Share

Bab 6 Menu yang Sama

Auteur: Pena_yuni
last update Dernière mise à jour: 2023-04-01 03:40:17

Aku terperanjat, mulutku menganga dengan mata mengarah pada wajah

Sabrina yang kebingungan.

"Ada apa, sih, Tsa?" tanya temanku itu.

"Apa yang dilakukan Mas Rendra hingga aku bisa tidur selama itu?"

"Rendra? Kenapa lagi dengan dia?" Sabrina kembali bertanya.

Aku pun mengatakan semua yang sempat aku rencanakan. Niatku untuk ikut ke pabrik teh, harus gagal karena dibuat tidur oleh suamiku sendiri.

Iya, aku sangat yakin jika Mas Rendra lah yang sudah membuatku tidur dari pagi hingga malam hari.

Kalau bukan dia, siapa lagi? Tidak ada orang lain di sini.

"Jangan-jangan ... dia emang sengaja memasukkan obat tidur ke minumanmu pagi tadi, Tsa. Gak mungkin, kan kamu tidur kayak orang koma kayak tadi?"

Aku diam, membenarkan ucapan Sabrina.

Benar-benar keterlaluan Mas Rendra. Dia nekad membuatku tidak sadar demi bisa pergi ke rumah Ibu tanpa ketahuan olehku.

Tanganku terkepal kuat meremas seprai. Dada pun naik turun menahan amarah yang tidak terlampiaskan.

"Sabar, Tsa. Aku tahu kamu kecewa dan marah dengan tindakan Rendra. Aku akan bantu kamu, kok. Jangan sungkan minta tolong, ya?"

Aku mengangguk lemah tanpa melihat lawan bicara. Pikiranku penuh oleh keburukan Mas Rendra yang tidak pernah kusangkakan sejahat itu.

"Sekarang kamu maunya gimana? Kita pergi ke Jakarta, atau menunggu Rendra kembali?" Sabrina kembali bicara.

"Tidak untuk sekarang, Na. Ini sudah malam, palingan sebentar lagi Mas Rendra juga pulang."

"Kalau gitu, aku pulang juga, ya? Enggak enak kalau saat suamimu tiba, aku masih di sini. Nanti dia malah semakin hati-hati, karena tahu jika istrinya merencanakan sesuatu denganku," tutur Sabrina.

"Iya, Na. Makasih sudah datang dan membangunkanku, ya? Kalau kamu gak datang, entahlah aku akan bangun lagi atau tidak."

Sabrina mengembuskan napas kasar seraya menepuk-nepuk pundakku. Setelahnya, dia pun pamit pulang dan aku mengantarnya sampai di depan pintu.

Lampu di seluruh ruangan aku nyalakan, jendela dan gorden aku tutup karena malam sudah datang.

Saat hendak kembali ke kamar, deru mobil membuatku membalikkan badan. Aku sangat yakin, jika yang datang adalah Mas Rendra, suami pembohong dan pecundang itu.

Astaga, aku jadi semakin benci pada pasangan halalku sendiri.

"Sayang, sedang apa?"

Aku memalingkan wajah, enggan melihat sandiwaranya.

"Kamu dari mana?" tanyaku. Niat hati ingin ke kamar, aku urungkan dan pergi ke dapur.

Kutuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya hingga tandas.

Sayangnya, air dingin tadi tidak sama sekali menyejukkan hati. Apalagi saat tahu Mas Rendra mengikuti dan duduk di kursi yang ada di sebelahku.

"Kamu kenapa, Tsa? Marah lagi sama aku?" tanyanya kemudian.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, malah balik bertanya."

Mas Rendra menarik napas panjang, lalu menggulung kemejanya hingga ke siku. Gelas yang tadi jadi tempat minumku, kini dia ambil alih dan melakukan hal yang sama seperti yang tadi aku lakukan.

"Aku dari pabrik, Tsa. Kamu pasti marah karen aku meninggalkan kamu di sini, kan? Tadi kamunya tidur saat aku keluar dari toilet."

"Benarkah?" ujarku pura-pura terkejut. "Lama banget berarti kamu di toilet, ya? Sampai aku ketiduran."

Mas Rendra melirikku dengan mata yang sedikit melebar. Namun, dia begitu lihai menyembunyikan kegugupan dengan senyuman.

"Bukan aku yang lama, tapi tubuhmu yang kelelahan. Mungkin karena semalam kamu enggak tidur, jadinya pagi-pagi ngantuk. Gak apa-apa, masih ada hari esok buat pergi ke pabrik."

Pandai sekali dia beralibi. Membodohiku seakan-akan aku ini anak kecil yang tidak bisa berpikir jauh menebak kebohongannya.

"Iya, sepertinya memang begitu," kataku datar tanpa ekspresi.

Aku membiarkan Mas Rendra yang berlalu. Katanya mau membersihkan diri setelah bekerja tadi.

Bekerja mengeloni wanita lain? Menjijikkan. Aku mual membayangkan itu.

Untuk mengalihkan pikiran dari bayang-bayang pengkhianatan Mas Rendra, aku memutuskan untuk memasak. Membuat makanan alakadarnya yang aku inginkan.

Meskipun sebenarnya tidak berselera makan, tapi perutku harus diisi makanan. Aku butuh tenaga untuk berpikir bagaimana membongkar kebusukan Mas Rendra.

"Sayang, kamu cuma masak ayam goreng?" tanya Mas Rendra yang kembali menghampiri.

"He'em," jawabku bergumam tanpa melihat dia yang sudah mandi. Wangi sabunnya yang dulu membuatku candu, kini malah sebaliknya.

Aku sama sekali tidak tertarik, walau hanya sekadar melirik.

"Padahal aku maunya menu yang lain, Tsa. Tadi di sana juga makannya ayam goreng."

Mas Raffi langsung bungkam saat mataku menyorotnya tajam. Jakunnya naik turun, tanda dia menelan ludah dengan sangat kasar. Gugup.

"Makan di mana kamu?" tanyaku dingin, dengan dada yang bergemuruh.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
pecundang dan pengkhianat amani surat berhargamu lin
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 139

    "Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 138

    "Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 136 Pria Asing itu Ternyata ....

    Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 135

    "Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 134

    Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 133 Orang Asing

    "Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status