LOGINNur hanya tersenyum, sorot matanya menggambarkan perasaaan penasaran yang dalam.
"Nur, kau tahu sesuatu tentang Bulan?" tanyaku padanya.Nur terdiam, dia melihat sekeliling kamarku. Sepertinya dia takut akan terdengar oleh Bi Sari dan Mbah Atmo.Nur berbisik pelan, "Aku tidak kenal, tapi aku tahu cerita tentang Kak Bulan dari orangtuaku."Nur kembali duduk di sampingku, dia mulai menarik selimut dan memasukinya perlahan.
"Saat Kak Bulan meninggal, aku masih berusia lima tahun. Jadi, aku belum mengerti. Tapi, konon katanya, Kak Bulan meninggal karena di guna-guna," Nur berdigik. "Apa Kak Aldi mau aku antarkan ke makam Kak Bulan?"Aku merasa itu ide yang bagus, aku masih belum menemukan jawaban yang pasti dari Mbah Atmo tentang Bulan. Kali ini, aku bertekad untuk menemui Bulan sendiri.***Keesokan harinya, Mbah Atmo pamit pergi ke kota. Beliau dan beberapa petani berencana menjual hasil bumi yang mereka miliki. Walaupun hasil panen tidak sebenyak tahun kemarin, tapi bagi mereka, ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka beberapa bulan ke depan.Setelah Mbah Atmo pergi, aku dan Nur juga pamit pada Bi Sari. Kami berdalih ingin berjalan-jalan melihat-lihat desa ini. Maklum saja, sudah seminggu lebih aku berada di sini, belum pernah sekali pun aku pergi jauh dari rumah. Lalu, setelah mendapatkan izin dari Bi Sari, aku dan Nur bergegas pergi.
Saat melewati rumah tua yang tampak tak berpenghuni. Aku teringat seorang kakek yang sedang menyalakan tungku api tempo hari di halaman rumah ini."Nur, ini rumah siapa?" tanyaku penasaran."Ini rumah kosong, Kak. Konon katanya, rumah ini dulunya milik seorang dukun terkenal bernama Ki Demang. Beliau sudah lama meninggal. Katanya, Ki Demang ini sering bergentayangan, karena dia meninggal secara tidak wajar," jawab Nur seraya mendekat ke tubuhku. Astaga! Aku terkejut setelah mendengar cerita dari Nur, merinding rasanya ketika tahu bahwa kakek tua yang kutemui itu sudah meninggal.Tiba-tiba sudut mataku menangkap sebuah penampakkan seseorang yang mengintip di balik jendela rumah itu. Sosok itu adalah kakek yang aku temui tempo hari. Lagi-lagi kakek itu tersenyum menyeringai padaku.Aku tak berani berlama-lama melihat rumah itu, segera kulangkahkan kakiku menjauh."Nur, ayo cepat!" pintaku pada Nur sambil menarik tangannya dengan paksa.Setelah jarak kami lumayan jauh dari rumah itu, aku merasa lega. Kami mulai berjalan menjauh dari desa, melewati beberapa pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan menuju makam. Saat melewati sebuah kebun bambu yang rindang, aku dan Nur harus terus berjalan di jalan setapak menuju pemakaman umum warga."Aldi ...." Suara Nur dari belakangku."Apa?" jawabku spontan."Aldi ...." Nur terus memanggil namaku."Apa, Nur?" jawabku tanpa menoleh.Setelah dipikir-pikir, kenapa Nur memanggilku dengan namaku? Biasanya dia memanggilku kakak? Aneh sekali, pikirku. Aku segera menoleh ke belakang. Tapi, Nur tak ada di sana.Aku melihat ke sana ke mari mencari keberadaan Nur. Tiba-tiba, dari arah belakangku terdengar suara derap langkah kaki yang menginjak daun kering.Sruk ... sruk ... sruk ...Suara kaki yang seperti di seret itu semakin mendekat.Pluk!Punggungku terasa berat, seperti ada yang bergelayutan di sana. Aku tak dapat menoleh, tubuhku gemetar hebat. Tapi, saat ini aku tak dapat menggerakkan tubuhku."Hihihi ...." Suara tertawa terdengar nyaring.Telingaku kembali berdengung, rasa sakit di kepalaku kembali datang saat mendengar tawa yang begitu nyaring terdengar dari belakang kepalaku.
"Aldi, apa kau takut padaku?" tanya suara itu."Nana?"Nana segera turun dari pundakku dan berdiri di hadapanku. Sekarang Nana berada di dalam tubuh Nur."Kenapa kau ada di sana? Cepat keluar!" ucapku pada Nana.
"Tidak mau! Jika aku di sini, aku bisa menyentuh Aldi kapan pun aku mau." Wajah Nana terlihat sumringah, mata bulat yang bersinar itu sangat cantik. Sayang sekali Nana tak berada di dunia ini. Kalau saja Nana masih hidup, tentu dia akan tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik.
