Sesampainya aku depan rumah, rupanya Bi Sari dan Mbah Atmo sudah menungguku di teras. Mereka terlihat khawatir padaku.
"Nak Aldi, dari mana saja? Bibi sangat khawatir,'" ucap Bi Sari."Ah ... aku baru saja membeli lilin," jawabku terbata.Aku merasa tidak enak telah membuat Bi Sari dan Mbah Atmo khawatir, aku segera membuka kunci pintu dan menyuruh mereka masuk."Maaf ya, Bi. Aldi membuat bibi khawatir.""Tidak apa-apa, yang penting Nak Aldi baik-baik saja."Aku segera berlari ke dapur, menyalakan lilin dan mengambil minum untuk Bi Sari dan Mbah Atmo, "Diminum airnya, Mbah, Bi," ucapku sopan."Iya, terima kasih, ya." Keduanya terlihat heran melihatku, entah apa yang mereka pikirkan, tatapan mereka seperti merasakan sesuatu yang aneh dariku.Setelah berbincang selama kurang lebih tiga puluh menit, aku pamit untuk beristirahat lebih dulu pada mereka.Aku masih tak ingin membahas tentang apa yang kudengar barusan di warung. Aku takut malah nyaliku yang menciut akibat takut mendengar cerita sebenarnya dari mereka tentang apa yang terjadi di desa ini.***
"Bulan ... Bulan ... "Aku tiba-tiba terjaga dari mimpi burukku. Aku segera bangun dan melihat ke arah jam yang menempel di dinding sebelah kiri kamarku. Waktu menunjukkan pukul 01:00 malam, suasana gelap masih menyelimuti malam ini."Apa aku baru saja bermimpi tentang Bulan?"Tiba-tiba, lampu di kamarku berubah redup, suara pekikan binatang malam membuatku semakin bergidik. Aku menatap ke sebuah cermin di sampingku, sosok gadis muda yang berkulit putih pucat keluar dari cermin dengan wajah yang pilu.Aku tak dapat bergerak, tubuhku terasa membatu. Keringat mengalir deras dari sekujur tubuhku yang gemetaran. Aku ingin berteriak, tapi lidahku terasa membeku.Aku menutup mataku segera. Tapi, mataku seperti di tarik untuk tidak berkedip."Aldi ..., tolong aku!" Suara lirih Bulan membangunkanku sekali lagi.Sekarang aku berada di sebuah tempat yang tak pernah aku datangi. Hiruk pikuk suasana seperti di dalam pasar. Orang-orang terlihat tengah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.Suasana ini seperti keadaan yang terjadi di masa lalu. Orang-orang masih berpakaian model jaman dulu. Aku berjalan mengikuti langkah kakiku, melewati orang-orang yang seperti tak melihat keberadaanku.
Aku di mana? Pertanyaan itu yang sekarang muncul di benakku.Aku tak mengenal mereka, atau pun tempat ini. Lagi-lagi, aku tiba-tiba berada di sebuah tempat yang asing bagiku. Aku seperti telah berpindah dari kamarku ke tempat ini dengan misterius.Bruk!Seorang gadis telah terjatuh tepat di hadapanku. Gadis dari lukisan yang baru saja kulihat keluar dari cermin."Bulan?" ucapku spontan.Dia sepertinya juga tak dapat mendengar atau pun melihatku. Bulan tergesa-gesa belari seperti telah dikejar oleh seseorang. Tanpa menunggu lama, aku segera mengikutinya dari belakang.Kami tiba di sebuah hutan yang lebat, Bulan seperti sudah sangat kelelahan karena telah berlari cukup jauh. Di hutan ini tentu tak ada orang, hanya suara binatang dan suara gesekan daun kering yang jatuh tertiup angin."Bulan, apa yang kau lakukan di sini? Cepat pergi dari sini! Di sini sangat berbahaya," ucapku setengah berteriak.Bulan melihat ke sana ke mari, wajahnya terlihat pucat pasi. Aku tahu, percuma saja aku berteriak, sekeras apapun aku berteriak, Bulan tak dapat mendengarku."Bulan ... apa kau bisa mendengarku?" Aku terus berteriak, tapi tak ada jawaban dari Bulan.Suara gesekan sepatu dan daun kering terdengar semakin mendekat. Rupanya Bulan memang telah diikuti oleh seseorang."Bulan, ayo ikut aku!" Aku mencoba menggandeng tangan Bulan, tapi sepertinya aku dan Bulan berada di dunia yang berbeda. Aku tak bisa menyentuhnya."Apa ini?" gumamku. "Ah ... sial!"Bulan semakin terlihat ketakutan, tapi dia tak dapat berlari lagi."Bulan ... cepat cari tempat yang aman! Kau harus sembunyi." Lagi-lagi aku hanya bisa berteriak, walaupun aku tahu itu tak dapat membantunya.Bulan terdiam, dia melihat ke sebuah pohon rindang yang terdapat gua kecil di bawahnya. Lalu dia segera berlari lintang pukang menuju gua itu.Tak lama kemudian, segerombol orang telah sampai di tempat kami berdiri, mereka melihat sekeliling untuk mencari keberadaan Bulan.
