“Tidak ada apa-apa, Mas.”
“Serra!”“Ini masalah perempuan.”“Tapi dia putriku, Serra.”“Percaya padaku, tidak ada apa-apa. Ini hanya masalah anak gadismu dan kekasihnya jadi aku masih bisa menangani, tenang saja.” Aku melangkah keluar meninggalkan Mas Tian yang masih berada di kamar Melody.Malu jika pagi-pagi sudah ribut begini apalagi di depan Rianti. Sebenarnya dia itu wanita baik tapi tetap saja wanita yang berlabel ibu tiri itu buruk di mata Melody.Hari ini sengaja aku tidak masuk ke kantor, pekerjaanku pun sudah selesai kemarin. Masalah ini jelas sangat penting.“Bunda, hari ini adek tidak mau sekolah ya,” ujar Maura saat aku ikut bergabung di meja makan.“Kenapa?”“Mau jalan-jalan bersama Ayah.”Selalu seperti ini, saat ayahnya datang bukan di hari libur maka Maura akan meliburkan dirinya sendiri. Tidak masalah toh dia masih di taman kanak-kanak, jarang juga bertemu dengan ayahnya.“Ti, nanti aku titip Maura ya. Mau antar Melody ke sekolah.” Aku hanya menghabiskan segelas susu sedangkan Melody sudah berjalan keluar.“Iya, Mbak.”Aku langsung menyusul Melody keluar.“Bunda antar.”“Tidak usah, aku pesan ojol.”“Masuk!” Aku lebih dulu membuka pintu mobil untuknya.Dia menghela nafas panjang lalu masuk ke dalam mobil.“Kenapa ada ibu tiri di rumah?” pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari Melody dengan nada ketus.“Jangan memanggilnya seperti itu. Panggil lebih sopan, kalau tidak mau memanggil ibu panggil namanya, Tante Rianti.”“Siapa yang peduli.”Orang bilang Melody sama sepertiku, keras kepala. Dan aku merasakan sulitnya menghadapi anak ini, mungkin dulu ibu mengalami hal yang sama. Bedanya ibu ditemani ayah sedangkan aku sendiri menghadapi Melody.Karena Melody pula aku lebih bisa menekan ego dan lunak sedikit karena dia lebih keras dariku.“Nanti pulangnya Bunda jemput.”“Bunda tidak bekerja?”“Bunda libur.”Melody tidak menyahut lagi dan fokus pada ponselnya.Apa dia tidak curiga soal ponselnya yang kubuka, aku ingat tidak sempat menutup jendela percakapan itu. Semoga saja tidak karena Melody tampak biasa saja.Aku mengantarnya sampai di depan gerbang. Dia turun setelah mencium tanganku.Seorang laki-laki menghampiri Melody dan merangkul pundaknya dengan mesra. Apa itu kekasihnya? Laki-laki yang meninggalkan celana dalam di kamar Melody.Aku langsung turun dan memanggil Melody. Karena dia tidak kunjung mendekat, aku yang menghampiri. Menghempaskan tangan pemuda itu dari pundak Melody.Pemuda itu tidak terima dan sepertinya ingin marah.“Jangan pegang-pegang anak, saya!”“Bunda apa-apaan sih! Bikin malu.” Melody mencebik kesal.Pemuda itu kini tersenyum lebar, “Halo, Tante. Saya Edwin, pacarnya Melody.” Dia memperkenalkan diri dan perutnya langsung disikut oleh Melody.“Bohong, Bun. Kami hanya berteman saja, mana mungkin aku berani pacaran,” sangkal Melody.Berulang kali aku memberitahu Melody untuk tidak menjalin kasih di usianya yang masih remaja ini karena memang belum waktunya.“Sana kamu masuk duluan.” Aku menahan Melody membiarkan anak bernama Edwin lebih dulu masuk ke dalam kelasnya.“Bunda membuatku malu,” desis Melody. “Aku bukan anak kecil yang harus terus dipantau, Bun.” Setelah menghempaskan tanganku dia pergi begitu saja.Aku mengurut pangkal hidung yang terasa berdenyut, satu anak seperti Melody saja sudah membuat kepalaku rasanya ingin pecah. Mungkin jika anak lain didesak untuk jujur pasti akan ketakutan dan langsung jujur tapi Melody tidak, dia tidak sama makanya harus dengan cara lain.Setelah mengambil cctv dan alat penyadap aku langsung pulang. Hanya ada Bi Asih di rumah.