Share

4. Siapa Dia?

       Kiana tidak berhenti menatap pria itu. Asing, aneh, namun dibalik kekurangannya tersimpan sebuah keistimewaan. Kiana memperhatikan tanpa terlewatkan sedikitpun tapi keistimewaan yang terasa belum dapat Kiana terka.

“Siapa kau?” tanya Kiana.

“Hanya murid SMA,” jawabnya singkat.

       Pria itu pergi meninggalkan Kiana yang masih berdiam diri tanpa bicara. “Aih!” keluh Kiana. “Katanya, setelah aku masuk sini, tugas akan terlihat tapi mana? Membosankan,” gumam Kiana.

Tap... Tap... Tap...

       Kiana menolehkan kepalanya. Pria dewasa sedang berjalan ke arahnya. Tidak ada siapapun di dalam kelas itu kecuali Kiana seorang.

“Calon anakku, ayo ikut!”

“Pak Aaron, saya punya nama. Lagi pula, masa Mommy mau dengan modelan seperti Pak Aaron? Daddy saja ditolak,” ucap Kiana lirih.

“Dia sudah tua. Tentu saja tidak menarik. Ayo ikut! Ada yang mau aku bicarakan.”

       Kiana dan Pak Aaron memang sudah saling mengenal sebelum Kiana masuk ke dalam sekolah yang dipimpin oleh Pak Aaron. Kiana mengikutinya masuk ke dalam sebuah ruangan yang kedap suara.

“Apa ada hal penting?” tanya Kiana.

“Ayah atau Daddymu pasti sudah memberitahumu, bukan? Sekolah ini tampak luar biasa dari luar tapi sejujurnya sangat hancur. Kau akan bertemu dengan mereka yang memimpin kehancuran satu per satu, Kiana,” jelas Pak Aaron.

“Aku belum menemukan keanehan kecuali perundungan.”

“Itu yang terlihat oleh mata. Kalau kau keluar dari ruangan ini, kau akan mengetahui sedikit demi sedikit hal itu.”

“Pak Aaron hanya akan mengatakan hal ini?” tanya Kiana sembari mengerutkan keningnya.

“Selain orang dari keluargamu, jangan pernah berpihak pada siapapun. Orang yang terlihat memihak, terkadang yang paling berbahaya.”

“Termasuk Pak Aaron sendiri?” tanya Kiana.

“Benar. Percayalah pada kemampuanmu.”

        Hanya itu yang Pak Aaron katakan. Ambigu dan penuh teka-teki. Kiana berpikir sembari berjalan mengelilingi SMA HG untuk lebih mengenal situasi di sana. 

‘Apa benar-benar hanya kekuasaan?’ batin Kiana.

Bruk!

“Astaga! Kau jalan lihat ke mana sampai menabrak orang sembarangan?”

        Kiana masih memegang bahunya yang terasa nyeri. Entah siapa wanita yang ada di hadapannya saat ini. Memaki dengan suara yang sangat keras hingga menimbulkan kerumunan dari murid lain. Tapi bukan itu yang menjadi perhatian Kiana. Melainkan pria yang berdiri tegap dalam kerumunan murid lain. Aura yang terpancar darinya berbeda.

“Maaf!” ucap Kiana.

“Maaf? Kau pikir, dengan maaf bisa membayar baju Kak Teo yang kotor?” bentaknya lagi.

‘Siapa wanita ini? Juru bicara orang itu?’ batin Kiana.

“Jadi, apa aku harus membayar dengan uang?” tanya Kiana. Kiana menahan diri untuk tidak melayangkan pukulan. Perannya di sini menjadi murid paling lugu.

        Wanita itu seperti bermain kode dengan pria yang ia panggil dengan sebutan nama Teo. Teo menyeringai. “Undang dia untuk bermain di kelas, sekarang!” ucap Teo dengan begitu angkuh.

“Aku tidak bisa,” tolak Kiana.

“Aku tidak menerima penolakan.”

“Bagaimana kalau diwakilkan? Aku hanya akan menjadi pendukung,” ucap Kiana.

“Aku akan melawanmu sendiri,” kata Teo.

Pluk!

        Kiana menerobos kerumunan dan menempelkan beberapa lembar uang didahi Teo. Hal itu membuat Teo gelap mata. Ia merasa sedang dipermalukan.

“Aku bukannya tidak bisa bermain tapi aku memang tidak mau!” ucap Kiana sembari tersenyum. “Ah iya, kalau uangnya tidak cukup, akan aku bayar kekuarangannya besok,” imbuhnya.

        Kiana pergi begitu saja. Teo meremas lembaran uang yang Kiana berikan untuknya. Teo menggertakkan giginya. “Buat dia melawanku bahkan jika aku harus mengekspos kasino padanya!”

“Siap, Kak Teo.”

