Author POV
Pesawat Boeing-737 yang baru saja tiba mendarat dengan mulus di atas landasan pacu Bandara Juanda. Seorang pria berjalan santai dengan menarik kopernya diiringi seorang perempuan dan satu pria berambut cepak yang terus waspada dalam segala kondisi."Sertu Sinta. Serka Aditya,"panggil pria berambut pendek memalingkan wajah sejenak membaca situasi."Siap,"ucapnya begitu tegas mengundang perhatian sekitar."Kita sedang dalam tujuan kenduri. Bukan sedang perjalanan dinas. Tidak perlu formal begitu. Setelah ini, kalian langsung menemui orangtua saja. Jangan sampai terlambat. Oh iya, saya tadi mau bertanya. Apa sudah ada informasi mengenai Riana? Saya sudah memberitahu Rindy memintanya mengantar ke Bandara,"ucap pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku."Baik, Pak. Tadi saya sudah menghubungi Mbak Rindy. Tapi belum ada informasi lagi. Saya sudah mengatakan memakai baju hitam pakai sneakers. Mungkin belum sampai Pak,"ucap Sinta menimpali.Pria itu menghela nafas pelan melepaskan kedua ajudannya beranjak pulang ke rumah masing-masing. Setelah keduanya bersikeras menunggu sampai Riana ditemukan. Sementara dirinya bersandar ke cafetaria menunggu informasi lagi dari Rindy. Rambut cepak kharismatik sudah cukup membuatnya menarik banyak perhatian yang melintas.Ponselnya berdering berulang menampilkan nama saudara ipar yang tidak pernah keberatan dititipkan putri semata wayangnya. Mau pesonanya menggugah seperti apapun, nyatanya tidak bisa menutupi fakta dia seorang duda beranak satu."Dirga. Aku sudah memberikan Rania ke ajudanmu,"ucap Rindy di seberang."Masalahnya, Rindy. Ajudan ku sudah menunggu dari dua jam yang lalu tapi masih belum bertemu denganmu. Kamu tidak salah orang, kan,"ucap Dirga memicingkan matanya.Bukan suatu hal baru saudara iparnya itu akan memulai kekonyolan saat terburu-buru. Dirga hanya menghela nafas pelan. Rindy juga punya kesibukan sendiri. Tentu tidak bisa dibandingkan dengan penjaga bayi sepanjang waktu. Riana, putrinya juga begitu rewel jika dititipkan ke kedua orangtuanya."Tidak, Dirga. Aku ingat ajudanmu pakai baju hitam, celana putih dan sneakers putih. Dia berjalan bersama dengan laki-laki memakai jaket hitam,"ucap Rindy membuat Dirga yakin memang benar Sinta berpenampilan demikian."Oh iya, Dirga. Dia tadi pakai kacamata hitam dan berjilbab mirip dengan gayamu saat mau terbang. Aku jadi semakin yakin itu ajudanmu,"ucap Rindy membuat Dirga tersedak kopi yang dipesannya."Nanti ku hubungi lagi. Terima kasih, Rindy,"ucap Dirga mengambil langkah lebar menarik kopernya mendekati pusat informasi.Rindy tidak salah memberikan Riana. Terlebih dengan kualifikasi yang dipaparkan memang benar mirip Sinta. Sayangnya Sertu Sinta non muslim. Untuk apa dirinya memakai jilbab? Tentu saja dirinya tidak akan memakai kain itu dikepalanya."Permisi, Mbak. Saya ingin mencari putri saya. Ini fotonya. Namanya Riana Elvina Atmaja,"ucap Dirga tergesa."Dua puluh menit yang lalu, anak kecil ini kemari dengan seorang perempuan memakai baju hitam, Pak. Awalnya perempuan itu mau menyerahkan ke pihak bandara karena diduga menjadi korban konten kreator yang membuat ulah.Tetapi melihat dari reaksi anak itu tampak mengenal dengan baik dan tidak ingin berpisah. Akhirnya perempuan itu dengan berat hati membawanya, Pak. Setelahnya kami tidak tau, Pak,"ucapnya membuat Dirga melongo."Apa ada pengenal sebagai identitas untuk melaporkan ke pihak berwajib?"tanya Dirga berusaha mencari putrinya ke kantor polisi."Perempuan itu berusia