"Jelasin sama Kakak! Kenapa kamu harus berantem, Bi? Untung aja guru kamu kirim pesennya ke Kakak. Coba kalau ke Tante Lia? Udah pasti kita bakal kena marah. Kamu enggak kasihan apa, sama Kakak? Hah?" sentak Ara yang jantungnya masih berdebar kencang, khawatir Bion kenapa-kenapa setelah berkelahi dengan teman sekolahnya.
"Maaf, Kak. Aku enggak akan ulangi," janji Bion dengan wajah tertunduk. Ara mendesah lelah. "Lagian kenapa, sih, berantem segala? Biar kamu kelihatan jagoan, gitu? Inget, Bion. Enggak ada siapa-siapa yang perhatiin kita. Jadi kamu enggak perlu bikin ulah!" "Asal Kakak tahu, aku berantem karna enggak terima Kakak dibilang cewek enggak bener. Dia bilang, Kakak sengaja jadi kupu-kupu malam buat biayain aku sekolah. Jelas aku enggak terima!" Ara terperangah. Dia mendadak kesulitan bernapas saat mendengar penuturan sang adik. Namun, sebisa mungkin dia menunjukkan sikap tetap tegar di hadapan Bion supaya tidak terpancing dengan ucapan temannya yang sama sekali tidak benar. "Kalau Kakak jadi aku, apa Kakak bakal diem aja? Enggak, kan?" "Udahlah, Bion. Kita enggak perlu mempersulit hidup dengan dengerin cemoohan orang yang sama sekali enggak bener tentang kita." Ara berusaha tetap kuat, meskipun sebenarnya dia tidak sekuat itu. Bion terdiam. Dia merasa kesal dengan temannya, tetapi juga merasa bersalah karena ulahnya membuat Ara terpaksa bolos dari sekolah demi memenuhi panggilan guru BK. ❤❤❤ "Jadi kenapa kemarin kamu bolos, Ara? Apa kamu tidak tahu, para guru sangat menyayangkan hal itu? Karena ... kamu di sini sudah dicap sebagai siswi teladan. Tapi kenapa kemarin kamu tiba-tiba bolos sekolah?" cecar guru petugas bimbingan konseling, Milna. Ara menundukkan wajah. "Mmm ... saya ...." "Ayo, tidak apa-apa kalau kamu mau ceritakan yang sebenarnya. Saya sebagai guru bimbingan konseling di sini, siap mendengar keluh kesah kamu. Jangan sampai beasiswa kamu dicabut karena kamu melakukan satu kesalahan di sekolah, Ara. Sayang banget, kan? Banyak, loh, mereka yang ingin dapat beasiswa, tapi tidak seberuntung kamu," tutur Milna panjang lebar. Ara menghela napas panjang sebelum kembali mendongak, menatap wajah Milna yang pandangannya masih tertuju ke arahnya. "Kemarin ... ada sedikit masalah aja, Bu. Tapi saya pastikan kalau hal seperti kemarin enggak akan terjadi lagi," janji Ara pada Milna. Guru bimbingan konseling itu terlihat manggut-manggut. Dia pun berpesan, "Ya, ya. Ibu harap kamu bisa jaga prestasi kamu, ya? Jangan sampai goyah, Ara.” "Iya, Bu. Saya bakal usahakan sekuat tenaga dan pikiran," balas si gadis berkacamata tebal. "Ya sudah, kamu boleh masuk kelas sekarang. Itu, tas kamu." Milna menunjuk salah satu rak buku kosong tempat menyimpan tas Ara. Ara segera mengambil tas sekolahnya. "Terima kasih, Bu. Saya permisi dulu," pamit Ara dengan sopan. "Oke, Ara. Belajar yang rajin, ya?" "Baik, Bu." Ara segera meninggalkan ruang bimbingan konseling dan melangkah menuju kelas. Entah kenapa dia menjadi sedikit gugup saat melihat Saga berjalan berlawanan arah dengannya. Gadis itu khawatir akan terhanyut dengan pesona Saga. Finally ... lega. Satu kata itulah yang dirasakan Ara ketika Saga sama sekali tidak menoleh ke arahnya saat mereka berpapasan. "Eh, Rara." Deg! Langkah Ara terhenti seketika. Meski yang disebutkan Saga itu bukan namanya, Ara tahu bahwa yang dimaksud laki-laki itu adalah dirinya. Ara masih menundukkan wajah saat Saga berjalan mundur dan berhenti tepat di sebelahnya. Gadis bernama lengkap Karaisa Naraya itu enggan untuk menatap Saga yang lebih tinggi 20 senti darinya. "Kenapa?" tanya Ara tanpa mendongak sedikit pun. Gadis itu sesekali membenarkan letak kacamatanya. "Enggak. Enggak jadi." Hanya kalimat singkat itu yang diucapkan Saga. "Oh, ya, namaku bukan Rara, tapi Ara. Kamu bisa panggil aku Ara aja seperti yang lain," kata Ara yang masih menundukkan wajah. "Oh, oke. Kenapa nunduk? Takut naksir gue?" Pertanyaan Saga yang konyol berhasil membuat Ara mengangkat wajah. "Enggak." Netra gadis itu kini bertatapan dengan Saga. "Aku enggak naksir," ucapnya, lalu buru-buru pergi, meninggalkan Saga yang masih termangu di tempatnya berdiri, karena bingung melihat tingkah Ara yang tidak sama seperti kemarin. Entah kenapa Ara merasakan debar-debar aneh dalam dadanya saat menatap Saga. Berulang kali dia menanyakan pada diri sendiri, apakah itu cinta atau hanya rasa kagum saja? Pasalnya, Ara sama sekali belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Tapi bagaimana jika yang dia rasakan itu benar-benar cinta? Sesampainya di kelas, Ara langsung menyambangi bangkunya dan duduk di sana. Gadis itu terus menggeleng sambil menepuk-nepuk dahinya perlahan. Ara hanya ingin berpikir logis tanpa terbayang sosok Saga yang baru kemarin dia temui. Jadi, bagaimana bisa cinta tumbuh secepat itu? "Heh, Ra! Kenapa, lo? Geleng-geleng enggak jelas gitu," seloroh Erick, teman sebangku Ara yang gayanya seperti gadis jadi-jadian. "Eh, aku ... enggak apa-apa, sih," balas Ara sambil membenarkan letak kacamatanya. Erick mengempaskan diri di bangku sebelah Ara. "Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, gue lihat lo rada aneh pagi ini. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue sama sekali enggak berdusta," ucapnya dengan penuh percaya diri. Ara mendecak. "Sok tahu kamu, Rick." "Lagian kenapa itu muka kayak kardus dilipet?" Erick sedikit mendelik. "Lo lagi PMS?" lanjutnya setengah berbisik. "Enggak, siapa juga yang PMS? Kamu kali," balas Ara sekenanya. "Oemji honey bunny sweety yang sweet-nya melebihi gulali, lo pikir gue cowok apaan PMS?" protes Erick. Ara menahan tawa. "Aku baru nyadar kalau kamu cowok," ucapnya. Erick menyenggol lengan Ara. "Enak aja lo, biar bentuk enggak jelas gini, gue tetep cowok macho terkeren seantero sekolah. Oya, bahkan lebih keren dari cowok blasteran yang baru pindah itu," ujar Erick sembari terkekeh. Siapa lagi yang dimaksud Erick kalau bukan Saga? Sudah pasti pikiran Ara langsung tertuju pada laki-laki itu. Selain tampangnya yang lumayan cool, dia juga tinggi. Lagi pula, laki-laki baru di sekolah Ara memang cuma Saga. "Heh, Ra! Kok diem aja sih lo kek demit. Bersuara gitu loh, biar gue enggak terkesan lagi ngoceh sendiri," protes Erick yang sering kali menyebut Ara 'seperti demit' jika teman sebangkunya tersebut tidak kunjung membalas ucapannya. "Aku bukan demit kali, Rick." Ara protes. "Lagian aku juga tahu, kok, kalau kamu cowok terganteng seantero sekolah bahkan ngalahin Saga yang notabenenya cowok blasteran. Sayangnya cuma satu, Erick." Ucapan Ara membuat Erick melongo, karena tidak mengerti dengan maksudnya. "Sayangnya kenapa?" "Sayang banget, kamu kurang gentle." Ara menepuk-nepuk bahu Erick, tetapi laki-laki itu mengempaskan tangannya. "Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, lo tega amat ngatain gue kek gitu. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue sakit hati dengernya, Ra! Pengakuan lo sungguh terlalu!” Ara terkekeh mendengar ocehan Erick yang selalu saja membawa-bawa nama Demian Adit yang bahkan Ara saja tidak tahu seperti apa rupa sosok yang sangat dibanggakan teman sebangkunya. "Ara, lo dipanggil kepala sekolah," ujar salah seorang teman sekelas Ara yang menjabat sebagai ketua. Ara dan Erick saling pandang. "Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, gue penasaran kenapa kepsek tiba-tiba manggil lo, Ra. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue pengen tahu kenapa lo dipanggil. Udah, buruan sana!" Ara yang juga penasaran kenapa dipanggil, segera melangkah menuju ruang kepala sekolah. Perasaannya mendadak tidak enak. Apa jangan-jangan kepsek marah dan mau cabut beasiswa aku karena bolos kemarin, ya? Ya Tuhan, aku harus gimana?“Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, belakangan ini gue jadi kepikiran, sahabat macam apa, sih, gue, sampai enggak pernah tahu gimana beratnya lo ngadepin masa sulit sendiri. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue ngerasa bersalah banget sama lo, Ara.” Erick menyampaikan penyesalan terdalamnya sambil menatap kecantikan Ara melalui pantulan cermin yang terletak dalam kamar di sebuah kediaman mewah milik keluarga Saga.Karaisa Naraya yang baru genap menginjak usia delapan belas tahun, tampil cantik dengan balutan kebaya putih yang terlihat simpel, tetapi elegan. Beberapa menit lalu, Ara baru saja melangsungkan pernikahan dengan Saga secara tertutup yang hanya dihadiri anggota keluarga inti. Atas bujukan dari Rey dan Anggun, akhirnya Ara menyetujui permintaan Saga untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuat akibat kesalahpahaman.“Kamu tetep sahabat terbaik aku, Erick. Jadi, kamu harus selalu ada buat aku. Kayak biasa. Awas kalau enggak,” ancam Ara.“Ya gimana bisa? Lo kan ud
“Mau apa lagi kamu ke sini? Kurang puas, udah diusir sama Papa kamu sendiri?”Matahari baru keluar dari persembunyian, tetapi Ara sudah harus menerima omelan dari wanita yang sudah mengambil papanya.“Tante, maaf ... tapi tolong sekali ini aja, aku mau ketemu Papa,” pinta Ara dengan sungguh-sungguh.Wanita yang tidak lain adalah sahabat lama mama Ara, mendekat dan berbisik. “Papa kamu itu, udah punya kehidupan sendiri di sini. Lagian kamu juga sama Bion udah bisa mandiri, kan? Jadi buat apa kamu ganggu-ganggu Papa kamu lagi?”Seketika, air mata Ara merebak. Dia yang harus menguatkan diri karena baru saja mengetahui kehamilannya, harus menerima perlakuan buruk dari Widya, wanita yang sudah merebut papanya dari sang Mama. Padahal, kedatangannya di tempat itu hanyalah untuk bisa menemui papanya supaya Ara bisa lebih ikhlas dalam menjalani hari-hari yang berat tanpa sang Papa. Ara ingin bisa memeluk papanya seperti dulu sebelum Widya mengusik kebahagiaan keluarganya.“Aku tahu Papa udah p
Sudah satu bulan Ara menjalani home schooling. Dia sengaja menghindari Saga, karena masih tidak terima atas apa yang dilakukan laki-laki itu terhadapnya. Meski sudah mengatakan kepada Saga bahwa kesalahannya sudah dimaafkan, tetapi kenyataannya, kata-kata itu hanya berasal dari bibir saja dan bukan dari hati.Demi bisa menghindar dari Saga, bahkan Ara menyewa tempat kos di mana tidak ada siapa pun mengetahui keberadaannya termasuk Rey dan Bion sekalipun. Ara juga tidak memberi tahu Bion di mana dia berada, karena tidak ingin sang adik memberitahukan keberadaannya kepada siapa pun.Ara melakukan berbagai cara supaya keberadaannya tetap menjadi rahasia meski dia masih harus bekerja sama dengan Rey dalam membantu papa Saga editing sebuah desain, demi kelangsungan hidupnya dengan sang adik, Bion.Hari masih pagi dan matahari belum keluar dari peraduan. Ara merasakan lapar yang teramat sangat, sampai gadis itu tidak tahan dan terpaksa harus keluar mencari makanan. Beruntung, Ara menemukan
