Akhirnya, Delice dan Naura membawa anak-anak mereka kembali ke New York, kecuali Kiana. Kiana masih dalam pemulihan sejak kejadian itu berlalu. Ken mendampingi Kiana layaknya Ayah kandung yang ingin melindungi segenap hati.
“Kiana, bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Ken.
“Lebih baik dari beberapa hari terakhir.”
“Mau Daddy temani ke makam Meysha?”
Kiana menatap koper miliknya. Ia juga harus segera kembali ke New York seperti saudaranya yang lain. Meninggalkan segala kenangan pahit. Di atas meja, Ken sudah menyiapkan bunga. Ia tahu kalau Kiana tidak akan pergi tanpa mendatangi makam Meysha terlebih dahulu.
“Sepertinya, aku memang harus ke sana.”
Kiana membawa hatinya yang terluka. Ia sangat kehilangan dan juga rasa penyesalan itu menggerogoti jiwanya secara perlahan. Ken mendampingi Kiana tanpa ada jeda. Ia tidak ingin Kiana memiliki waktu untuk berdiam diri dan mengosongkan pikirannya.
“Mau Daddy temani ke dalam pemakaman atau Daddy tunggu di sini?”
“Daddy tunggu di sini saja.”
Tap... Tap... Tap...
Kiana mulai memasuki pemakaman elit yang menjadi tempat peristirahatan terakhir Meysha. Ia sudah berdiri mematung, menatap foto dan juga nama yang tertera. Tanpa sebuah kata, Kiana meletakkan bunga itu di atas gundukan tanah yang masih basah. Sebelum membalikkan tubuhnya, Kiana meneteskan air bening dari matanya.
“Meysha, seharusnya aku tidak boleh menangis tapi aku tidak bisa menahannya. Aku pamit. Aku akan datang lagi setelah tugasku menjadi anak dari seorang mafia selesai!”
***
Perjuangan baru dimulai. Hampir semua keturunan dari Naga Hitam ikut andil dalam masalah baru yang terjadi akhir-akhir ini. Diantaranya, Leon Kaleid (25 Th), Renza Kaleid (16 Th), Kiana Andra Kaleid (16 Th), Zavier Kaleid (15 Th), Zeki Kinoy (26 Th), dan Eren Muchen (15 Th). Mereka semua menyamar menjadi anak SMA biasa di SMA HG.
Anak-anak lain sudah lebih dulu masuk ke SMA HG. Kiana menjadi anak terakhir yang masuk. Segala strategi dan siasat mulai tertata dalam otaknya. Menjadi anak dari mafia tidaklah mudah. Mereka dididik keras sejak dini karena bahaya akan selalu mengincar ke mana pun mereka pergi.
“Ini sekolah yang baru?” tanya Kiana. Kakinya sudah berdiri di depan gerbang. “Kenapa murid yang sedari tadi masuk ke dalam, tidak ada yang seperti anak SMA?” imbuhnya.
“Iya. Mukanya boros,” sahut Eren.
“Eren, apa kau sekelas dengan Zavier?” tanya Kiana lagi.
“Sayangnya tidak. Kita semua ditempatkan di kelas yang berbeda.”
Suasana aneh mulai Kiana rasakan. Dari luar, sekolah itu tampak umum dan damai tapi ternyata, tidak sebaik mata memandang. Kekacauan itu diluar kendali pikiran. Seragam yang rapi, berubah menjadi berantakan saat mereka melewati gerbang sekolah.
Kebebasan membuat para berandalan semakin menjadi-jadi. Tato yang mencari ciri khas dan juga perundungan. Kiana menjadi murid yang tidak boleh mencolok diantara yang lain sedangkan mereka bebas melakukan apapun karena Kiana menjadi kunci dalam perjalanan tugas saat ini.
SMA HG mencetak anak-anak jenius terbanyak. Mereka yang masuk ke dalam SMA HG rata-rata orang elit dengan tingkat kelas menengah ke atas. Dari ribuan murid, hanya ada 10 tiket beasiswa. 10 orang yang mendapatkannya, menjadi korban perundungan di sana.
