“Jadi, Kirana mau dinas lagi?” Ibu mertuaku berujar sembari mengunyah makan malam.
Perempuan dengan jilbab panjang menjuntai itu melirikku, lalu memastikan Mas Hadri sedang menikmati masakannya. Ibu mertua sangat menyayangi anak semata wayangnya itu, bahkan rela melepas Mas Hadri untuk menikah dengan perempuan super sibuk sepertiku hanya karena tidak tega menolak keinginan sang putra.
“Iya, Bu. Kali ini ....” Aku ragu. Lidah ini berhenti bertutur, malah tatapanku jatuh pada Mas Hadri yang sibuk makan paha ayam.
Pria itu bahkan bersenandung riang, terlihat jelas dia sangat puas dengan masakan ibunya. Tidak lupa Mas Hadri menambah beberapa lauk ke dalam piring sebelum kemudian menikmatinya berbarengan.
“Biarkan saja, Bu. Kirana memang harus bekerja, Ibu kan tahu bagaimana sibuknya dia.”
Mas Hadri membelaku lagi di depan ibu mertua. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa sikapnya sangat mengayomi terhadapku, padahal dia adalah anak satu-satunya di keluarganya, seharusnya ....
“Kamu juga selalu turutin semua kemauan Kirana. Makanya istrimu jadi begini, Hadri!” tegur Ibu mertua seraya mengunyah makanan di dalam mulutnya.
“Bu, sudahlah!”
“Hadri, kamu itu laki-laki, kamu itu sosok suami. Jangan sampai kamu yang diatur sama istrimu. Di kantor, boleh Kirana yang jadi atasan, di rumah kamulah kepala keluarganya!” tegas ibu mertua lagi yang membuat senyumku semakin mengkerut.
Apa beliau harus selalu mempersoalkan kesibukanku selama ini? Bukankah beliau juga tahu bagaimana sibuknya aku bekerja sebelum jadi menantunya?
“Bu ....” Mas Hadri hendak menjawab lagi.
“Bu, kalau aku tidak bekerja seperti ini, kehidupan kami juga pasti akan berubah. Aku tahu kalau Mas Hadri punya penghasilan, tapi Ibu juga tahu kan kalau di antara kami berdua, gajiku jauh lebih besar, walaupun Ibu tidak mau mengakuinya,” balasku sembari menekan nada bicara agar tidak menyinggung ibu mertua.
Ibu mertuaku langsung terdiam. Beliau memutar bola mata sampai bibirnya tersungging sinis.
Alhasil, aku menundukkan kepala. Sudah cukup dulu sampai di sini menjawabnya, aku tidak mau menyakiti perasaan Mas Hadri.
Kami selesai makan malam sepuluh menit kemudian. Tidak ingin disindir, aku berinisiatif membersihkan piring dan hendak membawanya ke dapur.
Baru saja berdiri dengan dua piring di tangan, Ibu mertua bergegas menghadang. Perempuan itu berseru keras hingga aku terkejut, “Biar di situ, biar saja di situ, tidak perlu di bawa ke belakang.”
“Bu, tapi aku ....”
“Tidak perlu, Kirana! Kamu ini ....” Ibu mertua menggertakkan gigi dengan mata melotot ke arahku. Jilbab hijau lumutnya terayun, tangannya terangkat di udara dengan telunjuk mengarah padaku.
Melihat tanggapannya yang tidak lazim itu, aku melirik ke arah Mas Hadri. Pria itu malah santai, meneguk air mineral dari gelas seolah ibu mertua dan aku tidak terlibat pertikaian.
“Iya, Bu.”
Kuletakkan kembali piring di tangan ke meja, kemudian beranjak meninggalkan semua orang usai berterima kasih untuk makan malamnya. Mas Hadri tidak berpindah, Ibu mertua juga masih mengurus anak kesayangannya.
Langkah demi langkah, aku menyusuri dapur menuju kamar. Perlahan, melewati beberapa ruang yang kosong, sebab ibu mertua hanya tinggal sendiri di rumah ini semenjak suaminya meninggal dunia.
