Share

Munajat Perawan Tua
Munajat Perawan Tua
Penulis: Alvydradirgantara

Prolog

Bising jalanan kota seolah bukan hal baru yang terdengar di telinga. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam tidak menyurutkan keramaian. Dari pinggir kota, sebuah industri masih begitu segar berdiri sepanjang hari.

"Mbak Gita apa tidak lagi yang perlu saya kerjakan?"tanya gadis berambut pirang mengemas barangnya.

Pertanyaan itu sontak membuat gadis berjilbab di ruangan terpisah kaca mendongak. Kacamata anti radiasinya menambah kesan lelah di wajahnya.

"Tidak, terima kasih, Celine,"ucap Gita kembali menatap layar komputer di depannya.

"Oalah. Saya kira mau menghabiskan pekerjaan sendirian sampai Mbak Gita lembur lagi,"ucap Celine berhenti di depan mejanya.

"Rencananya begitu. Tapi besok saya ada kunjungan ke Surabaya dan belum bersiap. Duluan saja,"ucap Gita membuatnya mengangguk sebelum berlalu meninggalkan ruangan.

Papan nama Dyah Anggita Anindyaswari di depan mejanya sudah menjelaskan siapa dirinya. Seorang manager muda divisi laboratorium pabrik urea terbesar di Indonesia yang berdiri di antara jajaran nama besar perusahaan. Untuk ukuran perempuan yang bekerja di PT Pupuk Anumerta, gadis itu berada pada tingkat paling muda dengan pencapaian besarnya.

Drrt

"Halo,"sapa Gita sembari menunggu komputernya mati.

"Mbak Gita. Pak Ramli meminta Anda membuat PowerPoint untuk membuat jalinan mitra kerja pada saat kunjungan besok,"ulas di seberang telfon.

"Saya sudah menyiapkan. Saya kirimkan ke Anda segera ya,"ucap Gita menutup telfon tanpa basa-basi.

Dunia kerjanya memang tidak memerlukan basa-basi untuk semua hal. Tingkat disiplin yang ditetapkan Gita di divisi laboratorium tidak jarang membuatnya terkesan dingin. Kata-kata yang ketus tidak jarang terucap begitu saja dari bibirnya tanpa bisa terkendali.

Menyabet jas lab di lengannya, Gita keluar dari ruangan meninggalkan ruang kerja selama beberapa tahun ini. Lampu yang berkedip pelan membuat nyalinya sedikit ciut. Wajahnya begitu ketus namun dirinya masih saja sangat penakut dengan hal kecil seperti itu. Namun gadis yang menjunjung tinggi profesionalitas itu mampu menyembunyikan dengan apik.

"Pak Hilman. Saya minta tolong, lampu di lantai tiga di divisi laboratorium diperbaiki. Saya khawatir itu membahayakan,"ucap Gita setengah beralibi.

"Baik Bu. Mau saya ambilkan mobilnya Bu?,"tanya Hilman membuatnya menggeleng pelan.

"Tidak terimakasih Pak. Selamat malam,"ucapnya meninggalkan pintu masuk.

Parkiran sepi menyisakan mobilnya dan beberapa mobil pegawai divisi lain sudah menjadi pemandangan biasa baginya. Mobilnya melaju meninggalkan area kawasan pabrik menuju perumahan dinas PT Pupuk Anumerta tidak jauh dari sana.

Mengingat sayuran di kulkasnya telah habis membuatnya memutar balik membelah jalanan menuju pusat kota. Tanpa mengganti seragam yang masih melekat, Gita mengenakan sweater dan sendal jepit memasuki sebuah swalayan.

Gadis itu bisa saja bergaya seperti para istri di jajarannya. Tas branded dengan tampilan memukau bak aktris papan atas. Namun dirinya terlalu malas untuk banyak bergaya dan menghamburkan uangnya. Pembangunan rumah pribadinya saja masih setengah jadi sudah membayangkan yang tidak perlu.

"Miss Independent mau belanja apa nih?,"sapa seorang perempuan masih mengenakan blazer hitam khas wanita modern.

"Tumben Azhara Lovanka pergi belanja sendirian,"ucap Gita tidak tahan mencibir lawan bicaranya.

"Ayolah. Aku sudah lama tidak memasak sendiri. Mumpung sedang tidak ada penerbangan malam ini,"ucap Azhara menambahkan paprika di keranjang belanjanya.

