Hari - 1
Aku dan temanku, Bagas, kembali ke kamar kami, setelah menyelidiki kamar Kira. Rasa syok masih kurasakan saat Aku membaringkan tubuhku di atas lantai. Pemandangan itu jelas bukan sesuatu yang bisa kau lihat setiap hari.
Setiap kali mengingat adegan itu, Aku selalu menggelengkan kepalaku, lalu mengacak-ngacak rambutku agar Aku bisa melupakan adegan tersebut.
“Nah, Asraf... sebetulnya apa yang ingin kau cari di kamarnya?”
Aku melirik sejenak ke arah Bagas yang sedang menyenderkan tubuhnya di dinding, sebelum kembali menatap langit-langit, lalu menjawab pertanyaannya.
“Tentu saja petunjuk... Aku sudah mengatakan itu sebelumnya, kan?”
“Itu memang benar, tapi petunjuk macam apa yang kau bicarakan?”
“Pertama Aku ingin tahu petunjuk untuk bisa menghindar dari terbunuh, tapi dilihat dari kondisi tubuh lelaki itu, sepertinya sulit untuk menghindar dari hal tersebut, setelah kau menjadi target dari pembunuhan.”
“Kondisi lelaki itu... itu bukan cara biasa orang terbunuh.”
“Ya, kau benar... dia seakan-akan dijadikan contoh seperti apa kondisi tubuh kita, jika kita sampai terbunuh.”
“Apa kau pikir dia dijadikan sebagai peringatan oleh mereka?”
“Bisa saja, Aku sendiri tak yakin kenapa mereka melakukan hal yang kejam seperti itu, tapi yang jelas mereka adalah orang-orang yang tak akan segan-segan membunuh, jadi berbicara dengan mereka untuk tidak membunuh kita adalah hal yang percuma.”
Aku kemudian bangun dari posisi tiduranku, lalu merogoh sakuku untuk mengambil tanda pengenal milikku.
Meskipun si Kepala desa telah menyuruh kami untuk memasang tanda pengenal ini, tapi tak ada orang yang benar-benar mendengarkannya dan memasangnya. Itu wajar saja, jika nama kita sampai diketahui oleh orang yang membenci kita, maka kita bisa dengan mudah dibunuh olehnya hanya dengan memasukkan nama kita ke dalam kotak itu.
“Petunjuk lainnya yang ingin kucari adalah alasan kenapa dirinya yang terpilih sebagai korban pertama.”
Pada akhirnya kami hanya bisa menemukan tanda pengenal dan barang bawaannya sebagai petunjuk. Kurang lebih Aku bisa menebak alasan kenapa dia adalah orang yang pertama kali dibunuh.
“Orang itu membawa majalah dewasa dan berbagai benda mesum lainnya... sebetulnya apa yang dia pikirkan?”
“Bukankah itu wajar bagi seorang lelaki?”
“Jika kau berpikir bahwa lelaki memang seperti itu, lebih baik kau berhenti menjadi lelaki!”
Temanku memandangku dengan pandangan yang tak percaya. Aku memang jarang mengakses hal-hal mesum, tapi bukan berarti Aku tak tertarik dengan hal-hal mesum, jadi Aku bisa mengerti perasaan dari lelaki itu. Sepertinya temanku yang satu ini tak tertarik sedikitpun dengan hal-hal seperti itu.
“Kurasa orang yang mesum memang sering dianggap sebagai orang yang sangat menggangu, jadi wajar jika dia yang pertama kali disingkirkan... si tua bangka itu mengatakan bahwa dia sedang mencari orang yang pantas untuk tinggal di desanya, kan?”
“Kurasa kau sebaiknya memperbaiki cara bicaramu... jika dia sampai mendengarmu mengatakan itu, kau bisa saja yang terpilih menjadi korban selanjutnya.”
“Jika apa yang dikatakannya memang benar, maka itu tak mungkin... orang yang memilih korban selanjutnya bukanlah dirinya, melainkan seorang pengkhianat yang menyamar di antara kita.”
Suasana di ruangan ini menjadi semakin tegang dan serius saat dia mengatakan hal tersebut sambil menajamkan pandangannya.
“Kau memang benar, tapi lebih baik jangan menganggap bahwa segala yang dia katakan adalah kebenaran.”
