[Maafkan aku. Mungkin aku tak akan bisa memasakkan makan siang seperti kemarin karena aku harus menjaga salah satu anak didikku.]
Send
“Setidaknya dengan begini aku tak harus menanggung rasa bersalah yang lebih besar,” ujar Farrin pada kesunyian.
Yah! Kali ini makan siangnya tak bisa berjalan lancar seperti yang telah ia dan Vian sepakati bersama karena entah mengapa, hari ini salah satu anak didiknya mendadak rewel dan tak mau dijemput ayahnya seperti biasa. Di hari biasa, ia akan mendapat waktu istirahat dua jam saat siang hari karena ia harus berganti jaga dengan pengajar lainnya.
Kelas umum memang berakhir di jam siang. Namun, untuk beberapa hal, sekolah memiliki jam bebas setelahnya hingga petang sampai jam pulang kantor karena beberapa wali murid mengajukan usul untuk menambah jam bebas. Tentu saja hal ini bertujuan agar mereka tidak perlu lagi menyewa babysitter atau pengasuh untuk mengawasi anak-anak mereka setelah jam sekolah berakhir. Kebanyakan dari mereka yang mengusulkan hal itu adalah wali murid yang sibuk dan tidak mengambil jasa pengasuh.
Pihak sekolah menyetujui usulan tersebut dengan catatan di jam bebas, anak-anak mereka bebas melakukan pelajaran yang disukainya. Hal itu bisa dilakukan selama bukan merupakan pelajaran yang akan di ajarkan atau hal lain yang merugikan. Tentunya dengan pendampingan oleh guru piket atau jaga. Juga, dengan pengawasan yang membuat anak-anak nyaman melakukan kesenangan mereka.
Lalu, Farrin kini harus merelakan jam istirahatnya hilang karena seorang siswi yang baru bergabung belum genap sebulan itu terus menempel padanya. Dari kesekian banyak pengajar di sekolah, murid itu hanya bisa dekat dengan Farrin saja. Entah apa alasannya, yang jelas ia tak tahu menahu akan isi hati gadis cilik itu. Ia juga berniat membawan ke flat Vian, tetapi pihak sekolah hanya mengijinkan keluar membawa siswi hanya sampai sekitar sekolah dan tidak lebih jauh dari itu. Jadi, ia berencana akan makan siang bersama dengan gadis cilik itu di café sebelah sekolah. Dengan sebelumnya memberitahukan pada Vian jika ia tak bisa memenuhi janji untuk kemarin, tentunya.
[Kita bisa makan bersama di luar. Katakan padaku kau akan makan di mana. Atau aku yang akan membeli makanan dan membawa kesana lalu kita akan makan siang bersama. Kau bisa memesan makanan yang kau inginkan padaku.]
Entah mengapa, membca pesan balasan dari Vian mampu membuat ia tersenyum tipis. Entahlah, perlakuan Vian selama ini seolah membawa angin segar di hatinya. Ia seolah menemukan beberapa banyangan tentang pasangan impian dulu dalam diri Vian.
[Kalau begitu, temui aku di café dekat sekolah saja. Aku akan makan siang di sana dan akan sampai 10 menit lagi. Apakah ada menu yang ingin kau pesan melaluiku agar nanti kau tak perlu memesan?]
Send
[Baiklah, jika begitu aku ingin dipesankan steak dan secangkir frappucino saja. Aku akan datang.]
Steak? Makanan yang dikira Farrin lumayan berat untuk disandingkan dengan secangkir kopi racikan itu cukup membuat Farrin menggelengkan kepala. Mungkin, lain kali ia akan menyarankan perpaduan yang sedikit manis untuk menemani makan siang Vian.
Ah, Farrin dan pemikiran panjangnya.
Kemudian, Farrin hanya bisa mengangguk kecil menanggapi pesan dari sang tunangan dan berniat untuk tidak membalasnya. Ia yakin jika Vian akan lebih bertanggung jawab akan keinginan yang ia sebutkan dibandingkan dengan Avan. Jika itu Avan, ia perlu dua menit sekali untuk mengirimi pesan agar pemuda itu tak melupakan janji mereka. Mau bagaimana lagi, Avan terlalu sibuk dengan dunianya hingga membutuhkan Farrin untuk selalu mengingatkan banyak hal.
Ah, kan! Lagi-lagi ia membandingkan Vian dengan Avan.
Tak baik.
Ini benar-benar tak baik untuknya. Farrin merasa jika ia terlalu jahat dengan membiarkan dirinya terlalu banyak membandingkan mereka berdua. Ia saja tak ingin dibandingkan dengan kakaknya, bagaimana dengan orang lain? Ia yakin jika keadaan Vian juga tak jau berbeda dengannya.
Di detik setelahnya, ia bisa merasakan jika tangannya di genggam oleh telapak yang lebih mungil nan halus. Ia mengalihkan pandangan ke arah si pemilik telapak dan tersenyum tipis saat menemukan dua buah bola mata itu kini tengah menatapnya dengan tatapan berbinar.