"Bukan itu maksudnya. Kemana pramugara yang biasanya menemanimu kemana-mana itu?,"tanya Gita.

"Aku tidak bisa membiarkan diriku jatuh ke dalam lembah menyusahkan menjadi istri dan ibu. Aku masih menyukai terbang dan melakukan apa saja sendirian,"ucap Azhara.

"Tidak heran untuk seorang Azhara. Malam ini aku juga akan memasak. Kamu mau makan malam bersama?,"tanya Gita menyerahkan trolinya ke kasir.

"Kamu memang selalu mengerti isi hatiku Gita-,"

"Totalnya 1.500.000 rupiah,"ucap kasir menyela pembicaraan.

"Jadikan satu aja. Sekali-kali aku mentraktir manager PT Pupuk Anumerta dong,"ucap Azhara membuat raut wajah orang sekitar menatap kaget perempuan di depan kasir.

"Bisakah tidak menyertakan profesi, Mbak pramugari plat merah?,"tanya Gita memutar bola mata malas.

"Menyebalkan. Dengan raut wajah berantakan seperti ini tidak perlu menyebutkan profesi sebagai pramugari. Sungguh memalukan,"ucap Azhara mengaduh.

"Tampilan berantakan tapi mengenakan setelan kantor dengan heels 5 cm tidak sebanding dengan sweater dan sendal jepit Azhara. Jangan memutar kondisi. Dimana kamu parkir?,"tanya Gita memasukkan semua belanjaan ke mobil.

"Ya baiklah aku kalah. Aku parkir di lantai dua. Aku sudah hafal rumah dinasmu. Nanti aku menyusul saja,"ucap Azhara melambaikan tangan berlalu pergi.

Belum saja keluar dari parkiran, tampak panggilan tak terjawab berulang kali dari ponselnya. Sepertinya banyak yang ingin menghubungi di malam hari. Padahal dirinya sudah sering menyatakan jam kerjanya dibawah jam sepuluh malam. Bahkan sekarang sudah jam sebelas masih ada yang berusaha menghubunginya.

"Maaf mengganggu waktu beristirahat Anda, Mbak Gita. Saya hanya ingin memastikan terkait jadwal perjalanan Anda besok sudah saya kirimkan ke email Anda,"simpul pesan suara Celine.

"Astaga kebiasaan burukmu tidak pernah berubah Celine. Sudah seringkali saya katakan tidak perlu membuat jadwal perjalanan dan sejenisnya. Saya bisa mengatur sendiri. Tapi terimakasih sudah membuatnya. Jangan ulangi lagi,"ucap Gita membalas pesan suara Celine sebelum melanjutkan perjalanan pulang.

Dentum lagu Something Just Like This memenuhi CR-V yang ditumpanginya. Mobil yang dibeli dengan kerja kerasnya sendiri seperti rumah yang masih juga belum selesai berada di dekat pedesaan. Sebuah gambar yang terbingkai dalam kalender menunjukkan impian Gita menikmati masa tua kelak di pedesaan.

Seorang gadis kecil melintas tanpa memperhatikan jalanan membuatnya menginjak rem mendadak. Tampak gadis kecil itu malah duduk menangis di depan mobil tanpa berniat beranjak.

"Astaga merepotkan sekali. Lagipula kemana orangtuanya? Apa tidak waras membiarkan anak kecil berkeliaran di jam segini? Kenapa pakai nangis?,"tanya Gita tidak sabar.

Wajah ketusnya semakin menambah aura menakutkan bagi gadis itu. Bukannya mengurangi volume tangisan malah memperbesar. Gita menatapnya bosan menarik tangannya beranjak.

"Kau merepotkan,"ucap Gita acuh kembali memasuki mobilnya.

Kondisi tubuhnya sudah sangat lelah menjadi bertambah penat karena bertemu anak kecil dengan dramanya. Padahal dia cukup besar untuk menyeberang dengan waras. Tanpa harus meninggalkan tangisan atau malah duduk di depan mobilnya. Orang yang berada di sekitar sana bukannya membantu mengajak anak itu menepi malah mengabadikan momen.

