Share

Penasaran

Setelah kejadian di stasiun itu, kini Raka seakan terlihat penasaran pada Rania. Mengapa demikian?Entahlah, pria itu pun tak mengerti.

Waktu menunjukkan pukul enam pagi, Rania bangun seperti biasa. Gadis ceria ini terlihat tak bersemangat. Entah apa yang terjadi padanya, hanya dia yang tahu.

Walaupun masih agak kesal dengan kejadian kemarin, namun Rania mencoba untuk tak mencampur aduk-kan dengan masalah pekerjaan. Apalagi hari ini, baru kedua harinya ia bekerja di perusahaan Raka.

“Aku harus mandi secepatnya. Sebaiknya, aku tak bersikap seperti ini,” gadis ini mencoba kembali tersenyum dan melupakan semua kejadian kemarin.

Langkah kakinya langsung menuju kamar mandi. Rania tak ingin Buk Tuti marah, hanya karena ia terlambat datang.

“Aku tak boleh malas-malasan. Kasihan, Buk Tuti. Ia sudah cukup tua untuk marah dan membuang energi,” fikir Rania.

Setelah selesai mandi dan bersiap-siap, kini Rania langsung turun ke bawah. Tampak mami dan papinya lagi duduk di meja makan.

“Pagi Mi,Pi,” sambil mencium pipi kedua orang tuanya seperti biasa.

“Mata kamu kenapa, sayang?” Aulia dengan nada khawatir.

Marcel memandangi wajah sang Istri yang terlihat panik.

“Mami jangan lebay gitu, deh. Jangan bikin Papi panik dengan ulah Mami,” Marcel menyela.

“Papi kenapa sih, marah-marah?Apa Papi nggak lihat mata anaknya?Tuh, tuh,mata Rania bengkak gitu. Papi sih, pake kacamata,” ketus Aulia.

Marcel kehabisan kata-kata karena mendengar ucapan sang Istri. Ia tak tahu harus menjawab apalagi pada Aulia. Memang tak asing lagi, jika Aulia bersikap seperti itu pada sang Putri mereka.

“Cepat jawab Mami. Kenapa mata kamu bengkak kayak gini?Duh Rania, kamu ngapain aja?Kamu pulang jam berapa semalam?” tanya Aulia dengan tatapan curiga.

“Kok Mami, melototin aku sih. Ayo Pi, belain dong!” jawab Rania manja.

“Mami..., jangan bikin anaknya takut kayak gitu,” bela Marcel.

Sambil tertawa kecil, Rania terlihat sangat bahagia dengan kehangatan keluarga mereka. Aulia cemberut karena ditantang oleh suami dan anaknya.

Sungguh beruntung menjadi Rania. Selain cantik, pintar, baik, Rania juga adalah anak yang ceria dan selalu membuat orang tuanya bangga.

Waktu sudah menunjukan pukul  enam lewat tiga puluh menit, Rania harus segera pergi bekerja.

“Mi, Pi,Rania berangkat kerja dulu!” pamit Rania.

“Habiskan dulu susunya, sayang. Nanti, Mami yang antar ke tempat kerjamu,” Aulia menawarkan.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Marcel.

“Nanti Papi anterin sampai di depan tempat kerjamu. Duduk dan habiskan susunya,” ujar Marcel menambahkan.

Agar orang tuanya tak kecewa, akhirnya Rania pun mengikuti permintaan mereka. Ia tersenyum manis dan kembali ke tempat duduknya. Gadis ini meminum susu tanpa ada yang tersisa.

“Susunya udah habis Mi, Pi. Boleh, Rania pergi sekarang?” ucapnya seraya menunjukkan gelas susu yang ia minum.

