Share

Bab 3

Penulis: Bemine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-02 21:32:20

“Lagi!” Aku membelalak melihat sepotong gaun malam berwarna merah muncul di keranjang baju kotor.

Seingatku, kemarin Fani sudah membersihkan semua cucian, tapi kenapa benda ini masih juga muncul?

Aku berdiri di depan keranjang baju kotor, memandangi isinya yang tidak banyak. Padahal, semenjak pulang dinas, aku dan Mas Hadri belum terlibat hubungan sama sekali, apa lagi sampai memakai baju seperti ini.

Perasaanku menjadi gelisah, semuanya jadi tidak karuan. Kenapa sesuatu yang tidak pernah kupakai selalu muncul di keranjang baju kotor? Berbau dan juga sedikit koyak.

“Fan!” seruku sembari melongok ke arah ruang keluarga. Sesaat lalu, Fani sedang menyapu di sana.

Ini sudah jam tujuh pagi, aku harus berangkat bekerja tapi malah berakhir memeriksa keranjang baju. Setelan kantor mewah di badan juga tidak cocok dengan apa yang kulakukan saat ini.

“Fani!” panggilku sekali lagi.

Perempuan muda itu muncul tergesa-gesa, wajahnya berpeluh dan tangannya masih memegang sapu hijau. Fani berdiri goyah, dia membenarkan letak kardigannya yang sedikit melorot. Saat itu, aku bisa melihat jika di bawah jilbab bergo dan kardigannya, Fani memakai tank top tipis.

“Bu, a-ada apa?”

Kuarahkan tatapan ke wajah Fani. Parasnya bersih, jika dirias dan dirawat maka penampilannya juga cukup cantik, tubuhnya bagus, tidak terlalu kurus sehingga cocok memakai baju apa pun.

Ah ... perasaanku semakin tidak karuan.

Tanpa sadar, aku mengambil gaun tidur itu dengan ujung jari, lalu mengarahkannya pada Fani. Aku mencoba mengukur ukuran baju tersebut dengan Fani, mencari kecocokan di antara keduanya.

“Gaun tidur ini aku beli khusus, sesuai dengan ukuran badanku!”

“I-ibu, maksudnya apa?” balas Fani.

Wajah perempuan itu semakin pucat saja. Jemarinya sibuk meremas ujung kardigannya yang berwarna cokelat.

“Kamu pernah lihat aku bawa gaun ini ke keranjang?”

“Bukannya Ibu yang taruh di situ biar saya cuci, Bu?” sahut Fani seraya menunjuk dirinya sendiri.

“Fan, kamu tahu ini baju apa?” Aku mengangkat benda itu sekali lagi ke depan Fani, lalu aroma tidak menyenangkan terendus hingga membuatku melemparnya begitu saja. Sesibuk apapun aku, tentu saja aroma tubuh sendiri bisa kukenali. Tapi, siapa yang akan memakai gaun malam ini di rumah selain aku?

“Ba-baju tidur, Bu.”

“Aku mau kamu jujur, Fani. Selama ini, berapa kali kamu cuciin baju ini?”

Fani kembali diam, perempuan itu memutar bola matanya, dia juga menghindari pertanyaanku dengan bersikap bingung. Hal itu membuatku semakin menaruh curiga padanya. Hanya saja ... apa mungkin Mas Hadri akan tertarik pada Fani? Selama ini Mas Hadri sangat menjaga jarak dengan perempuan yang tidak menarik untuknya.

“Bu, saya tidak pernah ambil atau pakai baju Ibu. Sa-saya juga tidak tahu cara pakai baju macam ini, semuanya terbuka, nampak badan.” Fani menjelaskan.

“Oke, kalau begitu, jawab saja pertanyaanku yang ini. Apa kamu pernah melihat sesuatu yang aneh di rumah ini saat aku tidak ada? Apa kamu pernah lihat Bapak mencurigakan?” selidikku dengan menatap ke dalam manik mata Fani.

Hal itu malah membuatnya semakin takut. Fani bergetar, padahal nada bicaraku tidak tinggi, hanya lebih tajam.

“Sa-saya ....”