Entah judul apa yang akan muncul di laman pencarian sebentar lagi. Hal kecil saja tidak luput di video dan viral di jagat maya tanpa kepastian nyata. Apalagi hal epik seperti tadi. Belum tuntas amarahnya bergemuruh, mobilnya sudah memasuki kawasan perumahan dinasnya.

Sebuah mobil yang terparkir lebih dulu membuatnya memutar bola mata malas. Kebiasaan Azhara mengebut di jalan raya tidak pernah berubah. Sepertinya dia perlu merasakan ditilang dulu baru menghentikan kebiasaannya. Tingginya semampai bak model majalah fashion menatap Gita tidak sabar.

"Untuk apa kamu parkir disana? Masukkan saja mobilmu,"ucap Gita sebal.

"Kurangi kekonyolanmu Gita. Bagaimana aku bisa memasukkan mobilnya kalau kunci rumah dinasmu menggunakan sidik jari?,"tanya Azhara membuat gadis itu mengetuk jidatnya pelan.

"Seharusnya aku memberitahu penjaga menambahkan sidik jari untukmu juga,"ucap Gita membuka pagar.

"Tidak perlu Gita. Aku tidak sepenting dirimu sampai bisa bebas memasuki apartemen ku. Ada apa dengan wajah malasmu itu?,"tanya Azhara membuka pintu rumah.

"Kejadian kecil di jalan,"ucap Gita begitu malas.

Mendengar jawaban singkat dari sahabatnya membuat Azhara tak lantas diam. Dirinya membuka minuman dingin dari kulkas.

"Dinginkan kepalamu. Apa ada hal janggal di perusahaan?,"tanya Azhara menyodorkan kaleng minuman dingin.

"Tidak ada. Aku hanya kesal ada anak kecil yang melintas sembarangan tapi tidak ada yang menghentikannya,"ucap Gita menyandarkan kepalanya.

"Astaga. Itu hanya hal kecil saja, Git. Melihat betapa menyusahkannya anak kecil dan ibunya sudah membuatku pusing selama di penerbangan. Aku tidak masalah dengan adanya anak kecil. Hanya saja aku membayangkan saja, hal apa yang membuatnya mau menyerahkan hidupnya melayani pria dan anaknya,"ucap Azhara.

"Aku juga tidak tau. Aku akan masak sebentar. Malam ini menginap lah,"ucap Gita beranjak.

"Tidak semudah itu, Git. Aku datang kemari juga ingin menambah bakat memasak. Aku bosan dengan masakan itu itu saja. Sebenarnya lebih mudah membeli, tapi memasak sendiri itu lebih seperti menambah skil. Aku juga ingin menjadi makhluk serba bisa. Lagipula tanpa kamu minta aku akan menginap,"ucap Azhara.

"Baguslah. Kemarin aku menambahkan beberapa perabotan di kamarmu,"ucap Gita mencuci sayur.

Sementara Gita bersiap untuk memasak, Azhara masih asyik menelusuri tiap sudut bangunan itu. Seolah dirinya sudah lama tidak menginap.

"Kamu memang selalu baik. Tapi Gita kamu mau kemana? Kopermu terlihat penuh?"tanya Azhara melirik koper 16 inci di dekat kakinya.

"Besok ada kunjungan ke Surabaya,"ucap Gita mulai mengeluarkan semua peralatan masaknya seraya mengikat celemek di pinggang.

"Dan kamu belum tidur saat ini. Akh, coba saja aku ke Surabaya siang hari. Tapi sayangnya aku ke Surabaya di penerbangan malam esok hari. Gita, penghargaan di sudut kanan lemari terlihat baru. Kamu tidak memberitahu ku,"komentar Azhara.

"Itu hanya hadiah kecil saat kunjungan ke universitas,"ucap Gita tanpa melirik sahabatnya.

"Cukup terdengar hebat. Apa ada yang bisa ku bantu?"tanya Azhara penasaran menilik kegiatan gadis itu di dapur.

"Apa menurutmu menggoreng beberapa frozen food lebih baik daripada memutar film?"tanya Gita.

Gadis itu terdiam sembari melihat bagaimana seseorang yang biasanya mengaduk erlenmeyer tengah mengaduk sayur. Dua hal berbeda namun sama-sama dirinya kuasai. Niatnya untuk memasak menjadi urung melihat percikan minyak saat menggoreng begitu liar.

