“Sial! Males banget hari ini olahraga. Mana panas banget,” gumam Eren sembari merentangkan tangannya ke atas.
Eren mengambil seragam olahraga miliknya dari loker. Ia menuju toilet sekolah. Sekolah yang ia masuki, masuk dalam kategori elit kelas atas sehingga toiletnya juga bersih seperti hotel berbintang. Tidak hanya Eren, banyak juga murid lainnya yang menggunakan toilet dilantai 3.
BRAK!
Serombongan kakak kelas yang juga memiliki jam olahraga yang sama, menendang pintu utama toilet. Ada teman sekelas Eren yang ditarik paksa. Ia berderai airmata, tubuhnya gemetaran sembari memegang kacamata ditangannya.
“Apa aku menyuruhmu untuk ganti?” bentaknya.
“Ma—maaf Kak!” jawab gadis kecil yang malang itu.
“Lepas atau aku akan menelanjangimu!” ancamnya.
Eren sudah seperti iblis yang ikatan liarnya terputus. Segel yang membelenggunya sewaktu di sekolah lama, terhempas. Ia bebas melakukan apapun. Eren tidak tahan mendengar bentakan, makian, apalagi melihat sesama murid meratukan dirinya sendiri hanya karena orangtuanya lebih berkuasa.
Prang!
Eren memukul kaca sampai kaca itu berserakan di atas lantai. Ia melirik tajam. “Berisik! Bisakah kalian diam? Kau pikir, toilet lantai 3 ini milikmu?” seru Eren sembari membersihkan tangannya yang berdarah.
“Kau siapa? Jangan-jangan kau anak baru ya? Heuh...” dengkusnya. “Kau tidak tahu siapa aku?” imbuhnya. Tingkahnya masih saja sombong dan sangat memuakkan.
Tap... Tap... Tap...
Eren melangkah maju mendekati kakak kelas yang entah siapa namanya, apalagi asal usulnya. Ia tidak memiliki rasa takut meski kakak kelas itu memiliki tubuh lebih besar darinya.
Sret!
Eren menarik teman sekelasnya yang malang. “Kemarilah! Kau bisa berlindung dibelakangku,” pinta Eren.
“Tapi, kau—“
“Jangan pernah takut pada apapun.” Eren menegaskan sekali lagi. Gadis itu akhirnya berdiri sembari menunduk dibelakang Eren.
Grep!
Kakak kelas menarik baju bagian depan Eren. “Kau pikir, dengan tubuhmu yang sebesar kedelai, bisa mengalahkanku?” ucapnya dengan sangat angkuh.
“Hei, kalian!” Eren menunjuk ke arah para murid yang terjebak untuk menjadi saksi. “Kalian lihat sendiri, bukan, kalau bukan aku yang memulainya?” tanya Eren. Merekapun akhirnya mengangguk. Eren menyeringai. “Kalau aku mulai bergerak, berarti bukan aku yang bersalah. Kalian harus menjadi saksi,” imbuhnya.
“Bisakah kau berhenti mengoceh?” gertaknya sembari mencengkram rahang Eren.
“Benar-benar tidak sabar untuk mengujiku, ya?”
syut!
Brak!
“Akh!”
Eren memutar tangan orang itu, memutar tubuhnya sendiri dan membanting tubuhnya sampai terdengar suara tulang yang patah. Mungkin saja, tangan dari kakak kelas itu tidak akan bisa digunakan untuk memukul beberapa minggu ke depan.
“Beraninya murid buruk sepertimu memegang wajahku!”
Gadis yang malang itu menarik Eren. “Kakak, sudah hentikan. Masalah ini akan panjang kalau lebih dari ini,” ucapnya dengan suara yang sangat lirih.
“Apa kau takut atau kau sedang mengkhawatirkanku, Nona manis?” goda Eren. “Sudahlah. Aku akan berhenti karena permintaanmu,” pungkasnya.
Eren membawa gadis itu keluar melangkahi tubuh kakak kelas yang terbaring kesakitan di atas lantai. Gadis itu sedikit takut untuk melewati karena mata kakak kelas menyorot tajam ke arahnya. Tapi sekawanannya kabur begitu saja setelah Eren berhasil memberikan pelajaran.
Kretek!
“Akh!” teriak kakak kelas.