sekitar 25 tahun dengan make up tipis dan dari pakaian hitam yang dikenakan formal. Perempuan itu memakai jam tangan berwarna hitam. Oh iya, Pak. Perempuan itu dijemput mobil SUV milik Petrokimia dengan dikawal beberapa bodyguard,"ucapnya membuat Dirga menghela nafas pelan.Apa dirinya juga harus menceburkan diri mencari ke dalam perusahaan superior di kota ini? Apa tidak ada lagi yang bisa membantu dirinya terkait hal ini? Sekalipun melapor ke pihak berwajib, tidak mampu mengungkap ke dalam anggotanya secara menyeluruh. Terlebih perempuan itu sudah jelas tamu kehormatan mereka.Dirga tidak cepat kehilangan akal. Dirinya segera menuju kantor utama Petrokimia. Meskipun mereka tamu kehormatan tidak akan berkurang hanya karena bertanya saja pikirnya. Melihat jam di pergelangan tangannya, Dirga tau masih memiliki waktu sebelum tiba ke acara kenduri."Riana, kamu dimana Nak?,"tanya Dirga memijat pelipisnya.Di sisi lain, Riana tengah duduk tenang menghindari tatapan intimidasi perempuan di sebelahnya. Dirinya memilih tinggal di kamar yang sama dengan Gita dibandingkan Celine. Mengingat Rindy menitipkan pada Gita bukan pada Celine."Tante ajudan Ayah, kan. Kenapa malah ke hotel?"tanya Riana membuka suara.Sedari tadi gadis itu hanya bungkam sembari duduk di atas sofa ruang tengah. Sementara sosok yang ditanya tengah bersandar pada headboard membaca kembali presentasinya. Gadis itu berusaha tetap fokus tidak memperhatikan anak kecil yang sedang menatapnya takut."Seharusnya itu pertanyaan ku dan aku bukan ajudan Ayahmu,"ucap Gita menikmati waktu beristirahat sejenak."Tante bohong,"cicit Riana."Terserah,"ucap Gita beranjak mengganti pakaian menjadi lebih santai sebelum sore nanti pergi ke rumah Stela.Riana hanya bisa diam menatap setiap kegiatan Gita. Entah dirinya menangis atau berteriak, Gita tidak akan peduli. Sungguh kesalahan buruk sudah banyak berulah selama bersama Tante Rindy, pikir Riana.Ting"Mbak Gita, saya mau mengantar nasi yang dipesan".Suara Celine dari voice note membuat Gita segera beranjak. Sementara Riana hanya mengawasi perempuan itu kesana kemari. Dirinya tidak ingin mengatakan apapun lagi."Taruh saja di atas meja. Kalau lapar pasti akan makan dengan sendirinya,"ucap Gita membuka lebar pintu kamarnya."Mbak, kita akan berangkat beberapa menit lagi,"ucap Celine mengingatkan."Aku tau itu. Tapi apa kita tinggalkan dia di sini?"tanya Gita menatapnya."Di sini cukup aman untuknya, Mbak,"ucap Celine sebelum berlalu.Gita yakin dengan wajahnya yang lesu setelah setengah jam hanya bisa merengek dalam ketakutannya pasti membuatnya kelaparan. Dirinya tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk berbicara. Dugaannya tepat sasaran. Melihat hidangan tersaji membuat Riana mengambil langkah kecil mendekati meja."Tante kejam. Aku mau cuci tangan,"cicitnya membuat Gita menunjuk kamar mandi.Sebuah pencapaian besar seorang Gita mau bertahan lebih dari 10 menit bersama anak kecil. Hal itu membuat Celine menunggu dengan sigap jika sewaktu-waktu amarah atasannya itu meningkat."Kalau kejam seharusnya aku sudah memotongmu menjadi 10 bagian dan membuang ke sungai,"ucap Gita jengah."Tante kalau galak nanti diputusin pacarnya, loh,"ucap Rania membuat Gita berdecak pelan."Atau nanti nggak punya temen, loh,"ucap Riana berusaha menakuti Gita.Sayangnya Gita tidak seperti semua perempuan yang ditemui sebelumnya yang takut dengan ucapan itu. Gadis keras kepala, mandiri, modern dan kharismatik seperti Gita tidak membutuhkan semua itu."Berhenti