“Aneh sekali mendengarmu berkata seperti itu,” ujar Dave yang baru keluar dari lift kemudian berjalan ke tempat mobilnya terparkir. Sejak kemarin ia sudah kembali ke Winter penthousenya setelah menyelesaikan beberapa tugas pekerjaaan yang diberikan Sam.
Kira-kira sudah satu menit tangan kirinya itu menggerayangi area belakang leher, memberikan pijatan singkat untuk otot-otot yang terasa kaku. Jujur saja, sekarang badannya terasa sangat lelah, padahal ia sudah tidur selama lima jam.
Semalam, Dave masih harus menyelesaikan beberapa berkas laporan yang berakhir hingga pukul dua dini hari dan paginya, ia juga masih harus mengerjakan urusan lain. Kesibukannya bukan tanpa alasan, bukan hanya karena ia seorang calon pewaris Hotel Polaris. Namun, karena ada sesuatu yang harus ia lindungi.
“Jangan terlalu berpikir rumit, aku ‘kan hanya bertanya, apa obatmu sudah diminum atau belum?”
Dave memindahkan ponselnya ke telinga kiri, tangan kanannya ia gunakan untuk mengeluarkan kunci mobil dari saku belakang celana. Saat ini, dirinya sedang bercengkerama dengan temannya, Sam via telepon.
“Dan aku jawab, apa kamu salah makan?” balas Dave. Hanya karena mendapat pertanyaan tidak biasa itu, kini kepalanya mulai terisi dengan berbagai spekulasi. “Apa ada wanita di rumahmu? Dengar, aku tidak akan mau ke sana kalau ada wanita. Juga, bukankah sudah kubilang, kalau ingin bermain, sebaiknya bermain di hotel! Haah, pokoknya aku tidak mau tahu, bersihkan bau mereka atau kita pin--”
“Berengsek! Sejak kapan aku bermain atau membawa wanita ke sini! Sudahlah, lupakan kalau tidak mau jawab.” Hembusan napas berat terdengar dari seberang sambungan. “Cepat kemari dan urus sendiri pekerjaanmu yang merepotkan ini! Hah, sial! Hari minggu pun tetap berakhir dengan pekerjaan. Gara-gara kamu, sampai saat ini aku masih melajang! Orang tuaku sampai khawatir aku mengidap penyakit sepertimu dan beralih menyukai sesama jenis!”
Dave tertawa mendengar gerutuan temannya. Yah, wajar saja pria di telepon itu marah-marah ... karena sekarang Sam pasti sedang lelah, sama seperti dirinya. Mereka sedang sibuk untuk menyiapkan pengambilahlian kepemilikan perusahaan lain.
“Calm down, man! Aku cuma heran, kamu yang sudah lama bersamaku, tapi baru ini menanyakan hal itu. Jadi, wajar 'kan, kalau aku berpikir ini aneh? Lagi pula, bukan salahku kamu melajang sampai sekarang. Percuma saja setiap malam menggoda wanita, tapi tidak ada yang berhasil kamu dapatkan,” sarkas Dave, bibirnya menyeringai puas menggoda temannya. Dulu, ia pernah bilang pada temannya itu, untuk jangan pernah berani pacaran kalau dirinya belum sembuh total! Entah Sam menuruti perkataannya atau memang temannya itu kurang beruntung dalam percintaan.
“Sialan!”
Dave tersenyum lebar seraya menyugar rambut saat sambungan telepon diputuskan sepihak. Kakinya kini sudah berhenti tepat di samping mobil jeep putih.
Baru ingin membuka pintu mobil, mata elang yang sedang berkaca itu langsung menangkap siluet seseorang yang hanya menyembulkan kepala dari belakang mobil yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri. Untuk memastikan, ia pun segera menoleh.
Tidak ada ... kepala yang menyembul di sana sudah tidak ada lagi. Akan tetapi, Dave melihat pantulan siluet manusia yang sedang membungkukkan badan, terlihat jelas sekali dari mobil yang berada tepat di depan orang tersebut.
Dave menarik satu alisnya. “Apa dia bodoh?” pikirnya, sembunyi di antara banyak mobil yang bisa memantulkan bayangan tubuhnya sendiri, itu suatu kebodohan. Jelas sekali kalau orang itu sedang memantau dirinya. Sebersit pikiran untuk membuat orang yang entah siapa di sana, agar mau memunculkan dirinya sendiri.
Dave membuka pintu mobil, kemudian kembali menutupnya dengan keras. Setelah itu, ia bersandar santai pada jeep putihnya. Tangannya bersedekap, kedua matanya memandang serius ke arah mobil yang memantulkan bayangan.