Aku juga sudah menyadari bahwa si Kepala desa tak akan mengeksekusi siapapun yang menjelekkannya, bahkan jika itu dilakukan langsung di depannya, selama si pengkhianat tak mengetahui hal tersebut atau tidak menganggap bahwa hal itu membuat orang itu tak layak hidup di Desa tanpa nama. Tapi itu jika apa yang dia katakan itu memang benar apa adanya.
“Kau pastinya sadar bahwa bisa saja ada kebohongan yang bercampur di dalam perkataannya, bahkan meski apa yang dia katakan semuanya benar apa adanya, tapi ada kemungkinan bahwa dia masih menyimpan sesuatu yang tak dia katakan pada kita.”
“Lalu apa yang paling kau curigai?”
Aku menatap Bagas dengan tatapan yang sangat serius.
“Aku curiga dengan perkataannya yang bisa menambahkan peraturan lainnya selama ‘permainan’ ini berlangsung.”
“Kau benar... hal itu memang sangat mencurigakan.”
Aku sama sekali tak bisa menebak peraturan tambahan apa yang akan ditambahkan oleh si Kepala desa. Bisa saja dia menambahkan sesuatu yang membuat kita mengkhianati satu sama lain atau lebih buruk dia bisa saja memaksa kami membunuh salah seorang di antara kami. Selama Aku tak tahu peraturan lengkapnya, Aku tidak bisa mengambil keputusan dengan benar.
“Ada hal membuatku benar-benar meragukan apa yang dikatakan oleh si Kepala desa.”
“Apa itu?”
“Dia tidak pernah menjelaskan secara rinci tentang 7 peraturan yang dia berikan pada kita, jika kita tak menanyakan apapun, maka dia tak akan mengatakan apapun yang lebih dari seperlunya.”
Hal itulah yang membuat perkataannya benar-benar berbau busuk.
“Kau benar... kurasa dia sengaja melakukan hal itu untuk membuat kita ceroboh dan secara tak sengaja melanggar peraturan yang tak dia jelaskan dengan benar.”
“Ya, begitulah... tapi itu hanyalah sebatas asumsi, kita tak tahu apa niatnya yang sebenarnya... dia saja dia hanya ingin membuat kita kebingungan dengan membiarkan hal-hal tetap seambigu mungkin.”
Petunjuk yang kita miliki sangatlah sedikit. Itu memang wajar saja, karena ini baru hari pertama kami di sini. Satu-satunya yang bisa menjadi petunjuk bagi kami adalah perkataan dari si Kepala desa dan barang-barang milik si Kira itu. Jika ada hal lainnya yang bisa kami jadikan petunjuk, maka itu adalah interaksi antara para perserta yang terjadi selama perjalanan kemarin.
“Petunjuk lainnya yang ingin kucari selanjutnya adalah siapakah si pengkhianat.”
“Apa kau menemukan petunjuk mengenai hal itu?”
Sepertinya topik ini sangat menarik perhatian temanku, karena dia mencondongkan tubuhnya ke arahku.
“Sayang sekali tak ada... cara lelaki itu meninggal membuktikan bahwa yang melakukannya bukanlah si pengkhianat... tidak mungkin si pengkhianat itu bisa melakukan hal tersebut dengan waktu singkat, apalagi seorang diri.”
Perkerjaan seperti itu jelas bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada di antara kami. Tak banyak waktu yang berlalu sejak kami pertama kali menentukan kamar kami sampai semua orang berkumpul di aula. Dalam jeda waktu itu, si pengkhianat entah bagaimana caranya dapat memberikan nama Kira pada pihak staf menara. Karena kami berpencar setelah kami menentukan kamar kami, hal tersebut bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.
“Orang itu meninggal tanpa ada yang mengetahuinya sama sekali, bahkan orang yang kamarnya berada di satu lantai yang sama tak menyadari hal tersebut.”
“Hal itu bukanlah hal yang mustahil terjadi, bagaimanapun kita baru saja kemarin bertemu dengan yang lain... berbeda dengan kita berdua yang sudah mengenal satu sama lain sejak kecil, mereka semua sama sekali tak mengenal yang lain dengan baik, jadi wajar bagi mereka tak menyadari jika ada yang aneh dengannya.”
“Itu benar, bahkan tidak ada satupun orang yang menyadari bahwa dirinya hilang sampai kau mengatakan hal tersebut.”
“Aku juga tak menyadari siapa yang hilang di antara kami, Aku hanya menyadari bahwa jumlah kami berkurang satu orang.”
