Share

Bab 6

Author: Bemine
last update Last Updated: 2024-08-09 13:01:54

Mas Hadri membawaku pulang dari rumah sakit setelah dua malam dirawat. Dia menjemputku, membantu memapahku yang sebenarnya sudah sangat bugar untuk berjalan sendirian.

Kami masuk ke rumah, Mas Hadri menenteng tas yang kupakai saat ke rumah ibu mertua. Dia meletakkannya di meja, lalu bertanya, “Mau masuk ke kamar, Sayang?”

Sejenak, aku diam. Sebenarnya bukan diam karena sakit atau lelah, aku diam seraya mengitari rumah dengan sorot mata. Dua malam tidur di luar, Mas Hadri terpaksa kutinggalkan di rumah ini lagi, bahkan tanpa meminta Fani pulang. Ditambah lagi, ada sepotong ingatan mengerikan yang terus berusaha kucari kebenarannya.

“Tidak dulu, Mas. Aku mau duduk sebentar di sini,” jelasku pada Mas Hadri.

“Ya sudah, Mas masuk dulu, Sayang. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil Mas atau Fani!” balasnya seraya membantuku duduk di sofa.

Tidak butuh waktu lama, setelah Mas Hadri memastikan aku aman di sana, dia beranjak pergi. Mas Hadri meninggalkanku, dia berjalan yakin menuju kamar kami seorang diri, bahkan bersenandung pelan hingga seluruh tubuhku jadi merinding.

Sepeninggalnya, aku langsung bangkit. Dua hari tinggal di luar, hantu perempuan itu atau gaun malamku tidak bisa hilang dari bayangan.

Aku beranjak ke dapur, kemudian ke ruang laundry yang kecil. Keranjang baju kotor yang selama ini menyimpan banyak hal langsung kuobrak-abrik. Satu per satu kain yang ada di dalamnya aku keluarkan demi mencari gaun malam yang mungkin saja kembali muncul di dalam sini.

Nihil! Tidak ada apa-apa. Hanya pakaian milik Mas Hadri yang ada.

Aku tidak ingin menyerah, lalu mengalihkan tujuan menjadi Fani yang baru saja masuk dari taman belakang. Perempuan itu membawa keranjang berisi baju bersih yang akan disetrikanya malam nanti.

“Fan?” panggilku padanya tanpa memindahkan tatapan meski hanya sejengkal.

Perempuan itu, wajahnya terlihat segar. Pipinya merona dan bibirnya terus tersenyum. Menurutku, dia jadi semakin cantik setiap harinya, bahkan dia masih gadis dengan umur yang sangat muda.

“Iya, Bu?” Fani meletakkan keranjang baju, dia berjalan ke arahku. “Ibu butuh sesuatu?”

Lagi, aku diam. Kali ini aku memandangi keranjang baju yang diturunkan oleh Fani.

“Sebentar!”

Aku langsung bergerak menuju keranjang baju kotor itu, mengeluarkan setiap kain yang ada di dalamnya hingga Fani memekik terkejut. Dia terus bertanya apa yang aku cari, apa yang aku butuhkan. Tapi, sekalipun aku tidak menjawab.

Celana, baju kaos, kemeja, bahkan singlet milik Mas Hadri terus bermunculan. Anehnya, aku tidak pernah melihat Mas Hadri memakai semua pakaian itu, entah bekerja atau di rumah. Mas Hadri ternyata menghabiskan pakaian dua kali lipat lebih banyak dibanding diriku.

Sampai ....

“Astagfirullah!” Fani menjerit kaget.

Di ujung jari, aku menenteng gaun malamku yang berwarna putih. Bahannya silk dan sangat tipis hampir transparan. Gaun yang memiliki belahan rendah itu tidak mengeluarkan bau busuk seperti beberapa pakaian sebelumnya. Bahkan, kardigan yang melengkapinya juga ada di dalam keranjang tersebut.

“Fani, kamu yang cuci ini, kan?”

Fani membelalak mendengar pertanyaan dariku. Perempuan itu menutup mulut, menggeleng putus asa. “Bu, saya enggak tahu itu apa. Saya hanya cuci semua pakaian yang ada di keranjang dan dijemur, Bu.” Kemudian, Fani menangis.