Selang semenit, orang di sana belum juga menampakkan diri. Mungkin, orang tersebut sedang menunggu suara mobil Dave. Pria itu pun memutuskan untuk kembali meluangkan waktu sambil menikmati hawa dingin yang mulai menyengat kulitnya.
Tiga menit sudah berlalu. Mulai kesal, Dave berniat untuk menghampirinya. Namun, baru ingin menggerakkan tubuhnya, bayangan itu pun bergerak dan perlahan mulai kembali menyembulkan kepalanya.
Pria beriris emerald itu terkejut, saat melihat mata almond di sana membulat besar kemudian memilih untuk kembali bersembunyi. “Wanita?” batinnya. Tubuhnya pun langsung merasakan desiran aneh.
Jujur saja, mengetahui gender orang yang bersembunyi itu membuat hatinya langsung merasa waswas. Sayangnya, ia belum bisa melihat jelas paras wanita tersebut, karena lilitan mafela hitam menutupi setengah wajah dari wanita bersurai chestnut di sana. Dave ragu, haruskah melanjutkan tindakannya sampai ia tahu siapa wanita itu atau melepaskannya saja?
Sialnya, ia belum meminum obat anti cemas. Pikirnya, hari ini hanya akan ke rumah Sam yang tentu tidak akan ada wanita di sana dan ia pun tidak berpikir untuk mampir ke tempat lain. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk tidak meminum obatnya. Terkadang memang seperti ini, sejak dua tahun lalu ia sudah mulai membatasi diri untuk tidak terlalu sering mengkonsumsi obat-obatannya.
“Hah, sial! Apa dia kiriman dari si berengsek itu? Tapi ....”
Dave tidak melanjutkan pemikirannya, ia mulai menerka-nerka siapa wanita yang terlihat sedang bergerak gelisah di sana. Berpikir, jika wanita itu dikirim oleh orang yang selalu menguji kesabarannya, tentu penampilan wanita tersebut tidak akan seperti itu. Apa ini trik baru? Begitu pikir Dave mengingat wanita di sana cukup memakai pakaian yang sopan, bahkan terlalu rapat. Tidak ada bagian tubuh yang terlihat kecuali rambut dan matanya. Biasanya, wanita-wanita yang dikirim padanya selalu tipe agresif dengan pakaian yang cukup menggiurkan mata pria.
“Siapa pun kamu, sebaiknya keluar atau akan aku melaporkanmu pada petugas keamanan sekarang juga,” seru Dave memutuskan untuk mencari tahu motif wanita itu.
Tidak ada tindakan dari sana, wanita itu tetap bergeming di tempatnya. “Aku heran bagaimana caramu masuk ke sini, keamanan di sini itu cukup ketat. Tapi, kalau kamu merasa menyesal, silahkan pergi saja. Namun, jika aku melihatmu sekali lagi, tentu kamu harus terima konsekuensinya. Perlu kamu tahu, aku, bisa mencari dan menyeretmu ke penjara atas tindakan mengganggu kenyamanan lingkungan di sini. Juga, aku akan mengatakan kalau kamu itu stalker yang ingin melukaiku, menerorku, dan kam--”
“Woah! Apa maksudmu berkata seperti itu? Aku bukan stalker! Dan juga, aku tidak mengganggu kenyamanan di sini!” seru Estelle, akhirnya keluar dari persembunyiannya. Penutup wajahnya pun dengan suka rela ia buka.
“Kalau bukan stalker, lalu apa? Berada di basement lalu bersembunyi untuk mengawasiku."
"Aku tidak mengawasimu! Aku--"
"Kalau begitu, kamu mau mencuri? Apa kamu mau mencuri sesuatu dari mobilku, hm?" sambar Dave memotong. Matanya semakin menatap tajam.
Estelle membelalakan mata. “Tuduhan apa lagi itu? Aku bukan orang yang seperti itu, mengerti?!” Debas napas kesal ia lakukan. Jujur saja, ia juga sadar dengan tindakannya yang termasuk menguntit ini. Namun, ia tidak sampai bermaksud untuk menjadi stalker sungguhan! Ia hanya ingin melihat diam-diam keseharian Dave, tidak lama, hanya beberapa hari saja. Daripada bertanya langsung, dirinya takut Dave akan mencekiknya kembali seperti waktu itu.
