kabar akan kedatanganku ke desa ini, beliau sudah mempunyai firasat buruk. Kata beliau, sehari sebelum beliau menerima telepon dari paman Suwarno, beliau sudah merasakan sesuatu yang janggal.Desa ini seperti kembali pada zaman dulu, saat semua orang mulai percaya pada adanya makhluk halus dan semacamnya.Orang-orang di desa ini mulai bergunjing, apalagi setelah penemuan burung elang yang selalu mengawasi desa ini setiap malam. Saat burung elang itu coba diikuti oleh beberapa warga yang sedang berjaga malam, burung itu selalu hilang tanpa jejak.Yang membuat warga semakin heran, burung itu selalu menghilang tepat di atas salah satu rumah warga.Tapi, Mbah Atmo tak ingin menyebutkan nama warga itu. Beliau berkata, karena belum ada kepastian maksud dan tujuan orang itu mengawasi desa ini.
Pada malam hari saat kedatanganku, Mbah Atmo merasakan sekujur tubuhnya gemetaran, bulu kuduknya berdiri. Aku rupanya sudah ditunggu oleh makhluk dari dunia lain yang sudah menempati desa ini sejak dahulu. Mereka senantiasa memperlihatkan wujud mereka karena merasa senang atas kedatanganku ke desa ini.Aku semakin tak mengerti, apa yang dimaksud oleh Mbah Atmo? Mengapa aku sangat ditunggu? Apalagi oleh sebangsa makhluk halus?"Nak Aldi pasti bingung. Mbah akan menunjukkan sesuatu pada Nak Aldi. Kalau Nak Aldi tidak kuat, bicaralah pada si Mbah," ucap Mbah Atmo sambil menggenggam tanganku.Aku menutup mata perlahan, menarik nafas dalam-dalam.Dalam gelap, sebuah bayangan muncul. Aku seperti kembali pada jaman dulu lagi. Aku melihat diriku yang masih berusia sekitar lima tahun.Sepertinya aku ingat ini di mana. Ini adalah rumah Kakekku di desa. Aku terlihat sedang berlari-lari kecil dengan seorang anak perempuan sebayaku di halaman rumah Kakek. Aku terlihat sangat gembira.Sesekali aku dan anak perempuan itu tertawa saat sedang bermain bersama. Kejadian itu terjadi saat malam hari, saat bulan sedang menujukkan cahayanya.Tiba-tiba, Ibuku berlari dari arah rumah Kakek dengan tergesa, seperti telah menangis sesegukan."Aldi, kamu sedang apa di sini? Ibu mencarimu ke mana-mana," ucap Ibu khawatir.Suara Ibu terdengar bergetar, dia terus memeluk dan menciumku.Ayah, Nenek, dan Kakek kemudian datang menghampiri kami."Aldi, kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Ayah yang sedang menggendong adik perempuanku-Ayla.Mereka semua terlihat sangat khawatir. Aku merasa heran, mengapa mereka seperti telah kehilanganku begitu lama. Padahal aku hanya bermain dengan anak perempuan ini.Kakek kemudian bertanya padaku yang masih berusia lima tahun itu, "Aldi, kamu sedang bermain dengan siapa?""Nana," jawabku dengan nada suara yang masih sedikit belepotan."Siapa itu Nana?" tanya Ibu.Aku menunjuk ke arah anak perempuan tadi. Tapi, anak perempuan itu menunjukkan ekspresi yang tidak biasa. Wajahnya berubah menyeramkan, darah segar mengalir dari kepalanya. Matanya melotot seperti akan keluar dari kelopaknya.Aku yang berusia lima tahun itu seketika menangis sejadi-jadinya. Tapi, sepertinya kedua orangtuaku, Nenek, dan Kakek tak dapat melihatnya. Aku kemudian dibawa ke dalam rumah, menjauh dari Nana.Aku sangat kaget, kapan ini terjadi? Mengapa