Eren diam dan terus melangkah keluar tanpa merasa bersalah. Ia menginjak lengan kakak tingkat sekuat tenaganya.
“Aku tidak akan membiarkanmu lain kali! Aku akan membalasmu. Ingat itu!” teriak kakak kelas.
Eren menghentikan langkahnya. Ia menoleh, memberikan senyuman kemenangan dari wajah mungilnya. “Akan aku ingat dan akan aku nantikan balasan darimu!”
***
“Pagi, Pak Vidor!” sapa para murid.
Vidor Haqsi adalah guru olahraga. Berkatnya, tim basket selalu menjadi juara. Wajahnya tampan, tubuhnya tinggi dan lagi, senyumnya menawan sampai para murid selalu diam-diam mengintip hanya untuk melihat senyumnya.
“Hei, kau!” teriak Pak Vidor.
“Kyaaaaaa! Apa kalian dengar suaranya?” Para siswi histeris mendengar suara Pak Vidor. Suaranya terdengar berat. Benar-benar suara pria.
Pak Vidor mengelus kepalanya oleh tingkah satu siswi yang memusingkan. Ia berjalan, berteriak tapi sama sekali tidak dihiraukan. Langkahnya semakin dekat dengan lokasi, di mana seorang siswi sedang memanjat tiang ring basket pria yang terbilang tinggi.
“Turun!” teriak Pak Vidor.
“Apa? Aku tidak dengar!” sahutnya.
“Eren Muchen, turun!” teriak Pak Vidor untuk yang kedua kalinya.
Eren awalnya melihat pengait ring ada yang terlepas. Pada dasarnya, ia bukanlah wanita yang bisa diam, Eren akhirnya berinisiatif untuk memanjat dan membenahinya dan itu hanyalah alasan karena dia memang ingin memanjat saja di atas sana.
“Aduh” pekik Eren. Sedari tadi ia tidak menyadari kalau yang menegurnya adalah seorang guru.
“Apa kau baik-baik saja? Cepat turun!”
“Pak, maafkan saya. Saya tidak bisa turun.”
“Kenapa?”
‘Kenapa ya? Ya karena aku tidak ingin,’ batin Eren.
“Eren Muchen!” teriak Pak Vidor. Ia sudah naik darah menghadapi Eren. Eren yang ditunggunya turun, malah duduk santai di ring. “Kalau kau tidak turun, saya akan menghubungi Ayahmu!” ancamnya.
“Pak, coba Bapak naik. Dari sini bisa lihat apa yang gak bisa dilihat dari situ,” ucap Eren.
“Astaga, Eren. Kau ini benar-benar mau buat saya cepat stroke?” keluh Pak Vidor.
Tap... Tap... Tap...
Pak Aaron sedang mencari Kiana tapi ia mendengar keributan sampai akhirnya memutuskan untuk melihatnya. Pak Aaron menaikkan sebelah alisnya dan perlahan melihat ke atas.
“Apa yang dia lakukan? Kau memintanya memanjat? Dia itu siswi, Pak Vidor!” ucap Pak Aroon.
“Bagaimana bisa, Anda menjadi Kepsek? Hal seperti ini saja tidak bisa Anda mengerti?”
“Mungkin karena aku tampan.” Kepercayaan dirinya terlampau tinggi.
“Baiklah, Pak Aaron. Bisakah Anda membantu saya menurunkan siswi yang kerasukan jiwa monyet?” Pak Vidor benar-benar menekan emosinya.
“Bagaimana caranya? Apa saya juga harus memanjat?” tanya Pak Aaron.
“Hah!” Pak Vidor menghela nafasnya. “Saya rasa, lebih bagus kalau Anda pergi, Pak Aaron. Biar saya atasi sendiri!”
‘Sialan! Aku benar-benar ingin marah sekarang,’ batin Pak Vidor.
Pak Aaron menepuk pundak Pak Vidor. “Biar saya yang urus. Dalam 1 kalimat, dia akan turun,” ucapnya.
“Satu kesempatan.”
Pak Aaron bersiap. Ia menempati posisi Pak Vidor. “Eren, kalau kau tidak turun, saya akan panggil Zavier!” teriak Pak Aaron.
“Ap—apa? Ja—jangan, Pak!” pekik Eren.
Pak Aaron langsung dengan bangganya memamerkan senyumnya. Eren akhirnya menurut dan turun. Entah apa yang membuatnya turun setelah mendengar nama Zavier.