"Heum. Sepertinya aku lebih baik memutar film saja. Eh kamu tau, Nindi rekan kerjaku mengira kita lesbi,"ucap Azhara memilih beberapa film membuatku tersengih.

"Yang benar saja. Aku cukup normal untuk menyukai lawan jenis. Hanya saja, sedang tidak ada yang ku sukai dan aku tidak berniat untuk merepotkan diri dengan semua itu,"ucap Gita menyajikan salad sayur dalam mangkuk besar beserta beberapa kawanan siomay goreng.

"Tidak ada yang kamu sukai atau belum ada yang kantongnya sebanding denganmu?"tanya Azhara terkekeh geli.

"Heuh. Aku sudah punya penghasilan sendiri. Alasan itu tidak masuk akal untukku,"ucap Gita jujur.

Penghasilan yang dia dapatkan lebih dari cukup untuk mencukupi kebutuhannya. Untuk apa mencari pria dengan kantong tebal jika dia juga berkantong lebih dari cukup.

"Jadi pria yang seperti apa? Aku cukup baik dalam mencari kenalan pria dengan berbagai jenis dengan kesetiaan yang baik,"ucap Azhara.

"Entahlah aku juga belum memikirkannya lagi Azhara,"ucap Gita.

Gadis itu tidak sedang sombong dengan semua perkataan dan fakta yang ada. Namun dirinya juga tidak tahu pria seperti apa yang mampu membuatnya terpikat. Dirinya sering menemui banyak pria dalam berbagai kesempatan dengan berbagai latar. Tapi tidak ada yang menarik.

Drrt

"Git, kamu sedang kencan dengan Altezza?" tanya Azhara menatap kaget nama yang tertera di panggilan.

Sedangkan gadis yang dimaksud seolah terlihat biasa saja menggeser tombol hijau dan membesarkan suaranya. Gita tidak ingin menyembunyikan hal tidak penting pada sahabatnya itu.

"Apa pacarmu mulai berulah?"tanya Gita santai.

Mendengar kalimat pamungkas Gita, Azhara mengurungkan niat bertanya lebih jauh. Bahkan dirinya malah tergelak kencang menertawai kebodohannya. Sejak kapan sahabatnya itu akan membuang waktu tanpa alasan.

"Hei. Jangankan memikirkan pacar, kamu bahkan sudah membuatku pusing saat ini. Kenapa harus mengabari ada pekerjaan keluar kota saat tengah malam? Aku bahkan belum menyiapkan apapun,"celoteh Altezza.

"Jangan salahkan aku. Celine sendiri yang memilih rekan untuk pekerjaannya,"ucap Gita jujur membuatnya terdengar mengerang frustasi.

"Kenapa harus ada Celine? Astaga entah semarah apa pacar ku ketika tahu,"ucap Altezza membuatnya menghela nafas bosan.

"Cemburu tanpa alasan juga tidak bagus. Apalagi dia tidak berhak melakukan itu, Altezza. Maaf karena sudah mengatakan ini,"ucap Gita tampak ragu.

Sontak pertanyaan kian terdengar dari ponselnya. Suara penuh tanya itu berusaha ingin tahu rahasia apa yang dipegang gadis di balik ponsel. Namun gadis itu tidak sekejam itu membiarkan pria di seberang berduka di malam yang mulai larut.

"Katakan saja, Nona Gita. Ku mohon katakan saja. Aku lebih baik tau lebih awal,"mohon Altezza.

"Aku kemarin tidak sengaja bertemu dengannya di jalan. Dia sedang menggandeng seorang pria pemegang seperempat saham. Dengar, Altezza bukannya ingin membuatmu sedih dengan kenyataan sama berulang kali. Terkadang kita harus fokus dengan apa yang tengah kita usahakan dulu.

Bukan sekali kamu menjadi pelarian gadis sepertinya. Gadis terbaik itu akan datang di waktu yang tepat, Altezza. Maaf membuatmu kembali sakit hati. Tapi ingat hari esok masih menanti. Jangan terpuruk dengan keadaan,"tutur Gita panjang lebar sebelum pria itu memutuskan mengakhiri panggilan.

Gita hanya terdiam membisu kehilangan fokus dengan film yang tengah ditonton. Luka pegawainya juga terasa baginya. Tapi mau bagaimana lagi? Kenyataan dunia memang pahit, bukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status