Seolah benar-benar pasangan muda yang baru saja menikah dan ingin segera bulan madu sebelumnya, keyakinan mereka berdua sama sekali tak tergoyahkan. Bujukan dan rayuan dari Nazilla, sang ibu mertua, tak membuahkan hasil sedikit pun. Rencananya ia dan sang menantu akan menjadikan hari ini sebagai hari untuk mereka berdua saling dekat sebagai pasangan mertua-menantu. Namun, sepertinya bayangan Nazilla akan hal itu harus kandas dan berakhir karena Farrin beserta Vian mengatakan untuk pindah ke apartement yang Vian miliki.
Tentu saja tanpa bantuan bujukan dari Vian. Karena pemuda itu yakin jika bujukan mereka tak akan mempan sama sekali jika menghadapi si kepala batu.
Jadi tanpa memaksa lagi, Nazilla mengiyakan saja kepindahan mereka dengan catatan untuk mereka berdua agar lebih sering mengunjungi single parent tersebut. Farrin dan Avan mengiyakan saja, toh tak ada gunanya lagi untuk memperdebatkan segala sesuatu saat ini. Yang penting bagi mereka adalah sar
Avan memegang sebuah buku tebal diiringi dengan tatapan kosong sambil terduduk di kursi ayunan taman mansion milik keluarganya itu. Sebenarnya, ia tadi ingin menghabiskan waktu liburnya untuk membaca sebuah novel romantis yang dibeli di luar negeri dan akan ia hadiahkan untuk Farrin di malam pertama mereka. Kegagalan dalam prosesi pemberkatan membuat rencananya total hancur berantakan. Tak akan ada sarapan pagi romantis seperti bayangannya. Tak ada malam pertama yang indah. Juga, tak akan ada siluet Farrin yang hilir mudik setiap hari seperti yang selalu ia bayangkan sedari dulu. Semuanya berantakan. Semuanya hilang. Avan menyadari jika karena ia sendirilah yang membuat Farrin hilang dari jangkauannya. Ia telah meremehkan tentang semua yang orang lain perintahkan untuk mencabut keputusannya saat ia meninggalkan kota ini dua bulan yang lalu. Sikap kekanakan mendominasi dan membuat ia besar kepala akan sikap pemaaf Farrin padanya selama ini. Ia pikir, F
“Mama ….”“Apa?!”Nazilla mendelik, mengapa sih, putranya ini begitu keras kepala? Jika ia tak mau menghubungi Rizuki, ya, sudah! Biarkan saja. Lagi pula, mengapa Avan selalu menghindari atau melempar pembahasan saat ia suruh menghubungi wanita itu? Apakah ada masalah?“Tidak ada masalah, Ma. Aku hanya enggan mendengar omelannya yang bisa sepanjang jalan kenangan itu. Apa lagi jika harus menceritakan batalnya pernikahanku dengan Farrin. Pasti omelannya bertambah panjang saja. Bisa-bisa pecah gendang telingaku mendengar ocehan dan omelannya, belum ditambah dengan umpatan kasarnya!”“Rizuki mengumpat? Jangan bercanda!”Avan cengo, engapa ibunya sama sekali tak mempercayai perkataannya? Sebegitu hebatkah pengaruh Rizuki untuk ibunya?“Aku mengatakan yang sebenarnya, Ma. Rizuki sering mengumpatiku. Mama hanya tak tahu saja jika wanita itu sangat kasar tentang perilaku dan ucapannya!&rd
“Hey, kau istriku sekarang. Tidakkah kita bisa memulai hubungan ini dengan tidur dalam satu kamar?” tanya Vian. Farrin gugup hingga rona merah menjalar ke telinganya. Tentu saja ia gugup, ia yang sudah bersiap tidur di sofa bed depan televisi langsung menghentikan langkah begitu Vian mengatakan hal itu. “Ku-kupikir aku akan lebih baik untuk tidur di ruang santai saja. Lagi pula, kan kau yang memiliki apartmen ini, jadi, aku tak enak jika harus menempati kamarmu,” jawab Farrin. Vian menghampiri dan mencoba mengambil alih selimut yang Farrin seret dan membawanya menuju kamar. Farrin terdiam, dan hanya bisa melongo tak bisa mengeluarkan suara lagi hanya untuk sekedar mencegah tindakan Vian. “Aku tidak tahu bagaimana cara berpikirmu. Menurutku, karena kamu adalah istriku untuk saat ini, maka, kita harus berbagi kamar yang sama. Berbagi satu ruangan untuk privasi, dan berbagi ranjang untuk ditiduri setiap malam. Atau, kau ingin kita menempati apartmen dengan
“Sebenarnya, Farrin. Apa maksudmu? Apa sebelum ini kau sama sekali tidak menyukai kakakku?” tanya Vian. Ia ingin memastikan bagaimana perasaan mantan pacar kakaknya itu. jangan lupa, kini mantan kekasih kakaknya itu telah menyandang status istri baginya. Jadi, ia harus memastikan pada siapa hati wanita itu berlabuh. Atau paling tidak, bagaimana keadaan hati wanita itu.“Bukan begitu. Hanya saja aku tidak menyesal sama sekali melepas Avan. Aku merasa lega. Aku juga merasa jika hatiku terasa lebih ringan.”Vian menatap wanita yang duduk di sebelahnya itu dengan padangan menyelidik. Bagaimana bisa berpisah dengan orang yang mengisi hari-harinya selama bertahun-tahun itu malah membuat hatinya terasa lapang? Apakah ada hal yang tak bisa dijelaskan di sini? Atau belum terjelaskan?“Apa maksudmu?” tanya Vian.Farrin menatap lelaki itu dengan malu-malu dan berucap, “Aku tak tahu harus menceritakan dari bagian mana. Intiny