berbicara aneh-aneh. Sekalipun kamu mendoakan, aku yang akan mengaminkan. Dengar, aku tidak mengenalmu dan tidak tertarik mengetahuinya. Diam dan makan lah "ucap Gita membuat Riana menegak ludah kasar.Gita menyampirkan outer yang melengkapi penampilan brukat di tubuhnya. Matanya melirik jam tangan sebelum bergegas memasukkan semua barang ke dalam tasnya. Waktu adalah hal segalanya bagi Gita. Dirinya tidak mau menodai kedisiplinannya dengan kehadiran anak kecil tanpa identitas itu."Tante mau kemana? Apa aku boleh ikut?"tanya Rania menunduk.Gita menatap sekilas pakaian yang Rania pakai terlihat sangat tidak mungkin untuk menghadiri acara pernikahan Stela. Lagipula sepertinya dia akan berhenti mencari sedikit buah tangan."Mandi atau tidur. Saya tunggu 2 menit. Lebih dari itu tidur saja di sini,"ucap Gita mengangkat telfon penting meninggalkan gadis itu membuat pilihan.-&-Altezza menatap heran Celine yang tidak berhenti wira-wiri di depan kamar Gita. Entah apa yang membuat Celine begitu khawatir dengan Ayana."Celine. Duduklah dulu,"tawar Altezza menepuk bangku di sebelahnya."Terima kasih, Pak. Saya paham karakter Mbak Gita ketika bertemu dengan anak kecil. Saya khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan,"ucap Celine gusar."Tidak perlu gusar begitu,"ucap Gita cuek keluar dari kamar begitu anggun dengan anak kecil di belakangnya."Kamu yakin akan pergi dengan anak itu?"tanya Altezza."Apa ada pilihan disini?"tanya Gita menghela nafas kasar."Silahkan, Mbak Gita. Tadi asisten putranya Pak Ramli sudah mengirimkan komentar, pesan dan tanggapan mengenai terobosan pengembangan yang Anda jabarkan saat rapat kemarin lusa,"ucap Celine memberikan tablet berisi beberapa draf pekerjaan."Terima kasih, Celine. Apa kita bisa berhenti di pusat perbelanjaan sebentar? Aku tidak membawa apapun untuk Stela,"ucap Gita memasuki lift."Tentu saja. Ayo gadis kecil jangan terlalu lama. Gita tidak akan menunggumu sekalipun kamu anak kecil,"ucap Altezza mengajak Riana membersamai langkah jenjang ketiganya."Om itu suami atau pacarnya tante itu?,"tanya Rania menatap Gita dan Celine di depannya."Tidak keduanya. Dia orang cerdas yang hidup mandiri. Kalau kamu jadi perempuan, jadilah yang sepertinya,"ucap Altezza terkekeh mendengar pertanyaan Riana.Mendengar kalimat Altezza membuatnya mengangguk pelan. Beberapa pria segera mempersilahkan ketiganya masuk, membuat Riana sejenak berpikir mungkinkah ketiga orang itu sama seperti ayahnya hanya berbeda matra saja."Om. Kalian itu tentara?"tanya Riana saat mengambil tempat di sebelah Altezza yang terlihat lebih ramah."Apa penampilan kami terlihat seperti tentara? Apa kamu bisa diam sejenak? Mbak Gita ingin menghubungi klien,"ucap Celine berusaha ramah sebelum keheningan tercipta di tengah mereka.Riana menatap bagian dalam mobil membuatnya tidak bisa berhenti terkagum. Mobilnya bahkan jauh lebih besar dan mewah berbeda dengan semua mobil yang pernah dirinya tumpangi. Tangan kecilnya menyenggol tangan Altezza pelan."Om. Tante itu apa profesinya?"tanya Riana membuat Altezza menghela nafas panjang."Ehm. Kamu bisa menyebutnya engineer,"ucap Altezza membuat Rania memutar bola matanya heran."Pekerjaan jenis apa itu, Om? Aku baru mendengarnya. Setau ku pekerjaan itu ada pilot, dokter, polisi, tentara, petani, masinis, arsitek, perawat, guru, dosen, bidan dan pengusaha saja. Aku tidak pernah mendengar yang itu,"ucap Riana mengecilkan suara begitu melihat Celine menoleh."Berarti wawasanmu terlalu sempit. Kamu masih harus