Beberapa kali aku mendengar canda dan tawa antara Mas Hadri dengan ibunya meski dari kejauhan. Mereka gembira, bertukar cerita saat aku tidak ada di sana.
Namun, hal itu tidak membuatku terluka. Sudah biasa saat seorang menantu tidak disukai oleh mertuanya, apa lagi aku telah membuat Mas Hadri angkat kaki dari rumah ini, pindah ke rumah kami yang baru.
Saat hendak masuk ke dalam kamar Mas Hadri, aku berhenti sejenak. Sayup-sayup terdengar suara seseorang berdendang dari arah dalam. Padahal, di rumah ini hanya ada tiga kamar, milik ibu mertua, milik Mas Hadri dan satunya lagi telah diubah menjadi gudang, dan di antara tiga kamar itu hanya milik Ibu mertua yang berpenghuni.
“Apa ada orang di dalam?” batinku sembari mengernyitkan kening.
Aku menekan knop pintu, namun tidak ada yang terjadi. Daun pintu tidak merenggang, bahkan tidak terbuka seperti yang aku maksud.
“Apa ada orang di dalam kamar ini?” seruku lantang. Tidak mungkin Mas Hadri mengunci pintu kamar saat tidak ada orang lain di sini. Selama ini, pintu kamarnya selalu dibiarkan terbuka, aku bebas keluar masuk setiap kali pulang ke rumah ini.
Tidak berhenti sampai di situ, aku juga menggedor pintu. Anehnya, tidak ada sahutan dari arah dalam, padahal jelas aku mendengar suara seseorang.
“Ada orang di dalam, kan?”
Nihil! Tidak ada yang berubah.
“Astaga ....”
“Kirana?” Mas Hadri tiba-tiba saja muncul.
Aku berbalik arah, langsung menemukan kehadiran Mas Hadri dan ibu mertua. Keduanya sudah berdiri, memandangiku dengan tatapan yang tidak kumengerti.
“Kenapa kamu teriak-teriak begitu, sih?” tegur ibu mertua. Beliau berkacak pinggang, memasang wajah bengis. “Kamu kira ini hutan? Ini rumahku, rumah mertuamu!”
“Maaf, Bu ... barusan aku dengar ada suara dari dalam kamar. Aku kira ....”
“Kamu berhalusinasi lagi, Kirana? Mana mungkin kamar kosong ada orangnya.” Mas Hadri menjelaskan seraya beranjak ke arahku.
Pria itu berusaha menenangkan diri ini dengan meraih kedua tanganku, menggenggamnya begitu erat. Wajahnya yang bersih itu membuat gelisahku seketika menguap.
“Kamarnya terkunci,” jelasku pada Mas Hadri.
“Kamu mau cari apa di kamar ini, Sayang? Kita mau pulang, kalau mau mandi atau bersih-bersih, di rumah saja, bagaimana?” bujuk Mas Hadri tanpa melepaskan genggaman tangannya dariku.
Tatapan matanya sungguh menenteramkan, bahkan bibirnya tersenyum tulus saat membujuk agar aku bersedia pulang. Dia terus meyakinkan jika diriku hanya sedang kelelahan hingga akhirnya bingung dan berakibat halusinasi.
“Iya, Mas. Kita pulang saja,” balasku seraya menatap balik pria itu.
Saat Mas Hadri berpamitan pada ibu mertua, aku melirik ke arah pintu kamarnya sekali lagi. Jelas sekali terdengar suara seseorang bersenandung di dalam sana, bahkan pintunya terkunci rapat begini.
Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah hantu yang selalu disebut Mas Hadri itu juga mengikuti kami sampai ke sini?
Ah, rasanya tidak mungkin.
“Sayang?” Mas Hadri memanggil lagi. Barulah aku tersadar jika ibu mertua mengulurkan tangannya.
“Hati-hati pulangnya, ya?” Ibu mertuaku bertutur lembut, jauh berbeda dengan sesaat lalu.
Dibimbing Mas Hadri, aku berjalan menjauh dari pintu kamar. Kami akan kembali ke rumah sesuai dengan kesepakatan meski sebenarnya rasa penasaranku menyalak tidak tertahankan.
“Kita langsung pulang, Kirana. Mas sudah cape!” keluhnya.