Aku benar-benar merasa kasihan dengan orang itu. Dia tak memiliki satu orangpun yang peduli dengannya. Mungkin itu juga adalah salah satu alasan kenapa dia sampai dipilih sebagai korban pertama.
“Pokoknya, prioritas pertama kita adalah mencari siapakah si pengkhianat itu sebenarnya, jika kita ingin keluar dari menara ini secepatnya.”
“Tapi bagaimana kita melakukan hal tersebut dengan petunjuk yang sangat sedikit.”
“Kita memiliki sangat sedikit petunjuk itu karena kau tak mau berinteraksi dengan yang lain, selain diriku, selama perjalanan kita kemarin.”
Aku memandang wajah temanku dengan ekspresi cemberut. Temanku yang satu ini sangat tidak suka berinteraksi dengan orang asing yang tidak dia kenal, jadi sulit baginya berbicara dengan perserta lain yang berada di sini, selain diriku yang sudah dia kenal sejak kecil.
Jadi satu-satunya petunjuk yang kita miliki saat ini adalah apa yang kuketahui tentang perserta lainnya selama perjalanan kami kemarin. Jujur saja, apa yang kuketahui tentang perserta lainnya juga sangat sedikit, bahkan apa yang kuketahui hampir tak berguna sama sekali di situasi seperti ini. Andai Aku tahu hal ini akan terjadi, mungkin Aku akan lebih aktif berinteraksi dengan yang lainnya.
“Sepertinya kita harus mencari sekutu yang lainnya, jika kita benar-benar ingin menemukan petunjuk tentang siapakah sebenarnya si pengkhianat itu.”
Saat mendengar apa yang kugumamkan, temanku langsung menatapku dengan pandangan yang sangat tajam.
“Apa kau serius?! Apa kau pikir hal itu tak berbahaya? Kita tidak mengenal mereka semua dengan baik, bisa saja mereka mengkhianati kita!”
“Aku tahu tentang hal tersebut, tapi jika hanya kita berdua, maka akan sangat sulit untuk bertahan hidup di sini!”
Salah satu cara yang paling efektif untuk bertahan hidup di situasi ini adalah membentuk satu kelompok yang sangat besar dan kuat. Jika kita bisa membentuk kelompok itu dan mempertahankannya sampai akhir, maka semua anggota kelompok itu kemungkinan besar bisa bertahan sampai akhir, tapi membuat kelompok seperti itu di situasi dimana siapa saja bisa mengkhianati kita adalah hal yang sangat sulit dilakukan.
Saat Aku sedang sibuk dengan isi kepalaku, tiba-tiba saja kami mendengar suara ketukan di pintu kamar kami.
Aku dan temanku saling berpandangan sebentar, sebelum kami memfokuskan pandangan kami pada pintu kamar kami. Siapa yang datang ke kamar kami di saat seperti ini? Itulah isi pertanyaan yang ada di kepala kami saat ini.
Aku dan temanku kemudian bergerak dengan perlahan menuju pintu tanpa mengatakan apapun.
Temanku kemudian memegang gagang pintu. Dia melihat ke arahku sebentar, sebelum akhirnya menekan gagang pintu itu, setelah menerima anggukkan dariku sebagai tanda bahwa Aku sudah siap.
Setelah temanku membukakan pintu, Aku dapat melihat wajah yang cukup mengejutkan di depan pintu kamar kami.