aku tak ingat?Nana menghampiriku yang tengah memperhatikan mereka dari jauh."Hiiihiihiii ...." Tawa Nana terdengar menggelegar di telingaku.Kupikir Nana tak dapat melihatku seperti yang lain.Aku terkejut melihat Nana sudah berada di sampingku dan berkata, "Aldi ... kenapa kamu tumbuh jadi besar? Hiihiihii .... ""Aggrrr ...." Telingaku rasanya sakit sekali setelah mendengar bisikan Nana.Saat aku membuka mataku kembali, aku sudah berada di dalam rumah. Di sana, sudah ada seorang kakek tua yang disebut orang pintar. Dia terlihat mengobatiku saat itu. Tapi, aku benar-benar tak ingat ada kejadian ini di masa laluku. Orangtuaku pun tak pernah menceritakannya padaku. Keanehan ini membuatku sangat bingung.Nana berbisik di sampingku lagi, "Aldi ...."Aku terkejut, mataku seketika melotot padanya. Nana berusia sekitar lima tahun. Wajahnya cantik, kulit putih dengan rambut pirang yang sedikit ikal.Nana adalah anak keturunan Belanda. Dia sepertinya meninggal saat masih kecil. Seperti halnya anak kecil, dia terus bergelayutan manja padaku. Aku seperti sudah mengenalnya lama, kami seperti sudah sangat akrab.Nana bilang, saat itu terakhir kalinya kami bermain bersama. Sejak aku diobati orang pintar itu, aku seperti lupa dan tak dapat melihat Nana. Nana juga seperti tak bisa mendekatiku. Nana bilang, dia sangat sedih tak bisa bermain denganku saat itu."Nana senang, sekarang Aldi sudah kembali." Nana tersenyum sangat manis saat itu, dia sepertinya benar-benar telah menungguku sangat lama.Aku membuka mataku kembali, melihat sekitarku. Mbah Atmo dan Bi Sari terlihat masih menungguku.Tiba-tiba perutku mual, seperti ingin mengeluarkan sesuatu."Keluarkan saja, Nak!" pinta Bi Sari. Kemudian Bi Sari langsung memberiku segelas air hangat, membaringkanku di atas ranjang."Istirahatlah, nanti kita bicara lagi." Mbah Atmo kemudian pergi diikuti Bi Sari dari belakang.Nur yang sedari tadi mengintipku dari balik pintu mulai menghampiriku. Dia sangat tak sabar ingin bertanya apa yang sudah terjadi padaku."Kak, Aldi. Apa yang terjadi? Apa Kakak bertemu Kak Bulan semalam?" Nur terus bertanya tanpa membiarkanku bicara. "Tadi Kakak memanggil nama Nana, Nana itu siapa?" "Aih ... anak ini. Bukannya mengkhawatirkanku, kau malah bertanya begitu padaku!" jawabku kesal.Nur hanya tersenyum, sorot matanya menggambarkan perasaaan penasaran yang dalam."Nur, kau tahu sesuatu tentang Bulan?" tanyaku padanya.Nur terdiam, dia melihat sekeliling kamarku. Sepertinya dia takut akan terdengar ole
Nana memelukku, dia seperti telah nyaman berada di dalam tubuh Nur."Nana boleh datang padaku kapan saja. Aku pasti akan bermain dengan Nana," ucapku menghibur.Nana kemudian keluar dari tubuh Nur, menyisakan luka di hati Nur yang Nur sendiri tak tahu penyebabnya. Nur seketika menangis, dia merasakan sakit hati yang amat luar biasa."Kenapa aku menangis? Hiks ... hiks ... hiks ..., apa yang terjadi padaku?" ucap Nur yang sepertinya merasa heran. "Tidak apa-apa. Ayo kita jalan lagi, nanti keburu sore," ajakku pada Nur.***Siang hari, matahari sangat terik. Aku dan Nur telah sampai di makam Bulan. Di makam itu ditanami tumbuhan yang menghasilkan bunga yang mulai bermekaran.Nur segera mencabut rumput liar yang bersatu dengan tanaman itu. Kata Nur, dia dan keluarganya sangat berhutang budi pada Mbah Atmo dan Bi Sari. Mereka sering membantu orangtua Nur yang sering kali mengalami gagal panen. Karena itu, Nur sering datang ke rumah Mbah Atmo dan Bi Sari hanya untuk sekedar membantu memb
