"Hei! Kenapa diem aja, Ra?"
"Eh ... Kak Tina?" Ara meraup oksigen sebanyak-banyaknya, merasa bisa bernapas lega karena bukan Naura yang menepuk bahunya. "Kenapa kaget gitu?" selidik Tina, pegawai Hana yang lain. Ara mengedarkan pandang. Setelah dirasa aman karena ternyata bukan sosok Naura yang dilihatnya tadi, dia baru benar-benar lega. "Enggak apa-apa, Kak. Tadi dikira ada temen sekolah, tapi ternyata salah lihat aja," jawab Ara seadanya. "Oh, oke. Kalau gitu kamu bawa ini ke sana, ya. Aku mau jaga pintu lagi," seru Tina sembari menyerahkan selembar kertas berisi pesanan pelanggan kepada Ara. Sebagai pegawai part time, tidak ada yang bisa dilakukan Ara kecuali mengangguk patuh dan membawa kertas itu menuju bar. "Pak, tolong buka, dong!" seru Ara kepada satpam yang beberapa detik lalu menutup pintu gerbang. Karena harus pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, Ara jadi terlambat. "Enggak bisa. Ini sudah lebih dari pukul tujuh," jawab satpam tegas sambil menunjuk jam analog yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. "Tolong buka, Pak. Ini hari pertama saya sekolah sini, masa enggak bisa masuk?" Saga, murid baru berbadan tinggi tegap tiba-tiba berseru dari belakang Ara. "Enggak lucu kalau hari pertama di sini, tapi enggak dibolehin masuk!" protesnya. "Murid baru? Jangan bohong kamu! Paling juga alesan aja biar saya bukain pagar. Iya, kan?" seru satpam yang masih enggan membuka pintu gerbang. "Pak, tolong, dong. Beasiswa saya juga bisa dicabut kalau terlambat masuk kelas. Bapak enggak kasihan, apa?" Ara berusaha meyakinkan satpam. "Ya udah. Kalau Bapak enggak mau buka nih pagar, saya telepon kepala sekolah sekarang juga biar Bapak dipecat karena udah menghalangi murid baru buat masuk." Saga mengancam sambil mengeluarkan benda pipih bermerek apel digigit dari saku celana. "Weleh, weleh, main pecat segala. Emang situ siapanya kepala sekolah?" celoteh satpam yang pertahanannya mulai goyah. "Kepala sekolah di sini, adik Papa saya. Bapak enggak percaya? Mau saya teleponin sekarang juga?" Ara hanya terdiam melihat usaha Saga untuk tetap bisa masuk, sambil berdoa dalam hati supaya satpam mengabulkan permintaan mereka agar pintu gerbang segera dibuka. "Eh, jangan, jangan! Iya, iya, saya bukain sekarang." Satpam itu bergegas mengeluarkan kunci untuk membuka gembok yang menggantung pada rantai yang terpasang pada pintu gerbang. "Nah, gitu, dong." Saga memasuki kembali mobil sport-nya untuk diparkirkan di lingkungan sekolah. Sementara Ara, gadis itu sontak mengambil langkah seribu. "Terima kasih banyak, Pak," serunya sambil berlalu. "Weleh, weleh, itu anak main ngibrit aja," gumam satpam sembari menatap punggung Ara yang semakin menjauh. Nyatanya, sekeras apa pun usaha Ara supaya bisa masuk sekolah, gadis itu tetap saja mendapat hukuman karena terlambat datang. Dia harus berdiri di depan tiang bendera selama mata pelajaran pertama berlangsung. Tentu saja wali kelas sangat menyayangkan hal itu. Ara sedang menekuri rumput-rumput liar yang mulai tumbuh di sela-sela paving block yang mengelilingi tiang bendera. Namun, tatapannya berpindah ketika ujung matanya melihat sosok laki-laki yang berjalan ke arahnya. Siswa berkulit putih berwajah blasteran yang ditemuinya di depan pintu gerbang beberapa menit lalu, kini berdiri di samping Ara. "Kenapa lihatin kayak gitu? Enggak pernah lihat cowok ganteng?" Ara membenarkan letak kacamatanya. "B aja," jawabnya singkat. "Tadi kamu bilang, kepala sekolah adik Papa kamu. Terus kenapa dihukum juga?" Ara menoleh ke arah laki-laki