Sejak dulu, Farrin memiliki ketertarikan tersendiri kepada anak kecil. Ia terlahir sebagai anak bungsu tentu tidak bisa merasakan bagaimana rasanya punya adik. Ibunya pun sudah tak mungkin lagi memiliki anak dikarenakan rahim yang lemah. Jadi, ia hanya bisa menyalurkan kecintaannya pada anak kecil dengan menjadi guru bagi mereka.
Selama ini, Farrin sama sekali tidak memikirkan jika dirinya mengasuh anak sendiri. Hubungan asmara yang kandas dan perlakuan Avan selama ini juga membuat ia menghalangi niatnya itu. Ia pikir, mungkin masih lama ia akan mengasuh anaknya sendiri.
“Bisakah kita pergi makan siang sekarang? Ini jam makan siang dan aku sudah kelaparan.”
Meski nyatanya bocah itu sudah tak cadel lagi. Namun, Farrin tak bisa menyembunyikan bahwa ia merasa begitu gemas akan tingkah bocah di sampingnya ini. Mungkin, jika ia memiliki adik atau bahkan seorang putri seperti gadis ini, ia tak akan bisa berhenti untuk tidak mencubiti pipi gembil nan menggemaskannya.
“Ayo kita ke Café yang ada tak jauh dari sini. Kau mau kan? Kita tak bisa mencari café yang letaknya jauh dari area ini. Pihak sekolah tak akan memberikan izin untuk itu.”
Gadis kecil itu hanya bisa mengangguk dengan antusias. Tak masalah baginya meski mereka hanya bisa makan siang di café yang berjarak dekat dengan sekolah. Menurutnya, asal itu bersama dengan guru kesayangan, ia mau. Ia yang sejak lama merasa kesepian entah mengapa hanya bisa menerima Farrin sebagai orang dekat di sekolah. Ia hanya hidup bertiga dengan ayah dan paman hanya bisa berdiam diri saat perkenalan dengan teman sebayanya. Ia juga awalnya menolak kehadiran Farrin karena baginya orang dewasa itu berisik. Namun, usaha Farrin yang tidak setengah-setengah untuk mendekatinya berhasil dan gadis kecil menjadikan Farrin guru favorit di sekolah. Tentu, juga karena Farrin tidak seperti guru lain yang bersikap sama kepada semua murid di sana.
“Kalau begitu, ayo, tunggu apalagi!” ajak Farrin dengan antusias. Sekilas, mungkin orang akan melihat jika Farrin adalah orang yang penuh semangat.
“Eum!”
Mendapat anggukan penuh antusias dari wajah berbinar itu membuat hati Farrin menghangat. Ia tahu, gadis kecil yang berada dalam genggamannya itu telah melewati banyak hal sendiri. Sebelum ini, ayahnya telah menceritakan bahwa anak itu tidak di besarkan dengan kasih sayang seorang ibu karena tak menginginkannya. Setelah dia lahir, ia langsung diserahkan begitu saja pada ayahnya.
“Van?” bisik Farrin seakan tak mempercayai pandangannya. Matanya tak berkedip untuk beberapa saat, kala ia mengagumi sosok yang pernah ia tolak di altar. “Ini aku, Fa. Aku datang untuk menjemputmu,” ujar Avan. Pria serupa Vian itu tersenyum lembut dan berjalan pelan menuju tempat Farrin berdiri termagu. Ia ingin tertawa, menertawakan wanita yang telah menolaknya itu dan terlihat rapuh untuk saat ini. “Berkediplah! Aku bukan fatamorgana atau ilusi semata. Aku nyata dan bisa kau rengkuh dalam pelukanmu, Mon Amour.” Ah, panggilan yang Farrin rindukan. Hancur sudah pertahanan Farrin dan ketika ia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Ia tak menyangka jika setlah semua ini, ia baru menyadari bahwa ia butuh Avan untuk bersandar, bukan Vian atau dirinya sendiri seperti yang pernah ia katakan. Hatinya terlalu pongah untuk mengakui jika ia masih membutuhkan bahu pria untuk bersandar. Ia pikir, mungkin akan lebih baik untuk berdiri sendiri seperti yang dulu
Farrin menerima kenyataan jika Avan tak akan menerimanya karena ia sekarang sudah menjadi bekas sang adik. Dengan perlahan, ia kembali menatap kolam dan mengusap lembut perut datarnya. Tempat di mana nyawa lain kini tengah bersemayam dan menunggu untuk bertumbuh. “Avan dengan senang akan mengakui bahwa ia adalah ayah dari anak yang kau kandung,” ujar Rizuki. Ia memahami apa yang membuat Farrin murung. “Apakah bisa? Aku takut jika ....” “Jika dia akan lebih menyayangi anak kandungnya nanti jika kau memutuskan bersamanya?” Farrin mengangguk. Sudah Rizuki duga jika Farrin akan berpikir seperti itu. Sebelum ini, keduanya sudah membahas bahwa ia tak akan mempermasalahkan jika Farrin ingin kembali bersama Avan. Wanita berdarah Jepang itu juga mengatakan bahwa Avan sama sekali tak tahu menahu tentang apa yang sudah ia lakukan pada mantan kekasihnya itu. Avan murni pergi tanpa mengetahui apa pun tentang keberadaan Farrin. Awalnya, Farrin memutuskan un