Aku mengangguk, kini pasrah sembari menahan diri untuk tidak lagi penasaran.
Namun, tiba-tiba saja aku mendengar suara benda terjatuh yang disertai pekikan dari arah kamar.
Brak!
“Argh!”
“Apa itu?” tanyaku seraya melepas diri dari rangkulan Mas Hadri.
Seketika pria itu kalang-kabut. Dia mengejar saat melihatku terus mendekat ke arah pintu kamar.
“Siapa di dalam sana?” pekikku sembari menekan knop pintu dengan keras.
“Kirana! Apa yang kamu lakukan di rumah Ibu? Kamu itu harusnya sopan dan jaga sikap!” tegur ibu mertua.
Aku belum hilang akal, kutekan sekali knop pintu. “Mas, berikan kuncinya ... aku mau lihat ada apa di dalam kamar ini!” ancamku seraya menatap nyalang ke arah Mas Hadri.
Dua tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mengurus proyek besar perusahaan di negeri orang. Bukan pula waktu yang sebentar untuk terus-menerus menepis kehadiran seseorang yang tak pernah lelah menunjukkan ketulusan. Alam tetap pada janjinya. Dia tidak pernah memaksakan perasaannya, namun keberadaannya terasa begitu solid, seperti pilar yang tidak terlihat di sekelilingku. Dia menjadi bagian tidak terpisahkan dari hari-hariku di Malaysia, baik di kantor maupun di luar itu, seolah takdir memang sengaja menempatkannya di sana.Kami sering makan siang bersama. Kadang dengan tim, kadang hanya berdua karena jadwal yang pas. Obrolan kami selalu berkisar tentang pekerjaan, tren industri, atau sesekali tentang buku dan film. Dia tidak pernah lagi mengungkit soal "mengenal lebih jauh" atau "menjadikan keluarga". Alam menghormati batasan yang kubuat. Dan justru itu yang membuat hatiku mulai terasa aneh. Mengapa dia tidak menyerah? Mengapa dia tidak bosan?Suatu sore, setelah rapat yang melelah
Aku pulang ke Jakarta, menyelesaikan semua urusan perceraian dengan Hadri yang masih saja berbelit.Pria itu terus menolak, mencari-cari alasan, seolah dia korban dan aku si penjahat. Entah berapa kali aku harus menahan diri untuk tidak meledak di ruang sidang. Namun, dengan bantuan pengacara yang cakap, proses itu akhirnya selesai. Aku resmi menjadi janda.Kini, aku benar-benar sendiri.Trauma itu nyata. Setiap kali ponselku berdering, aku langsung menegang, seolah itu adalah panggilan tak terjawab dari Hadri. Setiap melihat gaun tidur di toko, ingatanku kembali pada gaun-gaun yang muncul misterius di keranjang cucian.Pernikahan, hubungan, bahkan pria, semua terasa seperti jebakan yang siap menelanku hidup-hidup. Aku membakar semua foto pernikahan, juga gaun tidur yang pernah kupakai untuk menyenangkan Hadri, gaun yang seharusnya menjadi simbol keintiman, kini hanya mewakili kebohongan dan pengkhianatan. Api melahap kain dan kertas, dan aku berharap dia juga membakar semua kenangan
“Apa katamu?” Mas Hadri memelotot. Padahal, pernyataan itu muncul dari mulut Alam, bukan dariku. “Kalian memang sudah merencanakan ini semua!” tuduhnya sembari mengacungkan telunjuk ke mukaku.“Iya!” tukasku langsung.Mas Hadri jelas tidak terima, saat kulangkahkan kaki untuk menjauh darinya, lenganku dicengkeram begitu kuat sampai terasa perih. Pria itu juga menarikku ke arahnya, mengguncang beberapa kali sampai untaian rambutku beterbangan bak ditiup angin. “Lepas, Mas. Ini sudah keterlaluan, aku bisa panggil polisi kalau kamu tidak pergi!” ancamku. Tubuh ini terus berusaha melepaskan diri darinya, sebab setiap sel yang ada di dalam diriku memberontak, jijik dan juga muak dengan pria ini.“Polisi? Kamu mau masukin aku ke penjara, Kir?”“Iya, lalu apa lagi? Kamu memaksa masuk ke dalam rumah orang lain, mendorong dan menyakitiku, mengganggu ketenangan lingkungan ini, apa lagi itu namanya kalau bukan perbuatan kriminal? Lepas atau kulaporkan kamu ke polisi?” Suaraku menukik tajam, me
