Share

9. Rencana

      Kiana turun di halte terdekat. Ia melanjutkannya dengan jalan kaki. Berjalan sendirian, Kiana merasakan hatinya kosong. Ia merindukan seseorang yang tidak akan bisa lagi ia temui.

Splash!

“Akh!” pekik Kiana.

        Sebuah motor berhenti. Seseorang yang naik di atasnya, tertawa melihat Kiana yang terciprat oleh genangan air. Sudah bisa ditebak kalau perbuatannya disengaja.

      Kiana hanya membersihkan pakaiannya yang kotor menggunakan sapu tangan. Ia tidak menggubris tawa yang menggelegar meremehkannya.

“Hidupmu tidak akan tenang setelah kau menginjakkan kakimu di SMA HG,” teriak pria yang masih menutupi wajahnya menggunakan helm.

      Kiana hanya menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak menghiraukan celoteh sampah yang melintas ditelinganya.

“Karena kau sudah mempermalukan Kak Teo, hidupmu tidak akan lagi mudah.”

       Kiana hanya melirik tajam. “Bahkan jika SMA HG adalah neraka, aku rasa menyenangkan,” jawab Kiana setelah menunjukkan ekspresi psychopath pada dirinya.

“Kita lihat saja, jeritan dan rintihan permohonanmu nanti.”

       Kiana tidak tahu siapa pria itu tapi sudah jelas kalau dia adalah orangnya Teo. Kiana merasa tugasnya bertambah untuk mengungkapkan identitas Teo.

Tut...

       Kiana melakukan panggilan grup. Ia harus membicara hal penting. Rencana baru yang bertolak belakang dengan rencana lama.

“Hallo!” kata Kiana. “Sepulang sekolah, kumpul di markas,” ucap Kiana.

“OKE!” jawab Leon, Zavier, Eren, Renza dan Zeki secara bersamaan.

‘Aku akan mengungkapkan misterinya dengan segera,’ batin Kiana.

***

      Istirahat pertama, Kiana menuju kantin. Ia mengernyitkan keningnya saat melihat seorang murid yang membayar makanan menggunakan koin.

‘Koin?’ batin Kiana.

      Kiana semakin ingin menelusuri asal usul koin itu tapi sayangnya ia tidak bisa bergerak sembarangan. Hal itu membuatnya kesulitan mencari info yang sangat ia butuhkan.

      Kiana seperti dituntun oleh kakinya menuju belakang kelas satu 2-2. Kiana langsung mendengar jeritan. Jeritan itu membuat langkah kaki Kiana semakin cepat.

Deg...

      Murid wanita sedang dikerumuni oleh lalat nakal. Kiana tidak tahan melihat perundungan yang terjadi. Jelas dari penampilan murid itu yang berantakan bahkan wajahnya dipenuhi oleh coretan. Tangannya, kakinya, mungkin bisa dikatakan seluruh tubuhnya.

“Hentikan!” teriak Kiana.

      Aman. Situasi saat itu hanya ada berandalah nakal di sana. Kiana harus menyelesaikan semuanya sebelum ada orang lain yang melihatnya menggila.

“Siapa kau? Kau ingin melindungi anak buangan sekolah ini?” tunjuknya pada murid yang menggigil ketakutan.

“Tutup mulutmu itu, brengsek!”

“Cewek sialan! Beraninya kau berteriak padaku!”

       Kiana memperhatikan ada berada orang yang ada di depannya. Apa yang mereka bawa dan ada celah apa saja. Kiana bukan brutal dan asal menyerang tapi semua tindakannya menggunakan teknik yang sudah ada di dalam logikanya.

‘Lima orang. Mereka tidak membawa apa-apa. Aku bisa menyerang mereka sekaligus menggunakan celah sisi kiri pria yang berdiri paling depan,’ batin Kiana.

Bugh!

      Entah siapa namanya, pria paling depan mengayunkan tinjunya. Kiana menghadang pukulan dengan menyilangkan kedua tangannya.

“Boxing? Bagaimana kalau aku tunjukkan teknik terlarang dalam boxing?” ucap Kiana dengan sorot matanya yang merah menyala.

“Banyak tingkah!” teriaknya geram.

Bugh! Bugh! Bugh! Bugh! Bugh!

       Teknik terlarang dalam boxing, Kiana tunjukkan. Ia seolah-olah mengayunkan tinju tapi Kiana memutar tubuhnya dan menggerakkan kakinya. Tendangan dengan tenaga yang sempurna karena dilakukan oleh orang yang mengerti tekniknya.

      Kiana menendang pria pertama, lalu menarik kerah seragam dan menendang murid lain yang sedang fokus menonton tanpa memiliki pertahanan diri.

Bugh! Bugh! Bugh!

“Akh! Uhuk... Uhuk... Uhuk...”