di sebelahnya. "Lo percaya? Berarti lo sama bodohnya kayak satpam tadi." Dengan angkuhnya Saga berkata asal tanpa menoleh sedikit pun. "A—apa kamu bilang?” Ara ternganga. "Jarak kita berdiri enggak nyampe satu meter. Kalau lo enggak bisa denger omongan gue, mungkin lo perlu periksa ke dokter THT," ucap Saga dengan abai. "Bener-bener nih orang ngeselin banget.” Ara menggerutu pelan. "Apa maksud lo?" Saga menoleh dan menatap kedua netra Ara di balik kacamata tebalnya. Mendadak Ara terdiam, terpesona dengan ketampanan laki-laki di sampingnya. Bagi Ara, dia seribu kali lebih tampan dari oppa-oppa Korea yang diidamkan para kaum hawa. "Lo lihatin apa?" Saga mendorong dahi Ara dengan jari telunjuknya. "Enggak sopan banget, sih!" protes Ara sembari menepis tangan laki-laki yang belum dia tahu siapa namanya. "Makanya B aja. B aja! Gue juga bakal B aja sama lo." Saga menekankan kata 'B aja' sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Biasa aja lihat cowok ganteng," bisiknya di telinga Ara dengan sedikit merunduk karena selisih tinggi badannya dengan Ara terbilang lumayan. Lumayan jauh. Darah Ara terasa mendidih mendengar ocehan laki-laki yang tidak jelas itu. Dia mengepalkan tangan. Namun, sebisa mungkin tetap diam dan kembali menunduk menahan kesal. "Kenapa? Lo mau pukul gue? Yang bener aja, cewek cupu mau berantem sama gue?" "Saga! Saya minta kamu diam di situ sambil hormat ke bendera. Kenapa malah gangguin Rara?" tegur seorang guru yang tiba-tiba muncul. "Jadi nama lo Rara?" gumam Saga sambil melirik ke arah gadis di sampingnya. "Saga! Berdiri yang bener, kamu!" Guru perempuan yang terkenal killer seantero sekolah mendekati Saga dan menarik lengannya sedikit menjauh dari Ara. "Apa, sih, Tante?" gerutu Saga. "Tante, Tante. Di lingkungan sekolah, kamu harus panggil saya ‘Bu Risa’. Ngerti, kamu?" tegur guru itu lagi yang bernama Risa. Melihat pemandangan itu membuat Ara menahan tawa. Oh, anak baru itu namanya Saga? Jadi dia keponakan Bu Risa, bukan keponakan kepala sekolah? gumam Ara dalam hati. Senyum samar terlukis di wajahnya. "Hei, Rara! Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" seloroh Risa yang ternyata diam-diam memperhatikan. Ara buru-buru menggeleng. "Ara, Bu. Bukan Rara," ralatnya. "Duh, lagian nama kamu panjang, sih. Sampai bingung saya mau manggilnya gimana," ujar Risa. "Tadi Saga ngomong apa sama kamu? Kalo dia macem-macem, lapor ke saya!" lanjutnya. "Apa sih, Tante? Aku enggak ngomong macem-macem ke dia.” Saga mengelak tuduhan Risa. "Tante lagi?" Risa memelototi Saga. "Iya, iya. Bu Risa," ralat Saga. "Nah, begitu baru tepat. Sekarang masuk kelas!" titah Risa pada keponakannya yang bandel. "Lah, kan belum ada dua jam berjemur," celetuk Saga. "Berjemur? Kamu pikir lagi di pantai?" omel Risa. Bahkan Ara belum sempat menjawab pertanyaan Risa, tetapi percakapannya dengan Saga seolah tak ada hentinya, membuat Ara menepuk dahi berulang kali. Sejenak kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Siswa-siswi mulai berhamburan keluar kelas. Kebanyakan dari mereka berbondong-bondong menuju kantin, lalu memilih tempat duduk yang mereka suka sekaligus memesan makanan di sana. Berbeda halnya dengan Ara. Gadis itu tidak ada bosannya menghabiskan waktu istirahat di ruang perpustakaan. Ketika dia melangkahkan kaki menuju meja favoritnya di sudut ruangan, ternyata seorang laki-laki lebih dulu menempatinya. Dengan santai laki-laki itu tidur dengan tangan sebagai alas kepala, sedang wajahnya menghadap ke jendela, membuat Ara bertanya-tanya tentang siapa siswa