“Eh, itu ....”Aku melenggang di antara deretan kubikel-kubikel berwarna biru elektrik. Para penghuninya menoleh ke arahku, menyunggingkan mulut, mencolek teman sebelah atau bahkan mengirimkan pesan lewat aplikasi chat.Mereka melakukan ini semua bukan tanpa alasan. Sudah sebulan lamanya sejak aku melayangkan gugatan perceraian ke pengadilan. Pengacara yang kubayar mahal agar bisa membungkam Mas Hadri dan keluarganya sudah memastikan kalau pengadilan mendapatkan semua bukti perselingkuhan Mas Hadri, penipuan yang dilakukan olehnya dan ibunya, serta semua hal busuk yang mereka lakukan di belakangku.Seharusnya, aku cukup tenang sampai di titik itu. Tapi ....“Kudengar, memang Bu Kirana sih yang nge-godain Hadri. Maklum, umur sudah banyak tapi belum ada yang ngajak nikah. Sekalinya kenal sama brondong langsung dipikat!” cecar seorang perempuan yang mencepol rambutnya.Dia menutup mulut usai berkata demikian. Temannya yang menyimak terkikik geli, lalu buru-buru mengatur ekspresi karena a
“Kamu kira, aku tidak akan pernah tahu, Mas? Dengan apa Ibumu memukul kepalaku malam itu?” Suaraku menukik tajam, aku berang hingga berteriak pada Mas Hadri.Sudah tidak ada lagi rasa hormatku pada pria ini, juga pada ibunya yang kini menatapku dengan sorot mata membelalak. Sudah pasti, perempuan itu tidak menyangka kalau aku menyadari apa yang dilakukan olehnya. Sayangnya, bukti tidak ada, hanya ingatan serta pantulan sosok ibu mertua dari jendela lemari yang menjadi saksinya.“Mana mungkin!” lirih ibu mertua sembari menutup mulut.Aku tersenyum, mengejeknya. “Bu, ada alasan kenapa aku bisa jadi pejabat perusahaan di usia muda!” sindirku.“Kirana, itu semua hanya kesalahpahaman. Kamu tahu kan akibatnya kalau perempuan meminta cerai? Apa kamu kira akan ada lelaki lain yang mau menerimamu?” ucap Mas Hadri.Perkataannya berhasil menorehkan segaris luka di dalam dadaku. Dia memperlakukanku seperti seorang perempuan hina yang hanya bisa bahagia di dalam kungkungan lelaki.“Mas, aku bukan
“Bagus, Mas. Kamu sama dia memang sudah seharusnya pisah. Mau tunggu sampai kapan?” Ica berseru. “Aku mau segera kita daftarkan pernikahannya ke KUA, Mas.”Aku menyungging senyum mendengar ocehan dari perempuan itu. Umurnya jauh lebih muda dariku, tapi liciknya sudah tidak tertandingi. Dia minta Mas Hadri membuangku agar segera menjadikannya istri sah secara negara.“Sepakat. Kalau begitu masalahnya sudah selesai, kan?” imbuhku lagi tetap mengatur ekspresi.Kali ini, hanya aku yang berbicara. Bapak mengepal tangan di dalam pangkuannya, sedangkan ibu terus menggenggam erat tangan Della. Tentu saja hatinya hancur melihat pernikahanku berantakan seperti ini.Tapi, ini sudah akhirnya. Tidak ada alasan bagiku untuk bertahan, apa lagi sampai mengemis.“Kirana, kamu mau pisah dariku?”“Iya, mau apa lagi? Mumpung belum punya anak juga, Mas. Setidaknya yang kamu sakiti cuma aku, bukan anak-anak yang tidak tahu apa-apa,” balasku lagi. “Lagian, kamu kan sudah punya istri, jangan tamak ingin puny