Avan dan Vian memang kembar. Namun, sikap mereka lebih sering bertolak belakang. Avan seperti seorang adik, yang memiliki sikap manja pada ibu mereka dan kekanakan dalam beberapa hal. Juga, tubuhnya yang lebih kecil dari Vian. Mungkin, hal itu dikarenakan ia sedari kecil mendapat pembelajaran yang lebih berat dari Vian. Jika mereka berjalan berdampingan, banyak orang akan mengira jika yang menjadi kakak di sini adalah Vian, bukan Avan.“Aku tidak yakin jika yang menjadi kakak di sini adalah Avan, bukan kau, Vi.”Vian mengangguk membenarkan ucapan Farrin. Sebelum ini, bukan hanya Farrin yang berpikir seperti itu. Ada banyak orang yang telah mengatakan hal ini padanya. Mereka berdua tak pernah mempermasalahkannya. Bagi mereka, hidup akur tanpa banyak hal pengusik saja sudah lebih dari cukup.“Kami sudah biasa mendapat perlakuan itu. Tak sedikit yang mengira aku adalah yang lahir pertama dan Avan yang selanjutnya. Mungkin, hal ini karena ayah yang
Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu di apartmen Vian membuat dua pasang mata yang tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing itu kini mengalihkan atensinya. Vian yang sebelumnya membantu Farrin memotong sayur harus rela menghentikan gerakannya. Pun begitu juga dengan Farin yang awalnya mengaduk kuah sup yang hampir masak, berhenti. “Siapa yang bertamu pagi-pagi?” tanya Farrin. Vian mengendikkan bahunya acuh, enggan tahu siapa orang di balik pintu yang mengganggu pagi pertamanya dengan sang istri. “Coba kau lihat, siapa tahu orang yang memiliki kepentingan mendesak,” tambah Farrin. Dengan langkah enggan, Vian melangkah ke pintu utama. Seingatnya, tak banyak yang mengetahui lokasi apartmen-nya ini. Mungkin benar kata Farrin, bahwa yang datang adlaah orang dengan kepentingan mendesak. Clek! “Kau!” vian terperanjat kala ia mengetahui siapa orang jahil di balik pintu itu. “Hallo, Adik! Kakak datang untuk berkunjung ke tempat tinggal
Part 34“Sebenarnya apa yang tengah kalian perdebatkan?”Avan dan Farrin menolek secara bersamaan dan menemukan sosok Vian yang telah rapi dengan kemeja kerja dan tubuh yang telah segar. Setahu Farrin, Vian memiliki waktu lebih lama untuk dihabiskan di kamar mandi. Lalu ini, Farrin yakin jika pagi ini waktu mandi Vian yang lebih cepat dari yang ia tahu.Tak mengerti saja bagi Farrin, karena Vian yang terlalu mengkhawatirkannya berdua dengan Avan, Vian memangkas jam mandinya dan bergegas menemui mereka. Ia tak yakin jika keadaan Farrin yang hanya berdua dengan Avan tak akan menimbulkan suatu perkara. Lalu, benar saja perkiraannya. Farrin dan Avan tengah beradu mulut dan tak ada yang mau mengalah sama sekali.“Makanan sudah siap. Maaf jika kursimu dipakai kakak ipar,” sahut Farrin. Nada jengkel masih terdengar dari sana. Vian tidak akan kaget jika kakaknya itu melakukan banyak hal sesukanya sendiri, terutama di tempat-tempat miliknya
Setelah makanan mereka tandas, Farrin bergegas untuk bersiap dan Vian yang membereskan sisa makan mereka sesuai pembicaraan sebelum tidur tadi malam. Memang cukup melelahkan juga. Dari sisi Vian, ia belum terbiasa dengan aktivitas pagi seperti ini. Biasanya, jika ia bermalam di rumah utama, setiap pagi ia hanya perlu bersiap dan sarapan selalu terhidang di meja tanpa ia repot terlebih dahulu, atau merapikan setelahnya. Asisten rumah tangga di sana cukup handal untuk menangani masalah itu. Jika di apartmen pun, Vian akan memilih sarapan dengan mie instans yang mudah memasak, atau membeli saja di luar. Kulkasnya hanya akan terisi bahan sederhana untuk pelengkap mie, atau, makanan yang penyajiannya tidak terlalu rumit. Saat Farrin berkunjung dulu, untung ia sedang dalam keadaan menyetok bahan makanan. Setelah mereka menikah, Farrin mengajaknya untuk membagi pekerjaan rumah. Tidak masalah untuknya, karena baginya, hal itu juga bisa melatihnya untuk menjadi calon ayah yan