Aku tak menyangka akan bertemu Bulan secepat ini. Bulan terlihat sangat cantik, persis seperti yang ada dalam mimpiku. "Kau tahu, terlalu banyak yang terjadi di desa ini saat itu. Akibat dari mereka yang terlibat dengan makhluk seperti kami." Ucap Bulan yang terus menatap sinar bulan di atas langit malam.Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya, "Lalu, kenapa kau masih di sini? Apa alasanmu masih berada di sini adalah orangtuamu?"Bulan menggeleng, "Tidak. Aku sendiri tak tahu apa alasannya. Tapi, aku merasa belum bisa pergi dari sini." "Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Aku benar-benar ingin membantumu, Bulan," bujukku pada Bulan.Bulan menatapku nanar, "Entahlah. Aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Orangtuaku sudah lama merelakanku dan aku pun begitu. Tapi, aku merasakan seperti ada yang mengganjal di hatiku. Seperti sesuatu yang belum tuntas." Penjelasan Bulan itu sangat tak kumengerti. Mungkin itu alasan Bulan meminta tolong padaku waktu itu. Dalam mimpiku, se
"Aku tak tahu. Kami pernah berjanji bertemu setelah kejadian itu. Tapi Razan tak pernah datang," jawab Bulan lirih.Sekarang aku mulai mengerti. Mungkin maksud Bulan, sesuatu yang mengganjal di hatinya itu adalah perasaannya pada Razan. Bulan masih menunggu jawaban dari Razan yang tak datang saat itu. Itulah alasannya mengapa Bulan belum bisa pergi dengan tenang."Bulan. Aku berjanji akan membantumu pergi dengan tenang. Kau harus pergi bila melihat cahaya yang menjemputmu, oke?" ucapku mengutip kalimat dari pembawa acara sebuah tayangan misteri di youtube.Bulan tertawa cekikikkan. Dia pikir, mungkin itu tidak akan lagi membuatku merasa takut. Tetap saja, bulu kudukku merinding dibuatnya."Kau ini sudah seperti pemburu hantu saja," jawab Bulan."Memang ... apakah benar cahaya seperti itu ada?" tanya Bulan padaku seakan tak percaya.Aku langsung berkata, "Tentu saja. Mereka akan menemukan cahaya dan kembali bahagia. Biasanya seperti itu, kan?"Bulan seperti tak bersemangat. Dia terus m
"Nana, keluarlah. Aku membutuhkan Nur untuk menunjukkan jalan," pintaku pada Nana."Hmm ... baiklah, Aldi. Tapi Aldi janji, ya. Setelah ini, Aldi akan bermain dengan Nana." Rengek Nana sambil menarik-narik bajuku dari belakang."Tentu. Aldi pasti akan bermain dengan Nana." Jawabku mengiyakan ajakan Nana saat itu. ***Setelah menempuh hampir 20 menit perjalanan, akhirnya kami pun sampai di perkebunan karet milik kepala desa. Di sana banyak pekerja yang sedang menyadap pohon karet. Aku berjalan di antara mereka, menyusuri setiap tempat yang ada di sana.Anehnya, aku seperti merasakan udara dingin menusuk ke tulangku. Padahal ini baru tengah hari, matahari pun masih berada di atas kepalaku.Udara di sini memang sangat berbeda, bulu kudukku merinding tatkala melihat sosok-sosok makhluk yang mendekatiku dengan wujud asli mereka yang terlihat menyeramkan. Aku mencoba tetap tenang, melawan rasa takut agar tak terlihat mencolok di hadapan mereka."Anak kecil ini sungguh merepotkan," gerutu Bu