Sejujurnya, aku hanya pernah melihat Fani mencuri pandang ke arah Mas Hadri, namun tidak pernah mendapatinya berusaha menggoda pria itu. Terlebih, selama Fani tinggal di sini, sering kudengar dia berbicara lewat telepon, saling melempar rayuan ringan seperti sepasang kekasih.

“Kirana, apa yang terjadi?”

Aku langsung menarik gaun tidur di lantai dengan ujung kaki dan mendorongnya ke belakang keranjang saat suara Mas Hadri terdengar. Pria itu sudah berpakaian rapi, parfumnya kuat dan terendus dari arah dapur.

“Tidak ada, Mas. Mau berangkat bareng?” tawarku padanya.

Mas Hadri tersenyum lagi. Dia menyugar rambutnya dengan tangan, kemudian berjalan mendekat ke arahku.

Lagi, Mas Hadri bersikap seperti itu. Entah apa yang terjadi dengannya, atau apakah sikapnya berubah beberapa hari terakhir?

“Tidak apa, Sayang. Mas bawa mobil saja!”

Aku tersenyum tipis, lalu membiarkan Mas Hadri pergi begitu saja seperti kemarin. Sudah kedua kalinya Mas Hadri minta jalan terpisah seperti ini.

“Tutup pintunya, Fan. Bakar saja gaun tidur itu, aku tidak sudi memakainya!” perintahku pada Fani.

Melihat Mas Hadri yang sudah berjalan lebih dulu membuatku jadi ingin melakukan sesuatu, yaitu mengintainya dari belakang. Mulai dari gelagatnya malam kemarin, perihal hantu perempuan yang selalu memakai pakaian seksi, sampai Mas Hadri yang tidak lagi mau semobil.

Awalnya, aku hendak mengekor dengan mobil sendiri. Namun, pilihanku jatuh pada taksi.

Aku bergegas menuju gerbang, menghentikan sebuah taksi yang baru saja melintas dan meminta driver-nya untuk mengekori mobil milik Mas Hadri. Semuanya harus dilakukan dengan tenang agar pria itu tidak menyadarinya.

Belokan demi belokan, persimpangan demi persimpangan, daerah demi daerah, Mas Hadri hanya fokus mengemudi sampai tiba di kantor. Pria itu tidak sekalipun terlihat mencurigakan, apalagi berhenti di jalanan dan memberi tumpangan pada orang asing.

Lantas ....

Perasaanku kian gelisah, apa lagi Della berbicara soal fantasi liar sang suami yang pada akhirnya menjadi pemicu utama dari perpisahan mereka. Mungkinkah Mas Hadri juga ....

Ah, sekarang aku bingung sekali. Harus bagaimana mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumahku?

Aku berpikir keras sembari turun dari taksi. Mobil Mas Hadri sudah tidak terlihat dari pintu gerbang perusahaan. Salah satu sekuriti yang terbiasa menyambutku berdiri bingung. Dia mencoba menyapa seraya memastikan jika sosok yang baru saja turun dari taksi adalah atasannya.

“Bu Kirana?”

“Iya, Pak. Saya masuk dulu!” ujarku tanpa menunda lebih lama.

Seharian aku bekerja keras di perusahaan yang telah membantuku mendapatkan kehidupan layak. Mas Hadri juga sangat tenang di kubikelnya. Tidak ada yang mencurigakan meski kami menghabiskan waktu dengan kesibukan masing-masing.

Sampai ... aku mendapatkan tiket penerbangan ke Makassar dari atasan. Pria pemarah itu kembali melempar tugasnya ke pundakku.  

“Dua minggu?” lirihku seraya memandangi tiket pesawat tersebut serta jadwal dinas yang dikirimkan via email. Ini artinya, aku harus meninggalkan Mas Hadri selama dua minggu, perasaanku kembali tidak menentu.

Aku masih duduk di balik meja kebesaran, memilin jari karena gelisah tanpa henti.

“Kirana, belum selesai? Ibu minta kita mampir ke rumah!” seru Mas Hadri.

Kuangkat dagu, menatap pria itu. Mas Hadri berjalan menghampiri mejaku dari luar ruangan.

“Makan malam di sana, Mas?”

“Iya.”

Setelahnya, fokus Mas Hadri langsung terganggu. Dia menemukan tiket pesawat di atas meja, kartu hotel serta beberapa materi yang harus aku presentasikan di depan klien nantinya.