Di rumah itu, Rania di layani bak seorang putri. Jika mau, dia bisa saja di layani sampai sepuluh pembantu yang akan mengurus keperluan pribadinya, namun Rania tak akan bertindak semaunya. Walaupun dikatakan kategori orang kaya-raya, akan tetapi Rania lebih nyaman dengan dirinya sendiri tanpa harus dikaitkan unsur kemewahan yang sudah melekat dalam dirinya sejak lahir. Itulah dan begitulah Rania dalam bersikap.

“Rania pergi dulu ya, Mi, Pi,” pamitnya.

“Tunggu sebentar!Kamu belum jawab tentang pertanyaan Mami sama Papi kemarin? Sebenarnya, anak Mami udah kerja dimana?” Aulia dengan tatapan menyelidiki.

“Rania kerja di tempat bagus, Mi, Pi. Perusahaannya gede bangat. Rania senang bisa masuk ke perusahaan itu,” mencoba mengelabui orang tuanya. Ia tak punya kesempatan panjang untuk menjelaskan pada Mami dan juga Papinya.

Rania berusaha menyembunyikan yang di alaminya sekarang. Benar-benar sangat menyiksa hingga ke dalam batin.

“Boleh, Rania pergi sekarang?” tanya gadis ini sambil melirik ke arah Marcel dan Aulia.

“Iya, sayang. Kamu boleh pergi sekarang,” Marcel tersenyum.

“Tunggu sebentar, sayang. Nanti, Mami suruh Pak Denis untuk mengantarmu ke tempat kerja,” Aulia dengan tatapan memaksa.

“Nggak perlu, Mi. Rania mau berangkat naik motor aja. Mami kan tahu sendiri, kalo Rania sekarang lagi menyamar. Mami nggak perlu khawatir, Rania bisa jaga diri kok,” Rania dengan nada meyakinkan.

“Ya sudah, kamu hati-hati bawa motornya,jangan ngebut!Aduh, kasihan bangat nasib anak Mami!” Ibu satu anak ini masih dengan perasaan khawatir.

Marcel hanya menggeleng kepala, kala melihat reaksi sang Istri yang begitu over protektiv pada anak gadis satu-satunya.

“Udahlah, Mi. Rania itu mau pergi kerja, bukan lagi ke luar negeri. Jangan drama lagi, Mi,” goda Marcel yang terlihat gemas pada sikap istrinya.

“Papi itu nggak pernah ngerti perasaan Mami. Tau ah, bukan khawatirin anak gadisnya, malah ngeledekin Mami terus,” ketus Aulia.

“Kok, Papi lagi yang di salahin. Tuh, lihat kelakuan Mami kamu, ia selalu menindas Papi. Rania bisa lihat sendiri, kan?” Marcel masih terlihat senang dengan dramanya.

Rania tersenyum bahagia, ia merasa jadi orang paling beruntung di dunia ini karena memiliki kedua orang tua yang selalu terlihat akur, hangat dan saling menyayangi satu sama lain. Benar-benar gadis beruntung.

Sambil tersenyum tipis, Rania menenangkan kedua orang tuanya agar tak lagi saling menyalahkan. 

“Kali ini, Rania belain Papi. Mami nggak boleh nyalahin Papi terus, Mi. Kan,kasihan kalo Papi Rania di marah-marah terus,” ledek Rania.

“Oh, jadi gitu. Sekarang kalian berdua mau nyerang Mami?Rania juga pake bela-belain Papinya yang jelas-jelas terlihat salah. Mami marah, sekarang,” Aulia masih dengan nada ketusnya.

Ayah dan anak ini tertawa lepas, kala mendengar pengakuan Aulia yang terdengar polos namun sangat menggemaskan di telinga Rania dan juga Marcel.

“Hahahaha...,Mami itu kalo marah ya, jangan dibilang-bilang ke Papi dan Rania. Biar kami berdua yang nebak sendiri kalo Mami emang lagi marah-marah,” Marcel dan sang Putri tertawa se jadinya.

“Tau ah, kalian rese. Mami mau ke kantor sekarang,” ketus Aulia lagi.