"Aldi, kau mau ke mana?" tanya Nana lagi.Entah sejak kapan, aku mulai terbiasa dengan kehadiran Nana di sampingku."Aku akan menemui seseorang," jawabku."Siapa? Kenapa Aldi tak main saja denganku?" ajak Nana."Tidak bisa, dunia kita berbeda. Nana seharusnya tidak di sini."Nana terlihat murung, wajahnya seketika berubah menyeramkan. Aku tersentak, Nana membuatku kembali bergidik saat memperlihatkan wujud aslinya."Nana, maksudku, apa tidak apa-apa berada di tubuh orang lain?"Nana menggeleng. Dia kemudian berbisik, "Asalkan dengan Aldi, tidak apa-apa. Hihihi ...." Tawanya yang khas tak membuatku terbiasa mendengarnya. Aku tetap saja merinding."Keluarlah dari tubuh Nur, kasihan dia. Nur bisa terluka." Aku mencoba membujuk Nana, aku tak tahu apa yang akan terjadi pada Nur jika Nana berada dalam tubuhnya terlalu lama."Oh, jadi namanya Nur," ucap Nana sambil mengernyitkan matanya. "Aku tak suka padanya. Dia selalu mendekati Aldi. Aldi, kan teman Nana," ucap Nana lagi."Tidak begitu, Nur sangat baik pada Aldi. Nur itu teman Aldi. Jadi, Nana juga boleh menganggap Nur sebagai teman Nana, seperti Aldi."
Nana mulai menggangguk walau masih terlihat kesal.
"Aldi, kenapa kau jadi tumbuh besar, kenapa Nana tidak?" tanya Nana.Aku tersentak mendengar pertanyaan Nana. Anak kecil ini begitu polos, dia sepertinya belum mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi padanya. Aku segera menghampiri Nana, mengusap rambut pirangnya."Nana ingin seperti Aldi. Nana ingin selalu bersama Aldi." Matanya mulai berkaca-kaca.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Nana pasti sangat sedih bila aku beritahu bahwa dia tidak akan tumbuh besar seperti manusia biasa. Ditambah lagi, kenyataan sebenarnya yang lebih menyakitkan adalah dia tidak memiliki kehidupan.Aku berjalan setengah berlari menelusuri jalan setapak yang melewati kebun teh siang itu. Dari kejauhan tidak terlihat asap yang biasa mengepul dari rumah tua itu. Ya, rumah Mbok Sum itu setiap saat selalu mengeluarkan asap tipis dari tungku. Mbok Sum bilang, dia ingin rumah itu selalu hangat walau dia tinggal sendiri. Aku semakin bergegas meninggalkan Aiden jauh di belakangku. "Mbok! Mbok Sum!" teriakku, setelah sampai di depan rumah Jaka. Kulihat pintu rumah itu sedikit terbuka. Aku dan Aiden pun memaksa masuk. "Mbok Sum ... apa Mbok ada di dalam?" Tak ada jawaban. "Mbok! " Aku pun segera berlari saat melihat Mbok Sum yang tengah berbaring di kamar dengan gorden setengah terbuka. Nafasnya terdengar lemah, badannya dingin. Sepertinya sudah beberapa hari Mbok Sum terbaring. "Mbok ..., ini Janis. Janis sudah datang, Mbok!" ucapku sembari menitikan air mata. "Maafkan Janis, ya, Mbok." Aiden yang berada di sampingku pun berbisik, "Siapa dia, Janis?" Aku menyek
Kring!! Suara telpon yang berdering memecah kesunyian sore ini di rumahku. "Mbok, ada telpon!" teriakku tak sadar. "Astaga! Apa yang aku lakukan?" Aku pun bergegas bangkit dari tempat tidur dan meraih gagang telpon. "Halo," sapaku saat memulai obrolan. "Janis, apa kau baik-baik saja? Kudengar kau sakit. Apa sudah membaik?" Suara Aiden yang khas itu terdengar gelisah. "Ya. Aku baik," jawabku singkat. "Syukurlah. Aku sangat khawatir." "Besok pagi aku akan datang ke rumahmu, tunggulah aku!" "Tut ... tut ... tut ...!!" "Hei!" Aiden sepertinya buru-buru menutup telpon. Mungkin dia takut aku akan menolah kedatangannya lagi. Tapi, dari mana Aiden tahu kalau aku sakit? Apakah Kak Bagas atau Ibu yang memberitahu? *** "Kau bermimpi tubuhku dipenuhi belatung?" Aku mengangguk, mengiyakan ucapan Kak Bagas. Ya, mimpi itu sudah berkali-kali aku alami. Setiap malam menjelang subuh, perasaan takut itu terus muncul. "Kau tahu dari mana asal belatung itu?" tanya Kak