Kemarin, Sam sudah setuju untuk membantu Estelle dan pagi tadi via telepon, Sam memenuhi janjinya untuk membantu Estelle masuk ke dalam lingkungan tempat tinggal Dave yang memang cukup rumit. Pria itu juga berpesan agar Estelle segera kabur atau menghubunginya jika Dave mulai bersikap aneh ataupun mengamuk.
“Dikirim siapa?”
“Apa?” Estelle bingung dengan pertanyaan Dave, haruskah ia mengakui kalau keberadaannya di sini adalah murni keinginannya sendiri. “Kamu, tidak mengenaliku?” lanjutnya, merasa aneh juga, karena bagaimanapun ini bukan pertemuan pertama mereka.
Dave menghela napasnya, tiga detik kepalanya ia tundukan kemudian kembali memandang Estelle yang berada tujuh langkah darinya. “Apa aku harus mengenalmu?” ucapnya seraya memberikan tatapan tajam.
Dave mengeratkan rahangnya, bukan karena sedang menahan amarah, melainkan sedang menahan rasa mual sekaligus berusaha untuk menghentikan bayangan-bayangan menjijikan yang muncul tiba-tiba di kepalanya. Rasanya memang selalu seperti ini, setiap dirinya menghadapi wanita tanpa meminum obat anti cemasnya.
Kenangan masa kecil akan selalu menjadi tali berduri baginya. Sulit dilepaskan, semakin ia mencoba melonggarkan tali, semakin ia terjerat dan terluka. Alam bawah sadarnya enggan untuk berdamai dan memilih untuk menggenggam segala rasa sakit yang ia derita sejak dulu.
Estelle menyipitkan matanya. Angkuh. Satu kata untuk Dave. Sejak pertama bertemu, dirinya sudah bisa merasakan dinding tebal nan pongah ada dalam diri pria bermata emerald itu.
"Rasanya ingin tertawa mengetahui dirimu tidak mengingatku. Apa kamu manusia? Setidaknya, ingatlah pada perbuatan jahatmu!"
Dave menarik satu alis tebalnya. "Perbuatan, jahat?" gumamnya sambil mencoba mengingat siapa Estelle. "Kamu, wanita yang aku lempar ke Sri Langka?" Dave menyunggingkan bibirnya. "Apa ini? Apa suruhanku telah melakukan kesalahan, sampai kamu bisa kembali secepat ini?"
Estelle diam, ia tidak paham dengan jawaban Dave. Namun, satu hal yang bisa ia mengerti ... kalau Dave adalah pria iblis! Lempar ke Sri Langka? Apa dia membuang mayat ke sana? seperti itulah pikiran Estelle sekarang. Selang berikutnya, kedua kaki yang memakai sepatu boot ia gerakan untuk mendekat pada pria angkuh di sana.
Jantung Dave semakin berdebar saat iris indahnya menatap lekat kaki-kaki yang bergerak ke arahnya itu. Jarak yang semakin terkikis membuat Dave sulit mengambil oksigen di sana.
"Kamu tahu--"
"Urkh!"
Estelle berhenti, sedikit kaget dengan suara yang dikeluarkan Dave. Dirinya bertambah bingung. Ia menatap heran pada pria angkuh yang tiba-tiba membekap mulutnya.
"He-hei, kamu tidak apa?" tanya Estelle. Rasanya dejavu, ia ingat ekspresi Dave yang seakan sedang menahan sakit itu. Malam itu juga seperti ini. "Apa dia mabuk?" lanjutnya dalam hati.
"Diam!" desis Dave saat Estelle ingin bergerak kembali mendekatinya.
Dave kembali mengeluarkan suara ingin muntah. Lambungnya bergejolak mempermainkan dirinya, keningnya pun mulai penuh dengan keringat. Mata yang tajam kini mulai sayu. Perubahan yang membuat Estelle heran sekaligus cemas.
Bersambung ....
