Sudah lima hari Tasya bekerja sebagai asisten pribadi Radhika, dan selama itu dia tidak melakukan pekerjaan yang berarti. Radhika terlihat sangat sibuk, sedangkan dirinya banyak melamun karena tidak tau harus melakukan apa. Tasya jadi bingung. Sebenarnya untuk apa Radhika bersikeras membuatnya bekerja di sini, kalau pada akhirnya dirinya super duper gabut.
Perkerjaan rutin yang ia lakukan hanyalah membacakan jadwal yang dimiliki Radhika, jika Radhika meminta membatalkan salah satu jadwalnya ia hanya perlu mengkonfirmasinya ke Yoga. Menerima telepon sebelum di sambungkan langsung pada Radhika, dia biasanya memberitahunya jika ia sedang tidak bisa menerima telepon. Dan juga membuatkan teh tanpa gula setiap pagi untuknya.
Dan sisanya dia hanya duduk sambil menonton Radhika yang sedang bekerja. Walau dia tidak mau mengakuinya, tapi jujur saja Tasya menikmati pesona Radhika. Saat dia melong
Mereka akhirnya sampai, setelah berkendara selama sekitar tiga puluh menit.Jalanan cukup padat, karena hari ini adalah akhir pekan."Ayo turun," ajak Raka, dia mematikan mesin mobilnya lalu melepas sabuk pengamannya.Rakadan Tasyasegera turun dari mobil dan langsung masuk ke warung Bi Lastri. Suasananya masih seperti dulu bahkan perabotan dan tata ruangnya pun masih sama seperti saat mereka SMA."Aduh, saha eta? Udah lama enggak ke sini." Seorang wanita paruh baya datang menghampiri mereka.Bi Lastri masih sama seperti salam ingatan Tasya. Hanya saja sudah muncul beberapa keriput di sekitar wajahnya, juga rambutnya sudah mulai memutih di beberapa bagian."Bi Lastri, kangen." Tasyalangsung memeluk wanita tadi. "Bibi sehat terus kan?""Alhamdulillah bibi mahsehat terus.Kenapa atuh, menibaru ke sini?""Tuh,orang sibuk." Tasyamenunjuk Raka."K
Akhirnya mereka sampai, sekitar empat puluh menit kemudian. Senjamenghela napas karena taman bermain sangat ramai. Bisadipastikan jika mereka ingin menaiki wahana-wahana yang populer, mereka harus bersabar menghadapi antrean yang sangat panjang.Senin nanti Senjaharus kembali ke kost-an, karena dia tiba-tiba mendapat tugas kelompok untuk membuat sebuah rancangan bangunanyang sesuai dengan untuk ditempati para lansia. Sudah pasti dia akan sibuk karena harus melakukan survei juga ke beberapa lokasi.Ditambah lagi dia sudah masuk tahun ketiga. Sudah pasti ke depannya akan lebih sibuk. Juga ada sebuah mimpi yang belum dia capai dan tahun ini adalah kesempatan terakhirnya. Astaga dia terlalu antusias untuk membuat mereka dekat, sampai-sampai dia lupa kalau sebentar lagi dia tidak punya banyak waktu luang.Jadi hari ini dia benar-benar harus membuat Tasyadan Radhikalebih dekat, dan dia tidak boleh gagal. Dia harus semangat,
Semakin lama Radhika, semakin menghilang dari pandangan Tasya. Tasya bersandar pada sandaran kursi setelah Radhika benar-benar menghilang dari pandangannya. Kepalanya pusing. Sebenarnya apa yang sekarang sedang ia lakukan? Tasya tidak bisa menemukan jawabannya. Setelah bertemu Radhika, dia tidak bisa mengendalikan lagi hidupnya. Terlalu banyak kejutan dan dia belum terbiasa dengan itu.Tasya menengadahkan kepalanya dan menatap langit yang sekarang terhalang oleh dedaunan. Tiba-tiba Tasya merasa rindu pada ibunya. Semasa ibunya masih hidup, Tasya sering sekali curhat padanya. Dia selalu menceritakan semuanya pada ibunya, tanpa ada rahasia sedikit pun. Ibunya lah yang paling mengerti dirinya. Namun, Yang Maha Kuasa lebih menyayangi ibunya, sehingga lima tahun lalu ibunya di panggil ke sisi-Nya.Tasya masih merasa kalau itu hanyalah sebuah mimpi. Ibunya meninggal karena serangan jantung. Tidak ada satupun yang menyangka hal itu terjadi. Karena selama ini ibunya selalu ter
“Kalau ngantre, Aku enggak mau.”Senja tersenyum senang, dia mengangguk. “Tenang aja, Bang. Hari ini ada pertunjukan Fire Ball, orang-orang pasti lebih kepengen nonton itu.” Senja memeluk lengan Radhika, lalu menariknya. Dia juga memberi isyarat pada Tasya dan Raka, agar mengikutinya.Sepanjang jalan Radhika mendengar Senja beberapa kali terkekeh dan dia senyum-senyum sendiri, seperti orang bodoh. Radhika menjadi curiga, pasti ada yang sedang bocah ini rencanakan.“Tuh kan, sepi,” kata Senja saat mereka hampir sampai di wahana Bianglala.Seperti yang dikatakan Senja, tidak ada yang mengantre. Namun, Bianglala itu belum berputar, berarti kuota masih belum memenuhi. Senja menarik Radhika dan berlari menuju wahana itu.“Sisa berapa kereta, Kak?” tanya Senja pada petugas yang berjaga di wahana itu.“Sisa dua, Kak. Kalau sudah terpenuhi, wahana akan langsung dijalankan.”
