Share

Bab 1 : Karier

Bunyi roda koper yang berpacu dengan lantai dingin bandara terasa seirama dengan derap langkah sneakers yang ku pakai. Seharusnya semalam aku tidur lebih cepat. Jadi tidak perlu terlambat seperti ini.

"Maaf atas keterlambatan saya, Pak. Saya pastikan tidak akan mengulangi lagi,"ucapku menyusul langkah general manager dan para komisaris besar perusahaan.

"Anda hanya terlambat tiga detik, Nona Gita. Tidak masalah menunggu perempuan sedikit lebih lama,"ucap pemilik saham terbesar perusahaan.

Wajah menawan dan saham yang dimiliki sepadan dengan jumlah istrinya. Pria itu memiliki karakter tak kalah buruk dari playboy jalanan yang kerap meresahkan kaum hawa. Bedanya dengan harta yang dia miliki cukup untuk menarik perempuan. Entah selamanya maupun hanya semalam.

I hope you understand what I mean.

"Bagi saya disiplin adalah segalanya. Tentu itu sangat mengganggu,"ucapku melangkah lebih cepat menjauhi pria aneh itu.

Berdekatan dengannya hanya membawa aura negatif. Entah berapa banyak asisten yang menjadi korban tamparan istrinya. Seharusnya yang mendapatkan tamparan itu suaminya. Tapi sepertinya harta dan wajahnya itu sudah membutakan matanya.

"Silahkan, Nak Ayana,"ucap seorang pria tua, manager divisi keuangan.

Pria itu tidak bermasalah di lapangan dan sebagai suami tidak meresahkan istrinya. Tapi tidak mungkin pria itu yang ku inginkan. Sungguh Azhara sepertinya perlu memperbaiki pikirannya. Berbeda dengannya yang hidup di lingkungan cenderung glamor. Sekalipun di industri memiliki penghasilan sepadan tidak cukup membuat penghuninya sama.

Pramugari yang sibuk menata kabin first class saja sudah cukup membuatku bisa membaca keadaan. Gadis tinggi semampai dengan tubuh bak model majalah fashion. Karakternya yang lemah lembut itu sungguh memukau hati di sekitarnya. Akh, lagi pula aku belum menemukan keinginan untuk menikah dan mengurus anak. Bermain hanya membuang waktu.

Semua itu terlalu merepotkan untuk seorang Ayana Diantha. Aku selalu berdoa agar jodohku diberikan saja pada orang lain. Jadi dia tidak akan menunggu sampai menua. Sepertinya doa ku terkabul. Sampai sekarang sekalipun banyak yang berusaha mencarikan jodoh, hasilnya nihil. Tidak ada satupun yang tulus maupun sesuai.

Jus tomat yang tersaji di depan mata membuatku menghela nafas pelan. Buah bewarna merah yang terasa menggoda itu hanya berlaku pada orang lain saja. Tidak padaku.

"Mbak saya boleh minta air putih saja? Saya alergi tomat,"ucapku sopan.

"Baik Mbak,"ucap pramugari mengganti minuman yang tersaji.

Mataku menatap awan di ketinggian dari jendela sebelah sembari menikmati penerbangan. Pekerjaan Azhara seindah ini namun risikonya saat salah perhitungan bisa menyita nyawanya sendiri. Sekalipun melompat keluar tidak ada yang menjamin keselamatannya.

Bugh

Tubuhku refleks tegap setelah sesuatu yang berat menimpa perut. Mataku melirik seorang anak kecil melemparkan senyum padaku. Wajah yang disertai banyak liur nyaris membuatku mual dibuatnya. Balita mana yang dilepaskan orangtuanya disaat penerbangan berlangsung?

Akh, bukan. Kalimat itu kurang tepat. Orangtua mana yang melepaskan balitanya saat penerbangan berlangsung? Apa dia sudah kehilangan akal? Apa menurutnya ini taman bermain? Dan kenapa harus aku yang mendapatkan anak berliur ini?

Mataku melirik kemeja yang basah terkena liurnya. Masalahnya aku tidak berdiri di tengah kabin hingga membuatnya tidak bisa memilih jalan lain. Aku bahkan duduk di sisi paling ujung single seat. Lirikan mata tajam yang tanpa sengaja terpaku begitu saja membuatnya terdiam menatapku horor sebelum berlalu pergi.