Jangan lupa tekan tanda + untuk menambahkan cerita ini ke list gudang kalian, serta rate dan komentarnya^^ terima kasih^^
Happy reading! ------ Dave menjauhkan tangannya dari kepala Estelle, lalu membuat sebuah kepalan untuk menutupi mulutnya yang berdeham canggung. "Aku baru ingat kalau pengurus rumah pernah berbicara mengenai kantung berisi celana. Coba kamu periksa di kamarku dan carilah di dalam lemari kecil, sepertinya aku menyuruh dia menaruhnya di sana," ucap Dave. Ia sungguh baru teringat akan hal itu. Sebuah tas jinjing berisi celana. Waktu itu dirinya sedang bergegas untuk pergi, jadi tidak terlalu menaruh perhatian pada apa yang ditemukan pengurus rumahnya itu. "Benarkah? Tapi, apa tidak sebaiknya kamu saja yang mengambilkan barangku?" Dave sedikit menaikkan satu alis. "Aku bukan pesuruhmu," serunya sambil menangkup dan sedikit menekan kedua pipi Estelle, membuat bibir wanita itu mengerucut. "Ck! Ya sudah, kalau begitu aku pinjam kamarmu juga. Aku harus mengganti celanaku," seru Estelle setelah melerai kedua tangan yang mengapit
Happy reading!------Satu tahun berlalu ...."Kemana yang lain?"Suara Dave menginterupsi ketenangan seorang wanita bersurai pixie yang sedang duduk di pinggir kolam, menengadah menikmati langit malam sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berada di dalam air."Kamu terlalu lama, Dave. Mereka sudah pulang," jawab malas Estelle, sekilas memandang Dave yang berdiri bersandar di tiang pintu, lalu kembali pada apa yang ia lihat sebelumnya.Secepat itu? Dave melirik jam tangannya, berpikir ini belum terlalu larut. Tidak lama kemudian, pria itu pun tersenyum kecil. Sepertinya, mereka mulai mengerti apa yang sedang ia butuhkan.Mereka yang di maksud adalah Valeri dan Sam. Akhir-akhir ini, mereka berempat sering menghabiskan waktu bersama, membuat Dave sedikit jengkel.Dave berjalan mendekat ke tempat di mana Estelle berada. "Maaf, aku tidak menyangka kalau urusanku ternyata memakan waktu sedikit lebih la
Happy reading!------Canggung.Itulah yang sedang dirasakan Dave sekarang. Berdiri di hadapan dua orang sambil menggendong rangkaian tulip putih sebagai pelengkap permintaan maafnya.Kemarin, Estelle menolak untuk diajak ke NightBar. Siang tadi pun wanita itu masih menolak ajakan Sam yang menawarkan untuk makan bersama Dave.Meski diri selalu beranggapan kalau tindakannya itu tidak melanggar aturan. Namun anehnya, hati malah merasa semakin bersalah, terlebih Sam terus mengatakan kalau dirinyalah yang salah.Karena perasaan itulah, malam ini Dave memutuskan untuk pergi mengunjungi rumah Estelle. Namun, Alan memberitahukan kalau sang kakak sedang berada di toko bunga.Estelle melirik bergantian pada buket kecil dan pada pemeluk bunga tulip putih itu. Tidak mengira kalau Dave akan mendatangi dirinya seperti ini.Meminta maaf pada teman saja bisa seromantis ini? Bagaimana jika dengan kekasihnya nanti? Pikir Est
Happy reading!------Tiga hari berlalu sejak hari kematian Louis dan Bertha.Tidak ada perubahan besar yang terjadi. Hanya saja, semua seolah terasa terlalu cepat dan sedikit tidak adil bagi Dave, sebagai korban. Dosa yang ditebus dengan kematian memang terlalu mudah. Namun ... entahlah, Dave sungguh tidak tahu harus bagaimana lagi.Setiap hari selalu dipenuhi pikiran kewaspadaan dan kecurigaan terhadap dua orang itu, tetapi sekarang tidak ada perasaan itu dan rasanya ... kosong. Meski kata ‘kosong’ itu masuk dalam artian baik. Hatinya tenang. Entah sejak kapan, tubuhnya terasa ringan seperti ini.Kepergian yang tidak menggerakkan hati, meski Dave akui dirinya begitu terkejut dengan kematian Louis, tambah terkejut lagi karena Callie ada dibalik kematian Bertha. Meski tidak membunuh secara langsung dengan tangannya, Callie tetaplah otak dari penyiksaan yang diterima Bertha. Begitu rapi pekerjaan sang ibu, hingga hukum ikut membung