Malam ini Radhika pulang ke rumahnya bersama Senja. Awalnya dia berniat kembali ke kantor setelah mengantar Senja pulang, tetapi Senja merengek dan berkata ingin menghabiskan waktu bersamanya, dengan alasan mereka akan sulit bertemu sebulan ke depan, karena dia harus kembali ke tempat kostnya. Padahal tempat kost Senja tidak jauh dari sini, dan tidak jauh juga dari rumah orang tuanya. Memang dasar bocah ini, dia bilang ingin mandiri seperti teman-temannya. Tapi pada kenyataannya, Senja masih manja.Tadi saat Om Budi sebenarnya menawarkannya untuk menginap di sana. Namun, Senja menolak. Dia bilang ingin berdua saja dengan Radhika. Walaupun sudah di bujuk oleh ayah dan ibunya, dia tetap saja bersikeras."Abang, kamu harus bahagia," ucap Senja tiba-tiba. Mereka kini sedang berada di balkon kamar Radhika. Karena Senja bilang ingin berbicara di sini.Radhika tersenyum tipis. Ia mengelus puncak kepala Senja. "Kamu kenapa? Sakit?" ejeknya.Senja menyingkirkan ta
Tasya berguling di atas kasurnya. Dia tidak bisa tidur. Radhika itu benar-benar tidak waras. Otaknya sudah rusak. Bisa-bisanya dia melakukan itu padanya. Kepalanya selalu panas jika mengingatnya. Tasya mengubah posisi menjadi duduk, dia mengambil bantalnya.“Radhika gelo!” Tasya memukul bantal tadi beberapa kali. “Sableng!” Tasya melempar bantalnya ke sembarang arah.Tasya sempat berpikir mengirimsantetuntuk Radhika. Namun, ia urungkan. Tasya masih ingat dosa. Dia tidak ingin menambah pekerjaan malaikat Atid, dosanya sudah banyak dan Radhika dengan kurang ajar menambah daftarnya. Tasya tahu dirinya bukan orang suci, dia masih banyak kekurangan. Namun, yang dilakukan Radhika itu salah.Jika masih sebatas berpegangan tangan Tasya masih bisa memaklumi. Beberapa waktu lalu, Radhika tiba-tiba memeluknya, dia mencoba untuk tidak marah. Namun, kali ini Radhika sudah keterlaluan. Bisa-bisanya dia menciumnya.
Pagi ini Tasyatidak ingin berajak dari kasurnya. Masa bodoh dengan pekerjaanya, toh dia tidak punya pekerjaan yang berarti.Untuk saat ini dia tidak ingin berangkat ke kantor. Karena dia berniatmenghindari orang yang bernama Radhika. Setelah kejadian kemarin, Tasyamengurung diri di kamarnya, dan keluar saat makan malam saja. Setelah itu dia kembali ke kamarnya dan meringkuk dibalik selimut tebalnya.Ayahnyasempat khawatir dan bertanya mengenai keadannya. Tasyamenjawab jika dia sedang tidak enak badan, lalu sang ayah menyuruhnya untuk beristirahat.“Ayah bawainsarapan buat kamu.” Sang Ayah membawa nampan berisi bubur dan susu vanilla.“Maaf, jadi ngerepotin Ayah.” Tasyabangkit dari posisinya lalu duduk bersandar pada sandaran ranjangnya. Dia sebenarnya merasa tidak enak hati pada ayahnya karena sudah berbohong. Tapi dia juga tidak mau bertemu Radhikasekarang.“Kamu
“Ayo kita bicara.” Radhika kini berdiri di depan meja Tasya.Tasya menatap Radhika dengan malas. Dia sudah kehilangan mooduntuk membahasnya. “Seperti yang Anda katakan sebelumnya … mari kita lupakan saja.”Radhika menghela napas. Astaga kenapa ini menjadi sangat rumit? “Saya akan jelaskan-”“Pak Dhika, sudah Saya bilang lupain aja.” Tasya memotong ucapan Radhika. Dia berdiri dari kursinya, “sebaiknya saya mulai bekerja. Saya akan menyiapkan teh untuk Bapak.” Tasya berjalan meninggalkan Radhika yang kini merasa bingung dengan situasi mereka sekarang.Radhika melonggarkan ikat dasinya. Kepalanya seakan mau meledak, Tasya benar-benar tidak bisa ia tangani dengan mudah. Radhika kembali ke mejanya, ia berniat untuk menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda.Sebenarnya gameini sudah selesai, hanya saja ada beberapa hal yang menurutnya kurang sesuai dan