“Dia tuanku.” Hanya jawaban itu yang bisa Farrin dengar dari bibir Natsu dan membuat wanita yang masih hamil muda itu mendengus kesal. Tentu saja, siapa pun di rumah ini pasti tahu kedudukan pria itu bagi Natsu. Namun, bukan jawaban itu yang Farrin butuhkan. Ia ingin jawaban yang lebih bagus dan spesifik dari hal itu. Alhasil, Farrin mendiamkan Natsu dan sama sekali tak menyentuh apa pun yang Natsu siapkan untuknya. Ia merasa jika selama ini idirinya menjadi boneka yang bisa dipermainkan oleh semua orang. Setelah permainan Avan dan Vian, disusul Rizuki, lalu kini Natsu. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu istri dari pria misterius yang mendatanginya kemarin dan mencari jawaban darinya. Tanpa disadari, waktu sudah berjalan cepat dan hari telah berganti. Meninggalkan Farrin yang masih enggan memasukkan apa pun ke mulutnya karena rasa kesal. Alex bahkan Natsu menyerah untuk membujuknya, bahkan ketika Natsu membujuk dengan jiwa yang Farrin bawa bersamanya pun, Far
“Kau, siapa?” tanya Farrin. Ekspektasinya akan Avan menghilang begitu saja kala ia mendapati sosok pria yang tak ia kenal sama sekali. Pria berbadan tegap, memiliki mata sipit khas Jepang, dan kulit kuning kecoklatan yang dibalut dengan tuxedo. Dari yang ia fahami, pria itu bukan orang sembarangan yang bisa ia singgung dengan mudah.“Konnichiwa (selamat siang),” ujar pria itu sambil memberi salam khas Jepang. “Boku no nawae wa Daisuke desu, yoroshiku. (Namaku Daisuke, salam kenal)”Farrin hanya bisa mematung dan menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa dimengerti oleh Alex yang berdiri seolah tengah mengawal pria itu. Mungkin, Farrin sedikit syok atau tidak mengerti apa yang diucap oleh pria itu.“Ah, Rin-chan. Maksud Tuan, beliau sedang memperkenalkan diri.” Natsu tiba dan berusaha menjelaskan siapa pria yang sedang duduk itu. Natsu mengerti, Farrin pasti tidak paham dengan ucapan pria yang memperkenalkan diriny
Setelah Farrin meminta sarapan di waktu dini hari dan Alex serta Natsu mencurigai sesuatu, keduanya sepakat untuk melakukan serangkaian tes dan pertanyaan hingga mereka mengambil kesimplan bahwa Farrin memang membawa nyawa lain di tubuhnya. Bahkan, untuk menegaskan kesimpulannya, Alex sengaja pergi mencari apotek saat matahari telah terbit dan membeli alat tes kehamilan instan. Alex maupun Natsu sudah menduga jika hasilnya akan berakhir positif, tetapi tidak dengan Farrin. Ia masih merasa tidak percaya. Kegagalannya beberapa waktu lalu untuk melihat dua tanda garis pada alat itu membuat ia berkecil hati dan enggan berharap lebih. Memang, apa yang bisa Farrin harapkan? Sedangkan meski ia positif pun, keputusan perceraiannya dengan Vian sudah mencapai tahap final. Jadi, ia merasa jika lebih baik untuk menyembunyikannya saja. Toh, meski Vian tahu pun, ia tak bisa memberi keluarga yang baik untuk calon anaknya kelak. Vian sudah memiliki Lena di sampingnya dan akan memili
Begitu selesai, Alex segera menuju dapur dan mendapati Natsu serta Farrin yang terduduk dan seperti menunggu kedatangannya. Alex tak tahu jika kehadirannya begitu ditunggu dengan antusias seperti ini. Ah, ia jadi menyesal saat ia berniat untuk mengulur waktu di kamar mandi dan berharap dua wanita yang hidup dengannya itu tak betah menunggu dan pergi tidur. “Maaf, Nona. Aku harus menyelesaikan sesuatu tadi,” jelas Alex. Ia tak ingin Farrin menuduhnya yang tidak-tidak, sedangkan yang sebenarnya memang ia tidak ada kegiatan sama sekali. Farrin menggeleng kecil dan tersenyum, lalu berkata, “Iya, tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi, ya. Jaa ... ayo masakkan aku ramennya. Dua, ya. Aku ingin makan dengan Natsu-chan juga. Ah, tiga kalau juga ingin, ya. Aku tak ingin kau hanya diam dan melihat kami makan.” Ah sial! Ingin rasanya Alex mengumpati Farrin. Natsu, kan, bisa membuatnya sendiri, mengapa ia yang harus disuruh untuk membuatkannya juga. Ia yakin, Natsu bisa membu