       Mereka semua tergelatak sembari memegang ulu hati. Kiana belum cukup puas menghajar murid yang tidak mengerti akan kesalahannya.

“Apa karena kau mengetahui beberapa teknik, lalu kau bisa sombong?” pria itu bernama Jeps sesuai yang tertera pada seragamnya.

Grep!

       Kiana menarik rambut Jeps. Ia mendelik, menunjukkan ekspresi iblisnya. Untuk pertama kalinya sejak ia terakhir kali mengamuk tanpa sadar, Kiana menunjukkan ekspresi itu lagi.

“Kau masih belum mengerti situasinya, Ha?” ucap Kiana. Mata Kiana yang merah berubah menjadi putih seperti mata ular.

“Ka—kau...”

Tap...

       Seseorang memegang pundak Kiana dari belakang. Cengkeraman yang sangat kuat. Kiana mengendalikan kekuatan yang ada pada tubuhnya. Matanya kembali pulih lagi normal seperti biasanya.

“Beraninya kau mengganggu kesenanganku! Maaf, tapi aku rasa ini akan berbekas,” ucap orang itu.

Srek! Srash!

       Kiana tidak bisa menghindar. Kedatangan orang itu tiba-tiba. Ia membawa mesin tato. Jarumnya menggores lengan Kiana dari ujung pundak, memanjang hingga ujung jarinya.

“Pengecut!” kata Kiana.

“Ta—tanganmu berdarah,” ucap murid yang menjadi murid buangan.

“Aku tidak apa-apa,” kata Kiana. Kiana begitu dingin. Ia seperti tidak ingin memiliki teman selain rekannya.

“Sayangnya kau mengelak. Andai saja kau diam, mungkin lukisannya akan terlihat lebih indah,” ujarnya.

      Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Orang itu menekan ponselnya. Ia menghubungi As, pria yang melukai Kiana menggunakan mesin tato.

Tring...

     Ponsel As berdering. Ia diam tanpa kata, hanya mendengarkan dan tidak menjawab lalu mematikan ponselnya.

“Sial! Aku harus pergi. Kita akan bertemu lagi lain kali, Nona yang manis,” kata As.

“Menjijikan!” balas Kiana.

      Murid yang menjadi bahan candaan mereka, mengikatkan sapu tangan dilengan Kiana. Luka yang sangat panjang tapi dia mengikat diluka terdalam.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Kiana.

“Aku tidak ingin darahnya terus mengucur keluar. Kiana... Bolehkah aku memanggil namamu seperti itu?”

“Lakukan saja apa yang kau inginkan!” kata Kiana tanpa mengubah ekspresinya.

“Kumey! Kau boleh memanggil namaku Kumey.”

“Oh!”

“Kiana, terima kasih sudah menolongku. Kalau bukan karenamu, mungkin gambar ditubuhku ini tidak akan bisa dihilangkan lagi,” kata Kumey sembari membungkukkan pundaknya.

“Lain kali, kau tidak perlu takut pada orang seperti itu.”

“Aku bertubuh kecil. Mereka semua bertubuh besar. Ditambah lagi, penampilan mereka saat bubuk itu hilang, seperti seorang mafia,” jelas Kumey.

       Kiana mengerutkan keningnya. “Bubuk?” tanya Kiana.

“Di sini, kalau kau mau melihat apa saja yang dijual, kau boleh menuju gedung tersembunyi di sana.”

      Kiana melihat ke arah gedung yang Kumey tunjukkan. ‘Bukankah itu gedung semalam?’ batin Kiana.

      Bukan saatnya untuk memikirkan hal lain. Kiana harus segera pergi sebelum ada murid lain yang melihatnya. Setetes darah yang keluar dari tubuhnya, akan Kiana kembalikan berkali-kali lipat.

“Pergilah. Kau harus membersihkan lukamu,” kata Kiana.

“Kau juga harus—“

“Aku akan mengobati diriku sendiri.”

      Kiana memaksa Kumey pergi. Setelah beberapa saat, Kiana menyiapkan tenaganya. Ia melompat naik ke atas gedung.

Tak!

      Suara kakinya yang sudah mendarat di lantai dua, cukup keras. Kiana merasa aman tanpa ada seseorang yang melihatnya melompat seperti murid gila.

Sreg!

      Kiana mendelik. Ia menoleh setelah seseorang mengikatkan blazer dipinggangnya. Awalnya Kiana hendak memukulnya tapi gerakan tangannya berhenti.

“Kalau kau melompat lagi seperti tadi, bukankah rok yang kau pakai akan terhempas oleh angin? Pakai blazer milikku untuk menutupinya.”

“Rael!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
S Rohmah
Enak kali ya kalo punya kemampuan kek kiana,mau naik tinggal loncat,mau turun tinggal terjun.. Lah aku,terjun dari tangga aja keseleo .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status