“Gara-gara Mami sama Papi, Rania jadi telat pergi kerja. Rania duluan. ya!” gadis itu mencium punggung tangan Marcel dan Aulia.

Gadis ini berjalan terburu-buru. Ia mengendarai sepeda motornya menuju kantor.

“Astaga, aku pasti dimarahin  Pak Raka!Bagaimana aku bisa melihat wajah pria yang tak punya hati seperti dia?Tega sekali, ia meninggalkanku sendiri di stasiun yang tak berpenghuni,” wajah gadis ini berubah seketika. Ia teringat kembali kejadian semalam.

Rania tak tahu jika sang Direktur kembali lagi ke tempat itu, untuk menjemputnya . Alhasil, sang Direktur melihat suatu pemandangan yang sangat aneh dan membuatnya curiga. Sekarang pun, pria arogan itu masih penasaran atas kejadian semalam.

Tak berapa lama, Rania sampai juga di tempat kerjanya. Ia tak tahu harus memasang ekspresi seperti apa, ketika harus berpapasan dengan sang Direktur. Apa harus marah, atau pura-pura bahagia?Entahlah.

Dengan cepat, gadis ini langsung memasuki perusahaan besar itu. Rania pergi ke ruangan untuk mengganti seragam kerja seperti biasa. Untung saja, gadis ini tak lambat datang. Waktu masih tersisa lima belas menit untuk mulai beraktivitas di dalam kantor.

Setelah mengganti pakaian, ia langsung masuk ke dalam ruang kerja khusus OB. Rupanya, Buk Tuti telah berada di dalam ruangan mereka. 

Rania pun menyapa dengan ramah.

“Selamat pagi, Buk,” sapa Rania dengan senyuman tipis.

“Pagi juga,” Buk Tuti dengan nada datar.

Gadis ini merasa tak enak hati, ekspresi Buk Tuti terlihat sangat dingin tak seperti biasanya. Rania bisa merasakan itu.

Tiba-tiba Valen datang dan menepuk pundak Rania.

“Hey, apa yang terjadi antara dirimu dan juga Pak Raka kemarin?Aku sangat penasaran!Di antara semua pegawainya, hanya kamu yang bisa membantah beliau. Aku salut dengan keberanianmu!” Valen memuji. Rekan kerja Rania, memang terkesan cerewet. Walaupun demikian, ia juga sangat ramah dan mudah bergaul dengan orang lain.

Rania hanya tersenyum dingin, gadis ini merasa enggan untuk membahas sang Direktur yang berhati es itu.

“Aku tak ingin membahas tentang Tuan Raka. Lebih baik, kita ngobrol tentang hal yang lain,” Rania datar.

Melihat ekspresi itu, barulah Valen mengerti jika Rania tak suka dengan pembahasan mengenai sang Direktur mereka.

Tak lama kemudian, ada seorang pria yang bertubuh tegap, sorot matanya terlihat sangat tajam, mata yang agak kecoklatan dan rambut dengan gaya curly, pria itu tak lain adalah Bara sang Asisten Raka.

Bara terkenal tak banyak bicara dan tak suka basa-basi. Ia yang mengurus semua keperluan sang Direktur. Pria yang usianya tiga puluh dua tahun ini, masih terlihat jomblo. Kisah asmaranya tak ada yang tahu, termasuk Raka. Ia benar-benar pria yang misterius dan tak kalah dari sang Bos.

Bara pergi ke arah Buk Tuti dan mencari gadis yang bernama Rania. Rupanya Bara datang ke ruangan ini, atas perintah dari Raka.

“Suruh gadis yang bernama Rania agar ke ruangan Pak Raka sekarang. Jangan lama dan membuat sang Direktur menunggu!” Bara dengan nada tegasnya.

Buk Tuti bingung, ia tak tahu apa yang terjadi antara sang Direktur dan pegawai baru ini. 

