“Kamu sakit apa? Aku dengar di kantor kalau kamu terluka dan harus dirawat,” ucap Della setelah aku membiarkan perempuan itu masuk ke dalam kamar. Tepat setelahnya, pintu segera kukunci kembali meski Mas Hadri berdiri di depannya dengan tatapan nanar penuh harap.
Della datang seusai pulang bekerja. Perempuan cerita itu masih memakai setelan kantornya yang fashionable, bahkan tubuhnya masih dilekati oleh parfum. Dia menempati tepian ranjang, sangat dekat denganku.
“Dell, soal suami kamu ....” Aku berlirih dengan suara halus, sangat tidak ingin Mas Hadri tahu perihal pernikahan Della yang telah kandas karena suaminya itu.
Ekspresi Della langsung berubah. Dia menatapku dengan sorot mata yang lebih sayu, bahkan sedikit berbalik arah.
“Pria itu, argh ... aku benar-benar muak kalau harus mengingatnya. Sudah bagus aku masih mau sabar dan memaafkan, malah kelakuannya makin bejat saja.” Della berkisah sembari mengepalkan tangan.
Aku tersenyum tipis usai mendengar cerita Della. Timbul niat di dalam hati untuk berbagi perihal keanehan yang terus kutemukan di rumah ini. Soal hantu perempuan itu, soal gaun malamku yang terus ada di keranjang kotor, serta Mas Hadri.
Tapi sepertinya, Della juga masih kesulitan membiasakan diri dengan status barunya. Sebentar lagi kata janda akan tersemat padanya.
Ah, kalau aku dan Mas Hadri juga berpisah, maka kata itu juga akan jadi milikku. Haruskah aku menahannya sedikit lagi?
“Kenapa nanyain suamiku tiba-tiba, Kir? Kamu curiga juga sama Mas Hadri?” terka Della yang membuatku segera membenarkan posisi lebih tegak.
Padahal, lidah ini masih kelu, pikiranku juga buntu. Banyak pertimbangan untukku, apakah harus berbicara soal Mas Hadri dan rumah ini pada Della atau tidak.
“Nah kan, kayanya bener!” sambung Della sembari mengepalkan tinju. Perempuan itu langsung melirik ke arah pintu, seolah-olah di sana ada Mas Hadri yang sedang berdiri. “Aku sudah tebak kalau pria kaya dia pasti bakal banyak tingkah, Kir. Di kantor saja, kelakuannya tidak tahu malu sama sekali. Kemarin, kamu di rumah sakit, Mas Hadri sibuk ngobrol sama anak magang, Kir.”
Aku terperangah mendengar perkataan Della. Sepertinya, kegelisahanku itu bukanlah hayalan semata.
“Dell ....”
“Mas Hadri juga sering keluar di jam makan siang, Kir. Telat balik ke kantor, entah ada keperluan apa karena juga ketua tim enggak berani negur. Dia kan suaminya kamu, jabatan kamu jauh di atas Ketua Tim. Sekelas direktur saja sungkan sama kamu!”
Deg! Aku menelan ludah.
“Del, kamu yakin?”
“Iya, kamu enggak tahu, kan? Mana mungkin kamu tahu kalau tiap jam makan siang kamu sibuk dengan kolega, direktur ini dan itu, manajer sana dan sini. Aku saja jarang bisa lihat kamu di kantor!” celotehnya, kemudian Della melipat kedua tangannya di dada.
Mendengar semua penjelasan dari Della membuat diriku tidak lagi bisa menampik kecurigaan. Selama ini, Mas Hadri sepertinya sibuk dengan sesuatu yang tidak pernah kutahu, dia sangat sibuk sampai harus membawa mobil sendiri ke kantor. Ternyata, Mas Hadri sering keluar dan telat kembali.
“Aku mau cerita sesuatu sama kamu, Del.”
“Soal apa?” Della mengernyitkan kening. Kedua alisnya yang dipoles tipis itu hampir bertautan, dia juga mencondongkan tubuhnya ke arahku, bersiap mendengar dengan telinganya sendiri.
Della, perempuan ini bisa dipercaya. Mungkin, cara bicaranya terlalu jujur, tapi dia tidak pernah menjadi pisau bermata dua untukku.
“Soal ....”
Mulailah aku bercerita tentang semua yang terjadi selama ini. Tidak ada yang aku tutupi, segalanya soal Mas Hadri, hantu perempuan, serta kejadian di rumah ibu mertua dua hari lalu.
Dan responsnya ....
“Gila, kamu percaya kalau itu hantu, Kir?” Della menjerit. Dia membenarkan posisi duduknya di ranjang. “Kamu itu pintar, kuliah di luar negeri, masa enggak bisa pakai logika?”
