MasukBaru aka.n meninggalkan Toko Yuan.Hong Kong malam itu benar benar nampak sunyi, hanya terdengar suara angin yang menyusup ke antara bangunan tua. Adrian baru akan meninggalkan Toko Yuan, dan meninggalkan ruang bawah tanah toko antik Yuan, tubuhnya masih lemas, napas tersengal, dan jemarinya masih bergetar setelah pertarungan energi dengan Lian Hua. Tiba tiba, mereka kembali lagi ke ruang bawah tanah. mereka bingung, kenapa bisa kembali lagi di depan cermin.Raina di samping Adrian, ia menggenggam tangannya, wajahnya pucat namun tegas. langkah mereka terhenti.Ponsel Adrian menyala. Layar menampilkan wajah Ustadz Danur, serius namun menenangkan. Di sampingnya, muncul sosok biksu tua berkepala botak, mengenakan jubah kuning tua, matanya lembut tapi penuh wibawa. “Assalamu’alaikum, Adrian,” ucap Ustadz Danur. “Kau harus fokus. Ritual jarak jauh ini akan menahan Lian Hu
Udara sore di Jakarta terasa hangat, tapi bagi Adrian, hawa itu tetap berat.Telepon di tangannya bergetar beberapa kali sebelum ia akhirnya menjawabnya. Suara di seberang terdengar serak, lirih, namun ada kepastian yang tak bisa dibohongi.“Hendra… kau mau bicara?” Adrian menahan napas, hatinya campur aduk antara lega dan cemas.“Iya… Adrian… aku… aku ingin bicara. Sedikit saja… tapi aku harus memberitahumu sesuatu, tentang Mei Lin dan yang lain.”Adrian menelan ludah. Selama ini Hendra hanya mampu diam, terjebak dalam trauma setelah malam itu dan menjalani perawatan di RSJ selama puluhan tahun Suara lirihnya malam ini membawa beban yang tak tertahankan.“Apa maksudmu, Hendra? Ceritakan,” Adrian terdengar tegang, hampir menahan napasnya sendiri.Hendra menghela napas panjang, seolah mengumpulkan sisa keberaniannya.“Mei Lin tidak mati sendirian. Ada yang lain,
Setelah hujan reda, udara Hong Kong tetap lembap dan menusuk tulang. Mereka masih di ruang bawah tanah, ada sedikit kelegaan setelah menutup cermin itu.Adrian masih berdiri di depan kain putih yang menutupi cermin hitam arang di bawah tanah toko antik Yuan, napasnya masih berat setelah ritual penutupan. Ia menatap kain itu, mencoba menenangkan diri, namun sesuatu seperti sebuah getaran halus, namun kuat membuat bulu kuduknya berdiri.Raina yang berdiri di sisinya memeluk tangannya erat. “Adrian…apakah hanya aku??? apakah kau merasakannya juga. Ada sesuatu yang tidak benar,” bisiknya pelan.Adrian menelan ludah, matanya tetap menatap kain putih itu. Perlahan, permukaan cermin di balik kain itu bergetar. Cahaya tipis menyelinap dari celah kain, membentuk bayangan samar, mirip sosok perempuan yang setengah tenggelam dalam kegelapan, wajahnya setengah terbakar, matanya merah menyala.
Hujan Hong Kong telah reda, meninggalkan udara dingin yang menggantung di antara gedung tua dan jalanan basah. Adrian menatap ke arah pintu toko antik Yuan, napasnya tertahan. Langkahnya terasa berat meski kaki tetap menapak di lantai keras. Raina di sampingnya menggenggam tangannya erat, dan Bu Evelyn menatap mereka berdua dengan mata penuh kecemasan dan kehati-hatian. Yuan menatap Adrian dengan mata tajam. Ia, sedikit teringat dengan kejadian yang baru saja berlalu di depan matanya. “Kalian sudah siap? Ini bukan ruang bawah tanah biasa. Energi di sini… sangat berbeda dari cermin yang kalian lihat di rumah keluarga Tan atau yang sebelumnya di Hong Kong.” Adrian mengangguk pelan. “Aku siap. Aku harus menghadapi apapun yang ada di sana.” Raina menatapnya penuh kekhawatiran. “Adrian… aku takut. Energi it
Lampu-lampu jalan Hong Kong memantul di jalan basah yang masih disiram hujan sore. Adrian, Raina, dan Evelyn berjalan beriringan, masing-masing membawa tas berisi dokumen, peralatan doa, dan benda-benda penangkal energi yang dipersiapkan Ustadz Danur. Suara hujan menimpa payung mereka dengan ritme yang seolah menegangkan setiap langkah mereka. “Menurut alamat dokumen kakek..,” kata Bu Evelyn sambil menatap smartphone, “toko ini milik keluarga Mr. Chou. Kakek menulis, cermin itu disimpan di bawah tanah, tersembunyi dari pembeli dan pemeriksa biasa.” Adrian mengangguk, wajahnya tegang. “Kita harus berhati-hati. Ini bukan sekadar antik. Lian Hua, aku bisa merasakan energi gelapnya sudah semakin dekat.” Raina menggenggam tangan Adrian sebentar, matanya menatap tajam. “Aku tidak
Setibanya di Shanghai. Hujan masih turun ketika Adrian, Raina, dan Bu Evelyn menuruni tangga gudang antik di Shanghai. Udara lembap dan dingin, namun mata Adrian tetap tajam menatap setiap rak, setiap dokumen lama yang disimpan dengan hati-hati. Bu Evelyn membuka laci besar dari lemari besi tua, mengeluarkan beberapa folder berdebu. “Ini sebagian arsip kakekku,” ujar Evelyn, menghela napas, suaranya setengah takut, setengah bersemangat. “Tidak semua terlabel dengan rapi. Ada puluhan dokumen perdagangan antik yang dikirim keluar negeri, terutama Hong Kong dan Singapura, tahun 1980-an.” Adrian mendekat, matanya menelusuri dokumen satu per satu. Tangannya terasa gatal untuk menyentuhnya, merasakan energi masa lalu yang masih tersisa di kertas dan tinta tua. Raina duduk di meja, membuka laptopnya dan mulai men