yang seenaknya duduk di bangku favoritnya. Ara mengambil beberapa buku dengan hati-hati. Susunannya yang rapi membuat Ara tidak tega jika sedikit saja membuatnya berantakan. Setelah mendapat buku-buku yang dibutuhkan, Ara bergerak mencari bangku kosong untuk diduduki. Namun, belum sempat Ara menemukan tempat duduk yang dirasa nyaman, dia merasakan gawainya bergetar. Ara terkejut melihat isi pesan yang baru saja diterima, hingga tidak sengaja buku-buku di tangannya jatuh berserakan. Hal itu mengundang perhatian seisi ruang perpustakaan, tidak terkecuali laki-laki yang telah menempati bangku favorit Ara yang ternyata adalah Saga. "Maaf, maaf," ucap Ara yang merasa tidak enak karena telah membuat gaduh. Dia pun segera berjongkok untuk membereskan buku-buku. Karena merasa tidak nyaman, akhirnya Ara meninggalkan begitu saja buku-buku itu di atas meja, membuat bingung beberapa mata yang melihatnya tak terkecuali Saga. Gadis itu berlari meninggalkan ruang perpustakaan. “Hei, balikin bukunya! Kenapa ditinggalin sini?” protes Saga yang tidak dihiraukan.“Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, belakangan ini gue jadi kepikiran, sahabat macam apa, sih, gue, sampai enggak pernah tahu gimana beratnya lo ngadepin masa sulit sendiri. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue ngerasa bersalah banget sama lo, Ara.” Erick menyampaikan penyesalan terdalamnya sambil menatap kecantikan Ara melalui pantulan cermin yang terletak dalam kamar di sebuah kediaman mewah milik keluarga Saga.Karaisa Naraya yang baru genap menginjak usia delapan belas tahun, tampil cantik dengan balutan kebaya putih yang terlihat simpel, tetapi elegan. Beberapa menit lalu, Ara baru saja melangsungkan pernikahan dengan Saga secara tertutup yang hanya dihadiri anggota keluarga inti. Atas bujukan dari Rey dan Anggun, akhirnya Ara menyetujui permintaan Saga untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuat akibat kesalahpahaman.“Kamu tetep sahabat terbaik aku, Erick. Jadi, kamu harus selalu ada buat aku. Kayak biasa. Awas kalau enggak,” ancam Ara.“Ya gimana bisa? Lo kan ud
“Mau apa lagi kamu ke sini? Kurang puas, udah diusir sama Papa kamu sendiri?”Matahari baru keluar dari persembunyian, tetapi Ara sudah harus menerima omelan dari wanita yang sudah mengambil papanya.“Tante, maaf ... tapi tolong sekali ini aja, aku mau ketemu Papa,” pinta Ara dengan sungguh-sungguh.Wanita yang tidak lain adalah sahabat lama mama Ara, mendekat dan berbisik. “Papa kamu itu, udah punya kehidupan sendiri di sini. Lagian kamu juga sama Bion udah bisa mandiri, kan? Jadi buat apa kamu ganggu-ganggu Papa kamu lagi?”Seketika, air mata Ara merebak. Dia yang harus menguatkan diri karena baru saja mengetahui kehamilannya, harus menerima perlakuan buruk dari Widya, wanita yang sudah merebut papanya dari sang Mama. Padahal, kedatangannya di tempat itu hanyalah untuk bisa menemui papanya supaya Ara bisa lebih ikhlas dalam menjalani hari-hari yang berat tanpa sang Papa. Ara ingin bisa memeluk papanya seperti dulu sebelum Widya mengusik kebahagiaan keluarganya.“Aku tahu Papa udah p
