Share

Bab 7 Undangan Ibu Mertua

"Makan ... makan di warung nasi dekat pabrik lah, di mana lagi?" Mas Rendra menjawab pertanyaanku dengan wajah yang sedikit memerah.

Aku langsung membuang pandangan, merasa jijik dengan jawaban bohongnya.

"Aku sedang tidak enak badan. Cuma bisa masak ini buat makan. Kalau Mas mau menu yang lain, silahkan masak sendiri," tuturku, lalu mulai mengambil nasi untuk disantap.

Mas Rendra tidak lagi bicara. Dia membiarkanku menikmati makanan seperti orang lapar.

Bayangkan saja, seharian penuh perutku tidak diisi apa pun. Dan itu karena perbuatan Mas Rendra.

Aku yakin betul, jika dia yang membuatku tidur seperti orang mati.

Dari ekor mata, aku melihat Mas Rendra mengambil sedikit nasi dan lauk ayam goreng yang tadi aku masak.

Terlihat sekali dia tidak berselera dengan masakanku. Yang biasanya selalu makan banyak, kini hanya sedikit, bahkan tidak ada setengah dari porsi dia makan.

"Kalau sudah kenyang, gak usah maksain makan, Mas," celetukku.

Mas Rendra menoleh dengan kedua alis yang terangkat ke atas. Alih-alih menjawab ucapanku yang sinis, dia malah memberikan seulas senyum seolah-olah tidak merasa terusik.

"Apa pun masakan kamu, akan aku makan. Kalau kamu sudah kenyang, sini berikan sisanya. Aku akan menghabiskannya," ujar Mas Rendra tanpa ragu.

Dia mengulurkan tangan meminta piringku, tapi tanganku menepisnya.

Enak saja. Aku bahkan masih merasa lapar karena seharian tidak makan.

Akhirnya kami makan dalam keheningan. Meskipun nasi Mas Rendra sudah habis, tapi dia sama sekali tidak beranjak dari kursinya. Dia seperti sengaja menungguku. Cari perhatian.

Malam ini langit dihiasi bintang yang bertaburan di atas sana. Semilir angin malam terasa sejuk menerpa kulit wajah yang mengadah.

Sudah pukul sepuluh malam, tapi aku tidak merasakan kantuk itu datang. Ini pasti karena seharian aku tidur, dan akan terjaga untuk malam ini.

"Sayang ...." Sentuhan tangan besar mengusap ubun-ubunku, lalu membelai rambut hingga pundak.

Aku enggan untuk menoleh dan melihat dia yang telah menorehkan luka. Meskipun bibir berkata kuat, tapi hati tetap rapuh. Aku tak sanggup.

"Sudah malam, ayo kita tidur," bisiknya di telinga.

"Aku belum ngantuk, Mas."

"Aku rindu ...." Bisikan kata yang diucapkan Ma Rendra membuat tubuhku menegang seketika.

Bulu kudukku meremang saat kecupan-kecupan kecil dia daratkan di cengkuk leherku.

"Mas ...." Aku menghentikan aksinya. Membalikkan badan, melihat dia dengan keberatan.

"Kenapa? Kamu masih marah sama aku?"

Jari-jari Mas Rendra menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Tatapannya penuh damba, menginginkan sesuatu dariku, yang sudah menjadi haknya sejak setahun pernikahan kami.

Akan tetapi ... kali ini aku berat melakukan kewajibanku. Bayang-bayang pengkhianatan dia terpampang nyata. Dan ... pastinya dia pun sering melakukan itu dengan wanita yang sekarang tengah mengandung buah hatinya.

Kurasakan tikaman busur panah di ulu hati ketika mengingat itu. Tak sadar, tanganku terkepal kuat dengan tatapan benci pada pria di depanku.

"Aku benci sama kamu, Mas." Kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa bisa aku kendalikan.

Sepasang netra yang sedari tadi menatapku penuh cinta, kini berubah menjadi tanda tanya.

Mas Rendra mengerutkan kening, dia keheranan dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan.

"Tsa, semarah itu kamu padaku, hanya gara-gara tidak membawamu ke pabrik tadi pagi?"

Cih, aku muak dengan pertanyaannya itu.

Kugelengkan kepala, lalu pergi meninggalkan dia seorang diri di ambang pintu yang mengarah pada taman kecil di samping rumah kami.

Aku memang tidak pernah bisa bersandiwara tentang perasaan. Tubuhku akan bereaksi sesuai isi hati.

"Ini, Ibu bicara saja sama Tsania langsung. Dia sedang marah padaku, Bu. Dari tadi dia mendiamkanku."

Aku yang tengah duduk di atas tempat tidur, langsung melihat pada Mas Rendra yang baru saja masuk dengan ponsel yang ditempelkan di telinga.

"Kayaknya begitu. Makanya, Ibu yang bicara, deh. Kalau aku yang ngomong, mana mungkin dia percaya," tuturnya lagi, lalu naik ke ranjang dan duduk di sampingku.

"Apa?" tanyaku, saat dia mengulurkan tangan memberikan ponselnya.

"Ibu mau bicara."

Aku mengembuskan napas kasar. Malas sebenarnya menanggapi kebohongan yang mungkin akan dikatakan ibu mertua tentang kejadian kemarin.

Namun, aku tidak punya alasan untuk menolak bicara dengan ibu mertua. Rasanya tidak sopan, meskipun mereka juga tidak sopan telah menghadirkan wanita lain dalam pernikahan aku dan Mas Rendra.

"Halo," ucapku dingin.

"Tsania ... Ibu minta maaf, jika kemarin Rendra telah kasar sama kamu, Nak. Apa yang ada dalam pikiran kamu, sama sekali tidak benar. Rendra teramat mencintai kamu, dia tidak mungkin berkhianat darimu. Dan soal pakaian bayi itu, itu untuk—"

"Tsania sudah tahu, Bu." Aku memotong ucapan ibu mertua.

"Oh, Rendra sudah menceritakannya?"

"He'em," kataku bergumam.

"Kamu harus percaya sama Rendra, Tsa. Dia itu setia. Dia tidak mungkin mendua. Oh, iya, Ibu mengundang kalian datang ke rumah Ibu, Tsa. Kita makan-makan di sini. Ibu akan masak banyak untuk kalian. Ibu kangen, makan bareng sama kamu, Tsa. Kalau Ibu datang ke rumahmu, kamu paling suka makan masakan Ibu, kan? Sekarang gantian, kamu yang datang ke sini, ya? Ibu masakin apa pun yang kamu mau. Ya, Tsa, ya. Mau, ya besok datang?"

Mataku melirik Mas Rendra yang juga tengah menatapku.

Entah apa tujuan ibu mertua mengundangku datang, tapi ... sepertinya aku tidak boleh melewatkan ini.

Aku jadi penasaran dengan wanita hamil di rumah Ibu, yang dia sembunyikan di gubuk belakang rumah seperti pada foto yang Sabrina berikan.

"Tsa, kamu mau datang, ya?" ucap Ibu lagi.

"Emh ...."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau dinikahi krn anak orang kaya njing. jadi sadar diri aja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status