Share

Bab 6. Perjalanan Menuju Bulan

Aku membuka mataku kembali, melihat sekitarku. Mbah Atmo dan Bi Sari terlihat masih menungguku.

Tiba-tiba perutku mual, seperti ingin mengeluarkan sesuatu.

"Keluarkan saja, Nak!" pinta Bi Sari. Kemudian Bi Sari langsung memberiku segelas air hangat, membaringkanku di atas ranjang.

"Istirahatlah, nanti kita bicara lagi." Mbah Atmo kemudian pergi diikuti Bi Sari dari belakang.

Nur yang sedari tadi mengintipku dari balik pintu mulai menghampiriku. Dia sangat tak sabar ingin bertanya apa yang sudah terjadi padaku.

"Kak, Aldi. Apa yang terjadi? Apa Kakak bertemu Kak Bulan semalam?" Nur terus bertanya tanpa membiarkanku bicara. "Tadi Kakak memanggil nama Nana, Nana itu siapa?"

"Aih ... anak ini. Bukannya mengkhawatirkanku, kau malah bertanya begitu padaku!" jawabku kesal.

Nur hanya tersenyum, sorot matanya menggambarkan perasaaan penasaran yang dalam.

"Nur, kau tahu sesuatu tentang Bulan?" tanyaku padanya.

Nur terdiam, dia melihat sekeliling kamarku. Sepertinya dia takut akan terdengar oleh Bi Sari dan Mbah Atmo.

Nur berbisik pelan, "Aku tidak kenal, tapi aku tahu cerita tentang Kak Bulan dari orangtuaku."

Nur kembali duduk di sampingku, dia mulai menarik selimut dan memasukinya perlahan.

"Saat Kak Bulan meninggal, aku masih berusia lima tahun. Jadi, aku belum mengerti. Tapi, konon katanya, Kak Bulan meninggal karena di guna-guna," Nur berdigik. "Apa Kak Aldi mau aku antarkan ke makam Kak Bulan?"

Aku merasa itu ide yang bagus, aku masih belum menemukan jawaban yang pasti dari Mbah Atmo tentang Bulan. Kali ini, aku bertekad untuk menemui Bulan sendiri.

***

Keesokan harinya, Mbah Atmo pamit pergi ke kota. Beliau dan beberapa petani berencana menjual hasil bumi yang mereka miliki. Walaupun hasil panen tidak sebenyak tahun kemarin, tapi bagi mereka, ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka beberapa bulan ke depan.

Setelah Mbah Atmo pergi, aku dan Nur juga pamit pada Bi Sari. Kami berdalih ingin berjalan-jalan melihat-lihat desa ini. Maklum saja, sudah seminggu lebih aku berada di sini, belum pernah sekali pun aku pergi jauh dari rumah. Lalu, setelah mendapatkan izin dari Bi Sari, aku dan Nur bergegas pergi.

Saat melewati rumah tua yang tampak tak berpenghuni. Aku teringat seorang kakek yang sedang menyalakan tungku api tempo hari di halaman rumah ini.

"Nur, ini rumah siapa?" tanyaku penasaran.

"Ini rumah kosong, Kak. Konon katanya, rumah ini dulunya milik seorang dukun terkenal bernama Ki Demang. Beliau sudah lama meninggal. Katanya, Ki Demang ini sering bergentayangan, karena dia meninggal secara tidak wajar," jawab Nur seraya mendekat ke tubuhku. 

Astaga! Aku terkejut setelah mendengar cerita dari Nur, merinding rasanya ketika tahu bahwa kakek tua yang kutemui itu sudah meninggal.

Tiba-tiba sudut mataku menangkap sebuah penampakkan seseorang yang mengintip di balik jendela rumah itu. Sosok itu adalah kakek yang aku temui tempo hari. Lagi-lagi kakek itu tersenyum menyeringai padaku.

Aku tak berani berlama-lama melihat rumah itu, segera kulangkahkan kakiku menjauh.

"Nur, ayo cepat!" pintaku pada Nur sambil menarik tangannya dengan paksa.