‘Rasa malu ini, akan aku kembalikan padamu berlipat-lipat,’ batin Teo.

*** 

        Bertemu orang yang menyebalkan membuat mood Kiana menjadi sangat buruk. Kiana ingin melampiaskannya tapi peran yang ia mainkan tidak mendukungnya.

“Kau ingin melampiaskan amarahmu?” 

        Kiana menoleh. Orang yang bicara padanya adalah pria buta yang sekelas dengannya. “Bukan urusanmu!” jawab Kiana.

“Kalau kau mau, aku punya sebuah cara. Bagaimana? Apa kau tertarik?” ucapnya.

“Sayangnya, tidak!” tolak Kiana.

“Tapi aku tertarik.” Kiana menjadi semakin kesal. Ucapannya selalu saja dibantah.

“Urusanmu, bukan urusanku!”

Sret!

Wush!

“Akh!” teriak Kiana. Reflek saja, Kiana merangkulkan kedua tangannya di leher pria itu.

        Pria itu menarik Kiana dan membawanya melompat dari lantai 4. Kiana yang tidak tahu rencana itu, tentu saja reflek melindungi diri.

Drap...

        Kedua kakinya sudah menapak di atas tanah tapi dia belum menurunkan Kiana. Kiana juga belum sadar kalau ia masih memeluk erat pria itu.

“Apa kau takut? Maksudku, apa aku membuatmu takut?” 

       Kiana langsung memerah saat menyadarinya. Ia langsung mendorong pria itu. Pertama kali yang Kiana tunjukkan adalah bentuk sebuah kekaguman dari matanya yang berbinar. Ada pohon yang cukup rindang. Memiliki kursi dan juga satu  ayunan. 

“Ini di mana? Belakang sekolah?” tanya Kiana.

“Apa kau suka? Aku setiap hari ke sini.”

       Kiana mengulurkan tangannya. “Kiana. Siapa namamu?” tanya Kiana.

“Panggil saja aku Rael.”

“Senang berkenalan denganmu,” ucap Kiana.

“Kiana, apa kau sedang tersenyum sekarang?”

       Kiana diam sejenak. “Apa kau sedang bercanda?” tanya Kiana.

“Andai saja aku bisa melihat senyum itu.”

“Kau sungguh tidak bisa melihat?” tanya Kiana.

“Seperti yang kau nilai sendiri.”

“Hahahaha...” Kiana terkekeh. “Kau bisa membawaku lompat dari sana tapi kau tidak bisa melihat?” imbuhnya.

       Rael duduk di atas kursi. Sedari tadi, tongkat yang ia bawa sudah ia lipat dan ia letakkan dipinggangnya  yang sudah memiliki pengait. Rael tidak heran kalau Kiana tidak percaya dia terlahir untuk tetap melihat kegelapan.

“Apa kau pernah mendengar, kalau setiap satu kekurangan akan memiliki berlipat ganda kelebihan?”

“Jadi?” Kiana juga memilih duduk di ayunan. 

“Tidak ada yang bisa aku jelaskan lagi. Oh iya, kau harus berhati-hati dengan Teo.”

“Kau sedang mengkhawatirkanku?”

“Lebih dari itu.”

*** 

“Kiana, mau ke mana?” tanya Zeki. Semuanya sudah masuk ke dalam mobil tapi Kiana masih sibuk dengan ponselnya.

“Aku tidak bisa pulang bareng kalian. Ayah angkat memintaku menemuinya,” jawab Kiana.

 Brummm... Brummm... Brummm...

        Dua mobil yang menjemput sudah berlalu. Kiana mengikuti denah yang Ken berikan untuknya. Sampai langkah kakinya terhenti di jembatan yang sepi.

‘Untuk apa Ayah memintaku bertemu di sini?’ batin Kiana.

       Tempat itu sangat tidak nyaman. Ada segerombolan preman sedang berkumpul. Ia menatap Kiana seperti melihat sasaran empuk karena Kiana masih memakai seragam sekolah.

Tring...

        Kiana menggertakkan giginya. Sebuah pesan singkat yang berisi beberapa kata membuatnya geram.

‘Kiana, tunaikan tugasmu. Mereka mencuri cincin Ibumu.’

“Hei, kau gadis kecil!” teriaknya.

“Cih... Menyebalkan.”

        Kiana mengeluarkan tongkat hitam yang terselip di balik tasnya. Tongkat itu berfungsi untuk menekan emosi Kiana. Jika para preman terbunuh, setidaknya jasadnya masih bisa dikenali.

“Kembalikan benda yang sudah kau curi!” ucap Kiana sembari mengulurkan tangannya.

“Maksudmu, ini? Kalau aku tidak mau bagaimana?” preman itu menunjukkan cincin yang memang milik Naura.

“Menghabisi kalian!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Oland Muhtar
ending ga jls....lgsg skip k bab 5
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status