"Apa aku harus sembunyi juga?" gumamku lagi. "Ah, tapi, bukankah bagus kalau mereka bisa melihatku.""Ah ... sial! Ke mana perginya gadis itu?" ujar seorang lelaki dengan topi koboy yang dia kenakan."Dia cepat juga. Ayo, kita lapor pada Bos," jawab seorang lagi.Mereka kemudian pergi berbalik arah, bergegas pergi tanpa hasil."Hei ... mau ke mana kalian? Apa kalian tak bisa melihatku juga?" teriakku histeris."Ayolah. Aku ingin bertanya di mana ini?"***
Tak!Pukulan keras mendarat di bahuku sekali lagi. Pukulan itu berasal dari Mbah Atmo yang tengah membangunkanku. Aku segera menggosok mataku berulang kali, memastikan aku benar-banar telah sadar sepenuhnya.Di sana sudah ada Nur yang sedang mengelap keringat di keningku."Nak Aldi, tidak apa-apa?" tanya Bi Sari khawatir.Ini sudah pukul sepuluh pagi dan aku baru bisa bangun setelah dibangunkan paksa oleh Mbah Atmo. Mbah Atmo terlihat bergumam pelan, seperti sedang membacakan sebuah mantra ke dalam air dalam wadah kecil di hadapannya. Beliau kemudian menyipratkan air itu ke sekelilingku. Aku melihat ke arah cermin, tempat Bulan muncul di hadapanku secara tiba-tiba. Tak ada yang aneh, apa mungkin itu hanya mimpi semata. Tapi, mengapa ada Bulan di sana? Aku bergidik saat mengingat kejadian semalam. Tapi, apa yang terjadi pada Bulan? Apakah dia baik-baik saja?Suara isak tangis dari Ibu pun terdengar. Aroma minyak angin terasa menyengat. Cahaya lampu yang menyinari wajahku pun terlihat semakin terang. Aku telah sadar sepenuhnya. "Ibu?" Kata pertama yang keluar dari mulutku.Rasa takut itu kini kembali. Apakah aku mungkin akan menyakiti Ibu dan Ayah saat aku kembali tak sadar?"Ibu, Ayah, Aku takut." Tangisku pun pecah.Selama ini aku berpikir aku adalah gadis yang kuat. Tapi, aku salah. Aku sangat lemah. Aku takut, aku takut pada diriku sendiri."Ibu dan Ayah ada di sini bersama Janis. Janis tidak perlu takut," ucap Ibu sembari terus memeluk dan menciumku.Setelah kejadian itu, aku tak masuk sekolah selama satu minggu. Aku hanya beristirahat di rumah ditemani Ibu dan kakak laki-laki keduaku bernama Bagas.Dan benar saja aku sendirian kali ini, Jaka menghilang seperti yang lain. Apa ucapanku tempo hari sangat keterlaluan? Apa Jaka benar-benar tidak akan menemuiku lagi?"Ah ... kenapa aku terus mengingatnya. Padahal dia sama saja dengan hantu
"Kau sungguh bodoh? Atau pura-pura bodoh?" Aku terus berteriak pada Jaka yang terlihat menyesali perbuatannya. Sesekali dia mencoba bicara tapi aku tak membiarkannya. Amarahku terasa mencuat saat melihat wajahnya. "Lihat, gadis itu terus mengikutiku!" bentakku pada Jaka."Maafkan aku, Janis. Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan temanmu," jawab Jaka."Kau tahu? Akibat dari perbuatan pahlawanmu itu, aku tak bisa lagi hidup sesuai keinginanku. Gadis itu akan terus mengikutiku," bentakku lagi.Jaka terdiam sesaat, lalu bersujud dan kembali berucap lirih."Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosaku padamu?" Matanya mulai berkaca-kaca."Jangan pernah lagi muncul dihadapanku. Aku sudah tak membutuhkanmu!" Jaka terdiam, kini air mata itu benar-benar menetes. "Janis. Apa kau bersungguh-sungguh?" Ucapannya sedikit membuatku merasa iba. Tapi, apa yang Jaka lakukan sudah sangat keterlaluan bagiku."Ha ... ha ... hantuuuuu!!" teriak Mbok Karsih dari dapur.Aku sege