Setelah jarak kami lumayan jauh dari rumah itu, aku merasa lega. Kami mulai berjalan menjauh dari desa, melewati beberapa pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan menuju makam. Saat melewati sebuah kebun bambu yang rindang, aku dan Nur harus terus berjalan di jalan setapak menuju pemakaman umum warga.

"Aldi ...." Suara Nur dari belakangku.

"Apa?" jawabku spontan.

"Aldi ...." Nur terus memanggil namaku.

"Apa, Nur?" jawabku tanpa menoleh.

Setelah dipikir-pikir, kenapa Nur memanggilku dengan namaku? Biasanya dia memanggilku kakak? Aneh sekali, pikirku. Aku segera menoleh ke belakang. Tapi, Nur tak ada di sana.

Aku melihat ke sana ke mari mencari keberadaan Nur. Tiba-tiba, dari arah belakangku terdengar suara derap langkah kaki yang menginjak daun kering.

Sruk ... sruk ... sruk ...

Suara kaki yang seperti di seret itu semakin mendekat.

Pluk!

Punggungku terasa berat, seperti ada yang bergelayutan di sana. Aku tak dapat menoleh, tubuhku gemetar hebat. Tapi, saat ini aku tak dapat menggerakkan tubuhku.

"Hihihi ...." Suara tertawa terdengar nyaring.

Telingaku kembali berdengung, rasa sakit di kepalaku kembali datang saat mendengar tawa yang begitu nyaring terdengar dari belakang kepalaku.

"Aldi, apa kau takut padaku?" tanya suara itu.

"Nana?"

Nana segera turun dari pundakku dan berdiri di hadapanku. Sekarang Nana berada di dalam tubuh Nur. 

"Kenapa kau ada di sana? Cepat keluar!" ucapku pada Nana.

"Tidak mau! Jika aku di sini, aku bisa menyentuh Aldi kapan pun aku mau." Wajah Nana terlihat sumringah, mata bulat yang bersinar itu sangat cantik. Sayang sekali Nana tak berada di dunia ini. Kalau saja Nana masih hidup, tentu dia akan tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik.

"Aldi, kau mau ke mana?" tanya Nana lagi.

Entah sejak kapan, aku mulai terbiasa dengan kehadiran Nana di sampingku.

"Aku akan menemui seseorang," jawabku.

"Siapa? Kenapa Aldi tak main saja denganku?" ajak Nana.

"Tidak bisa, dunia kita berbeda. Nana seharusnya tidak di sini."

Nana terlihat murung, wajahnya seketika berubah menyeramkan. Aku tersentak, Nana membuatku kembali bergidik saat memperlihatkan wujud aslinya.

"Nana, maksudku, apa tidak apa-apa berada di tubuh orang lain?"

Nana menggeleng. Dia kemudian berbisik, "Asalkan dengan Aldi, tidak apa-apa. Hihihi ...." Tawanya yang khas tak membuatku terbiasa mendengarnya. Aku tetap saja merinding.

"Keluarlah dari tubuh Nur, kasihan dia. Nur bisa terluka." Aku mencoba membujuk Nana, aku tak tahu apa yang akan terjadi pada Nur jika Nana berada dalam tubuhnya terlalu lama.

"Oh, jadi namanya Nur," ucap Nana sambil mengernyitkan matanya. "Aku tak suka padanya. Dia selalu mendekati Aldi. Aldi, kan teman Nana," ucap Nana lagi.

"Tidak begitu, Nur sangat baik pada Aldi. Nur itu teman Aldi. Jadi, Nana juga boleh menganggap Nur sebagai teman Nana, seperti Aldi."

Nana mulai menggangguk walau masih terlihat kesal.

"Aldi, kenapa kau jadi tumbuh besar, kenapa Nana tidak?" tanya Nana.

Aku tersentak mendengar pertanyaan Nana. Anak kecil ini begitu polos, dia sepertinya belum mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi padanya. Aku segera menghampiri Nana, mengusap rambut pirangnya.

"Nana ingin seperti Aldi. Nana ingin selalu bersama Aldi." Matanya mulai berkaca-kaca.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Nana pasti sangat sedih bila aku beritahu bahwa dia tidak akan tumbuh besar seperti manusia biasa. Ditambah lagi, kenyataan sebenarnya yang lebih menyakitkan adalah dia tidak memiliki kehidupan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status