Nalen menghentikan mobilnya di depan rumah bergaya minimalis. Rumah yang terletak dekat pusat kota Jogja itu memiliki bangunan bertingkat dua, dengan warna dominan abu-abu dan putih. Rumah ini adalah rumah pribadi keluarga Akhtar yang memang hanya dipakai ketika mereka ke Jogja. Meski jarang dikunjungi, keluarga Akhtar tetap menyewa orang untuk mengurus rumah itu jika sewaktu-waktu dia ke sini.Sejujurnya Nalen benci sekali berada di rumah tersebut. Rumah milik mendiang kakeknya itu adalah saksi bisu bagaimana hancurnya Nalen setelah kehilangan Alice, mantan kekasihnya. Juga saksi bagaimana dia harus menanggung beban rasa bersalah seumur hidup.Sambil memindai beberapa gambar yang dia ambil tadi, Nalen berjalan masuk tanpa mempedulikan Aidan yang kini sudah duduk di ruang tengah. Senyum samar sesekali tersungging di bibir Nalen saat mengingat pertemuannya dengan Safiyya tadi pagi. Begitu satu kakinya baru menaiki anak tangga pertama, teguran Aidan terdengar. Diam-diam sang ayah memper
Safiyya berjalan tak tentu arah. Wanita itu tengah bingung memikirkan cara mendapat uang untuk operasi ibu. Tak enak hati jika harus meminta tolong pada Maira lagi, dia akhirnya memutuskan mendatangi Bu Sinta. Tapi syarat yang diajukan Bu Sinta sangat berat untuk Safiyya lakukan kala itu."Saya akan membantu kamu, dengan satu syarat," ujar Bu Sinta. Ada jeda sejenak, wanita bertubuh gemuk itu menanti respon dari lawan bicaranya yang masih diam. "Kamu sanggup?" sambung Bu Sinta."Saya harus tahu dulu syaratnya apa."Bu Sinta tersenyum culas, kemudian menghampiri Safiyya, lalu membelai wajah cantik wanita itu dengan gerakan seringan kapas. Seolah tengah mengagumi sebuah karya Tuhan."Buka hijab kamu, dan datang besok ke club biasa. Ada seseorang yang harus kamu temui."Safiyya terdiam mendengar syarat yang diajukan Bu Sinta. Hatinya kembali dilanda kebimbangan. Satu sisi dia tak memiliki banyak waktu lagi. Disisi lain dia tak bisa menerima jika harus kembali ke masa lalu."Bagaimana?" u
"Bodoh, pastikan bahwa dia tak akan kabur! Orang ku sudah menunggunya di sana. Aku tak mau tahu, kalau sampai rencana ini gagal aku tak akan segan-segan melaporkanmu ke polisi." Laki-laki itu menutup panggilan sepihak setelah memperingatkan seseorang di seberang sana. Wajahnya mengeras menahan amarah."Dasar brengsek!" makinya kemudian sambil melempar ponsel dengan kasar. Tindakannya pun tak ayal menimbulkan suara gaduh di apartemen itu.Mendengar keributan tersebut seorang wanita cantik tergopoh-gopoh datang. "Apa yang terjadi?"Pertanyaan si wanita semakin membuat laki-laki bertubuh tinggi dengan sedikit jambang, jengkel dan frustasi. Dengan wajah penuh amarah ia menatap wanita cantik di depannya."Si brengsek itu hampir saja mengacaukan rencana kita. Berani-beraninya dia …," Laki-laki tersebut menggantung kalimat, seakan tak bisa berkata-kata lagi. Rasa bencinya pada Nalen yang sudah mengakar kuat di hati seolah sudah tak bisa dibendung."Apa maksudmu Nalen?" Wanita di sampingnya m
Jam satu lebih, mobil sedan hitam berhenti tepat di depan rumah Safiyya. Wanita cantik itu tak langsung masuk ke rumah, dia mengajak bicara orang di dalam mobil terlebih dulu. Tak lain adalah pelanggan Bu Sinta."See you tomorrow weekend. Don't forget your promise to accompany me again."Safiyya membalas ucapan laki-laki itu dengan anggukan. Ia tak berminat sama sekali memperpanjang obrolan itu. Kemudian mobil sedan di hadapannya melesat pergi. Baru hendak melangkah masuk dia dikagetkan dengan sebuah suara yang berasal dari teras rumah.Maira berlari kecil menghampiri Safiyya, seolah dia sudah menunggu kehadirannya cukup lama. "Kamu dari mana aja? Kenapa kamu pakai pakaian kayak gini, Saf? Apa yang terjadi? Kenapa kamu nggak bilang kalau Ibu masuk RS?"Safiyya tak menjawab pertanyaan beruntun Maira. Dia lebih memilih masuk ke rumah, mengabaikan wanita cantik di belakangnya yang terus merecoki dengan pertanyaan bertubi-tubi."Saf, jawab dong pertanyaan aku! Kenapa kamu jadi kayak gini?