“Ak! Sakit, Pak. Lepaskan. Aduh... Itu tangan apa tang?” teriak Eren. Pak Aaron menjewer telinga Eren sampai memerah.
“Pak, bukankah seharusnya saya yang memberikan hukuman?” tanya Pak Vidor.
“Bukankah sama saja?” balas Pak Aaron. “Saya yang menang jadi saya yang menghukum.” Pak Aaron benar-benar tidak ingin kalah.
“Tidak bisa. Saya sudah mengeringkan tenggorokan karena berteriak dan juga berdiri sampai pegal. Saya ingin menghukumnya dengan hukuman berat.”
“Tidak bisa!”
Eren melirik ke arah Pak Aaron atau Pak Vidor. Dua-duanya tampan rupawan. Yang satu cool dan yang satu terlihat lembut. Sejenak, Eren sedikit melambung tinggi membayangkan dirinya diperebutkan oleh pangeran.
“Pak! Pak!” panggil Eren.
“APA?” Jawab keduanya.
“Bagaimana kalau Bapak suit?”
Kiana tidak berhenti menatap pria itu. Asing, aneh, namun dibalik kekurangannya tersimpan sebuah keistimewaan. Kiana memperhatikan tanpa terlewatkan sedikitpun tapi keistimewaan yang terasa belum dapat Kiana terka.“Siapa kau?” tanya Kiana.“Hanya murid SMA,” jawabnya singkat.Pria itu pergi meninggalkan Kiana yang masih berdiam diri tanpa bicara. “Aih!” keluh Kiana. “Katanya, setelah aku masuk sini, tugas akan terlihat tapi mana? Membosankan,” gumam Kiana.Tap... Tap... Tap...Kiana menolehkan kepalanya. Pria dewasa sedang berjalan ke arahn
Naura berdiam diri di dalam kamar mewah yang selalu menjadi tempat istirahatnya setiap kali sekujur tubuhnya lelah. Ia ditemani oleh suaminya, Delice. Suasana hati Naura sedikit berkecamuk dengan permasalahan yang harus dihadapi akhir-akhir ini.“Delice, apa kau sungguh akan melibatkan anak-anak dalam hal ini?” tanya Naura.“Mereka harus mulai terbiasa dengan masalah sebesar apapun.”“Bukankah mereka terlalu kecil untuk itu?”Bagaimanapun, hati seorang ibu tidak akan merasa tenang. Akan ada badai yang datang dan anak-anaknya harus menghalau. Naura takut kalau anak-anaknya terkekang dan tidak menikmati masa kecilnya dengan indah.
Mencari tahu tentang musuh yang sudah waspada sejak awal, bukanlah hal mudah. Kiana tidak bisa menggabungkan setiap rencananya atau apa yang ia pikirkan untuk mengetahui pergerakan musuh bersama rekannya. Oleh karena itu, Kiana mencuri-curi waktu ditengah malam untuk pergi.“Semua barang sudah aku masukkan ke tas. Apalagi yang kurang?” gumam Kiana. Ia melihat kembali persiapan yang ia bawa. Keluar dari mansion tidaklah mudah. Kiana harus melompat dari lantai atas yang merupakan kamarnya. Kiana juga harus melewati taman labirin di halaman mansion untuk menghindari para penjaga.“Ayo, Kiana! Sudah lama tidak berpetualangan,” ucap Kiana pada diri sendiri.Set!“Kau mau ke mana?” Renza tiba-tiba mencegah Kiana yang sudah bersiap melepaskan tubuhnya terjun bebas.“Ah, sial! Aku tidak bisa menjelaskan. Kau lebih baik ikut saj
Kiana meninggalkan Renza seorang diri. Ia tidak bisa pergi membawa motor karena kunci berada ditangan Renza. Kiana duduk disalah satu taman setelah turun dari taxi.Sret! Sepasang sepatu berhenti melangkah di depan Kiana. Anehnya, semua lampu diseluruh taman tiba-tiba saja mati. Malam itu langit sangat cerah. Kiana mendongak. Ia tidak bisa melihat wajah pria yang berdiri didepannya.“Siapa kau?” tanya Kiana. “Pergilah kalau kau tidak memiliki urusan denganku,” imbuhnya sembari mengabaikan kehadiran pria itu.“Mari bertarung denganku. Kalau aku kalah, aku akan memberikan apa yang kau butuhkan,” katanya. Kiana mengernyit. Ia sedang mengingat suara yang tidak asing ditelinganya. Suaranya mirip seperti suara Rael tapi rambut mereka berbeda. Ditambah lagi, Rael hanyalah murid yang buta.“
