Share

Bab 4. Bulan Tanpa Cahaya

Sesampainya aku depan rumah, rupanya Bi Sari dan Mbah Atmo sudah menungguku di teras. Mereka terlihat khawatir padaku.

"Nak Aldi, dari mana saja? Bibi sangat khawatir,'" ucap Bi Sari.

"Ah ... aku baru saja membeli lilin," jawabku terbata.

Aku merasa tidak enak telah membuat Bi Sari dan Mbah Atmo khawatir, aku segera membuka kunci pintu dan menyuruh mereka masuk.

"Maaf ya, Bi. Aldi membuat bibi khawatir."

"Tidak apa-apa, yang penting Nak Aldi baik-baik saja."

Aku segera berlari ke dapur, menyalakan lilin dan mengambil minum untuk Bi Sari dan Mbah Atmo, "Diminum airnya, Mbah, Bi," ucapku sopan.

"Iya, terima kasih, ya." Keduanya terlihat heran melihatku, entah apa yang mereka pikirkan, tatapan mereka seperti merasakan sesuatu yang aneh dariku.

Setelah berbincang selama kurang lebih tiga puluh menit, aku pamit untuk beristirahat lebih dulu pada mereka.

Aku masih tak ingin membahas tentang apa yang kudengar barusan di warung. Aku takut malah nyaliku yang menciut akibat takut mendengar cerita sebenarnya dari mereka tentang apa yang terjadi di desa ini.

***

"Bulan ... Bulan ... "

Aku tiba-tiba terjaga dari mimpi burukku. Aku segera bangun dan melihat ke arah jam yang menempel di dinding sebelah kiri kamarku. Waktu menunjukkan pukul 01:00 malam, suasana gelap masih menyelimuti malam ini.

"Apa aku baru saja bermimpi tentang Bulan?"

Tiba-tiba, lampu di kamarku berubah redup, suara pekikan binatang malam membuatku semakin bergidik. Aku menatap ke sebuah cermin di sampingku, sosok gadis muda yang berkulit putih pucat keluar dari cermin dengan wajah yang pilu.

Aku tak dapat bergerak, tubuhku terasa membatu. Keringat mengalir deras dari sekujur tubuhku yang gemetaran. Aku ingin berteriak, tapi lidahku terasa membeku.

Aku menutup mataku segera. Tapi, mataku seperti di tarik untuk tidak berkedip.

"Aldi ..., tolong aku!" Suara lirih Bulan membangunkanku sekali lagi.

Sekarang aku berada di sebuah tempat yang tak pernah aku datangi. Hiruk pikuk suasana seperti di dalam pasar. Orang-orang terlihat tengah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

Suasana ini seperti keadaan yang terjadi di masa lalu. Orang-orang masih berpakaian model jaman dulu. Aku berjalan mengikuti langkah kakiku, melewati orang-orang yang seperti tak melihat keberadaanku.

Aku di mana? Pertanyaan itu yang sekarang muncul di benakku.

Aku tak mengenal mereka, atau pun tempat ini. Lagi-lagi, aku tiba-tiba berada di sebuah tempat yang asing bagiku. Aku seperti telah berpindah dari kamarku ke tempat ini dengan misterius.

Bruk!

Seorang gadis telah terjatuh tepat di hadapanku. Gadis dari lukisan yang baru saja kulihat keluar dari cermin.

"Bulan?" ucapku spontan.

Dia sepertinya juga tak dapat mendengar atau pun melihatku. Bulan tergesa-gesa belari seperti telah dikejar oleh seseorang. Tanpa menunggu lama, aku segera mengikutinya dari belakang.

Kami tiba di sebuah hutan yang lebat, Bulan seperti sudah sangat kelelahan karena telah berlari cukup jauh. Di hutan ini tentu tak ada orang, hanya suara binatang dan suara gesekan daun kering yang jatuh tertiup angin.

"Bulan, apa yang kau lakukan di sini? Cepat pergi dari sini! Di sini sangat berbahaya," ucapku setengah berteriak.

Bulan melihat ke sana ke mari, wajahnya terlihat pucat pasi. Aku tahu, percuma saja aku berteriak, sekeras apapun aku berteriak, Bulan tak dapat mendengarku.

"Bulan ... apa kau bisa mendengarku?" Aku terus berteriak, tapi tak ada jawaban dari Bulan.

Suara gesekan sepatu dan daun kering terdengar semakin mendekat. Rupanya Bulan memang telah diikuti oleh seseorang.

"Bulan, ayo ikut aku!" Aku mencoba menggandeng tangan Bulan, tapi sepertinya aku dan Bulan berada di dunia yang berbeda. Aku tak bisa menyentuhnya.

"Apa ini?" gumamku. "Ah ... sial!"

Bulan semakin terlihat ketakutan, tapi dia tak dapat berlari lagi.

"Bulan ... cepat cari tempat yang aman! Kau harus sembunyi." Lagi-lagi aku hanya bisa berteriak, walaupun aku tahu itu tak dapat membantunya.

Bulan terdiam, dia melihat ke sebuah pohon rindang yang terdapat gua kecil di bawahnya. Lalu dia segera berlari lintang pukang menuju gua itu.

Tak lama kemudian, segerombol orang telah sampai di tempat kami berdiri, mereka melihat sekeliling untuk mencari keberadaan Bulan.

"Apa aku harus sembunyi juga?" gumamku lagi. "Ah, tapi, bukankah bagus kalau mereka bisa melihatku."

"Ah ... sial! Ke mana perginya gadis itu?" ujar seorang lelaki dengan topi koboy yang dia kenakan.

"Dia cepat juga. Ayo, kita lapor pada Bos," jawab seorang lagi.

Mereka kemudian pergi berbalik arah, bergegas pergi tanpa hasil.

"Hei ... mau ke mana kalian? Apa kalian tak bisa melihatku juga?" teriakku histeris.

"Ayolah. Aku ingin bertanya di mana ini?"

***

Tak!

Pukulan keras mendarat di bahuku sekali lagi. Pukulan itu berasal dari Mbah Atmo yang tengah membangunkanku. Aku segera menggosok mataku berulang kali, memastikan aku benar-banar telah sadar sepenuhnya.

Di sana sudah ada Nur yang sedang mengelap keringat di keningku.

"Nak Aldi, tidak apa-apa?" tanya Bi Sari khawatir.

Ini sudah pukul sepuluh pagi dan aku baru bisa bangun setelah dibangunkan paksa oleh Mbah Atmo. Mbah Atmo terlihat bergumam pelan, seperti sedang membacakan sebuah mantra ke dalam air dalam wadah kecil di hadapannya. Beliau kemudian menyipratkan air itu ke sekelilingku. 

Aku melihat ke arah cermin, tempat Bulan muncul di hadapanku secara tiba-tiba. Tak ada yang aneh, apa mungkin itu hanya mimpi semata. Tapi, mengapa ada Bulan di sana? Aku bergidik saat mengingat kejadian semalam. Tapi, apa yang terjadi pada Bulan? Apakah dia baik-baik saja?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status