Share

PDKI - 7

Author: Piki Chan
last update Last Updated: 2024-11-01 10:05:05

"Tapi kata Amar, semalam ibu beresin kamar Bobi. Aku curiga kalau yang dibawa ibu itu barang-barang milik Bobi."

"Kita periksa aja sekarang." Dia menarik tanganku dengan langkah cepat menuju kamar mendiang adiknya.

Gelap, memang beberapa hari ini aku dilarang ibu untuk membersihkannya sehingga lampupun juga takku nyalakan.

Benar saja, kamar ini sudah dalam kondisi berantakan. Sangat berbeda sekali dengan terakhir kali aku melihatnya saat Amar memberi tahu tentang apa yang ditemukannya malam itu.

Aku bergegas melihat isi lemari yang ternyata juga sudah kosong. Jadi benar yang dikatakan oleh Amar, bahwa semalam ibu memang membereskan kamar ini sendirian dan semua barang yang dibawanya pergi tadi adalah milik Bobi.

"Apa mungkin mau dikasihkan ke orang ya?" Aku berusaha berpikir positif. Tapi Robi menggeleng dengan pelan.

"Bahkan laci berisi barang aneh itu juga sudah tidak ada Nil. Artinya ibu sudah tau."

Sudah dua hari, tapi ibu belum juga pulang. Semalam dia menelpon bahwa akan menghadiri reuni sekolahannya terlebih dahulu.

Walaupun menaruh kecurigaan, tapi aku dan Robi berusaha untuk tak terang-terangan menunjukkannya.

"Motor Bobi belum beres juga?" Aku bertanya pada Robi dan Amar saat kami tengah makan malam. Ini malam terakhir Amar menginap di sini karena besok Tante Wanda sudah akan menjemputnya.

"Ibu belum ngabarin lagi." Aku dan Amar mengangguk bersamaan.

"Tapi si mas-mas itu masih aja berusaha nanyain isi jok terus." Kini Amar menunjukkan isi chat dari lelaki dingin tersebut.

Robi terlihat antusias sekali saat membaca setiap isi tersebut. Kadang matanya menyipit dan kadang membelalak seolah terkejut.

"Tapi dari mana dia tahu nomor kamu?" Amar menggeleng. "Masa' iya ibu yang ngasih?" Karena terakhir kali, ibu sempat bertukar nomor ponsel dengan lelaki tersebut.

"Perlu nanya bude nggak?" Tak ada suara di antara kita. Hening sekali untuk beberapa saat. Sesekali aku melihat mereka berdua saling bersahut nafas berat.

Kami semua terkejut saat suara deru mobil yang terdengar dari arah luar terdengar sampai dalam rumah. Robi dan juga Amar bergegas untuk melihat siapa yang datang.

"Bukannya ibu tak pulang ya?" Aku mengekor di belakang Robi dan bergumam sendirian. Tapi siapa yang datang malam-malam begini?

"Lah, Mama?" Amar langsung membukakan pintu gerbang setelah mengintipnya terlebih dahulu. Dari luar sini bisa ku lihat bahwa itu memang Tante Wanda dan juga Om Pras yang berada di dalamnya.

Wanita berbadan ramping dengan rambut pendek tersebut turun dari mobil terlebih dahulu dan segera menghampiri Amar. Mereka saling berpelukan karena memang sudah berhari-hari tak bertemu.

"Langsung masuk rumah saja!" Kepala Om Pras menongol dari balik kaca mobil tersebut dan memberikan instruksi agar kami segera masuk. Akupun segera menggandeng tangan Tante Wanda ke dalam rumah.

"Mbak Salma belum pulang?"

"Kok tante tau kalau ibu gak di rumah?" Tante Wanda tertawa kecil dan menunjuk pada Amar. Rupanya remaja tersebut yang memberi informasi pada mamanya.

Kemudian Robi menyusul ke dalam bersama dengan Om Pras. Mereka berdua nampak seperti terburu-buru dan sibuk sendiri menutup semua pintu beserta tirai jendela.

"Lampu depan matikan aja Rob!" Perintah lelaki tinggi tegap itu pada suamiku. Lalu kami semua menuju dapur. "Kamu lihat dua orang yang di atas motor sana? Sepertinya mereka sedang mengintai rumah ini."

(Ada yang ngeh nggak, soal isi jok motor Bobi?)

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Anikpurwati
ponsel bobi
goodnovel comment avatar
Windi Aryadi
ponsel bobi byk barbuk kek nya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 21

    "Memangnya dulu ketemu di mana?" Senyumku mengembang, sepertinya saat ini akan menjadi hari nostalgia tentang kenanganku bersama Robi. "Saya sama Robi itu satu kelas waktu kuliah Pak, makanya kenapa risih dan malu kalau harus memanggil dia dengan sebutan Mas begitu sebaliknya,karena dari dulu kita biasa ejek-ejekan dan bertengkar." Aku tertawa sendiri mengingat bagaimana dulu sangat kesal jika Robi sudah mulai mengangguku saat di kelas. "Robi itu iseng banget pak. Saya sampe kesel banget sama Robi, tapi kok mau ya dinikahin?" Pak Parman justru tertawa makin keras. Aku menengok kearah jam yang melingkar ditanganku. Sudah mendekati waktu makan siang. Setelah menyelesaikan pembayaran 2 mangkok bakso Khusus untuk pak Parman dan juga 2 gelas es teh yang langsung ditengguk habis olehnya Kemudian aku pun berpamitan untuk mengantar makan siang ke ruko. Baru saja akan membuka gerbang, seorang pria yang turun dari mobil berwana merah menyala menghampir