Di meja makan, sudah berkumpul semua penghuni mansion tapi tidak ada Eren, Zavier dan Leon. Kiana terlihat lelah. Ia mengedipkan matanya, memberikan kode pada Renza.“Kiana, apa semalam kau tidak tidur?” tanya Delice.“Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Kiana tersedak mendengar pertanyaan Delice.“Ini, minum dulu.” Ken memberikan segelas air putih.“Terima kasih, Daddy!” ucap Kiana. Naura melirik Delice. Aura wajahnya yang sedang cemburu pada Ken terlihat jelas. Kiana lebih dekat dengan Ken dibandingkan Ayahnya, Delice.“Kiana, Ayahmu sedang bertanya padamu,” kata Naura.“Ah, iya... Ayah, semalam aku belajar. Aku tertinggal pelajaran lumayan jauh,” ujar Kiana, berbohong.“Cih! Membual!” gumam Renza. Delice tidak menjawab ucapan Kia
Kiana turun di halte terdekat. Ia melanjutkannya dengan jalan kaki. Berjalan sendirian, Kiana merasakan hatinya kosong. Ia merindukan seseorang yang tidak akan bisa lagi ia temui.Splash!“Akh!” pekik Kiana. Sebuah motor berhenti. Seseorang yang naik di atasnya, tertawa melihat Kiana yang terciprat oleh genangan air. Sudah bisa ditebak kalau perbuatannya disengaja. Kiana hanya membersihkan pakaiannya yang kotor menggunakan sapu tangan. Ia tidak menggubris tawa yang menggelegar meremehkannya.“Hidupmu tidak akan tenang setelah kau menginjakkan kakimu di SMA HG,” teriak pria yang masih menutupi wajahnya menggunakan helm. Kiana hanya menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak menghiraukan celoteh sampah yang melintas ditelinganya.“Karena kau sudah mempermalukan Kak Teo, hidupmu ti
Setelah memberikan blazer miliknya, Rael pergi begitu saja tanpa kata. Kiana yang terluka langsung menuju UKS untuk mendapatkan beberapa obat. Benar saja, luka Kiana berbekas karena diserang menggunakan mesin tato. Sepulang sekolah, anggota Naga Hitam langsung berkumpul di markas mereka yang terletak dibagian barat kota New York, sesuai informasi yang Kiana katakan. Markas milik Leon yang menjadi perkumpulan pertama mereka.“Kiana!”“Akh!” pekik Kiana. Sontak saja, Zeki yang memegang lengan Kiana tersentak mendengar pekikan dari mulut Kiana. Belum ada seorang pun yang datang kecuali mereka berdua.“Lenganmu terluka? Siapa yang melakukannya?” tanya Zeki.“Bukan apa-apa. Hanya terbentur saat aku mandi.”“Terpeleset?” tanya Zeki.“Sepertinya begitu.”&nb
Zeki sudah mencukur rambut halus yang tumbuh di area rahangnya. Ia harus menyamar sebagai anak SMA yang seumuran dengan Kiana. Malam ini, penampilan anak remaja ia singkirkan karena ia menjalani tugas yang sudah disusun dengan sangat sempurna. Kemeja berwarna merah, celana hitam, dasi merah bercorak, sangat cocok menempel ditubuh Zeki. Ia menenteng jas hitam dilengannya. Gayanya sudah seperti pengusaha muda yang membutukan sebuah hiburan.“Selamat datang, Tuan!” sapa tim keamanan yang menjaga tempat utama.“Hei, kau!” Tunjuk Zeki pada bodyguardnya. “Nyalakan apinya, cepat!” pintanya setelah sebatang rokok terselip diantara kedua bibirnya. Zeki hanya tersenyum. Seseorang dibelakang Zeki, dijadikan pesuruh olehnya supaya akting yang mereka mainkan terlihat sangat nyata. Zeki diantar ke dalam ruangan VVIP sesuai dana yang ia miliki.&ld