"Maaf, Bulik. Aku terpaksa ngejar taksinya," tutur gadis itu dengan napas tak beraturan.
"Lho, kamu ini. Taksi kok dikejar.""Iya, Bulik. Ponsel aku ketinggalan di dalam taksi.""Oalah, Nduk. Kamu ini masih muda, kok sudah pelupa. Masih untung taksinya bisa dikejar.""Iya, Bulik. Eh, Bulik ... itu siapa, kok, lihat aku sampai nggak kedip, gitu?"Aku yang sejak tadi terpegun memperhatikan gadis itu segera tersadar karena mendengar ucapan dia yang blak-blakan. Logat medok Jawa khas gadis desa terdengar aneh di telingaku.Secara wajah, dia memang mirip gadis yang sering menemuiku. Tapi secara logat ... teramat jauh beda. Benar-benar aneh bagiku karena semua seolah menjadi dejavu."Ini Den Darren, anak majikan Bulik." Bik Atin memperkenalkan keponakannya yang terkesan norak itu.Dengan percaya diri, gadis bernama Meisya itu mengulurkan tangan meraih tanganku. Tanpa malu-malu ia memperkenalkan diri terlebih dahulu. "Kenalin Mas Darren, aku Meisya Anindya Ningrum anak dari Pak Joyo Diwiryo juragan tembakau terkaya di desaku."Gila bener! Seakan ingin menunjukkan status sosial padaku sampai segitunya dia memperkenalkan diri secara detail. Pakai nama bapaknya segala dibawa-bawa.Aku tak menjawab, hanya mengulas senyum tipis. Kutarik perlahan tanganku dari genggaman jemarinya."Mas Darren ganteng, ya?" ucapnya sembari nyengir, membuat wajahku memerah dibuatnya."Hush! Kamu ini, Nduk. Jangan kurang ajar dengan Den Darren, dia anak majikan Bulik. Di sini nanti kamu juga numpang, jadi harus pinter-pinter jaga sikap." Panjang lebar Bik Atin menasihati keponakan yang kelewat percaya diri itu."Iya, Bulik." Meisya menjawab seraya mencebik."Ya sudah, Bik. Ayo masuk, Mama dari kemarin juga udah nungguin Bibi balik. Kasihan Mama kalau harus ngerjain kerjaan rumah sendirian.""Baik, Den."Bik Atin dan gadis itu melangkah mengikutiku dari belakang, kemudian langsung ke kamar belakang untuk meletakkan barang bawaan.Tak berapa lama mereka keluar lagi hendak menuju dapur. Sudah pasti untuk menemui Mama yang masih sibuk di dapur."Den Darren, Nyonya ke mana? Bibi cari di dapur nggak ada.""Paling lagi istirahat di kamar, Bik. Nanti aja kalau Mama udah turun baru bicara, ya.""Baik, Den." Bik Atin melangkah meninggalkan aku yang masih termenung.Ingin rasanya bertanya lebih jauh lagi tentang Meisya, namun kuurungkan niat itu karena aku tak ingin ada kesalahpahaman. Apalagi gadis itu over percaya diri, bisa-bisa dia bakalan kegedean rasa.Kuhempas tubuh di sofa dengan kasar bersamaan helaan napas panjang. Antara percaya dan tidak, selama lebih dari delapan tahun aku selalu mimpi yang sama dan hari ini sosok itu hadir dalam kehidupan nyata.Beberapa kali aku tepuk pipi, mencubit lengan, dan bahkan menggigit telunjuk. Namun, semua terasa sakit. Sudah jelas ini bukan mimpi lagi.Tetiba kepalaku berdenyut, serasa ditarik-tarik. Kupegang erat kepalaku, berharap rasa sakit ini segera menghilang. Namun, justru slide bayangan klise yang biasa muncul di mimpi kini hadir tanpa aku tidur.Bayangan sebuah mobil menghantam motor yang aku tumpangi seolah nyata terjadi membuat aku berteriak dan terbangun dari posisi berbaringku. Sontak teriakan yang keluar dari mulutku mengundang semua yang ada di rumah datang menghampiriku."Darren, kamu kenapa, Sayang?" tanya mama dengan sorot netra penuh kekhawatiran."Ma, bayangan itu muncul lagi." Napasku tersengal, jantung berdetak teramat cepat."Bik Atin, tolong ambilkan air putih untuk Darren!" titah mama kepada Bik Atin yang berdiri tak jauh dari aku duduk."Baik, Nyonya." Bergegas wanita itu menuju dapur.Tatapanku seketika tertuju pada gadis desa itu. Entah mengapa tetiba aku jadi merinding saat melihat Meisya. Apa mungkin ia makhluk tak kasat mata yang menjelma menjadi gadis dalam mimpiku itu?Aku semakin ketakutan saat ia mulai