Blarr ... ! Jgeeer ... Suara dentuman petir yang menyambar dari langit. Hari mulai terlihat semakin gelap. Hujan yang tadinya gerimis, kini disertai kilatan petir. Aku bergegas berlari sembari memanggil Nana, "Nana, kau di mana?" teriakku sambil melirik ke sana ke mari. Tak terdengar suara sautan dari Nana, hanya ada suara hujan yang mulai membasahi tanah tempatku berpijak. Hujan semakin deras, jalanan menjadi sangat becek dan licin. Aku tak dapat menemukan Nana. Makhluk-makhluk yang berada di sekitarku beberapa kali mulai mencoba menggangguku. Mulai dari suara-suara aneh terdengar di sekitarku, sosok-sosok yang melayang -layang di atas tanah mulai mendekatiku. Aku merasakan jantungku berdebar sangat cepat, mereka semakin mendekat. Ssss ... ssss ... ssss .... Sosok ular raksasa dengan sisik yang berukuran sebesar piring saji itu terus berdesis di sampingku, seakan ingin segera menyantapku hidup-hidup. "Astaga! Makhluk apa itu?" A
"Eh, Bulan. Sedang apa kau di tubuh Nur? Aku kan bisa melihatmu tanpa kau memasuki tubuh Nur." Sat ... set ... sat ... set ... ! Begitulah kira-kira Bulan saat memasuki tubuh Nur. Pergerakannya sangat cepat, sampai-sampai mataku tak punya waktu untuk berkedip. Bulan tiba-tiba sudah berada di pangkuanku dengan tubuh Nur. "A-apa ini?" Suaraku mulai bergetar, dadaku sesak. Mengapa ada adegan seperti ini? "Apa kau ingin mati bersamaku?" Bulan berbisik pelan di telingaku. "Jangan pernah mencoba mendekati Rosmala. Dia sangat berbahaya, kau mengerti?" "Rosmala?" tanyaku heran. "Astgfirullah ... Nur, apa yang kamu lakukan? Cepat turun dari sana!" Teriak Bi Sari yang terlihat kaget melihat posisi yang sangat tak lazim ini. Bi Sari lekas berlari dari arah dapur untuk menarik Nur dari atas tubuhku. "Isshhh ... kamu ini Nur, kenapa kamu ada di sana? Cepat minta maaf pada Nak Aldi." Pinta Bi Sari yang melihatku dalam keadaan syok berat. Bulan tiba-tiba menangis. Dengan tubuh Nur, Bulan ak
Sekitar pukul tujuh pagi, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumah Nur. Aku sengaja mengambil jalan alternatif yang ditunjukkan Mbah Atmo untuk pergi ke rumah Nur dengan alasan tak ingin melihat sosok kakek penunggu rumah kosong di pertigaan jalan. Aku berjalan sekitar lima belas menit menuju arah jalan desa. Jalanan rupanya sudah dipenuhi dengan penduduk desa yang akan memulai kegiatan berkebuh mereka. Ada juga yang menggunakan sepeda untuk membawa perlengkapan berkebun, ada pula yang menggiring hewan peliharaan mereka untuk dipekerjakan di ladang. Sungguh benar-benar suasana desa yang sebenarnya. Udaranya pun sangat sejuk, ditambah pemandangan asri yang memanjakan mataku. Aku teringat mencari sebuah warung di sekitar sini, aku sudah berjanji akan memberikan makanan enak untuk Nur. Saat aku hendak menuju warung yang terletak di seberang jalan, sebuah motor yang melaju cepat datang dari arah depan. Dengan pengemudi yang tampak tak asing bagiku. Eh, tapi kenapa motor itu malah semaki