“Baik,Pak Bara. Saya akan menyuruhnya kesana sekarang,” jelas Buk Tuti.

Banyak para wanita di dalam ruangan itu terpesona, dengan ketampanan Bara si Asisten cuek bak kulkas. Tak sedikit penggemar dari Bara yang mengagumi pria yang diberi gelar jomblo sejati.

Setelah menyampaikan amanat dari Raka, akhirnya si Asisten kembali lagi bekerja.

Kemudian Buk Tuti menghampiri Rania untuk menyampaikan maksud dari kedatangan Bara sang Asisten tadi.

“Anda disuruh ke ruangan Pak Raka, sekarang!” ucap Buk Tuti tanpa berbicara banyak.

Mata Rania langsung terbuka lebar dan sorot matanya terlihat bingung.

“Mengapa si Arogan memanggilku ke ruangan pribadinya?Apa aku harus menerima penghinaan lagi?” Rania membatin.

Walaupun masih bertanya-tanya, akhirnya gadis ini memutuskan untuk tetap pergi ke ruangan Raka.

“Ayo kesana, sekarang. Pangeran tampan itu sedang menunggumu,” goda Valen.

“Apaan sih, len. Rese ah,” Rania yang terlihat kesal.

Sambil berjalan, gadis ini masih terus memikirkan apa yang akan terjadi nantinya.

Sampai di depan pintu ruangan Raka, gadis ini seakan ragu untuk mengetuk pintu sang Direktur. Ia terlihat khawatir, kesal dan juga merasa canggung dengan kondisinya sekarang.

Tiba-tiba saja, suara dari dalam ruangan menyuruhnya masuk.

“Ayo cepat masuk sekarang!” perintah suara asing itu.

“Siapa yang menyuruhku masuk, ya?Mengapa ia tahu, jika aku telah berada di depan pintu ruangan ini?” Rania masih dalam ekspresi bingung.

“Tak perlu bingung, cepat masuk sekarang!Jangan membuatku lebih marah!” jawab suara asing.

Suara itu seakan mengetahui dengan apa yang ia fikirkan sekarang. Benar-benar ajaib.

Padahal, Raka telah memasang CCTV di depan ruangannya. Pria ini memantau Rania di balik layar.

Akhirnya Rania membuka gagang pintu itu, secara perlahan. 

“Permisi,” nada khawatir. Rania masuk dan menghampiri sang Direktur yang sementara duduk santai.

“Ada apa memanggilku kesini?” nada datar Rania.

“Apa tak boleh aku menyuruh karyawanku kesini?Aku yang bosnya disini. Ikuti aturanku bukan aturanmu!” Raka sinis.

Rania tertunduk sejenak. Mulut Rania seakan terkunci rapat dan enggan membantah sang Direktur. Ia tahu, sia-sia saja membantah pria yang tak punya hati.

Tanpa berfikir panjang, Raka langsung bicara pada intinya. Ia tak suka basa-basi dan bertele-tele.

“Siapa yang menjemputmu kemarin?” tanya Raka. Wajah pria tampan ini seakan menyelidiki.

“Apa maksudmu?” Rania berusaha mengelabui Raka.

“Apa benar-benar harus ku ucapkan lebih jelasnya?” Raka mencurigai.

Rupanya Rania baru mengerti dengan maksud sang Direktur.

“Apa dia melihatku di jemput, kemarin?” Rania membatin.

Wanita ini benar-benar telah kehabisan akal untuk mengelabui sang Direktur yang aneh ini.

Rania pun tak mengerti, mengapa sang Direktur sangat tertarik dengan kehidupan pribadinya?

Raka yang masih belum mendapat jawaban pasti, tentunya membuat ia semakin penasaran pada Rania sang OB yang membuatnya menjadi seperti itu.

Bagaimana kisah selanjutnya?

Penasaran?!

Baca kisahnya hanya di GN!!

Karyanya oke-oke

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status