mendekatiku. Spontan aku merangsek memeluk mama. "Ada apa, Sayang? Kamu nggak sedang sakit, kan?" tanya mama sembari memegang dahiku untuk mengecek suhu badan."Sebentar, kamu siapa dan kenapa ada di sini?" tanya mama saat menyadari ada gadis berambut panjang berdiri di depannya."Saya Meisya Anindya Ningrum anak dari Pak Joyo Diwiryo juragan tembakau terkaya di desaku, keponakannya Bulik Atin asisten rumah tangga Nyonya."Aku mendelik mendengar celoteh panjang lebar dari gadis kampung yang menakutkan itu. Entahlah, dia memang cantik ... tapi bagiku dia bak makhluk mengerikan yang terus menerorku.Aku terbatuk saat melihat Meisya tanpa sungkan meraih jemari mama dan mencium takzim punggung tangannya. Senyum ceria yang selalu menampilkan barisan gigi putih dan rapi itu terus saja tersungging."Aku mau ke kamar, Ma." Aku hendak berdiri, namun mama menarikku kembali."Minum dulu airnya, biar kamu lebih tenang." Tangan mama meraih gelas di atas nampan yang dibawa Bik Atin.Segera aku tenggak tuntas air dalam gelas, tak tersisa setetes pun. Setelah itu dengan sedikit sempoyongan aku berusaha berdiri. Aku tak mengerti kenapa tulang kaki ini serasa melunak, lemas sekali."Biar Mama papah kamu ke kamar." Dengan sigap mama meraih lenganku dan meletakkan di bahunya.Perlahan aku tapaki anak tangga yang berasa sangat jauh ujungnya. Ingin sekali segera mencapai pintu kamar tidur dan menghempas tubuh ke peraduan ternyaman."Hati-hati, Sayang." Mama mengingatkan saat aku telah mendekat ke tepi ranjang.Tak sabar tubuh ini ingin berbaring, meletakkan kepala yang penuh dengan memori aneh. Semenjak bertemu dengan Meisya beberapa waktu lalu, justru membuat kilatan slide semakin jelas dan nyata."Ma, apa Mama kenal dengan Meisya?" tanyaku saat wanita yang melahirkan aku delapan belas tahun lalu itu hendak keluar dari pintu.Ia menghentikan langkah, kemudian berbalik ke arahku kembali. Tangan penuh kasih sayang itu mengusap kepalaku dengan lembut."Kenapa, Sayang? Kamu suka dengan dia?""Bukan, Ma. Tapi Meisya itu persis dengan gadis yang selalu hadir dalam mimpi Darren, Ma."Mama mengernyitkan dahi. Tatapan wanita di hadapanku ini seolah tengah menelisik dan ingin menemukan sesuatu yang ada di pikiranku."Ma, aku serius. Selama ini Darren sering mimpi dan anehnya mimpi itu selalu sama." Aku mencoba meyakinkan mama."Apa kamu sebelumnya pernah ketemu dengan Meisya?"Aku menggeleng lemah. Kuremas rambut yang telah acak-acakan ini. Semakin aku mencoba menemukan jawaban, justru kepalaku semakin sakit."Aneh. Kalau kamu belum pernah ketemu dia, bagaimana kamu bisa mimpi tentang Meisya? Kamu yakin gadis itu yang ada dalam bunga tidurmu?""Iya, Ma. Darren juga kaget saat melihat gadis itu. Darren sama sekali tak pernah menyangka kalau mimpi itu akan menjadi nyata. Dan sekarang yang Darren takutkan adalah ...."Aku terdiam tak mampu meneruskan kalimat. Ada yang tetiba menyesak dalam relung batin."Apa, Darren? Jangan bikin Mama khawatir, donk.""Mimpi mengerikan itu, Ma. Sebuah mobil yang menabrak Darren. Aku takut kalau sampai hal itu menjadi kenyataan."Mama sontak memelukku erat. "Jangan berpikir seperti itu, Darren. Mama tak akan sanggup jika harus kehilangan kamu."Suasana hening. Mama yang tengah gelisah hanya mampu mendekap dan mengelus kepalaku. Pandanganku nanar menatap jauh menembus kaca jendela. Memandang langit dan berharap mimpi buruk itu akan segera berakhir.Sudah seminggu gadis cantik itu tinggal bersama keluargaku. Anehnya, semenjak kehadiran dia di rumah ini, malam lelapku tak lagi bermimpi tentang dirinya. Ketenangan bisa lebih kurasakan, bahkan rasa nyaman saat menatap wanita itu begitu nyata hadir dalam relung batin. Aneh memang, tapi semua itu sungguh nyata.Seperti hari ini, kulihat ia begitu anggun memesona dalam balutan pakaian seragam putih abu-abu dengan rambut digerai dan ada kepangan kecil dari belahan tengah rambut menyamping di kedua sisi. Tak tampak seperti gadis desa, ia justru bak tuan putri yang mengalihkan duniaku. Entah sejak kapan tanpa aku sadari ada pendar asmara yang mulai mengusik istana hatiku yang telah lama kosong.