“Kamu jujur sama aku, Fan. Kenapa benda ini ....”

Aku berhenti bicara. Tubuhku langsung merasa lelah setelah menemukan secarik pakaian milikku di keranjang itu. Tidak pernah kugunakan, tidak lagi sempat kupakai di badan untuk menyenangkan Mas Hadri, tapi lagi-lagi ada di keranjang baju kotor.

“Bu, saya ....”

“Pergilah, selesaikan pekerjaanmu!” titahku padanya karena tidak ingin mendengarkan tangisan Fani.

Sementara ini, aku tidak punya bukti untuk menuduh siapapun mengambil atau memakai pakaian ini. Bahkan Fani sendiri, aku juga tidak bisa menyebutnya sebagai pelaku. Jikapun memang Fani yang mengambil semua pakaianku, untuk apa? Dalam kondisi apa dia memakai pakaian seperti ini?

Ah, perasaanku bergejolak lagi. Aku langsung menumpu badan di dashboar sofa. Kepalaku sakit seperti dihantam bebatuan.

Sekali lagi, aku memutuskan untuk memeriksa gaun itu. Sayang sekali karena gaun ini ikut muncul di keranjang baju tanpa kupakai, padahal ini adalah gaun favoritku, bahkan Mas Hadri tidak bisa berhenti memuji saat gaun ini ada di tubuhku.

Haruskah aku membakarnya saja?

Tapi, tiba-tiba saja aku mengingat satu hal. Malam itu, hantu perempuan yang muncul di rumahku juga memakai gaun malam yang rendah.

Aku mengangkat tinggi-tinggi gaun tersebut. Ya, mirip sekali dengan gaun ini.

“Sayang? Kamu ngapain lagi, sih!” tegur Mas Hadri.

Pria itu berdiri di depan pintu kamar kami, terlihat jelas siluetnya dari balik gaun malam tipis itu. Mas Hadri memandangiku dengan dua tangan terselip di saku celana trainingnya. Dia sudah berganti pakaian dari kemeja lengan panjang dan jeans saat mejemputku menjadi setelan rumahan yang nyaman.

“Mas ....”

“Iya, kenapa?” Mas Hadri menjawab sembari berjalan ke arahku. Pria itu menatap, kemudian mencoba menurunkan gaun malam yang terus membuatku kacau itu. “Ini, kenapa ....”

“Apa hantu bisa pakai baju manusia, Mas?” tanyaku pada Mas Hadri.

“A-apa? Kamu bicara apa, Sayang?”

“Hantu perempuan yang selalu kamu bicarakan itu, apa mungkin dia yang memakai semua gaun-gaunku?” telisikku sembari menyoroti Mas Hadri.

Pria yang terlihat tenang itu tiba-tiba mengangkat sorot matanya. Dia mengernyitkan kening sesaat, lalu memasang ekspresi bingung.

“Sayang, kamu ....”

“Aku tidak berhalusinasi, Mas. Malam itu, aku juga melihat hantu di rumah kita, hantu perempuan yang selalu kamu bicarakan, dia memakai gaun ini!” tegasku pada Mas Hadri, dan manik mata pria itu bergetar. “Apa hantu itu bisa mengikuti kita sampai ke rumah ibumu?”

Tanganku mengepal karena Mas Hadri tercenung. Pria itu tidak langsung membantah, bahkan sikapnya saat ini seperti baru saja dipergoki saat berselingkuh. Tapi, apa mungkin Mas Hadri berselingkuh dengan hantu? Sosok itu langsung menghilang setelah aku pergoki malam itu, sulit sekali dinalar oleh logika.

Sekujur tubuhku langsung merinding. Mas Hadri berusaha menenangkanku dengan sentuhannya, namun aku lebih dulu melepas diri dan menjauh darinya.

“Mas, aku butuh waktu untuk istirahat!” pintaku pada Mas Hadri. Aku bergegas pergi darinya, membiarkan Mas Hadri memiliki gaun malam yang sudah tidak ingin kulihat lagi itu.

“Sayang? Kirana!” pekiknya. Aku mengabaikan Mas Hadri dengan masuk ke dalam kamar, lalu menguncinya.

Beberapa kali Mas Hadri menggedor.

“Kirana, kamu ini kenapa? Aku salah apa sama kamu!”

“Mas, aku mau istirahat.”