“Aku juga tidak yakin itu hantu atau bukan, Del. Malam itu, aku melihatnya sendiri di dapur, dia berdiri di sana, lalu menghilang saat Mas Hadri keluar. Anehnya, Mas Hadri muncul dengan bertelanjang dada dan badannya berkeringat.”
Manik mata Della semakin membola. Dia menggelengkan kepalanya saat mendengarku berkata.
“Mana mungkin, Kir. Siapa yang ngomong begitu? Suamimu, kan! Malam itu, aku dan ‘dia’ juga ada di sana.”
Aku mengangguk. Benar, Mas Hadri-lah yang bilang kalau ada hantu perempuan di rumah ini. Muncul tengah malam dan selalu membuatnya ketakutan.
“Iya, tapi ... anehnya selalu momennya saat aku tidak ada di rumah!”
“Nah!” Della berseru kembali. Dia menepuk tangannya. Perempuan itu langsung tersenyum. “Itu sih, akal-akalan Mas Hadri. Dasar laki-laki pembohong! Mana ada setan milih-milih mau muncul di depan siapa, kapan terus mikir ada siapa di rumah. Kalau muncul ya muncul saja!”
Perkataan Della seolah membuka kedua mataku dengan lebih lebar. Benar, perkataan perempuan itu benar. “Aku harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini, Del. Enggak bisa begini terus, kalau memang ada sesuatu, aku harus dapat kebenarannya.”
Della mengiyakan ucapanku. “Caranya?”
“Tugas dinas itu, Del. Aku akan pergi dua minggu ....”
Lalu, Della tersenyum mendengar perkataanku. Perempuan itu akan menjadi tangan kanan dalam misi memecahkan permasalahan ini.
“Yang di sini, serahin saja semuanya sama aku, Kir! Kalau kamu memang butuh bantuan, pria itu juga bisa jadi tameng buat kamu!”
Mendengar ucapan Della, aku juga merasa kalau dia tidak salah. Pria itu ... apa dia bisa membantuku andai sesuatu terjadi nanti?
Dua tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mengurus proyek besar perusahaan di negeri orang. Bukan pula waktu yang sebentar untuk terus-menerus menepis kehadiran seseorang yang tak pernah lelah menunjukkan ketulusan. Alam tetap pada janjinya. Dia tidak pernah memaksakan perasaannya, namun keberadaannya terasa begitu solid, seperti pilar yang tidak terlihat di sekelilingku. Dia menjadi bagian tidak terpisahkan dari hari-hariku di Malaysia, baik di kantor maupun di luar itu, seolah takdir memang sengaja menempatkannya di sana.Kami sering makan siang bersama. Kadang dengan tim, kadang hanya berdua karena jadwal yang pas. Obrolan kami selalu berkisar tentang pekerjaan, tren industri, atau sesekali tentang buku dan film. Dia tidak pernah lagi mengungkit soal "mengenal lebih jauh" atau "menjadikan keluarga". Alam menghormati batasan yang kubuat. Dan justru itu yang membuat hatiku mulai terasa aneh. Mengapa dia tidak menyerah? Mengapa dia tidak bosan?Suatu sore, setelah rapat yang melelah
Aku pulang ke Jakarta, menyelesaikan semua urusan perceraian dengan Hadri yang masih saja berbelit.Pria itu terus menolak, mencari-cari alasan, seolah dia korban dan aku si penjahat. Entah berapa kali aku harus menahan diri untuk tidak meledak di ruang sidang. Namun, dengan bantuan pengacara yang cakap, proses itu akhirnya selesai. Aku resmi menjadi janda.Kini, aku benar-benar sendiri.Trauma itu nyata. Setiap kali ponselku berdering, aku langsung menegang, seolah itu adalah panggilan tak terjawab dari Hadri. Setiap melihat gaun tidur di toko, ingatanku kembali pada gaun-gaun yang muncul misterius di keranjang cucian.Pernikahan, hubungan, bahkan pria, semua terasa seperti jebakan yang siap menelanku hidup-hidup. Aku membakar semua foto pernikahan, juga gaun tidur yang pernah kupakai untuk menyenangkan Hadri, gaun yang seharusnya menjadi simbol keintiman, kini hanya mewakili kebohongan dan pengkhianatan. Api melahap kain dan kertas, dan aku berharap dia juga membakar semua kenangan