“Meisya, hari ini kamu sudah mulai berangkat sekolah, ‘kan?” tanya mama yang melihat Meisya telah menggendong tas ransel dan membopong beberapa buku dalam dekapannya.“Iya, Nyonya. Aku sudah seperti anak kota belum, Nyonya?” tanyanya seraya memacak diri meminta pendapat.Mama tersenyum melilhat tin
“Mas Darren, dia siapa, sih?” tanya Meisya dengan tatapan penuh rasa penasaran.“Sudah jangan banyak tanya. Sebentar lagi bel masuk, buruan aku antar kamu ke kelas.” Dengan sedikit kasar kutarik tangannya menuju ruang kelas tempat ia akan belajar.“Ini kelas kamu, nanti saat istirahat jangan mencoba mencari aku!” titahku saat ia sudah ada di depan kelasnya.“Kenapa, to, Mas Darren? Takut aku minta dijajanin, yo?”“Udah, jangan banyak tanya!”“Iya.”Tanpa menunggu ia masuk kelas, aku sudah melenggangkan kaki pergi meninggalkan Meisya yang mungkin saat ini masih deg-degan di lingkungan barunya. Lebih baik aku jaga jarak dengan dia karena tak ingin gadis lugu itu terkena masalah dari Alea yang terus saja cemburu kepada setiap gadis yang mendekatiku.Masih kuingat dengan jelas bagaimana ia melakukan perundungan terhadap Jenny si cewek cupu namun smart yang sering menghabiskan waktu bersamaku di meja perpustakaan.Aku memang nyaman saat diskusi dengan gadis berkaca mata tebal itu. Banyak i
Mentari telah condong ke arah barat saat kaki ini melangkah keluar dari pintu gerbang sekolah. Rasa lelah memaksaku ingin cepat sampai di rumah dan merebahkan diri.Beruntung sopir yang bertugas menjemputku telah standby di tepi jalan dekat dengan gerbang sekolah. Hanya saja kejadian menyebalkan membuatku ingin marah.“Den Darren, Meisya belum pulang?” tanya sopirku sembari melongok keluar jendela mobil.“Mungkin sebentar lagi, Pak Jo. Kita tunggu aja.”“Baik, Den. Den Darren kayaknya capek banget, pelajarannya susah, ya, Den?”“Pelajaran, mah, gampang. Yang bikin capek itu adalah kegiatan mikirnya, Pak Jo.”“Oh, begitu … maklum, Den. Dulu Pak Jo sekolahnya hanya sampai SMP saja,” ujar pria setengah baya itu diiringi tawa kecil.Kulirik penanda waktu di pergelangan tangan. Sudah hampir lima belas menit aku menunggu Meisya, tapi tak tampak juga batang hidungnya. Apa jangan-jangan ia nyasar dan tak tahu jalan pulang?Atau … ah, Alea! Jangan- jangan Meisya dihadang oleh Alea and the geng
Perjalanan pulang sekolah akhirnya sampai juga, mobil memasuki halaman rumah berpagar besi yang cukup tinggi menjulang. Pak Dalim yang bertugas sebagai sekuriti bergegas menutup kembali pintu gerbang setelah mobil masuk.Kulihat mama yang masih sibuk dengan tanaman bonsai, ia melakukan pekerjaannya dengan dibantu Bik Atin. Melihatku turun dari mobil, mama langsung menghambur dan memelukku seperti biasa. Tak hanya sekedar memeluk, tapi juga mendaratkan kecupan di kedua pipi ini.“Kok pulangnya telat, Sayang? Mampir dulu ke mana?”“Gadis kampung pakai acara ngilang, Ma!”Mama mengernyitkan dahi, “Kok, ngomongnya begitu?”“Habisnya Darren sebel, Ma. Aku, tuh, lagi capek banget. Eh, malah dia asyik ngelayap dengan cewek sok populer itu!”“Anak Mama kenapa, sih? Nggak biasanya jutek begini.”“Udah, ah, Ma. Darren mau mandi terus ke roof top. Suruh Bik Atin bawain camilan dan secangkir kopi latte kesukaanku, ya, Ma. Serius Darren lagi capek hari ini.”“Iya. Sudah sana masuk,” ucap mama semba
Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagiku. Permintaan yang kemarin kuajukan ke mama akan terealisasi hari ini. Mama akan pergi ke sekolah tempat aku menimba ilmu. Tentu saja untuk menemui Miss Lena.Entah kenapa jantung ini malah berdegup kencang saat mendampingi mama masuk ke ruang guru untuk menemui Miss Lena. Wanita dengan senyum indah itu menerima kami dengan begitu ramah.“Silahkan duduk, Bu. Ada apa pagi-pagi sudah menyambangi saya?” tanya Miss Lena dengan memamerkan deretan gigi berpagar kawat miliknya.“Begini, Miss Lena. Darren itu butuh bimbingan privat dari Miss, kira-kira masih bisa nggak?”“Waduh, maaf sekali, Bu. Sudah hampir tiga bulan ini saya tidak melayani bimbingan privat karena Ibu saya sedang sakit dan lebih membutuhkan kehadiran saya.”“Oh, begitu.”“Iya, Bu. Lagipula kemampuan Bahasa Inggris Darren sudah baik, kok. Jadi, saya rasa nggak perlu bimbingan lagi.”“Tapi kata Darren ….”“Ma, aku takut aja kalau nanti aku nggak siap untuk ujian sekolah. Please, kumo
Hari ini semua siswa pulang lebih awal dari biasanya, maklum hari terakhir berangkat untuk minggu ini. Sekolah full day memang menerapkan lima hari belajar saja.Jadi, besok adalah hari Sabtu. Hari yang sudah kutunggu untuk menjalankan semua rencana. Aku harus berhasil mengambil hati Miss Lena meski malu taruhannya.“Mas Darren nungguin aku? Takut kalau aku ngilang lagi, ya?” tetiba suara gadis katrok itu sudah ada di belakangku, sepertinya memang dia itu sosok makhluk astral yang bisa muncul dan hilang tiba-tiba.“Yuk, Mas!” Ia menarik tanganku untuk bergegas menuju pintu gerbang.“Meisya, hari ini aku mau ngajak kamu jalan-jalan. Mau nggak?”“Kemana, Mas?”“Ke kafe.”“Iih … Mas Darren, kok, mainnya ke kafe? Ntar aku bilangin ke nyonya, lho!”“Apaan, sih, Trok. Nggak jelas banget, deh!”“Itu tadi Mas Darren bilang mau ke kafe. Kafe itu tempat nggak baik untuk kita anak muda.”Oh My God … sebenernya dia ini dari planet mana? Sampai-sampai punya pikiran macam itu. Entah sudah berapa ka
“Ma, waktu itu aku pernah cerita ke Mama tentang mimpi aneh. Mama masih ingat?”Wanita di hadapanku itu terdiam, tampak ia berusaha mengingat sesuatu. “Mimpi tentang kecelakaan mobil itu?”“Tidak hanya itu, Ma.”“Lalu?”“Tentang gadis dalam mimpi itu.”“Gadis yang kamu bilang mirip Meisya?”“Iya.”“Kamu yakin dia mirip Meisya?” tanya mama dengan tatapan menyelidik.Sudah kuduga, pasti mama pun tak akan percaya dengan yang kualami. Sungguh ini di luar nalar manusia. Selama bertahun-tahun dihantui mimpi yang selalu sama, bahkan salah satu dari mimpiku kini jadi kenyataan. Kehadiran Meisya menjadi penanda bahwa mimpi itu adalah sebuah firasat kenyataan akan masa depan.Penanda masa depan? Benarkah Meisya adalah bagian dari masa depanku? Atau … jangan-jangan ini kaitan dengan kehidupanku di masa lampau? Ah, apa iya reinkarnasi itu ada?Kucoba menepis semua pikiran yang makin tak masuk akal itu. Kehela napas berat, mengisi kembali paru-paru yang serasa terhimpit ini dengan merauk oksigen s
Tubuhku terasa lemah kembali setelah mendengar percakapan mama dengan papa. Kusandarkan tubuh pada pegangan tangga, ada titik bening yang tetiba jatuh dari kedua sudut mata.Aku menangis bukan karena rasa sakit di kepala yang masih kurasa, melainkan ada nyeri menjalar kala tahu bahwa wanita yang selama ini jadi malaikat dalam kehidupanku justru menganggapku gila.Tak masalah jika mama tak percaya dengan semua ceritaku, tapi tak seharusnya berpikir bahwa aku mengalami gangguan kejiwaan. Sungguh menyakitkan mendengar semua itu.“Darren, kamu kenapa duduk di situ?” Tetiba mama sudah ada di ujung tangga, melihatku yang menyembunyikan wajah dalam tangkupan lutut yang kutekuk.Sontak aku mengangkat wajah, memandang penuh kecewa pada wanita itu. Tak kusangka ia tega berpikir aku tak waras lagi. Semua gegara Meisya, seandainya ia tak pernah hadir dalam mimpiku mungkin aku tak perlu merasa dihantui oleh kilasan bayang yang tak pernah kumengerti.“Darren, kamu kalau butuh apa-apa seharusnya cuk