“Iya, tapi kenapa harus kunci pintu segala, Sayang?” seru Mas Hadri dengan masih mengetuk pintu.

Aku bergeming di ranjang, berpikir keras sembari menahan diri agar tidak menangis. Bukannya takut pada sosok hantu perempuan tersebut, karena diriku masih memakai logika untuk segala hal.

Bagaimana kalau itu bukan hantu?

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setiap kali diriku dinas di luar. Bukankah Mas Hadri selalu tinggal sendiri di rumah ini? Apa Fani ....

“Kirana!”

“Mas, aku sudah bilang mau sendirian!”

“Kirana, ini aku ... Della.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Misteri Perempuan yang Memakai Gaun Tidurku    Bab 25

    Dua tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mengurus proyek besar perusahaan di negeri orang. Bukan pula waktu yang sebentar untuk terus-menerus menepis kehadiran seseorang yang tak pernah lelah menunjukkan ketulusan. Alam tetap pada janjinya. Dia tidak pernah memaksakan perasaannya, namun keberadaannya terasa begitu solid, seperti pilar yang tidak terlihat di sekelilingku. Dia menjadi bagian tidak terpisahkan dari hari-hariku di Malaysia, baik di kantor maupun di luar itu, seolah takdir memang sengaja menempatkannya di sana.Kami sering makan siang bersama. Kadang dengan tim, kadang hanya berdua karena jadwal yang pas. Obrolan kami selalu berkisar tentang pekerjaan, tren industri, atau sesekali tentang buku dan film. Dia tidak pernah lagi mengungkit soal "mengenal lebih jauh" atau "menjadikan keluarga". Alam menghormati batasan yang kubuat. Dan justru itu yang membuat hatiku mulai terasa aneh. Mengapa dia tidak menyerah? Mengapa dia tidak bosan?Suatu sore, setelah rapat yang melelah

  • Misteri Perempuan yang Memakai Gaun Tidurku    Bab 24

    Aku pulang ke Jakarta, menyelesaikan semua urusan perceraian dengan Hadri yang masih saja berbelit.Pria itu terus menolak, mencari-cari alasan, seolah dia korban dan aku si penjahat. Entah berapa kali aku harus menahan diri untuk tidak meledak di ruang sidang. Namun, dengan bantuan pengacara yang cakap, proses itu akhirnya selesai. Aku resmi menjadi janda.Kini, aku benar-benar sendiri.Trauma itu nyata. Setiap kali ponselku berdering, aku langsung menegang, seolah itu adalah panggilan tak terjawab dari Hadri. Setiap melihat gaun tidur di toko, ingatanku kembali pada gaun-gaun yang muncul misterius di keranjang cucian.Pernikahan, hubungan, bahkan pria, semua terasa seperti jebakan yang siap menelanku hidup-hidup. Aku membakar semua foto pernikahan, juga gaun tidur yang pernah kupakai untuk menyenangkan Hadri, gaun yang seharusnya menjadi simbol keintiman, kini hanya mewakili kebohongan dan pengkhianatan. Api melahap kain dan kertas, dan aku berharap dia juga membakar semua kenangan

  • Misteri Perempuan yang Memakai Gaun Tidurku    Bab 23

    “Apa katamu?” Mas Hadri memelotot. Padahal, pernyataan itu muncul dari mulut Alam, bukan dariku. “Kalian memang sudah merencanakan ini semua!” tuduhnya sembari mengacungkan telunjuk ke mukaku.“Iya!” tukasku langsung.Mas Hadri jelas tidak terima, saat kulangkahkan kaki untuk menjauh darinya, lenganku dicengkeram begitu kuat sampai terasa perih. Pria itu juga menarikku ke arahnya, mengguncang beberapa kali sampai untaian rambutku beterbangan bak ditiup angin. “Lepas, Mas. Ini sudah keterlaluan, aku bisa panggil polisi kalau kamu tidak pergi!” ancamku. Tubuh ini terus berusaha melepaskan diri darinya, sebab setiap sel yang ada di dalam diriku memberontak, jijik dan juga muak dengan pria ini.“Polisi? Kamu mau masukin aku ke penjara, Kir?”“Iya, lalu apa lagi? Kamu memaksa masuk ke dalam rumah orang lain, mendorong dan menyakitiku, mengganggu ketenangan lingkungan ini, apa lagi itu namanya kalau bukan perbuatan kriminal? Lepas atau kulaporkan kamu ke polisi?” Suaraku menukik tajam, me