“Ck! Sialan! Aku tidak tahan kalau melihat yang seperti ini,” gumam Kiana.
Zeki mengusap ujung kepala Kiana. “Kau tidak perlu mengotori tanganmu karena aku akan berada disisimu,” ucap Zeki.
“Kak Zeki, kenapa kau tidak merayuku?” celetuk Eren.
Zavier menarik Eren mendekat padanya. “Kau ingin sekali dirayu? Berkaca dulu sana,” kata Zavier.
“Kau sedang cemburu, ya?” ledek Eren.
“Jangan bicara yang tidak-tidak.”
Kiana menghentikan langkahnya. Ia terpaku oleh pria yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Pria itu menutupi matanya menggunakan poni dan ditangannya ada tongkat pertanda kalau dia murid berkebutuhan khusus di sini.
“Ada apa?” tanya Leon.
“Apa SMA HG menerima murid yang tidak sempurna? Aku tidak pernah dengar hal ini.”
“Selama satu bulan di sini. Aku hanya melihatnya tiga kali,” seru Eren.
‘Aku harus mengikutinya,’ batin Kiana.
“Aku mau ke toilet. Nanti aku akan ke ruang guru sendiri. Kalian tidak perlu mengantarku,” ucap Kiana sembari berlari.
Mereka semua pergi ke kelas masing-masing karena jam pelajaran akan segera dimulai kecuali Zeki. Dia memilih mengikuti Kiana. Benar saja. Kiana mengikuti pria itu tapi pria itu menghilang tanpa jejak.
“Kiana!”
“Eh! Kak Zeki kenapa di sini?”
“Aku yang seharusnya bertanya padamu. Toilet tidak di sini.”
“Aku memang tidak bisa berbohong padamu. Sudahlah... Aku mau menemui Kepsek.”
Zeki melepaskan Kiana yang menyerah begitu saja. Tanpa pria asing itu sadari, Zeki sudah berdiri dibelakang pria yang sedari tadi diincar oleh Kiana. Zeki menghela nafasnya tapi pria itu tidak menoleh padanya.
“Apa kau sangat suka bermain petak umpet?” tanya Zeki.
“Kalau iya, apa urusannya denganmu?”
“Seharusnya, kau bersembunyi sampai siapapun tidak dapat menemukan ujung rambutmu!”
***
Diketahui kalau kepala sekolah di SMA HG sangatlah muda. Mungkin sekitar 27 atau 28 tahun. Dia bernama Aaron Byly. Saat ini, Kiana sedang mengekor padanya setelah melapor. Lonceng sekolah berbunyi dan Pak Aaron mengantarkan Kiana ke kelas untuk diperkenalkan sebagai murid pindahan.
“Selamat pagi, semua!”
“Pagi!”
“Perkenalkan, dia Kiana. Murid pindahan dari luar negeri. Semoga kalian bisa menjadi temannya karena Kiana belum terbiasa dengan negara kita.”
“Hai! Pagi semuanya! Senang bertemu kalian. Mohon bantuannya.”
Perkenalan yang dilakukan sama seperti sekolah yang lainnya tapi sorot mata mereka ketika Kiana sudah duduk dibangku yang disediakan untuknya, sangat menusuk. Hal yang membuat Kiana tertarik, pria asing itu duduk disampingnya.
Pelajaran pertama sudah selesai. Lonceng berbunyi tanda istirahat sudah dimulai. Kiana mulai bosan tapi sesuatu yang membuatnya kesal terjadi. Kelas yang ia masuki ternyata sumber dari para perundungan.
BRAK!
Meja Kiana dipukul sampai terbelah. Kiana tetap santai duduk tanpa menghiraukannya. Merasa dianggap remeh oleh murid baru, geng perundungan mulai marah.
“Jangan kira, kau akan sekolah dengan damai di sini. Serahkan uangmu!”
“Hoam!” Kiana menguap. Ia memberikan tatapan remeh pada anak-anak yang memalaknya. “Jadi, kalian miskin?” celetuk Kiana.