Setelahnya hanya terdengar tangisan dari sisi lain kabin. Semua itu semakin seperti kutukan bagiku. Bagaimana bisa setiap waktu aku harus bermasalah dengan anak-anak dimanapun berada? Apa aku ini memiliki takdir buruk seperti itu?

"Maaf Mbak. Tadi saya sempat ke kamar mandi. Tidak tahu kalau ada anak kecil kemari,"ucap Celine membuatku menghela nafas pelan.

"Tidak masalah, Celine. Gita juga harus belajar menjadi Ibu juga nanti kalau sudah menikah,"ucap pria muda seusiaku dari divisi operasi.

Mataku menatapnya terlihat lebih baik dari apa yang sudah terbayang di kepala. Tampilannya terlihat jauh lebih segar dengan kemeja dan jasnya.

"Kalau saya mau, Pak. Tidak masalah Celine, kembali saja ke tempatmu. Lagipula sepertinya Anda terlihat menyimpan banyak beban di balik wajah segar itu,"ucapku menarik senyum kecil.

"Wah, Anda sangat salah kali ini. Saya sudah memikirkan lagi kalimat Anda dan memang tidak ada gunanya. Lagipula saya hanya khawatir jodoh saya datang di semua waktu. Jadi, saya harus selalu terlihat rapi dong. Nah, Anda pasti perlu ini,"ucap Altezza menyerahkan lembar tisu basah membuatku terkekeh.

Sangat disayangkan pria baik sepertinya selalu berakhir naas dalam dunia percintaan. Tapi ku pikir itu lebih baik sebelum tercebur dalam jurang pernikahan.

"Anda itu pria tapi suka koleksi benda seperti ini?,"tanyaku menggeleng tak percaya.

"Bukannya suka koleksi. Tapi semua itu terkadang kita perlukan beberapa waktu. Ada untungnya juga kabar dari Celine semalam. Jika saja dia mengajak divisi surveyor yang terjadi bukan seperti ini. Aku mungkin masih kepikiran untuk banyak hal,"ucap Altezza membuatku mengangguk mengerti.

"Aku tidak melihat Stela beberapa hari ini. Kemana dia?,"tanyaku.

"Stela mengambil cuti menikah. Bukannya kamu sudah diberitahu Celine perjalanan ini sekaligus mengunjungi Stela. Bagi manager seperti kita di hari pertama tidak dibutuhkan komisaris,"ucap Altezza membuatku mengangguk pelan.

"Sepertinya itu alasan Celine menyusun jadwal untukku kemarin. Baiklah,"ucapku bersandar kembali menikmati perjalanan.

Semoga saja.

"Mbak. Maaf, keterlambatan saya membuat Anda terhambat. Ibu Anda berusaha menghubungi perusahaan berulang kali,"ucap Celine membuatku memutar bola mata malas.

"Tidak masalah. Maaf merepotkanmu,"ucapku tidak heran mendapati perempuan itu menghubungi.

Sebentar lagi hari libur, pasti menghubungi memintaku pulang dengan menyertakan tambahan membawa pulang calon menantu. Entah apa yang dia pikirkan saat ini?

"Aku siap kamu kenalkan lagi kok, Git,"ucap Altezza terkekeh.

Pria ini agak aneh ku pikir. Apa menjadi pria langganan yang ku bawa menghadap kedua orangtua itu hal yang membanggakan? Entahlah, setidaknya dia membantu. Meskipun aku yakin kedua orangtua ku tau. Kami hanya dua orang yang saling berencana membohongi mereka hanya saja menghargai akting aktornya.

"Sepertinya begitu. Dengan siapa Stela menikah? Teman?"tanyaku membuang fokus perhatian.

"Dengan seorang tentara dan sepertinya aku juga akan mempunyai asisten baru. Tentara harus siap dimana saja ditempatkan dan ya, tidak mungkin dirinya harus terus menerus berpisah dari suaminya. Memang mencari jodoh itu susah,"keluh Altezza.

"Kamu masih normal. Lagipula kamu baru menginjak usia 34 tahun. Masih banyak kesempatan bertemu dengan perempuan yang tepat. Berbeda dengan ku. Perempuan berusia 31 tahun hanya menjadi bahan cibiran tetangga. Sudah tidak ikut membantu perekonomian, kerjaannya ikut campur,"ucapku mengeluarkan isi kepala.