Matahari pagi mulai menunjukkan eksistensinya. Sorot cahaya dari lampu tidurku mulai meredup.Aku bangun dari tidurku yang nyenyak, disuguhi dengan Jason yang sudah menungguku di balik tirai kamar.Ketenangan itu berubah menjadi suara bising yang Jason timbulkan saat melihatku mulai membuka mata."Kakak. Ayo main ... " ajaknya seperti biasa.Aku meregangkan otot-ototku yang telah dipaksa untuk beraktivitas kembali. Mengumpulkan nyawa sembari menguap, begitu pula dengan Jason yang mulai terbawa suasana."Aku harus ke sekolah hari ini. pulang sekolah, Kakak berjanji akan bermain denganmu." Jason hanya mengangguk pasrah. Mengalah untuk kesekian kalinya."Oh ya, di mana, Jaka?" tanyaku pada Lastri saat hendak sarapan.Seperti biasa, sekolah adalah tempat yang paling menyebalkan bagiku saat ini. Bukan hanya gangguan dari Maria dan Intan, tetapi gangguan dari mereka yang merasakan aku memiliki kemampuan melihat mereka pun terus mengikutiku dari gerbang menuju gedung sekolah. Kebanyakan da
Beberapa hari setelahnya. Seperti biasa aku pamit pada Jason yang selalu menungguku setiap pulang sekolah untuk bermain. Di sana juga ada Lastri yang sudah bergelantungan di pohon manggis depan rumah. Ya, pohon besar itu sudah menjadi rumah untuk Lastri berpuluh-puluh tahun yang lalu. "Mba, Janis. Ini makan siangnya ketinggalan!" panggil Mbok Karsih. "Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbok." Aku segera mengambil bekal itu dan berlari menuju mobil yang dikendarai ibuku. Beberapa hari ini aku mulai membawa bekal makan siang ke sekolah. Kejadian tempo hari membuatku jadi lebih waspada akan kehadiran mereka. Sesampainya di sekolah, aku keluar dari mobil setelah berpamitan dengan ibuku yang juga akan berangkat mengajar. "Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, segera telepon Ibu," perintahnya. Aku hanya mengangguk. Itu adalah kata-kata yang selalu terucap dari mulut ibuku selama tujuh belas tahun. Ibu selalu terlihat khawatir sejak mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh
Pukul dua siang, pelajaran pun telah usai. Aku segera keluar dari kelas untuk menemui Jaka. Pasti dia telah menungguku di gerbang sekolah. Berbahaya jika dia melihat makhluk lain yang mengganggu di sekolah ini. Pasti dia selalu ingin ikut campur pada masalah orang lain. Tiba-tiba saja, aku dikejutkan dengan seseorang yang menarik tanganku dan menyeretku pergi dari ruang kelas. Dia adalah Maria dan Intan. "Apa yang kalian lakukan?" Aku mencoba melepaskan genggaman Maria yang terasa sangat kasar. Namun, tenagaku rupanya tak cukup kuat untuk melawan mereka."Ikuti saja kami. Jangan banyak tanya!" bentak Maria. Rupanya mereka berencana membawaku ke gedung olahraga yang sudah kosong. Gedung itu berada di barisan gedung sekolah paling belakang, jadi sangat jarang dilewati oleh murid kecuali ada pertandingan olahraga yang mengharuskan memakai gedung tersebut. Maria dan Intan sepertinya sengaja membawaku kemari.
"Baru saja, Mbok," jawabku.Sejak Jaka meninggal, Mbok Sum hanya tinggal seorang diri. Ayah Jaka telah lebih dulu meninggal karena penyakit yang sama dengan yang diderita Mbok Sum."Ini, Janis belikan obat untuk Mbok Sum. Tolong diterima, ya." Aku memberikan sebuah kantong plastik berwarna putih. Isinya obat-obatan yang biasa Mbok Sum konsumsi. Semua itu resep yang diberitahukan Jaka padaku.Jaka terlihat begitu sangat khawatir pada Mbok Sum yang sering sakit-sakitan. Sesekali dia terlihat menyeka air matanya, memandang ibunya dengan perasaan sedih karena tak bisa berada di sisinya.Jaka merasa tak bisa tenang untuk meninggalkan Mbok Sum sendiri dan aku pun telah berjanji akan membantu mengurus keperluannya.***Malam hari adalah waktu yang sangat menyebalkan bagiku. Betapa tidak, mereka yang sedari tadi sudah mengawasiku kini mulai berani mendekat. Mulai dari memainkan rambut, melempar buku, hingga menunjukkan wujud me