Share

3. Pembuat Onar

“Sial! Males banget hari ini olahraga. Mana panas banget,” gumam Eren sembari merentangkan tangannya ke atas.

      Eren mengambil seragam olahraga miliknya dari loker. Ia menuju toilet sekolah. Sekolah yang ia masuki, masuk dalam kategori elit kelas atas sehingga toiletnya juga bersih seperti hotel berbintang. Tidak hanya Eren, banyak juga murid lainnya yang menggunakan toilet dilantai 3.

BRAK!

      Serombongan kakak kelas yang juga memiliki jam olahraga yang sama, menendang pintu utama toilet. Ada teman sekelas Eren yang ditarik paksa. Ia berderai airmata, tubuhnya gemetaran sembari memegang kacamata ditangannya.

“Apa aku menyuruhmu untuk ganti?” bentaknya.

“Ma—maaf Kak!” jawab gadis kecil yang malang itu.

“Lepas atau aku akan menelanjangimu!” ancamnya.

      Eren sudah seperti iblis yang ikatan liarnya terputus. Segel yang membelenggunya sewaktu di sekolah lama, terhempas. Ia bebas melakukan apapun. Eren tidak tahan mendengar bentakan, makian, apalagi melihat sesama murid meratukan dirinya sendiri hanya karena orangtuanya lebih berkuasa.

Prang!

      Eren memukul kaca sampai kaca itu berserakan di atas lantai. Ia melirik tajam. “Berisik! Bisakah kalian diam? Kau pikir, toilet lantai 3 ini milikmu?” seru Eren sembari membersihkan tangannya yang berdarah.

“Kau siapa? Jangan-jangan kau anak baru ya? Heuh...” dengkusnya. “Kau tidak tahu siapa aku?” imbuhnya. Tingkahnya masih saja sombong dan sangat memuakkan.

Tap... Tap... Tap...

      Eren melangkah maju mendekati kakak kelas yang entah siapa namanya, apalagi asal usulnya. Ia tidak memiliki rasa takut meski kakak kelas itu memiliki tubuh lebih besar darinya.

Sret!

     Eren menarik teman sekelasnya yang malang. “Kemarilah! Kau bisa berlindung dibelakangku,” pinta Eren.

“Tapi, kau—“

“Jangan pernah takut pada apapun.” Eren menegaskan sekali lagi. Gadis itu akhirnya berdiri sembari menunduk dibelakang Eren.

Grep!

      Kakak kelas menarik baju bagian depan Eren. “Kau pikir, dengan tubuhmu yang sebesar kedelai, bisa mengalahkanku?” ucapnya dengan sangat angkuh.

“Hei, kalian!” Eren menunjuk ke arah para murid yang terjebak untuk menjadi saksi. “Kalian lihat sendiri, bukan, kalau bukan aku yang memulainya?” tanya Eren. Merekapun akhirnya mengangguk. Eren menyeringai. “Kalau aku mulai bergerak, berarti bukan aku yang bersalah. Kalian harus menjadi saksi,” imbuhnya.

“Bisakah kau berhenti mengoceh?” gertaknya sembari mencengkram rahang Eren.

“Benar-benar tidak sabar untuk mengujiku, ya?”

syut!

Brak!

“Akh!”

       Eren memutar tangan orang itu, memutar tubuhnya sendiri dan membanting tubuhnya sampai terdengar suara tulang yang patah. Mungkin saja, tangan dari kakak kelas itu tidak akan bisa digunakan untuk memukul beberapa minggu ke depan.

“Beraninya murid buruk sepertimu memegang wajahku!”

       Gadis yang malang itu menarik Eren. “Kakak, sudah hentikan. Masalah ini akan panjang kalau lebih dari ini,” ucapnya dengan suara yang sangat lirih.

“Apa kau takut atau kau sedang mengkhawatirkanku, Nona manis?” goda Eren. “Sudahlah. Aku akan berhenti karena permintaanmu,” pungkasnya.

      Eren membawa gadis itu keluar melangkahi tubuh kakak kelas yang terbaring kesakitan di atas lantai. Gadis itu sedikit takut untuk melewati karena mata kakak kelas menyorot tajam ke arahnya. Tapi sekawanannya kabur begitu saja setelah Eren berhasil memberikan pelajaran.

Kretek!

“Akh!” teriak kakak  kelas.

       Eren diam dan terus melangkah keluar tanpa merasa bersalah. Ia menginjak lengan kakak tingkat sekuat tenaganya. 

“Aku tidak akan membiarkanmu lain kali! Aku akan membalasmu. Ingat itu!” teriak kakak kelas.

      Eren menghentikan langkahnya. Ia menoleh, memberikan senyuman kemenangan dari wajah mungilnya. “Akan aku ingat dan akan aku nantikan balasan darimu!”

*** 

“Pagi, Pak Vidor!” sapa para murid.