“Mas, kita jalan sekarang. Aku numpang, ya? Aku tidak bawa mobil,” sergahku sebelum Mas Hadri mengetahuinya lebih jauh.

“Kirana, ini ....” Mas Hadri mengangkat tiket pesawat itu saat aku sibuk membereskan meja dan mengisi tas dengan gawai serta tablet.

Aku berharap, tatapan ini salah. Sebab, saat Mas Hadri melihat tiket itu, sudut bibirnya tersungging. Dia ... tersenyum.

“Kita bicarakan di rumah ibumu!” ujarku seraya mematikan komputer.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Misteri Perempuan yang Memakai Gaun Tidurku    Bab 25

    Dua tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mengurus proyek besar perusahaan di negeri orang. Bukan pula waktu yang sebentar untuk terus-menerus menepis kehadiran seseorang yang tak pernah lelah menunjukkan ketulusan. Alam tetap pada janjinya. Dia tidak pernah memaksakan perasaannya, namun keberadaannya terasa begitu solid, seperti pilar yang tidak terlihat di sekelilingku. Dia menjadi bagian tidak terpisahkan dari hari-hariku di Malaysia, baik di kantor maupun di luar itu, seolah takdir memang sengaja menempatkannya di sana.Kami sering makan siang bersama. Kadang dengan tim, kadang hanya berdua karena jadwal yang pas. Obrolan kami selalu berkisar tentang pekerjaan, tren industri, atau sesekali tentang buku dan film. Dia tidak pernah lagi mengungkit soal "mengenal lebih jauh" atau "menjadikan keluarga". Alam menghormati batasan yang kubuat. Dan justru itu yang membuat hatiku mulai terasa aneh. Mengapa dia tidak menyerah? Mengapa dia tidak bosan?Suatu sore, setelah rapat yang melelah

  • Misteri Perempuan yang Memakai Gaun Tidurku    Bab 24

    Aku pulang ke Jakarta, menyelesaikan semua urusan perceraian dengan Hadri yang masih saja berbelit.Pria itu terus menolak, mencari-cari alasan, seolah dia korban dan aku si penjahat. Entah berapa kali aku harus menahan diri untuk tidak meledak di ruang sidang. Namun, dengan bantuan pengacara yang cakap, proses itu akhirnya selesai. Aku resmi menjadi janda.Kini, aku benar-benar sendiri.Trauma itu nyata. Setiap kali ponselku berdering, aku langsung menegang, seolah itu adalah panggilan tak terjawab dari Hadri. Setiap melihat gaun tidur di toko, ingatanku kembali pada gaun-gaun yang muncul misterius di keranjang cucian.Pernikahan, hubungan, bahkan pria, semua terasa seperti jebakan yang siap menelanku hidup-hidup. Aku membakar semua foto pernikahan, juga gaun tidur yang pernah kupakai untuk menyenangkan Hadri, gaun yang seharusnya menjadi simbol keintiman, kini hanya mewakili kebohongan dan pengkhianatan. Api melahap kain dan kertas, dan aku berharap dia juga membakar semua kenangan

  • Misteri Perempuan yang Memakai Gaun Tidurku    Bab 23

    “Apa katamu?” Mas Hadri memelotot. Padahal, pernyataan itu muncul dari mulut Alam, bukan dariku. “Kalian memang sudah merencanakan ini semua!” tuduhnya sembari mengacungkan telunjuk ke mukaku.“Iya!” tukasku langsung.Mas Hadri jelas tidak terima, saat kulangkahkan kaki untuk menjauh darinya, lenganku dicengkeram begitu kuat sampai terasa perih. Pria itu juga menarikku ke arahnya, mengguncang beberapa kali sampai untaian rambutku beterbangan bak ditiup angin. “Lepas, Mas. Ini sudah keterlaluan, aku bisa panggil polisi kalau kamu tidak pergi!” ancamku. Tubuh ini terus berusaha melepaskan diri darinya, sebab setiap sel yang ada di dalam diriku memberontak, jijik dan juga muak dengan pria ini.“Polisi? Kamu mau masukin aku ke penjara, Kir?”“Iya, lalu apa lagi? Kamu memaksa masuk ke dalam rumah orang lain, mendorong dan menyakitiku, mengganggu ketenangan lingkungan ini, apa lagi itu namanya kalau bukan perbuatan kriminal? Lepas atau kulaporkan kamu ke polisi?” Suaraku menukik tajam, me