Selain malas ditanya pasangan, beberapa alasan malas tinggal di rumah adalah menjadi bahan gunjingan tetangga. Bukannya aku tidak ingin bersosialisasi, tapi jika terus menerus mendengar itu hanya memanaskan telinga saja. Apartemen jauh lebih menarik bagaimanapun bentuknya.

"Aku pernah mendengarnya sesekali. Sudah pernah ikut kencan buta?,"tanya Altezza membuatku menggeleng pelan.

"Merepotkan. Aku tidak akan melakukan hal sia-sia untuk mencari pria. Lagipula aku tidak tertarik,"ucapku menutup perbincangan kembali tenggelam dalam ketenangan menjelang mendarat.

-&-

Iringan komisaris segera dijemput helikopter menuju ruang pertemuan di Gresik. Sementara manager divisi yang tidak sebanding seperti kami masih diberikan keleluasaan menikmati perjalanan dinas.

"Celine. Kemarin itu saya sudah coba perbaiki sesuai keinginan Pak Ramli mengenai perubahan data yang akan tersaji. Apa kamu sudah mengecek kembali?,"tanyaku sembari membenarkan letak kacamata hitam menghalau silau sinar mentari Bandara Juanda.

Dibandingkan dengan gambaran khayal novelis, aku malah terlihat sangat sederhana. Penampilan juga tidak akan mengubah cara pikir tetangga kanan kiri rumahku. Berhias hanya membuat semakin banyak terdengar celotehan tidak berguna.

"Pak Ramli kemarin juga meminta ku mengoreksi data. Ada apa dengan Pak Ramli? Sepertinya tidak biasa dirinya berbeda seperti ini?"tanya Altezza heran membolak-balikkan layar tablet nya.

"Sudah saya perbaiki, Mbak. Maaf menyela tapi dari informasi yang saya terima, Pak Ramli sudah menyerahkan kekuasaan pada putranya. Tapi belum diangkat dengan resmi,"ucap Celine membuatku mengangguk paham.

Pergantian posisi seperti itu seharusnya diberi tahu pada seluruh karyawan. Hal itu terkait kinerja pimpinan agar bisa dimengerti anggota. Tapi sebagai bawahan tidak ada yang bisa dilakukan selain menurut.

"Kopermu kali ini akan kamu isi apa dari kota ini, Git?"tanya Altezza.

"Entahlah, aku saja bahkan tidak memikirkan buah tangan yang mungkin saja bisa ku dapat disini. Lagipula kita sering kesini, untuk apa membawa buah tangan? Apa kamu sedang membujukku berwisata kuliner?"tanyaku.

"Kamu memang selalu cerdas, Gita,"ucap Altezza membuatku menggeleng tak percaya.

"Aku sepertinya harus fokus dengan pertemuan mitra kali ini. Terlebih kamu tau sendiri pimpinan sekarang berganti. Kalau mau berkeliling ajak saja Celine,"ucapku.

"Yang ada Celine kepikiran pekerjaan terus. Mana mungkin aku bawa sekretaris tanpa bosnya. Eh, ngomongin masalah data yang minta di ubah putranya Pak Ramli sepertinya memang suka hal berbau hijau, ya,"ucap Altezza membolak-balik slide.

Belum sempat mataku melirik slide yang ditunjukkan Altezza, sesuatu terasa menghempas tubuh pelan. Beberapa saat hingga sedikit terasa terhuyung.

"Mbak. Ini Riana, ya. Titip salam buat Dirga,"ucap seorang perempuan asing menyerahkan gadis berusia 7 tahun padaku.

"Maaf saya tidak mengenal dan tidak mempunyai hubungan dengan Anda,"ucap Celine segera menyusulnya.

"Saya tidak punya waktu berdebat karena ada urusan lain,"ucapnya memasuki taksi melaju meninggalkan bandara.

Mataku menatap heran Altezza sejenak sebelum akhirnya tawanya pecah. Ada apa ini? Apa aku menjadi korban trend anak milenial menyesatkan, setelah menjadi korban trend menguji amarah? Apa sekarang tidak ada trend yang lebih waras lagi?