“Bi, tolong belikan kelapa muda ya.”“Baik, Bu.”Masuk ke dalam kamar Melody, aku langsung memasang cctv itu didekat fotonya yang tertempel di dinding. Dia tidak akan mungkin menyadari karena cctv ini bentuknya sangat kecil, bentuknya tidak sesuai dengan harga yang menguras kantong. Kupasang di beberapa sudut sedangkan alat penyadap akan kutaruh di tas sekolah Melody.Kutarik nafas dalam-dalam, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Kejadian kemarin berkelebat dalam benak.Melirik lemari Melody yang sedikit terbuka, niat ingin menutupnya tapi tanganku malah menggeser pintu lemari itu lebih lebar. Sebuah kotak berukuran lumayan besar menarik perhatian, kutarik keluar dan membukanya.Deg!Lingerie.Tubuhku lemas seketika. Benda ini memperkuat jika memang Melody tidak sepolos usianya. Bahkan aku tidak menemukan lagi celana dalam dan bekas kontrasepsi itu, Bi Asih juga tidak membuangnya. Melody paling jijik jika ada barang orang lain di kamarnya tapi dia membuang dua benda itu dengan tangannya sendiri.Bersambung ....“Kenapa?”Aku memaksakan senyum agar papa tidak curiga.“Tidak apa-apa, Pa. Edwin bilang sebentar lagi sampai, papa pulang saja. Kasihan Bunda sendirian.”“Benar tidak apa-apa papa pulang?”“Iya, Pa. Zea juga sudah diberi obat, demamnya pasti sebentar lagi turun.”“Ya sudah. Kalau ada apa-apa langsung kabari papa ya?”“Eh, Papa pulang pakai apa?”Papa meringis, “Pinjam motornya Edwin. Besok dikembalikan.”Aku mengangguk, “Sebentar, aku ambil dulu jas hujannya.”Setelah Papa pulang pun Edwin tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya membuatku semakin gelisah.“Apa mungkin dia ….”Aku menggeleng, menepis semua pikiran buruk itu. Tidak akan mungkin Edwin melakukan itu, orang yang mengirimkan pesan pasti hanya orang iseng saja. Tapi Edwin pergi kemana sampai belum pulang, ini sudah sangat larut.Tidak ada yang bisa kutanyai teman kantornya karena memang tidak ada yang kukenal.Apa aku tanya saja pada wanita itu ya. Dia teman kerjanya Edwin. Tapi aku takut malah nanti Edwin malah dipanda
POV Melody“Kalau tidak tertukar di toko itu sendiri, berarti di kantor. Aku hanya ke dua tempat itu saja. Saat jam makan siang curi-curi waktu kesana untuk membelikan hadiah eh malah tertukar.”Edwin bicara dengan santai. Tidak terlihat mencurigakan.Aku percaya Edwin bukan lelaki seperti itu.“Sudah, tidak apa-apa. Kita lanjut makan ya, aku sudah lapar.” Senyumku masih tersungging.Tidak mau membuatnya malah tidak enak karena hadiah tertukar ini.Aku berpikir malah ada yang sengaja sudah menukarnya. Tapi tidak tahu orang itu siapa. Tidak seharusnya aku memikirkan masalah seperti ini, malah membuat pikiran buruk semakin berkembang.Selesai makan, kami kembali ke kamar. Duduk di sofa yang menghadap jendela, memandang rintik hujan yang belum ada tanda-tanda reda.Kusandarkan kepala di pundak Edwin.“Bagaimana pekerjaanmu hari ini?”“Lumayan melelahkan. Maaf ya, aku malah terlambat datang. Kamu sampai ketiduran tadi.”“Tak masalah, aku mengerti.”“Nanti tunggu libur panjang baru aku aka