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 20

    Aku melirik dulu kearah pak Parman yang masih sibuk memindahkan barang-barang yang ku keluarkan tadi ke dalam api. Lalu dengan gerakan cepat mengambil flashdisk tersebut dan memasukkannya ke dalam kantong. "Mbak, kenapa barang-barang bagus kok dibakar?" Aku masih terdiam karena bingung untuk menjawabnya. "Ini barang riject-an pak." Lalu pak Parman menoleh padaku, dan akupun hanya meringis kearahnya. "Pokoknya gitu deh. Pak Parman gak usah mikirin ini. Yang penting nanti saya traktir bakso di perempatan sana." Nampak senyumnya mengembang. Cukup lama berjibaku dengan panasnya api yang berkobar. Bahkan aku menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana semua barang milik Bobi berproses menjadi abu. Sesuai janjiku, akupun mengajak pak Parman untuk makan bakso di sebuah warung yang hanya terdiri dari tenda dan gerobak biasa. "Mbak Nilna jadi pindah ke sini kan?" Aku mengangguk, mengamati pak Parman yang lahap memakan baksonya. "Kasia

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 19

    "Kamu karyawannya Ricard?" Dia mengangguk dengan ragu. Mulutku membulat untuk menunjukkan keterkejutanku. "Terus sekarang?" "Kebetulan hari ini aku bagian libur." "Bentar Cin, kamu udah lama kerja di sana?" Dia terlihat menatap ke atas, mungkin tengah mengingat sesuatu. "Baru beberapa bulan mbak, itupun dibantu sama mas Bobi." Dengan gerakan refleks langsung menggerbak meja membuatnya kaget. "Eh, maaf." Aku tertawa menyadari kebodohanku yang membuatnya terkejut. Tak menyangka bahwa hubungan mereka sangat istimewa, sampai Bobi bisa menjadi koneksi Cindy untuk bekerja disana. "Kamu ada kuliah gak?" Cindy mengangguk lagi. "Nanti sore." Kini giliranku yang mengangguk. Sebenarnya aku ingin langsung menanyainya banyak hal tapi rasanya terlalu gegabah kalau menginterogasi Cindy saat ini. "Mbak...." Dia memanggilku dengan ragu, lalu menoleh kesegala arah untuk memastikan bahwa tidak ada orang di sini. "Kenapa? Katakan saj

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 18

    Kali ini aku menemani Robi yang masih memaku di meja makan. Bahkan dia tidak menghabiskan makanan yang aku sediakan di piring seperti biasanya."Rob, mikirin apa lagi?" Aku mencoba bertanya dengan menyikut lengannya secara perlahan, lantas menoleh padaku. Dia hanya mengembangkan senyum sebentar lalu kembali untuk makan makanan yang telah kusiapkan dan dia diamkan saja sejak tadi. "Kalau memang tak nafsu makan, jangan dipaksa. Mungkin masakanku kali ini kurang enak." Aku mencoba bercanda, bukannya menjawab Robi justru kembali tersenyum dan seolah meyakinkan bahwa apapun yang aku masak pasti sangat enak untuk lidahnya.Dan benar saja setelah aku berkata demikian Robi pun menghabiskan tanpa sisa. Aku pun lantas membawa piring kotor Robi ke wastafel dan langsung mencucinya."Mau minum teh anget apa es jeruk?" tanyaku lagi berharap Robi mulai mencairkan suasana karena sejak tadi dia hanya diam saja. "Rob... Aku bertanya padamu, kamu pengen a

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 17

    Dengan gerakan refleks, kututup mulutku yang membuka lebar. "Jangan katakan kalau ibu menyembunyikan penyimpangan yang Bobi perbuat?" Robi lantas menarik lengan ibu untuk duduk di kursi yang terletak di kamar ini. Kepalanya terus menunduk seolah takut untuk menatap kami berdua. Robi lalu duduk di ranjang yang lebih dekat dengan tempat ibu kini. "Sejak kapan, bu?" Bukannya menjawab, ibu justru menangis tersedu-sedu. Kedua telapak tangannya digunakan untuk menutup wajahnya. "Tega sekali ibu mendukung kebiadapan Bobi!" Robi menekankan suaranya. "Ibu tak pernah mendukungnya, Rob. Tapi apa yang bisa ibu perbuat?" Robi masih terpaku untuk menatap pada ibunya. Sedangkan aku kini berpindah tempat untuk mendekat pada ibu. "Sudah berapa lama, bu?" "Ibu baru mengetahuinya setahun terakhir, Nil. Jangan berfikir bahwa ibu tak berusaha mengobatinya. Ibu sudah membawanya ke psikolog dan psikiater tapi nyatanya sejak dia praktikum justru s

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 16

    Mata Richard membulat seraya menatapku dengan tajam. Ya barusan itu adalah pertanyaan yang kulontarkan padanya. "Kami janji akan membantu menyembunyikan fakta ini. Tapi jelaskan dulu bagaimana bisa kalian menjalin hubungan yang menjijikkan tersebut?" Sekalipun Aku berbicara dengan nada menekan, tapi tetap saja tanganku masih menggenggam erat tangan Robi agar dia bisa meredakan amarahnya saat ini. "Ya, lalu apa lagi yang harus aku tutupi kalau nyatanya kalian sudah tau?" Aku menghembuskan nafas dengan kasar. Bahkan sikap tenangnya yang seolah tanpa beban tersebut membuatku cukup muak. Robi terlihat tersenyum di ujung bibirnya. Mungkin ini salah satu cara untuk menutupi apa yang tengah dirasakannya. "Anda yang menyeret Bobi masuk kelingkaran ini?" Ricard menggeleng, dia tersenyum semakin lebar. "Aku harus jujur. Sejak kuliah di luar negeri kebiasaan yang kalian anggap menjijikkan ini bukanlah hal yang aneh. Tapi kalian harus tau, kami

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status