Suara isak tangis dari Ibu pun terdengar. Aroma minyak angin terasa menyengat. Cahaya lampu yang menyinari wajahku pun terlihat semakin terang. Aku telah sadar sepenuhnya. "Ibu?" Kata pertama yang keluar dari mulutku.Rasa takut itu kini kembali. Apakah aku mungkin akan menyakiti Ibu dan Ayah saat aku kembali tak sadar?"Ibu, Ayah, Aku takut." Tangisku pun pecah.Selama ini aku berpikir aku adalah gadis yang kuat. Tapi, aku salah. Aku sangat lemah. Aku takut, aku takut pada diriku sendiri."Ibu dan Ayah ada di sini bersama Janis. Janis tidak perlu takut," ucap Ibu sembari terus memeluk dan menciumku.Setelah kejadian itu, aku tak masuk sekolah selama satu minggu. Aku hanya beristirahat di rumah ditemani Ibu dan kakak laki-laki keduaku bernama Bagas.Dan benar saja aku sendirian kali ini, Jaka menghilang seperti yang lain. Apa ucapanku tempo hari sangat keterlaluan? Apa Jaka benar-benar tidak akan menemuiku lagi?"Ah ... kenapa aku terus mengingatnya. Padahal dia sama saja dengan hantu
"Kau sungguh bodoh? Atau pura-pura bodoh?" Aku terus berteriak pada Jaka yang terlihat menyesali perbuatannya. Sesekali dia mencoba bicara tapi aku tak membiarkannya. Amarahku terasa mencuat saat melihat wajahnya. "Lihat, gadis itu terus mengikutiku!" bentakku pada Jaka."Maafkan aku, Janis. Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan temanmu," jawab Jaka."Kau tahu? Akibat dari perbuatan pahlawanmu itu, aku tak bisa lagi hidup sesuai keinginanku. Gadis itu akan terus mengikutiku," bentakku lagi.Jaka terdiam sesaat, lalu bersujud dan kembali berucap lirih."Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosaku padamu?" Matanya mulai berkaca-kaca."Jangan pernah lagi muncul dihadapanku. Aku sudah tak membutuhkanmu!" Jaka terdiam, kini air mata itu benar-benar menetes. "Janis. Apa kau bersungguh-sungguh?" Ucapannya sedikit membuatku merasa iba. Tapi, apa yang Jaka lakukan sudah sangat keterlaluan bagiku."Ha ... ha ... hantuuuuu!!" teriak Mbok Karsih dari dapur.Aku sege
Matahari pagi mulai menunjukkan eksistensinya. Sorot cahaya dari lampu tidurku mulai meredup.Aku bangun dari tidurku yang nyenyak, disuguhi dengan Jason yang sudah menungguku di balik tirai kamar.Ketenangan itu berubah menjadi suara bising yang Jason timbulkan saat melihatku mulai membuka mata."Kakak. Ayo main ... " ajaknya seperti biasa.Aku meregangkan otot-ototku yang telah dipaksa untuk beraktivitas kembali. Mengumpulkan nyawa sembari menguap, begitu pula dengan Jason yang mulai terbawa suasana."Aku harus ke sekolah hari ini. pulang sekolah, Kakak berjanji akan bermain denganmu." Jason hanya mengangguk pasrah. Mengalah untuk kesekian kalinya."Oh ya, di mana, Jaka?" tanyaku pada Lastri saat hendak sarapan.Seperti biasa, sekolah adalah tempat yang paling menyebalkan bagiku saat ini. Bukan hanya gangguan dari Maria dan Intan, tetapi gangguan dari mereka yang merasakan aku memiliki kemampuan melihat mereka pun terus mengikutiku dari gerbang menuju gedung sekolah. Kebanyakan da
Beberapa hari setelahnya. Seperti biasa aku pamit pada Jason yang selalu menungguku setiap pulang sekolah untuk bermain. Di sana juga ada Lastri yang sudah bergelantungan di pohon manggis depan rumah. Ya, pohon besar itu sudah menjadi rumah untuk Lastri berpuluh-puluh tahun yang lalu. "Mba, Janis. Ini makan siangnya ketinggalan!" panggil Mbok Karsih. "Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbok." Aku segera mengambil bekal itu dan berlari menuju mobil yang dikendarai ibuku. Beberapa hari ini aku mulai membawa bekal makan siang ke sekolah. Kejadian tempo hari membuatku jadi lebih waspada akan kehadiran mereka. Sesampainya di sekolah, aku keluar dari mobil setelah berpamitan dengan ibuku yang juga akan berangkat mengajar. "Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, segera telepon Ibu," perintahnya. Aku hanya mengangguk. Itu adalah kata-kata yang selalu terucap dari mulut ibuku selama tujuh belas tahun. Ibu selalu terlihat khawatir sejak mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh







