“Aduh, kamu kok kasar sama aku?” ucap Shintia.
“Kasar? Bukannya kamu yang kasar? Kamu yang udah membuat orang-orang di sekolah ini meributkan hal konyol,” Bagas memojokkan tubuh Shintia ke satu sudut tembok.
“Dengan aku yang hanya menarikmu paksa seperti ini?” lanjut Bagas.
Shintia memasang wajah lugu tidak berdaya, berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia tertawa lepas ketika menyadari maksud dan tujuan Bagas membawanya ke belakang sekolah seperti ini.
“Akhirnya lo menunjukkan wajah asli lo,” Bagas selangkah mundur.
“Hah? Sejak kapan lo tahu?” Shintia justru melangkah maju bahkan menyentuh dagunya, dan segera di tangkis oleh Bagas.
“Hahaha, kenapa kali ini kamu menolak sentuhan tangan ini?” Shintia memiringkan kepalanya.
“Lo tahu, kan? Ketika cewek dan cowok hanya berdua di...” ucap Shintia tertahan sesaat. Lalu ia memutarkan keadaan. Saat ini bukan lagi dirinya yang sedang disudutkan, melainkan Bagas. Lalu Shintia tersenyum sangat menyeramkan, sepertinya ia sedang memikirkan suatu rencana.
“Apa arti dari rautan wajah dan tindakan anehnya saat ini?” Batin Bagas.
Wajah Shintia semakin mendekat, dan mendekat. Bagas sampai bisa mendengar deru nafasnya yang terdengar aneh.
“Jika dia seperti ini terus, bisa-bisa dia akan menci—“ Pikiran Bagas terhenti ketika ia melihat bayangan seseorang yang sedang bersembunyi di balik dinding. Bagas segera mendorong Shintia menjauhi dirinya sebelum semakin jauh tindakannya. Seketika sosok yang mengintip mereka pun menghilang bagaikan debu tertepa angin.
“Ke mana dia pergi?” Bagas masih mencari sosok itu, lalu tiba-tiba saja Shintia meraih flashdisk dari saku seragamnya.
“Hei! Kembalikan.” Teriak Bagas.
“Gue tahu, isi FD ini apa. Pasti buat menghancurkan rencana gue kan?” Senyum sinis Shintia terukir cerah sekali.
Ia seperti sedang memegang kartu AS di tangannya, lalu tanpa ragu menginjak flashdisk. Bagas segera mendorong tubuh Shintia agar berhenti melakukannya, tapi ia tetap tidak bisa menyelamatkan flashdisk itu. Mata Bagas tidak bisa berbohong, melihat Shintia yang sudah mengerti semuanya.
“Ini tidak menantang sama sekali. Ke mana sisi Bagaskara yang menyenangkan? Haha.” Ucapan terakhir Shintia.
Bagas terdiam sesaat, dan hanya melihat Shintia yang pergi semakin menjauh dari pandangannya.
“Gue tidak pernah tahu jika sifat asli Shintia itu sangat menyebalkan dan busuk.” ujar Bagas.
***
Bel berdering tiga kali tepat pukul dua siang. Artinya kini sudah saatnya untuk Alieen pulang Sekolah. Alieen kembali teringat apa yang ia lihat sampai membuatnya seperti terbebani dan galau. Di mana ia melihat dengan jelas betapa serasinya Bagas dan Shintia.
“Bod*h, buat apa gue galau karena hal itu? Iya kan, Rin?” Alieen lupa jika kali ini dia tidak memiliki siapa pun untuk mencurahkan isi hatinya lagi, suka maupun duka.
Alieen menghela nafas beratnya, berharap beban yang ia pikul sedikit ringan. Tapi justru bertambah, karena seorang Pria muncul dengan hoodie dan masker hitam yang tidak terlihat jelas siapa sosoknya.
“Eh? Siapa lo!” seru Alieen.
Tanpa mengetahui jawabannya, pria itu langsung menarik tangannya kasar. Murid-murid yang ada di sekitarnya melihat ke arah Alieen dan membisikkan sosok misterius itu, mereka mengira jika sosok itu adalah Rafandi. Lalu suara yang tidak asing membuat mata para murid terbelalak.
“Ada apa sih?” Seru Rafandi yang baru keluar dengan tas yang tergantung sebelah. Suasana menjadi hening seketika dan mereka mulai bertanya-tanya siapa sosok yang membawa Alieen pergi begitu saja. Bagas yang juga baru datang bersama Rafandi menatap bingung dengan penuh pertanyaan.
“Gue pergi duluan.” Ucap Bagas singkat.
Bagas segera berlari mengejar Alieen tanpa memedulikannya Rafandi yang menanyakan dirinya hendak pergi ke mana.
Di sisi lain, Alieen berusaha untuk melepaskan tangannya yang masih di genggam erat oleh sosok misterius itu.
Hingga akhirnya mereka berada di di dalam mobil, ia memperlihatkan wajahnya. Alieen pun baru menyadari jika pria ini adalah Bintara. Seharusnya Alieen tahu hal seperti ini suatu saat akan terjadi.
“Kenapa lo harus sampai bawa gue kayak begini? Apa enggak bisa ngomong baik-baik ke gue?” tanya Alieen tanpa menatap mata Bintara.
“Gue cuman menghindari masalah.” jawab Bintara.
“Biar in gue pulang sendiri!” Pinta Alieen.
“Apa lo mau orang-orang tau, kalau gue ini kakak lo?” pertanyaan Bintara membuat Alieen terdiam.
“Nurut saja sama gue.” lanjut Bintara.
Bagas yang melihat Alieen di bawa ke dalam mobil, berusaha menghampiri dan berniat ingin menegur orang yang membawa Alieen pergi. Tapi baru akan sampai di tempat, mobil itu sudah melaju terlebih dahulu.
“Sial!” umpatnya.
“Gue kurang cepat, tapi bagaimana dengan Alieen? Dia tidak ada masalah lain, kan?” Bagas menghela nafasnya, ia sangat khawatir setelah melihat situasi yang dihadapi Alieen. Tidak lama Rafandi datang dengan vespa legendaris miliknya.
“Lo ke mana saja? gue keliling sekolah nyariin lo.” ujar Rafandi.
Bagas hanya diam, ia sulit untuk menjawab pertanyaannya itu. Tapi Rafandi seakan mengerti apa yang ingin Bagas lakukan ia menyodorkan helm capung miliknya. Bagas segera menerima dan mengenakannya. Lalu tanpa basa basi Bagas segera menaiki vespa itu. Tapi baru saja naik vespa itu justru mati.
“Astaga! Jangan bilang motor lo kumat lagi!” geram Bagas.
“Sabar! Gue kasih mantra dulu, turun cepat! Vespa gue bisa saja makin ngambek sama kita nanti.” ucap Rafandi.
Bagas akhirnya turun kembali dan Rafandi berusaha menyalakan vespanya. Butuh perjuangan beberapa kali sampai Rafandi bisa menyalakan vespa kesayangannya itu. Setelah menyala mereka segera mengejar mobil yang sudah membawa Alieen pergi.
“Memang siapa sih yang kita ikutin?” tanya Rafandi sambil fokus menyetir.
“Alieen, dia yang tadi bikin semua orang pada rame di halaman sekolah.” Jawab Bagas.
“Hah? Alieen? Kok kita ikutin, kenapa?” Rafandi semakin penasaran.
“Gue tidak tau, yang pasti perasaan gue enggak enak.” Jawab Bagas.
Sedangkan Alieen ia hanya diam di dalam mobil Bintara, dia mendengar semua ucapan Bintara yang tidak berhenti seakan menyalahkan semuanya kepada dirinya.
“Seharusnya kalau lo tuh saat di ganggu, lo harus balik melawan. Bukannya cuman diam aja terima pasrah begitu.” ucapnya Bintara.
“Pantes saja lo lemah. Jadinya pada suka ganggu lo.” Lanjutnya.
“Termasuk lo kan.” ucap Alieen.
“Kok jadi gue?” tanya Bintara yang tidak mengerti. Alieen tidak menjawab pertanyaan Bintara.
“Kenapa diam? Jawab cepat!” bentak Bintara.
Alieen spontan menutup telinganya. Bintara yang melihat itu segera menepikan mobil miliknya. Lalu menarik kedua tangannya Alieen agar tidak menutupi telinganya.
“Kenapa lo tutup telinga? Lo enggak terima sama ucapan gue? Lo itu memang lemah! Baru begitu udah pasrah, menyerah. Seharusnya lo bisa lawan mereka supaya tidak semena-mena sama lo!” Bintara berteriak.
Alieen kali ini menangis ketakutan. Tangisan itu membuat Bintara semakin geram kepada Alieen, dan entah kenapa tangannya malah melayang ke udara dan mendarat keras di pipi Alieen.
Tatapan Bintara kali ini sangat berbeda, terlihat lebih menyeramkan. Ditambah ia melihat Alieen menangis, itu membuat Bintara semakin marah.
Alieen bergegas membuka pintu mobil itu, ia berusaha kabur dari Bintara, tapi tangannya ditahan olehnya. Cengkeramannya sangat kuat, Alieen memohon untuk dilepaskan tapi tidak kunjung melepaskannya. Hingga akhirnya pergelangan Alieen terlepas dan hal itu membuat tangannya sakit dan memar kemerahan. Setelah itu ia berlari pergi menjauh dari Bintara.
Huhu akhirnya bisa update! :" Jujur aja sekarang Moni enggak seperti dulu, gampang banget bagi waktu. Saat ini aja kalau lihat ada bantal, itu bawaannya mau tidur aja T^T Semoga kalian suka ya sama bab ini, jangan lupa tinggalkan tanda ya. Biar Moni juga tidak tersesat di labirin ini :' Terimakasih buat yg mampir, sampai jumpa di lain waktu! ♥
“Rina! Kenapa dia ada di sana!” Alieen terkejut dengan kemunculan Rina di dalam berita. “Lokasi Cafe itu enggak jauh dari sini.” Ucap Bagas yang melirik ke arah Bintara. “Kenapa dia lihat gue begitu? Seperti lagi mengejek gue karena gue polisi tapi malah enggak bertindak apa pun. Menyebalkan. Gue tahu maksud nya.” “Kalau begitu kita harus segera kesana!” Seru Alieen dan dirinya bergegas akan pergi keluar namun Bintara menahannya. “Jangan ke sana. Lebih baik Lo ikut gue dulu ke tempat Ibu berada. Ibu sudah khawatir banget sama Lo.” Ucap Bintara dengan lembut. Alieen selama ini belum pernah melihat Bintara selembut ini. Membuatnya merasa aneh. “Tapi...” “Kalau Lo masih tetap menghawatirkan teman Lo yang munafik itu biar si Bagas dan Kapten, si kakaknya Bagas yang urus. Toh di sana ada beberapa anak buah organisasi yang di ikuti Bagas, dan Kapten pasti sudah di jalan. Jadi Lo sekarang ikut gue. Jangan menjauh dari gue buat sementara, gue mohon sama Lo Alieen.” Bintara memegangi ta
Alieen sedang berada di dapur dan mencuci mangkuk yang ia pakai untuk makan. Tapi pikirannya sedang bekerja keras mencari cara agar dirinya bisa pergi menemui Shintia tanpa siapa pun menemaninya. Ia meletakan mangkuk ke rak dan menghela nafasnya sesaat.Namun ia mendengar suara percakapan seseorang di ruang tengah. Alieen merasa penasaran dan berjalan mendekati sembari bersembunyi dengan hati-hati.“Bintara, gue tahu semuanya. Apa Lo enggak mau interogasi gue?” Ujar Bagas yang duduk di sofa dengan tangannya yang sibuk dengan tendo.Bintara menatapnya sesaat lalu memasang wajah terkejut. “Ah! Benar, kenapa gue enggak tanya Lo buat cari tahu alasan Lo gabung organisasi mereka!”Ekspresi Bintara yang terlihat terkejut polos itu seketika berubah datar. “Lo pikir gue enggak tahu soal Lo? Walau enggak semuanya karena enggak berguna buat gue. Tapi gue sudah tahu kenapa Lo gabung sama mereka, tentu dari kakak Lo. Kalau enggak, saat datang ke sini gue sudah pisahkan kepala sama badan Lo itu.”
Alieen baru selesai menyantap sup, dan hendak akan keluar kamar untuk meletakkan mangkuk sup ke dapur di rumah ini. Namun ponselnya berdering dan nama yang muncul di layar adalah Shintia. Alieen langsung menjawab telepon tersebut.“Halo, Shintia?”“Gue rasa keadaan Lo baik-baik saja, dari suara yang terdengar segar.” Ketus Shintia.“Iya, bisa di bilang seperti itu. Kenapa telepon?” “Hah? Serius Lo tanya gue, kenapa telepon Lo? Yang benar saja Alieen! Lo itu tiba-tiba hilang di tengah kebakaran panti, susah di hubungi, ke mana saja Lo!”“Maaf bikin Lo khawatir, Hp gue rusak jadi susah di hubungi.”Alieen tidak sepenuhnya berbohong soal Hp nya yang rusak di temui oleh Bintara saat di panti asuhan karena jatuh dari genggaman Alieen saat dirinya di culik tiba-tiba. Tapi tetap saja ini terasa canggung saat dirinya di telepon Shintia seperti ini.“...Alieen, ada hal yang mau gue cerita ke lu. Gue merasa bersalah karena melibatkan Lo dalam masalah.” Shintia terdengar putus asa.“Kenapa dia
Alieen membuka matanya dan melihat sekitarnya. Ia menghela nafas saat mengetahui jika dirinya hanya sendirian saat ini, Alieen pun duduk di tepi kasurnya.Sebenarnya pikirannya sangat penuh berbagai pertanyaan dan kenyataan yang membingungkan dirinya. Namun bukan saatnya dirinya berdiam diri, Alieen memikirkan kembali perlahan apa yang baru terjadi kepadanya.“Baik, perlahan pikirkan kembali. Gue awalnya ada di panti asuhan yang Shintia kunjungi. Gue berasumsi dirinya sudah lama tinggal di sana dan gue juga dengar dia masih ada orang tua tapi kurang memperhatikannya. Tapi tiba-tiba gue di culik? Karena gue adiknya Bintara, padahal gue kurang paham masalahnya mereka. Yang pasti ini masalah sebuah organisasi WL itu kan? Gue enggak tahu apa saja organisasi itu lakukan. Gue harus cari tahu, tapi pertama gue harus lepas dari pengawasan Bintara. Selama ini dia sudah lama memasang alat pelacak diam-diam, berarti ada semacam CCTV tersembunyi atau alat perekam suara tersembunyi seperti di film
Terdengar suara bantingan pintu yang mengejutkan seorang lelaki berusia 45 tahunan. Namanya adalah Gerdy, seorang pemimpin mafia di antara jaman modern saat ini.“Walau kamu adalah anakku sendiri, bukannya sudah di ajarkan tata krama di sekolah?” Dengan santai Gerdy menghisap rokok sambil sibuk melihat dokumen yang berserakan di mejanya.“Papa! Apa maksudnya papa bakar panti asuhan! Papa tahu kan ada bunda di sana! Terutama ada Alieen dan aku di sana!! Apa papa mau membunuh anak sendiri?!” Teriak Shintia yang amarahnya sudah meledak-ledak.Sebuah dokumen tebal langsung menghantam wajah Shintia, dan yang melemparinya adalah Gerdy. Papanya mungkin terlihat tenang namun ada amarah yang tidak ia tunjukkan secara langsung.“PAPA!”Mata Gerdy sangat dingin kepada anaknya sendiri, perlahan dirinya mendekati Shintia, lalu berbicara dengan suaranya yang serak dan berat.“Dengar, jangan pernah bicara masalah ini. Kita sudah sepakat bukan. Sejak kau gagal bawa Bagas kemari, maka tidak ada kemuda
Perlahan Alieen membuka matanya dan ia mulai mendengar suara keributan, lalu Alieen menyadari jika ada suara Bintara yang sedari tadi berteriak memanggil namanya. Dengan lemas ia berusaha untuk bangun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju pintu kamarnya. Setelah membuka, Alieen benar-benar melihat Bintara yang sedang berargumen keras dengan seorang perempuan yang berdiri di depan Bagas. Karena penasaran Alieen berusaha mendekati mereka. “Alieen!” Seru Bintara yang menyadari kedatangannya. Ia dengan cepat berlari mendekat dan memeluk tubuhnya. “Lepas!” Alieen mencoba menolak pelukan Bintara. “Alieen, lu kenapa keringatan banyak begini? Lo demam? Maafkan gue, gue memang enggak becus jadi kakak Lo.” Bintara dengan lembut mengelus wajah Alieen. “Berhenti berakting, gue tanya sama Lo, kenapa bisa Lo ada di sini? Bagas, apa Lo yang kasih tahu dia?” “Apa untungnya buat gue Alieen...” “Tapi Lo selalu bilang dia bakal datang temui gue, itu maksudnya apa?” “Tanya saja kakak Lo