  • Misteri Perempuan yang Memakai Gaun Tidurku    Bab 22

    “Eh, itu ....”Aku melenggang di antara deretan kubikel-kubikel berwarna biru elektrik. Para penghuninya menoleh ke arahku, menyunggingkan mulut, mencolek teman sebelah atau bahkan mengirimkan pesan lewat aplikasi chat.Mereka melakukan ini semua bukan tanpa alasan. Sudah sebulan lamanya sejak aku melayangkan gugatan perceraian ke pengadilan. Pengacara yang kubayar mahal agar bisa membungkam Mas Hadri dan keluarganya sudah memastikan kalau pengadilan mendapatkan semua bukti perselingkuhan Mas Hadri, penipuan yang dilakukan olehnya dan ibunya, serta semua hal busuk yang mereka lakukan di belakangku.Seharusnya, aku cukup tenang sampai di titik itu. Tapi ....“Kudengar, memang Bu Kirana sih yang nge-godain Hadri. Maklum, umur sudah banyak tapi belum ada yang ngajak nikah. Sekalinya kenal sama brondong langsung dipikat!” cecar seorang perempuan yang mencepol rambutnya.Dia menutup mulut usai berkata demikian. Temannya yang menyimak terkikik geli, lalu buru-buru mengatur ekspresi karena a

  • Misteri Perempuan yang Memakai Gaun Tidurku    Bab 21

    “Kamu kira, aku tidak akan pernah tahu, Mas? Dengan apa Ibumu memukul kepalaku malam itu?” Suaraku menukik tajam, aku berang hingga berteriak pada Mas Hadri.Sudah tidak ada lagi rasa hormatku pada pria ini, juga pada ibunya yang kini menatapku dengan sorot mata membelalak. Sudah pasti, perempuan itu tidak menyangka kalau aku menyadari apa yang dilakukan olehnya. Sayangnya, bukti tidak ada, hanya ingatan serta pantulan sosok ibu mertua dari jendela lemari yang menjadi saksinya.“Mana mungkin!” lirih ibu mertua sembari menutup mulut.Aku tersenyum, mengejeknya. “Bu, ada alasan kenapa aku bisa jadi pejabat perusahaan di usia muda!” sindirku.“Kirana, itu semua hanya kesalahpahaman. Kamu tahu kan akibatnya kalau perempuan meminta cerai? Apa kamu kira akan ada lelaki lain yang mau menerimamu?” ucap Mas Hadri.Perkataannya berhasil menorehkan segaris luka di dalam dadaku. Dia memperlakukanku seperti seorang perempuan hina yang hanya bisa bahagia di dalam kungkungan lelaki.“Mas, aku bukan

  • Misteri Perempuan yang Memakai Gaun Tidurku    Bab 20

    “Bagus, Mas. Kamu sama dia memang sudah seharusnya pisah. Mau tunggu sampai kapan?” Ica berseru. “Aku mau segera kita daftarkan pernikahannya ke KUA, Mas.”Aku menyungging senyum mendengar ocehan dari perempuan itu. Umurnya jauh lebih muda dariku, tapi liciknya sudah tidak tertandingi. Dia minta Mas Hadri membuangku agar segera menjadikannya istri sah secara negara.“Sepakat. Kalau begitu masalahnya sudah selesai, kan?” imbuhku lagi tetap mengatur ekspresi.Kali ini, hanya aku yang berbicara. Bapak mengepal tangan di dalam pangkuannya, sedangkan ibu terus menggenggam erat tangan Della. Tentu saja hatinya hancur melihat pernikahanku berantakan seperti ini.Tapi, ini sudah akhirnya. Tidak ada alasan bagiku untuk bertahan, apa lagi sampai mengemis.“Kirana, kamu mau pisah dariku?”“Iya, mau apa lagi? Mumpung belum punya anak juga, Mas. Setidaknya yang kamu sakiti cuma aku, bukan anak-anak yang tidak tahu apa-apa,” balasku lagi. “Lagian, kamu kan sudah punya istri, jangan tamak ingin puny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status