Hari - 1 Saat Bagas membukakan pintu, Aku dapat melihat dua orang gadis sedang berdiri di depan kami. Satu memiliki wajah yang serius, sedangkan yang satunya sedang membuat wajah ketakutan sambil memegang ujung cardigan yang dipakai oleh gadis lainnya. “Maaf tiba-tiba mengganggu kalian, tapi apakah kita bisa berbicara sebentar?” Aku saling memandangan dengan Bagas untuk beberapa saat. Sejujurnya Aku tidak begitu yakin bagaimana harus menanggapinya. “Apa kau tidak keberatan berbicara dengan mereka berdua?” “Jujur saja, Aku menentangnya!” “Kau benar-benar berterus terang.” Aku kagum dengan temanku yang bisa mengatakan hal itu langsung di depan mereka berdua. “Aku tahu bahwa kalian mungkin tidak bisa langsung mempercayai kami, apalagi setelah apa yang baru saja terjadi, tapi ada hal yang ingin kubicarakan dengan kalian.” “Apakah hal itu penting bagi kami?” “Bagaimana jika Aku mengatakan bahwa Aku mengenal salah satu dari kalian, sebelum kita berada di sini.” Aku langsung berwaj
Hari - 1 Kami semua menatap ke arah Crona yang baru saja memperkenalkan dirinya. Ekspresi tak percaya berada di wajahku, ekspresi yang mengatakan ‘yang benar saja’ di wajah temanku, ekspresi datar di wajah Sarah dan ekspresi yang tak bisa kudeskripsikan di wajah Ria. Apakah dia memasang wajah ketakutan, bingung atau khawatir? Atau mungkin itu adalah ekspresi dari gabungan ketiganya? “Apa kau tidak pernah diajarkan untuk tidak menguping pembicaraan orang lain oleh orang tuamu?!” Bagas berkata dengan kasar. Sudah jelas, dia sangat tak menyukai Crona. Crona kemudian menarik permen lolipop di bibirnya dengan tangan kanan, lalu menunjuk ke arah Bagas dengan lolipop tersebut. “Kau kasar sekali! Apakah orang tuamu tidak pernak mengajarimu cara berbicara kepada seorang wanita?!” “Berisik! Aku tidak ingin mendengar ceramah dari bocah sepertimu!” “Meskipun kau bersikap seperti itu, tapi bukankah kita hanya berbeda satu tahun?” Saat Crona mengatakan itu, kami semua (kecuali Ria) menatap C
Hari - 1 Setelah kami sepakat membentuk aliansi, kami berlima duduk melingkar di lantai kamarku dan Bagas. Posisi kami dari searah jarum jam adalah Aku, Crona, Ria, Sarah dan Bagas. “Apakah kamar ini tak memiliki tempat duduk apapun yang bisa digunakan?” Crona mengeluh sambil menepuk-nepuk lantai dengan wajah kesal. “Entahlah, Aku belum memeriksa lemari dan berbagai tempat lainnya... lagi pula, kita memiliki hal lainnya yang lebih penting untuk dibahas saat ini.” “Ya, itu benar... apa yang harus kita lakukan setelah ini?” Sarah memegang dagunya saat mengatakan hal tersebut. Dia nampak berpikir cukup keras. “Meskipun kita sudah membentuk aliansi, tanpa adanya rencana, maka aliansi ini tidak akan berarti banyak.” Lanjut Sarah. “Kalau tak salah kaulah yang pertama kali mengajukan permintaan untuk membuat aliansi, kan? Apa ada yang kau pikirkan saat kau mengajukan hal tersebut?” Crona mengajukan pertanyaan. “Aku hanya berpikir untuk mencari rekan yang bisa diajak berkerja sama..
Hari - 0 Aku dengan gugup melihat ke sekelilingku. Ada banyak sekali orang asing di sekelilingku, tapi mereka mungkin akan menjadi temanku di masa yang akan datang jadi mungkin Aku perlu untuk mendekatkan diriku dengan mereka mulai sekarang. “Anu... hmm...” “Tes... tes... tes...” Tapi sayangnya saat Aku ingin berbicara dengan seorang gadis yang duduk di bangku seberangku, tiba-tiba Aku dikejutkan dengan suara microphone yang sedang dites oleh seorang lelaki. Perhatianku dan beberapa orang lainnya langsung tertuju pada lelaki tersebut. “Hallo semuanya, apa kabar kalian?” Tidak ada satupun orang yang menjawab sapaannya. Beberapa dari kami memandangnya dengan bingung, beberapa lainnya nampak tak tertarik dengannya dan sisanya sibuk dengan urusan mereka sendiri. “Anu, semuanya tolong perhatiannya!” Dia masih tak mendapatkan balasan apapun dari kami. Matanya nampak gugup saat dia melihat wajah kami satu persatu dari tempatnya berdiri. Setelah beberapa saat, seorang wanita cantik ke