“Anak-anak sudah tidur semua, Mas?”“Sudah. Sekarang giliran bundanya yang tidur.” Nino naik ke atas ranjang.Ia sudah memastikan jika anak-anaknya sudah tidur. Anak-anak memang sudah dibiasakan untuk tidur sendiri tapi tetap saja mereka memantau menggunakan monitor.Sebagai pasangan tentu mereka harus memiliki waktu berkualitas untuk berduaan, untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.“Aku masih belum ngantuk, kamu tidur saja kalau sudah mengantuk. Besok kerja ‘kan?” Serra menarik selimut dan membaringkan tubuhnya tanpa ada niat untuk tidur karena memang matanya belum merasa berat.“Aku akan menemanimu. Mana mungkin wanita secantik ini kubiarkan begadang sendirian.” Nino tersenyum lebar, ia berbaring miring menghadap sang istri.“Kapan kemampuan merayumu itu hilang?” Serra mencibir.“Saat ada di hadapan wanita lain.”Laki-laki yang orang pikir tidak akan setia malah sebaliknya. Nino memiliki segalanya, harta, popularitas dan juga tampang. Tapi dalam benaknya sama sekali tidak terpikir
Melody menghela napas panjang, melempar begitu saja ponsel ke sofa.“Siapa lagi yang menginginkan keretakan hubunganku dan Edwin?” gumamnya.Ya, ia baru saja melihat foto Edwin yang dipeluk oleh Sarah. Nomor tidak dikenal mengirimkannya pada Melody namun hal itu sama sekali tidak membuat Melody hilang akal dan melabrak ke kantor. Ini masih jam kantor dan Edwin pasti masih sibuk bekerja.Melody itu mantan orang jahat, bilang saja begitu karena dulu ia sama sekali tidak pernah peduli pada siapapun. Jadi ia tahu jelas apa yang terjadi sebenarnya adalah sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang mungkin pernah dirugikan baik oleh Melody atau pun Edwin.Ia mengira jika sudah menikah dengan Edwin maka tidak akan ada lagi masalah yang datang tapi ternyata salah. Tetap saja ada masalah yang menghadang karena sangat mustahil kehidupan berjalan tanpa sebuah masalah. Bahkan Serra dan Nino sekalipun yang hidupnya tampak sempurna pasti memiliki masalah dalam kehidupan mereka.“Me
“Kalau kau sudah tidak ada rasa, kembalikan aku dengan baik-baik pada orang tuaku.”Perkataan Melody sukses membuat Edwin terbelalak, tangan lelaki itu terangkat menyentuh kening Melody, “Tidak panas.”Melody mencebik, “Kau kira kau mengigau apa? Aku serius, Ed.”“Jangan bicara sesuatu yang mustahil begitu, Mel. Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu dalam situasi apapun, kita sudah sama-sama berjanji. Dulu kali pertama aku berjanji dan aku ingkar dan ini kali kedua aku tidak ingin mengingkari janjiku lagi.”Dulu Edwin memang berjanji untuk menjaga Melody dan juga mencintainya sepenuh hati namun karena keras hatinya wanita itu Edwin akhirnya harus mengalah dan melepaskannya meski akhirnya sekarang mereka kembali bersama.Edwin tidak sekedar berucap janji, tapi ia benar-benar akan membuktikannya. Sejauh ini Edwin memang sudah menjalankan perannya dengan baik, bukan hanya sekedar sebagai suami tapi juga ayah untuk Zea.“Isi hati orang tidak akan ada yang tahu, Ed. Aku hanya berpikir real
"Jangan, Ma. Mama di rumah, temani aku dan Zea di sini. Aku tidak akan membiarkan Mama pindah dari sini, aku tidak bisa tenang. Edwin juga pasti sama." Melody mencoba membujuk ibu mertuanya.Sebenarnya Bu Sanjaya terlanjur malu makanya ia tidak enak tinggal bersama dengan Melody dan Edwin, bukannya benci atau tidak suka. Mengingat apa yang sudah dilakukannya dulu membuat Bu Sanjaya malu setiap bertemu dengan Melody dan Edwin, dan di sini mereka bersama setiap hari.Bu Sanjaya sudah mengakui kesalahannya, ia sadar perbuatannya tidak pantas dan ingin memperbaiki semuanya. Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik. Meski mereka tinggal satu atap dengan keyakinan berbeda tapi itu sama sekali tidak merubah apapun."Mama malu" aku Bu Sanjaya.Melody mengerti apa maksud ibu mertuanya itu."Sudah ya, Ma. Jangan bahas masa lalu, aku pun malu dengan masa laluku sendiri. Sekarang kita jalani saja kehidupan sekarang. Sama-sama memperbaiki diri, kita sudah saling memaafkan bukan."