“Tidak peduli apa yang kau katakan. Jangan membuatku marah lagi!”
“Tapi aku tidak peduli kalau kau mau marah.” Kiana tetap santai. Hal kotor seperti ini tidak akan ia biarkan begitu saja. Namun pria yang tadi pagi ia lihat, mengulurkan uang pada para geng bully yang memalak Kiana.
“Ini! Mungkin saja karena dari luar negeri, dia belum memiliki mata uang di sini. Kalian pakai uangku saja,” ucapnya.
Kiana menengadah melihat pria itu. Aneh. Pria itu tidak memiliki ekspresi apapun tapi para murid nakal itu tidak menerima uang yang ia ulurkan seperti ada ketakutan dimata mereka.
‘Sebenarnya, siapa pria ini?’ batin Kiana.
“Sial! Males banget hari ini olahraga. Mana panas banget,” gumam Eren sembari merentangkan tangannya ke atas.Eren mengambil seragam olahraga miliknya dari loker. Ia menuju toilet sekolah. Sekolah yang ia masuki, masuk dalam kategori elit kelas atas sehingga toiletnya juga bersih seperti hotel berbintang. Tidak hanya Eren, banyak juga murid lainnya yang menggunakan toilet dilantai 3.BRAK!Serombongan kakak kelas yang juga memiliki jam olahraga yang sama, menendang pintu utama toilet. Ada teman sekelas Eren yang ditarik paksa. Ia berderai airmata, tubuhnya gemetaran sembari memegang kacamata ditangannya.“Apa aku menyuruhmu untuk ganti?” bentaknya.
Kiana tidak berhenti menatap pria itu. Asing, aneh, namun dibalik kekurangannya tersimpan sebuah keistimewaan. Kiana memperhatikan tanpa terlewatkan sedikitpun tapi keistimewaan yang terasa belum dapat Kiana terka.“Siapa kau?” tanya Kiana.“Hanya murid SMA,” jawabnya singkat.Pria itu pergi meninggalkan Kiana yang masih berdiam diri tanpa bicara. “Aih!” keluh Kiana. “Katanya, setelah aku masuk sini, tugas akan terlihat tapi mana? Membosankan,” gumam Kiana.Tap... Tap... Tap...Kiana menolehkan kepalanya. Pria dewasa sedang berjalan ke arahn
Naura berdiam diri di dalam kamar mewah yang selalu menjadi tempat istirahatnya setiap kali sekujur tubuhnya lelah. Ia ditemani oleh suaminya, Delice. Suasana hati Naura sedikit berkecamuk dengan permasalahan yang harus dihadapi akhir-akhir ini.“Delice, apa kau sungguh akan melibatkan anak-anak dalam hal ini?” tanya Naura.“Mereka harus mulai terbiasa dengan masalah sebesar apapun.”“Bukankah mereka terlalu kecil untuk itu?”Bagaimanapun, hati seorang ibu tidak akan merasa tenang. Akan ada badai yang datang dan anak-anaknya harus menghalau. Naura takut kalau anak-anaknya terkekang dan tidak menikmati masa kecilnya dengan indah.