Hari - 0 “Baik, teman-teman sekalian... kalian pasti tahu tujuan dari bis ini, kan?” Tak ada yang menjawab pertanyaan dari James. Semuanya hanya terdiam dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Aku jadi kasihan dengannya, jadi Aku mengangkat tanganku. “Ya, kakak di sana... kemanakah tujuan dari bis ini?” “Ke Desa tanpa nama.” “Benar sekali... untuk apa kita ke sana?” Aku tahu dia ingin memeriahkan suasana di sini, tapi jika tak ada yang peduli dengannya, rasanya sangat menyedihkan. “Memulai hidup baru.” Karena tak ada yang menanggapinya lagi, Aku kembali menjawab pertanyaannya. “Benar sekali... kita akan memulai hidup kita dengan hidup yang baru... kita akan melupakan semua yang terjadi di masa lalu, bahkan nama kita... Aku tahu bahwa kalian tadi hanya menyebutkan nama samaran kalian, tapi itu akan menjadi nama kita yang sebenarnya mulai hari ini, kita tak perlu lagi mengingat nama lama kita... kita akan membuang semuanya!” Meskipun dia berbicara dengan semangat, tapi te
Hari - 0 “Kenapa bisnya berhenti? Apakah kita sudah sampai di tujuan?” Aku bertanya sambil melihat-lihat keadaan di sekitarku. “Tidak, sepertinya ini waktunya makan siang.” James menjawabku sambil menunjuk ke arah Rest Area. Bis yang kami tumpangi berhenti, karena harus mengantri untuk masuk ke Rest Area. “Jadi ini sudah waktunya makan siang, Aku sama sekali tak sadar... apakah kau mau makan sesuatu, Bagas?” “Aku masih belum lapar, tapi jika ada hal yang menarik, mungkin Aku akan makan.” Sejujurnya Aku juga masih tidak lapar, tapi mungkin kami tak akan melakukan pemberhentian dalam waktu dekat, jadi kurasa lebih baik kita memakan sesuatu. Dan buang air selagi sempat, yah jangan sampai lupa dengan buang air. “Kurasa Aku akan buang air dulu, sebelum makan...” “Kau tidak seharusnya mengatakan itu di dekat seorang gadis.” “Maaf...” Sepertinya gumamanku yang kurang sopan dapat didengar oleh Rina, jadi Aku langsung meminta maaf padanya. “Kalian hanya memiliki waktu satu jam untuk
Hari - 1 “Nah, apa mungkin penilaian tentang kita sudah dimulai sejak saat itu?” Sarah bertanya sambil memegang dagunya. “Karena orang itu dibunuh hari ini, maka kemungkinan dia terpilih karena perbuatannya kemarin, jadi bisa saja kita sudah dinilai sejak kita pertama kali naik bis.” “Orang kurus yang kau temui waktu itu adalah Kira, kan?” “Ya, Aku yakin kalau itu memang dia... kau bisa bertanya pada kedua temannya, jika kau tidak yakin dengan ceritaku... meski Aku tak ingat nama mereka, tapi Aku masih ingat wajah mereka.” “Kenapa kau tidak bisa mengingat nama semua orang?” Crona menatapku dengan pandangan kecewa. “Mau bagaimana lagi... ada banyak orang di dalam bis dan Aku jarang berinteraksi dengan yang lain, selain Rina, Cinta dan James yang kebetulan ada di dekatku waktu itu.” “Tapi kau juga tak berinteraksi dengan orang yang duduk di belakangmu, kan? Padahal dia juga duduk di dekatmu... begitu juga dengan Ria dan Sarah, mereka berdua duduk tak jauh darimu, kan?” “Agak su
Hari - 0 “Di sana kami memulai hidup kami yang baruuu!”” Selama berada di dalam bis, kami menanyikan lagu Himne dan Mars dari Desa tanpa nama. Jika kau bertanya dari mana kami mengetahui lagunya, maka jawabannya sangat sederhana, kami menerima e-mail yang berisi kedua lagu tersebut. Dipimpin oleh Maria, kami mulai menanyikan kedua lagu itu untuk mengisi waktu luang kami. Aku melirik ke arah temanku saat Aku menanyikan lagu tersebut. Cukup mengejutkanku, meski suaranya pelan, tapi dia tetap ikut bernyanyi bersama kami. “Hmm, karena kita sudah selesai bernyanyi, kurasa kita lebih baik melakukan suatu permainan untuk mengisi waktu luang... apakah ada yang punya ide?” Maria bertanya pada kami, tepat setelah kami menyelesaikan lagu kami. “Aku punya ide!” James mengangkat tangannya sambil berbicara di depan mic. “Ya, apa idemu?” “Bagaimana jika kita memainkan permainan kejujuran?” “Permainan kejujuran? Bagaimana cara kita memainkannya?” “Mudah saja, kita hanya perlu saling menyera