  • Misteri Perempuan yang Memakai Gaun Tidurku    Bab 22

    “Eh, itu ....”Aku melenggang di antara deretan kubikel-kubikel berwarna biru elektrik. Para penghuninya menoleh ke arahku, menyunggingkan mulut, mencolek teman sebelah atau bahkan mengirimkan pesan lewat aplikasi chat.Mereka melakukan ini semua bukan tanpa alasan. Sudah sebulan lamanya sejak aku melayangkan gugatan perceraian ke pengadilan. Pengacara yang kubayar mahal agar bisa membungkam Mas Hadri dan keluarganya sudah memastikan kalau pengadilan mendapatkan semua bukti perselingkuhan Mas Hadri, penipuan yang dilakukan olehnya dan ibunya, serta semua hal busuk yang mereka lakukan di belakangku.Seharusnya, aku cukup tenang sampai di titik itu. Tapi ....“Kudengar, memang Bu Kirana sih yang nge-godain Hadri. Maklum, umur sudah banyak tapi belum ada yang ngajak nikah. Sekalinya kenal sama brondong langsung dipikat!” cecar seorang perempuan yang mencepol rambutnya.Dia menutup mulut usai berkata demikian. Temannya yang menyimak terkikik geli, lalu buru-buru mengatur ekspresi karena a

  • Misteri Perempuan yang Memakai Gaun Tidurku    Bab 21

    “Kamu kira, aku tidak akan pernah tahu, Mas? Dengan apa Ibumu memukul kepalaku malam itu?” Suaraku menukik tajam, aku berang hingga berteriak pada Mas Hadri.Sudah tidak ada lagi rasa hormatku pada pria ini, juga pada ibunya yang kini menatapku dengan sorot mata membelalak. Sudah pasti, perempuan itu tidak menyangka kalau aku menyadari apa yang dilakukan olehnya. Sayangnya, bukti tidak ada, hanya ingatan serta pantulan sosok ibu mertua dari jendela lemari yang menjadi saksinya.“Mana mungkin!” lirih ibu mertua sembari menutup mulut.Aku tersenyum, mengejeknya. “Bu, ada alasan kenapa aku bisa jadi pejabat perusahaan di usia muda!” sindirku.“Kirana, itu semua hanya kesalahpahaman. Kamu tahu kan akibatnya kalau perempuan meminta cerai? Apa kamu kira akan ada lelaki lain yang mau menerimamu?” ucap Mas Hadri.Perkataannya berhasil menorehkan segaris luka di dalam dadaku. Dia memperlakukanku seperti seorang perempuan hina yang hanya bisa bahagia di dalam kungkungan lelaki.“Mas, aku bukan

  • Misteri Perempuan yang Memakai Gaun Tidurku    Bab 20

    “Bagus, Mas. Kamu sama dia memang sudah seharusnya pisah. Mau tunggu sampai kapan?” Ica berseru. “Aku mau segera kita daftarkan pernikahannya ke KUA, Mas.”Aku menyungging senyum mendengar ocehan dari perempuan itu. Umurnya jauh lebih muda dariku, tapi liciknya sudah tidak tertandingi. Dia minta Mas Hadri membuangku agar segera menjadikannya istri sah secara negara.“Sepakat. Kalau begitu masalahnya sudah selesai, kan?” imbuhku lagi tetap mengatur ekspresi.Kali ini, hanya aku yang berbicara. Bapak mengepal tangan di dalam pangkuannya, sedangkan ibu terus menggenggam erat tangan Della. Tentu saja hatinya hancur melihat pernikahanku berantakan seperti ini.Tapi, ini sudah akhirnya. Tidak ada alasan bagiku untuk bertahan, apa lagi sampai mengemis.“Kirana, kamu mau pisah dariku?”“Iya, mau apa lagi? Mumpung belum punya anak juga, Mas. Setidaknya yang kamu sakiti cuma aku, bukan anak-anak yang tidak tahu apa-apa,” balasku lagi. “Lagian, kamu kan sudah punya istri, jangan tamak ingin puny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status