Safiyya melangkahkan kaki menyusuri koridor rumah sakit. Wanita berhijab itu terlihat cantik dalam balutan blus berwarna pink, berpadu celana kulot hitam. Pagi ini sebelum bekerja Safiyya memutuskan terlebih dulu menemui ibunya untuk memastikan kondisi Halimah sudah jauh lebih baik atau belum. Pasalnya akhir-akhir ini ia sibuk di kantor dan jarang bisa menemani sang ibu selama dua puluh empat jam."Ass-" Ucapannya terhenti begitu ia membuka tirai, dan mendapati laki-laki yang paling dihindarinya setengah mati kini duduk di samping ranjang Halimah. Tiga orang di sana tengah asyik mengobrol. Nalen bahkan terlihat akrab dengan ibu dan Gibran.Safiyya mendekat meski ragu. Ia meletakan kantong plastik berisi makanan ke atas nakas. "Anda kenapa di sini?" Safiyya bertanya tanpa melepas perhatiannya pada makanan yang tengah ia keluarkan.Nalen bangkit dan menyunggingkan senyum ke arah Safiyya "Saya kebetulan ada keperluan di sekitar sini, jadi sekalian mampir. Ada hal penting juga yang ingi
Suara percikan air terdengar dari kamar mandi rumah Safiyya. Mengalir tanpa henti ke sekujur tubuh kuyu itu. Safiyya meringkuk seperti bayi dalam kandungan dengan baju masih membalut tubuhnya. Sudah seharian lebih dia berada di sana tanpa berniat menyudahi aktivitasnya. Benar, bahwa Safiyya memang berpikir lebih baik mati saja.Tangannya terus menggosok kasar sisa-sisa sentuhan biadab itu. Seolah dengan begitu dia bisa menghapus noda yang telah ditinggalkan. Noda yang mungkin tak akan pernah hilang selamanya."Kotor ...." Bibir pucatnya mengucapkan kalimat itu tanpa henti. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, bahkan ketika gesekan-gesekan yang ia lakukan mulai menimbulkan rasa nyeri, Safiyya tetap tak peduli. Baginya rasa perih itu tak sebanding dengan apa yang telah hilang darinya.Tak banyak yang tahu, meski Safiyya seorang biduan, ia berusaha keras untuk melindungi kehormatannya. Tapi segala bentuk perlindungan yang ia usahakan selama ini sudah berakhir sia-sia. Harusnya ia menuruti per
Safiyya masih bergeliat di dalam selimut siang ini. Sudah satu minggu setelah ibunya meninggal, dan selama itu pula ia seakan tak memiliki tenaga untuk melakukan apa pun. Bahkan hingga acara tahlil yang digelar selesai, wanita itu tak pernah keluar dari kamar. Jika saja Safiyya tak ingat masih ada Gibran yang membutuhkan keberadaannya, ia pasti lebih memilih menyusul ibu.Bulir bening meluncur dari pipi wanita itu ketika bayang-bayang ibu menari dalam ingatan, mengirim beribu penyesalan yang tak berkesudahan. berganti dengan kejadian pilu yang dialaminya.Andaikan waktu itu ia tak begitu saja mempercayai Mr. Harry, andaikan waktu itu ia memilih pulang lebih awal, semua kemalangan ini pasti tak akan pernah terjadi. Yang Safiyya sesali adalah kenyataan ia tak bisa berada di sisi ibu bahkan di saat terakhirnya.Safiyya kembali menarik selimut, wanita itu merapatkan tubuh, dan meringkuk seperti bayi dengan bulir bening terus meluncur dari matanya. Dadanya sesak sekali. Tubuhnya kuyu, tak
Safiyya menatap kertas di atas meja rias dengan was-was. Sudah sejak pagi ia ragu antara harus membuka kertas itu atau tidak. Pasalnya beberapa hari ini perutnya selalu mual, Safiyya juga sudah telat datang bulan. Karenanya tanpa sepengetahuan siapapun ia memeriksakan diri ke dokter. Bukannya bahagia dengan kabar itu, Safiyya justru semakin kacau.Tak berapa lama suara dering ponsel membuyarkan lamunan Safiyya. Diangkatnya panggilan itu yang ternyata dari Maira. Ia sampai lupa bahwa hari ini ada janji dengan sahabatnya."Saf, kamu udah siap, kan? Buruan dong ke sini. Aku butuh kamu nih." Maira terdengar panik."Iya, aku sama Gibran udah siap kok. Tinggal berangkat.""Okey, aku tunggu, ya, jangan lama-lama. Assalamualaikum."Safiyya mengangguk, meski orang di seberang tak melihat. "Ya. Wa'alaikumsalam." Sambungan terputus setelah itu.Hari ini Maira menyuruh Safiyya ikut meninjau persiapan gedung yang akan dipakainya untuk acara pertunangan. Sekaligus membantunya membeli semua keperlua