"Berhenti tertawa Altezza!,"titahku kesal.

Belum selesai jetlag yang ku alami, sudah menerima hal aneh seperti ini. Sebenarnya apa dunia benar-benar sedang memberiku kutukan aneh itu?

"Tante, ayo ke tempat Ayah,"ucapnya menarik baju ku.

"Kamu ikut saya, ya,"ucap Celine segera mengambil alih.

Dirinya cukup paham emosiku yang tidak pernah terkendali di dekat anak kecil. Bahkan kamera saja mulai bergerak mengintai dimana-mana.

"Nggak mau. Aku maunya sama Tante,"ucapnya memeluk kakiku yang terbalut sneakers.

"Kita tinggalkan saja. Tempat ini ramai, pasti ada yang akan mengambilnya. Kita sudah terlalu lama disini. Pasti manager yang lain sudah menunggu,"ucapku melirik jam tangan enggan berpikir repot.

"Tante,"ucapnya memeluk kakiku terlepas begitu saja saat mengambil langkah panjang meninggalkan bandara.

Sebuah mobil SUV berhenti disertai dengan beberapa orang mengenakan logo mitra perusahaan membuatku segera melangkah yakin. Namun teriakan dan tangisan menyebalkan gadis kecil itu membuat riuh sekitar.

"Mbak. Mentang-mentang masih muda, apa susahnya mengakui anak?"ucap seorang wanita menarik koperku.

"Maaf, jangan mengganggu,"ucap Celine berusaha membuat jarak memudahkan langkahku dan Altezza.

"Astaga. Ternyata anak muda yang tidak mau mengakui anaknya itu ada ya. Mentang-mentang sekarang sudah punya pacar mapan lupa anaknya. Masa anaknya ditinggalkan di bandara".

"Anaknya kurus sekali seperti tidak diasuh berbeda dari Ibunya yang glamor".

"Mohon menjaga jarak. Aduh,"ucap Celine terjerembab di atas lantai dengan begitu memalukan baginya.

"Mbak. Orang yang sulit punya keturunan selalu berharap punya. Kamu yang sudah dikasih malah ditinggal. Ibu macam apa kamu?"tanya seorang perempuan membalik paksa tubuhku.

"Berdirilah Celine. Mari kita abaikan saja. Altezza, bisakah membantu menarik koper?"tanya ku enggan meladeni membantu Celine berdiri memasuki mobil.

"Tentu saja. Kali ini demi popularitas di jagat maya orang-orang terlalu agresif,"ucap Altezza mendukung argumen ku.

"Tante. Jangan tinggalkan aku,"ucapnya memelas membuatku menghela nafas menarik tangannya lepas dari kaki.

Tanpa peduli cibiran dan kamera, tujuanku saat ini ingin segera menuju pusat informasi bandara. Tangisan dan jeritan yang begitu berisik tidak menghalangi langkah jenjang ku menyelesaikan pekerjaan ku.

"Permisi. Saya mau menyerahkan anak yang kehilangan keluarganya. Saya tidak tau anak ini dan saya yakin ini hanya bagian konten kreator saja. Saya tidak punya hubungan apapun dengan anak ini,"ucapku lugas.

"Baik Nona. Terimakasih dan maaf telah mengganggu kenyamanan Anda. Kemari sayang siapa namamu? Biar kami temukan dengan cepat orangtuamu,"ucap penjaga loket pusat informasi bandara berusaha merayunya.

"Riana Elvina Atmaja. Ayah yang menitipkan ke Tante. Riana janji nggak nakal. Tapi jangan tinggal Riana disini,"ucapnya memeluk erat kakiku.

"Dengar. Saya tidak kenal Ayahmu,"ucapku sebal.

"Sepertinya anak ini mengenal Anda, Nona. Akan lebih baik jika Anda membawanya saja,"ucap penjaga membuatku mengerutkan kening tidak percaya.

Membawa anak kecil?

Cih, mimpi buruk apa yang tengah ku alami semalam? Bahkan dia bertingkah seolah mengenal diriku dengan baik. Entah pria mana yang tidak bertanggung jawab meninggalkan anaknya sesuka hati.

"Maaf, tapi saya punya urusan lain. Rekan saya sudah menunggu,"ucapku melangkahkan kaki menjauh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status