       Vidor Haqsi adalah guru olahraga. Berkatnya, tim basket selalu menjadi juara. Wajahnya tampan, tubuhnya tinggi dan lagi, senyumnya menawan sampai para murid selalu diam-diam mengintip hanya untuk melihat senyumnya.

“Hei, kau!” teriak Pak Vidor. 

“Kyaaaaaa! Apa kalian dengar suaranya?” Para siswi histeris mendengar suara Pak Vidor. Suaranya terdengar berat. Benar-benar suara pria.

       Pak Vidor mengelus kepalanya oleh tingkah satu siswi yang memusingkan. Ia berjalan, berteriak tapi sama sekali tidak dihiraukan. Langkahnya semakin dekat dengan lokasi, di mana seorang siswi sedang memanjat tiang ring basket pria yang terbilang tinggi.

“Turun!” teriak Pak Vidor.

“Apa? Aku tidak dengar!” sahutnya.

“Eren Muchen, turun!” teriak Pak Vidor untuk yang kedua kalinya.

       Eren awalnya melihat pengait ring ada yang terlepas. Pada dasarnya, ia bukanlah wanita yang bisa diam, Eren akhirnya berinisiatif untuk memanjat dan membenahinya dan itu hanyalah alasan karena dia memang ingin memanjat saja di atas sana.

“Aduh” pekik Eren. Sedari tadi ia tidak menyadari kalau yang menegurnya adalah seorang guru.

“Apa kau baik-baik saja? Cepat turun!”

“Pak, maafkan saya. Saya tidak bisa turun.”

“Kenapa?”

‘Kenapa ya? Ya karena aku tidak ingin,’ batin Eren.

“Eren Muchen!” teriak Pak Vidor. Ia sudah naik darah menghadapi Eren. Eren yang ditunggunya turun, malah duduk santai di ring.  “Kalau kau tidak turun, saya akan menghubungi Ayahmu!” ancamnya.

“Pak, coba Bapak naik. Dari sini bisa lihat apa yang gak bisa dilihat dari situ,” ucap Eren.

“Astaga, Eren. Kau ini benar-benar mau buat saya cepat stroke?” keluh Pak Vidor.

Tap... Tap... Tap...

       Pak Aaron sedang mencari Kiana tapi ia mendengar keributan sampai akhirnya memutuskan untuk melihatnya. Pak Aaron menaikkan sebelah alisnya dan perlahan melihat ke atas.

“Apa yang dia lakukan? Kau memintanya memanjat? Dia itu siswi, Pak Vidor!” ucap Pak Aroon.

“Bagaimana bisa, Anda menjadi Kepsek? Hal seperti ini saja tidak bisa Anda mengerti?” 

“Mungkin karena aku tampan.” Kepercayaan dirinya terlampau tinggi.

“Baiklah, Pak Aaron. Bisakah Anda membantu saya menurunkan siswi yang kerasukan jiwa monyet?” Pak Vidor benar-benar menekan emosinya. 

“Bagaimana caranya? Apa saya juga harus memanjat?” tanya Pak Aaron.

“Hah!” Pak Vidor menghela nafasnya. “Saya rasa, lebih bagus kalau Anda pergi, Pak Aaron. Biar saya atasi sendiri!” 

‘Sialan! Aku benar-benar ingin marah sekarang,’ batin Pak Vidor.

       Pak Aaron menepuk pundak Pak Vidor. “Biar saya yang urus. Dalam 1 kalimat, dia akan turun,” ucapnya.

“Satu kesempatan.”

       Pak Aaron bersiap. Ia menempati posisi Pak Vidor. “Eren, kalau kau tidak turun, saya akan panggil Zavier!” teriak Pak Aaron.

“Ap—apa? Ja—jangan, Pak!” pekik Eren.

        Pak Aaron langsung dengan bangganya memamerkan senyumnya. Eren akhirnya menurut dan turun. Entah apa yang membuatnya turun setelah mendengar nama Zavier.

“Ak! Sakit, Pak. Lepaskan. Aduh... Itu tangan apa tang?” teriak Eren. Pak Aaron menjewer telinga Eren sampai memerah.

“Pak, bukankah seharusnya saya yang memberikan hukuman?” tanya Pak Vidor.

“Bukankah sama saja?” balas Pak Aaron. “Saya yang menang jadi saya yang menghukum.” Pak Aaron benar-benar tidak ingin kalah.

“Tidak bisa. Saya sudah mengeringkan tenggorokan karena berteriak dan juga berdiri sampai pegal. Saya ingin menghukumnya dengan hukuman berat.”

“Tidak bisa!”

         Eren melirik ke arah Pak Aaron atau Pak Vidor. Dua-duanya tampan rupawan. Yang satu cool dan yang satu terlihat lembut. Sejenak, Eren sedikit melambung tinggi membayangkan dirinya diperebutkan oleh pangeran.

“Pak! Pak!” panggil Eren.

“APA?” Jawab keduanya.

“Bagaimana kalau Bapak suit?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status