“Apa katamu?” Mas Hadri memelotot. Padahal, pernyataan itu muncul dari mulut Alam, bukan dariku. “Kalian memang sudah merencanakan ini semua!” tuduhnya sembari mengacungkan telunjuk ke mukaku.“Iya!” tukasku langsung.Mas Hadri jelas tidak terima, saat kulangkahkan kaki untuk menjauh darinya, lenganku dicengkeram begitu kuat sampai terasa perih. Pria itu juga menarikku ke arahnya, mengguncang beberapa kali sampai untaian rambutku beterbangan bak ditiup angin. “Lepas, Mas. Ini sudah keterlaluan, aku bisa panggil polisi kalau kamu tidak pergi!” ancamku. Tubuh ini terus berusaha melepaskan diri darinya, sebab setiap sel yang ada di dalam diriku memberontak, jijik dan juga muak dengan pria ini.“Polisi? Kamu mau masukin aku ke penjara, Kir?”“Iya, lalu apa lagi? Kamu memaksa masuk ke dalam rumah orang lain, mendorong dan menyakitiku, mengganggu ketenangan lingkungan ini, apa lagi itu namanya kalau bukan perbuatan kriminal? Lepas atau kulaporkan kamu ke polisi?” Suaraku menukik tajam, me
“Eh, itu ....”Aku melenggang di antara deretan kubikel-kubikel berwarna biru elektrik. Para penghuninya menoleh ke arahku, menyunggingkan mulut, mencolek teman sebelah atau bahkan mengirimkan pesan lewat aplikasi chat.Mereka melakukan ini semua bukan tanpa alasan. Sudah sebulan lamanya sejak aku melayangkan gugatan perceraian ke pengadilan. Pengacara yang kubayar mahal agar bisa membungkam Mas Hadri dan keluarganya sudah memastikan kalau pengadilan mendapatkan semua bukti perselingkuhan Mas Hadri, penipuan yang dilakukan olehnya dan ibunya, serta semua hal busuk yang mereka lakukan di belakangku.Seharusnya, aku cukup tenang sampai di titik itu. Tapi ....“Kudengar, memang Bu Kirana sih yang nge-godain Hadri. Maklum, umur sudah banyak tapi belum ada yang ngajak nikah. Sekalinya kenal sama brondong langsung dipikat!” cecar seorang perempuan yang mencepol rambutnya.Dia menutup mulut usai berkata demikian. Temannya yang menyimak terkikik geli, lalu buru-buru mengatur ekspresi karena a
“Kamu kira, aku tidak akan pernah tahu, Mas? Dengan apa Ibumu memukul kepalaku malam itu?” Suaraku menukik tajam, aku berang hingga berteriak pada Mas Hadri.Sudah tidak ada lagi rasa hormatku pada pria ini, juga pada ibunya yang kini menatapku dengan sorot mata membelalak. Sudah pasti, perempuan itu tidak menyangka kalau aku menyadari apa yang dilakukan olehnya. Sayangnya, bukti tidak ada, hanya ingatan serta pantulan sosok ibu mertua dari jendela lemari yang menjadi saksinya.“Mana mungkin!” lirih ibu mertua sembari menutup mulut.Aku tersenyum, mengejeknya. “Bu, ada alasan kenapa aku bisa jadi pejabat perusahaan di usia muda!” sindirku.“Kirana, itu semua hanya kesalahpahaman. Kamu tahu kan akibatnya kalau perempuan meminta cerai? Apa kamu kira akan ada lelaki lain yang mau menerimamu?” ucap Mas Hadri.Perkataannya berhasil menorehkan segaris luka di dalam dadaku. Dia memperlakukanku seperti seorang perempuan hina yang hanya bisa bahagia di dalam kungkungan lelaki.“Mas, aku bukan
“Bagus, Mas. Kamu sama dia memang sudah seharusnya pisah. Mau tunggu sampai kapan?” Ica berseru. “Aku mau segera kita daftarkan pernikahannya ke KUA, Mas.”Aku menyungging senyum mendengar ocehan dari perempuan itu. Umurnya jauh lebih muda dariku, tapi liciknya sudah tidak tertandingi. Dia minta Mas Hadri membuangku agar segera menjadikannya istri sah secara negara.“Sepakat. Kalau begitu masalahnya sudah selesai, kan?” imbuhku lagi tetap mengatur ekspresi.Kali ini, hanya aku yang berbicara. Bapak mengepal tangan di dalam pangkuannya, sedangkan ibu terus menggenggam erat tangan Della. Tentu saja hatinya hancur melihat pernikahanku berantakan seperti ini.Tapi, ini sudah akhirnya. Tidak ada alasan bagiku untuk bertahan, apa lagi sampai mengemis.“Kirana, kamu mau pisah dariku?”“Iya, mau apa lagi? Mumpung belum punya anak juga, Mas. Setidaknya yang kamu sakiti cuma aku, bukan anak-anak yang tidak tahu apa-apa,” balasku lagi. “Lagian, kamu kan sudah punya istri, jangan tamak ingin puny