“Kamu yakin, mau ambil home schooling? Saya cuma khawatir, ini akan mempengaruhi beasiswa kamu, Karaisa. Sayang sekali, loh. Sebentar lagi kan ujian kelulusan.”Nana, wali kelas Ara menyayangkan ketika gadis itu meminta untuk home schooling. Meski dengan alasan yang cukup logis, guru itu tetap menyarankan supaya Ara memikirkan ulang keinginannya.“Kalaupun beasiswa saya harus jadi taruhan, enggak apa-apa, Bu. Yang penting saya bisa tenang belajar dari rumah.”“Apa ada yang bully kamu? Sampai kamu memutuskan untuk home schooling?” Nana bertanya dengan sungguh-sungguh, tetapi hanya gelengan kepala yang didapat. “Ya sudah, kalau memang seperti itu yang buat kamu nyaman, enggak apa-apa. Nanti saya akan bicarakan ini dengan kepala sekolah, ya?”Ara lega dan mengangguk begitu saja. “Terima kasih banyak, Bu.”“Tetap rajin belajarnya, ya? Karena saya punya rencana bagus untuk bahan pertimbangan kamu nanti. Ada beberapa beasiswa kuliah di luar negeri yang menurut saya bisa kamu coba ikuti. Sia
“Kak, Kakak enggak sekolah?” Bion mengetuk pintu kamar Ara saat mengetahui sepatu yang biasa dikenakan sang kakak masih tertata rapi di tempatnya.“Kakak enggak enak badan, Bi.” Ara menjawab pertanyaan sang adik dengan lirih. Dia sengaja mengunci diri dalam kamar sejak kejadian semalam.“Aku telepon Om Rey apa gimana? Kakak harus periksa, kan?”Ara menahan isak tangis. Dia tahu akan kekhawatiran adiknya, tetapi dia tidak mungkin bisa menemui dan bertatap muka dengan Rey dalam kondisi seperti sekarang. Gadis itu merasa dunianya hancur. Belum lama dia merasakan indahnya jatuh cinta saat pertama melihat kedatangan Saga di sekolah, tetapi ternyata, laki-laki itu mengambil satu-satunya mahkota paling berharga dalam hidup Ara tanpa diduga.“Jangan, Bi. Kita enggak bisa terus-terusan repotin Om Rey. Nanti kakak periksa sendiri aja naik taksi.”“Kak, apa aku enggak usah sekolah? Aku anter Kakak aja buat periksa.”“Enggak, Bi. Kakak bisa sendiri.”Berbagai alasan Ara katakan sampai Bion menyera
Tidak terasa, sudah satu bulan Ara menempati apartemen yang kata Rey, adalah apartemen yang pernah dihuni mamanya. Rey memberi kemudahan bagi Ara dan Bion dalam belajar juga bekerja. Kepada Bion, Rey bahkan memfasilitasi adik Ara tersebut dengan berbagai les privat untuk menunjang soft skill-nya.Ara merasa sangat beruntung setelah bertemu dengan Rey, atau yang dikenal Lia dengan nama Reza. Sempat terlintas dalam benak Ara, haruskah dia menemui Sita dan berterima kasih kepada adik papanya tersebut? Karena pasalnya, Rey memperlakukan dirinya dan sang adik jauh lebih baik jika dibanding dengan Papa kandung mereka sendiri.“Om berterima kasih banyak, ya, atas bantuan kamu. Desain kamu menarik. Penjualan dari perusahaan Om meningkat pesat. Ini, gaji pertama kamu, semua Om simpan di sini. Untuk memudahkan transaksi, kamu bisa mengurus mobile banking-nya nanti.” Rey mengangsurkan sebuah amplop cokelat yang setelah dibuka, Ara menemukan cek berisi nominal yang membuat kedua bola matanya memb