Mencari tahu tentang musuh yang sudah waspada sejak awal, bukanlah hal mudah. Kiana tidak bisa menggabungkan setiap rencananya atau apa yang ia pikirkan untuk mengetahui pergerakan musuh bersama rekannya. Oleh karena itu, Kiana mencuri-curi waktu ditengah malam untuk pergi.“Semua barang sudah aku masukkan ke tas. Apalagi yang kurang?” gumam Kiana. Ia melihat kembali persiapan yang ia bawa. Keluar dari mansion tidaklah mudah. Kiana harus melompat dari lantai atas yang merupakan kamarnya. Kiana juga harus melewati taman labirin di halaman mansion untuk menghindari para penjaga.“Ayo, Kiana! Sudah lama tidak berpetualangan,” ucap Kiana pada diri sendiri.Set!“Kau mau ke mana?” Renza tiba-tiba mencegah Kiana yang sudah bersiap melepaskan tubuhnya terjun bebas.“Ah, sial! Aku tidak bisa menjelaskan. Kau lebih baik ikut saj
Kiana meninggalkan Renza seorang diri. Ia tidak bisa pergi membawa motor karena kunci berada ditangan Renza. Kiana duduk disalah satu taman setelah turun dari taxi.Sret! Sepasang sepatu berhenti melangkah di depan Kiana. Anehnya, semua lampu diseluruh taman tiba-tiba saja mati. Malam itu langit sangat cerah. Kiana mendongak. Ia tidak bisa melihat wajah pria yang berdiri didepannya.“Siapa kau?” tanya Kiana. “Pergilah kalau kau tidak memiliki urusan denganku,” imbuhnya sembari mengabaikan kehadiran pria itu.“Mari bertarung denganku. Kalau aku kalah, aku akan memberikan apa yang kau butuhkan,” katanya. Kiana mengernyit. Ia sedang mengingat suara yang tidak asing ditelinganya. Suaranya mirip seperti suara Rael tapi rambut mereka berbeda. Ditambah lagi, Rael hanyalah murid yang buta.“
Di meja makan, sudah berkumpul semua penghuni mansion tapi tidak ada Eren, Zavier dan Leon. Kiana terlihat lelah. Ia mengedipkan matanya, memberikan kode pada Renza.“Kiana, apa semalam kau tidak tidur?” tanya Delice.“Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Kiana tersedak mendengar pertanyaan Delice.“Ini, minum dulu.” Ken memberikan segelas air putih.“Terima kasih, Daddy!” ucap Kiana. Naura melirik Delice. Aura wajahnya yang sedang cemburu pada Ken terlihat jelas. Kiana lebih dekat dengan Ken dibandingkan Ayahnya, Delice.“Kiana, Ayahmu sedang bertanya padamu,” kata Naura.“Ah, iya... Ayah, semalam aku belajar. Aku tertinggal pelajaran lumayan jauh,” ujar Kiana, berbohong.“Cih! Membual!” gumam Renza. Delice tidak menjawab ucapan Kia
Kiana turun di halte terdekat. Ia melanjutkannya dengan jalan kaki. Berjalan sendirian, Kiana merasakan hatinya kosong. Ia merindukan seseorang yang tidak akan bisa lagi ia temui.Splash!“Akh!” pekik Kiana. Sebuah motor berhenti. Seseorang yang naik di atasnya, tertawa melihat Kiana yang terciprat oleh genangan air. Sudah bisa ditebak kalau perbuatannya disengaja. Kiana hanya membersihkan pakaiannya yang kotor menggunakan sapu tangan. Ia tidak menggubris tawa yang menggelegar meremehkannya.“Hidupmu tidak akan tenang setelah kau menginjakkan kakimu di SMA HG,” teriak pria yang masih menutupi wajahnya menggunakan helm. Kiana hanya menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak menghiraukan celoteh sampah yang melintas ditelinganya.“Karena kau sudah mempermalukan Kak Teo, hidupmu ti
Setelah memberikan blazer miliknya, Rael pergi begitu saja tanpa kata. Kiana yang terluka langsung menuju UKS untuk mendapatkan beberapa obat. Benar saja, luka Kiana berbekas karena diserang menggunakan mesin tato. Sepulang sekolah, anggota Naga Hitam langsung berkumpul di markas mereka yang terletak dibagian barat kota New York, sesuai informasi yang Kiana katakan. Markas milik Leon yang menjadi perkumpulan pertama mereka.“Kiana!”“Akh!” pekik Kiana. Sontak saja, Zeki yang memegang lengan Kiana tersentak mendengar pekikan dari mulut Kiana. Belum ada seorang pun yang datang kecuali mereka berdua.“Lenganmu terluka? Siapa yang melakukannya?” tanya Zeki.“Bukan apa-apa. Hanya terbentur saat aku mandi.”“Terpeleset?” tanya Zeki.“Sepertinya begitu.”&nb