Sudah satu bulan Ara menjalani home schooling. Dia sengaja menghindari Saga, karena masih tidak terima atas apa yang dilakukan laki-laki itu terhadapnya. Meski sudah mengatakan kepada Saga bahwa kesalahannya sudah dimaafkan, tetapi kenyataannya, kata-kata itu hanya berasal dari bibir saja dan bukan dari hati.Demi bisa menghindar dari Saga, bahkan Ara menyewa tempat kos di mana tidak ada siapa pun mengetahui keberadaannya termasuk Rey dan Bion sekalipun. Ara juga tidak memberi tahu Bion di mana dia berada, karena tidak ingin sang adik memberitahukan keberadaannya kepada siapa pun.Ara melakukan berbagai cara supaya keberadaannya tetap menjadi rahasia meski dia masih harus bekerja sama dengan Rey dalam membantu papa Saga editing sebuah desain, demi kelangsungan hidupnya dengan sang adik, Bion.Hari masih pagi dan matahari belum keluar dari peraduan. Ara merasakan lapar yang teramat sangat, sampai gadis itu tidak tahan dan terpaksa harus keluar mencari makanan. Beruntung, Ara menemukan
“Kamu yakin, mau ambil home schooling? Saya cuma khawatir, ini akan mempengaruhi beasiswa kamu, Karaisa. Sayang sekali, loh. Sebentar lagi kan ujian kelulusan.”Nana, wali kelas Ara menyayangkan ketika gadis itu meminta untuk home schooling. Meski dengan alasan yang cukup logis, guru itu tetap menyarankan supaya Ara memikirkan ulang keinginannya.“Kalaupun beasiswa saya harus jadi taruhan, enggak apa-apa, Bu. Yang penting saya bisa tenang belajar dari rumah.”“Apa ada yang bully kamu? Sampai kamu memutuskan untuk home schooling?” Nana bertanya dengan sungguh-sungguh, tetapi hanya gelengan kepala yang didapat. “Ya sudah, kalau memang seperti itu yang buat kamu nyaman, enggak apa-apa. Nanti saya akan bicarakan ini dengan kepala sekolah, ya?”Ara lega dan mengangguk begitu saja. “Terima kasih banyak, Bu.”“Tetap rajin belajarnya, ya? Karena saya punya rencana bagus untuk bahan pertimbangan kamu nanti. Ada beberapa beasiswa kuliah di luar negeri yang menurut saya bisa kamu coba ikuti. Sia
“Kak, Kakak enggak sekolah?” Bion mengetuk pintu kamar Ara saat mengetahui sepatu yang biasa dikenakan sang kakak masih tertata rapi di tempatnya.“Kakak enggak enak badan, Bi.” Ara menjawab pertanyaan sang adik dengan lirih. Dia sengaja mengunci diri dalam kamar sejak kejadian semalam.“Aku telepon Om Rey apa gimana? Kakak harus periksa, kan?”Ara menahan isak tangis. Dia tahu akan kekhawatiran adiknya, tetapi dia tidak mungkin bisa menemui dan bertatap muka dengan Rey dalam kondisi seperti sekarang. Gadis itu merasa dunianya hancur. Belum lama dia merasakan indahnya jatuh cinta saat pertama melihat kedatangan Saga di sekolah, tetapi ternyata, laki-laki itu mengambil satu-satunya mahkota paling berharga dalam hidup Ara tanpa diduga.“Jangan, Bi. Kita enggak bisa terus-terusan repotin Om Rey. Nanti kakak periksa sendiri aja naik taksi.”“Kak, apa aku enggak usah sekolah? Aku anter Kakak aja buat periksa.”“Enggak, Bi. Kakak bisa sendiri.”Berbagai alasan Ara katakan sampai Bion menyera
Tidak terasa, sudah satu bulan Ara menempati apartemen yang kata Rey, adalah apartemen yang pernah dihuni mamanya. Rey memberi kemudahan bagi Ara dan Bion dalam belajar juga bekerja. Kepada Bion, Rey bahkan memfasilitasi adik Ara tersebut dengan berbagai les privat untuk menunjang soft skill-nya.Ara merasa sangat beruntung setelah bertemu dengan Rey, atau yang dikenal Lia dengan nama Reza. Sempat terlintas dalam benak Ara, haruskah dia menemui Sita dan berterima kasih kepada adik papanya tersebut? Karena pasalnya, Rey memperlakukan dirinya dan sang adik jauh lebih baik jika dibanding dengan Papa kandung mereka sendiri.“Om berterima kasih banyak, ya, atas bantuan kamu. Desain kamu menarik. Penjualan dari perusahaan Om meningkat pesat. Ini, gaji pertama kamu, semua Om simpan di sini. Untuk memudahkan transaksi, kamu bisa mengurus mobile banking-nya nanti.” Rey mengangsurkan sebuah amplop cokelat yang setelah dibuka, Ara menemukan cek berisi nominal yang membuat kedua bola matanya memb