Happy reading! ------ Sepasang kaki beralas sepatu hitam tergesa menghentak gelisah ke lantai. Dave memasuki rumah dengan sorot mata yang memandang ke arah ruangan, di mana sosok sang ibu baru saja mendudukkan tubuhnya. Menatap curiga pada Callie yang baru kali ini bisa ia kunjungi kembali setelah terbongkarnya sebuah rahasia tentang dirinya. Ingin hati, belum mau melihat wajah Callie, tetapi ada suatu hal yang perlu ia periksa. “Apa ini perbuatanmu?” todong Dave, berdiri angkuh di depan sang ibu yang tatapan yang sulit ia baca. Sosok ibu yang belum bisa Dave pahami--tidak--sejak dulu, Dave memang sulit memahami sikap dan sifat Callie. Setiap hari Dave hanya berusaha untuk memahami dan menjaga sang ibu dari suami yang licik. Melakukan itu semua, hanya karena wajah penuh kecemasan dan kekecewaan Callie masih tergambar jelas di kepalanya. Di mana, sang ibu menangis pilu dan terlihat hancur saat mengetahui dirinya mengidap
Happy reading!------“Em, ini bukan rumahku, Dave,” ujar Estelle dengan mata bergerak bingung memandang ke arah luar. Dave bilang mereka akan pulang, tetapi malah berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat tiga yang cukup besar dan luas.Sejenak sebuah kolam air mancur yang meluncur indahmenarik atensinya, tidak lama kemudian kembali melirik pada bangunan, Estelle memandang kaca-kaca tembus pandang yang menampilkan beberapa sepatu cantik dengan background desain dalam toko yang terkesan hangat dan elegan.“Cepat turun,” titah Dave sambil melepaskan seatbelt dan keluar dari mobil.Estelle menghela lalu merengut. Tangannya membuka sabuk pengaman hitam itubersamaan dengan mata yang mengekori tubuh Dave yang menghilang masuk ke dalam toko sepatu di sana. Sungguh, ia sudah sangat lelah dan ingin segera merebahkan diri, tetapi sepertinya Dave masih ingin berpetualang di jalan.Usai keluar dari m
Happy reading!------Estelle menjejakkan kaki telanjangnya di atas pasir putih dingin yang lembut. Berjalan di tepi pantai sambil mendengarkan debur ombak malam yang terdengar merdu dan menenangkan di telinga. Memejamkan mata, melangkah santai dengan dua sepatu bertali yang ia jinjing dibalik belakang tubuhnya.Membiarkan raganya diterjang angin laut yang dingin. Menghirup segar udara malam kemudian menghembuskannya perlahan, udara karbon dioksida yang keluar bersamaan dengan luncuran air hangat yang terjun dari mata yang terpejam.Tidak terdengar isakan dari bibir yang bergetar rapat itu. Tubuhnya terasa panas, meski bisa ia pastikan seluruh kulitnya sudah mendingin.Suasana nyaman dan damai di sana membuat wanita itu teringat akan percakapan dirinya dengan sang mantan beberapa menit lalu.“Harusnya, aku tidak mengangkat panggilannya,” sesal Estelle dalam hati.Sejak ia mengirimkan pesan untuk mempertegas h
Happy reading!------Empat hari berlalu ....“Lalu, apa keputusanmu?” ucap Andrew, terlihat tenang saat melayangkan pertanyaan setelah mendengarkan cerita Dave tentang kedua orang tuanya. Telunjuk kirinya mengetuk-ngetuk pelan meja kerja. Pun posisi punggung yang bersandar, statement yang cukup menguatkan bahwa dirinya sedang menanti pasien sekaligus temannya itu untuk membuat keputusan. Sebuah keputusan yang terkait erat pada asal mula fobia Dave.Tatapan yang sejak tadi terpaku memandang jemari yang saling terkait di atas pangkuan, mulai naik dan membingkai wajah sang dokter dari kejauhan lima langkah. Binar keraguan juga kebingungan jelas terpancar dari mata emerald itu. Dua suara yang sejak satu jam lalu saling bersahutan kini meredam cukup lama.Beberapa kali Dave mengeratkan rahang juga membuka sedikit bingkai mulutnya. Namun, selalu berakhir sama. Suara untuk jawaban dari pertanyaan Andrew enggan kelu
Happy reading!------Riuh angin malam menemani hati yang muram. Dave melempar pandang jauh ke tengah laut. Seakan ikut terbuai pada ayunan ombak yang menderu di sana, Dave puas melayangkan pikiran.Tidak ada yang mengganggu, urusan pekerjaan ia singkirkan. Sangat tidak bertanggung jawab--benar--dan Dave tidak peduli akan anggapan seperti itu. Hidupnya sudah kacau, untuk apa bertanggung jawab pada hal yang sudah mati-matian ia pertahankan? Yang pada akhirnya, semua terasa sia-sia.Dirinya hanyalah objek pembalasan dendam. Apa mereka pikir dirinya ini adalah manusia tanpa hati? Tidak mengertikah mereka bagaimana ia menjalani hidup selama ini? Bertahan dalam sebuah ancaman yang berakhir dengan menanggung rasa sakit. Ingin mengasihani diri sendiri, tetapi suara tawalah yang keluar membaur bersama riuh angin.Dave tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia cukup kagum dengan Callie yang begitu tega menyimpan fakta sepenting ini dan muncul pertan