banyak belajar lagi,"ucap Altezza."Tapi guru ku nggak pernah bilang ada pekerjaan namanya engineer,"ucap Riana masih bersikeras."Kalau tidak ada, apa nama pekerjaan kami jadinya? Lihat ini,"ucap Altezza menunjukkan jenis pekerjaan dari ponselnya."Kenapa guru ku tidak pernah bilang di kelas?"tanya Rania masih bertahan dengan argumennya."Ya begitulah istimewanya pekerjaan kami. Coba kamu bayangkan dunia tanpa engineer. Kalau kamu mau merancang bangunan perlu arsitek. Tapi untuk menghitung agar bangunan itu berdiri, pekerjaan engineer. Untuk mengobati luka dengan alkohol dilakukan analis atau apoteker. Tapi untuk membuat alkohol perlu engineer.Mobil memerlukan bahan bakar untuk berjalan. Bahan bakar dari alam harus diolah engineer dulu sebelum bisa dipakai. Petani ingin menjual sayuran dan perlu pupuk, engineer yang membuatnya.m. Kira-kira begitu pentingnya engineer,"ucap Altezza membuat Gita menghela nafas jengah."Tidak semua orang punya pekerjaan yang general seperti ayahmu dan hentikan keras kepalamu. Kalau kamu diberitahu suatu ilmu biasakan adab. Diam dan dengarkan. Bukan membantah,"ucap Gita menyandarkan kepalanya tenang."Tante kenal Ayah ku?"tanya Riana.Lagipula ayah mana yang memasukkan berbagai jenis kebanggaan terhadap profesinya ke dalam tas anaknya. Apa mungkin dirinya begitu ingin anaknya juga mengikuti jejak langkahnya? Bagaimana bisa Gita mengganti pakaian Rania ke pesta dengan baju loreng anak-anak? Bahkan gadis kecil itu tidak sedang karnaval."Tidak dan tidak ingin tahu,"ucap Gita beranjak memasuki pusat perbelanjaan.-&-Altezza dan Celine tidak bisa berkata-kata begitu melihat seorang perempuan yang terkenal tak punya hati memilihkan pakaian formal untuk anak kecil. Bahkan anak kecil itu sudah seperti anak para pembesar perusahaan saja. Apalagi sepanjang melewati beberapa tamu menggandeng erat tangannya seperti tak ingin lepas. Sepertinya harus ada penjelasan atas sikap yang tidak biasa ini."Kamu jangan berisik,"ucap Gita menatapnya tajam sebelum menyapa beberapa manager dari departemen lain yang turut hadir."Hah, ku kira dia benar-benar sudah berubah. Rupanya dia menjadi lebih bengis,"ucap Altezza."Jangan harapkan hal itu dari Mbak Gita, Pak Altezza,"ucap Celine terkekeh pelan lega melihat Gita masih tetap tidak punya perasaan.Riana yang sedari tadi diam melihat setiap prosesi acara sangat berharap bisa segera bertemu ayahnya diantara kerumunan makhluk berbaju hijau. Dirinya sudah tidak akan bisa bertahan lama jika hidup bersama makhluk dingin di depannya.Dewi fortuna sepertinya sedang berpihak padanya hari ini. Matanya tanpa sengaja melihat ayahnya berada di tengah para tentara yang menghunus pedang. Iya, dia yakini memang ayahnya. Bahkan nama yang tertulis di bajunya pun sama. Tanpa menunggu lama gadis itu berlari menerobos kerumunan yang berusaha mengabadikan momen.Gita yang tengah asyik menikmati puding dibuat kaget dengan tingkah aneh anak kecil itu. Tanpa basa-basi, dirinya segera mengambil langkah panjang sebelum kekacauan terjadi. Celine dan Altezza yang melihatnya segera bergegas berjaga untuk mengatasi kemungkinan terburuk. Bagaimana bisa seorang Gita berlari di tengah banyak kerumunan tanpa peduli dirinya saat ini?"Ayah,"jerit Riana tertahan beberapa pria wedding organizer yang menjaga suasana di sekitar prosesi tetap kondusif.Sementara pria yang dipanggil kehilangan fokus. Suaranya benar seperti suara putrinya yang tengah berusaha dia cari. Matanya segera menelisik mencari suara kecil di antara hiruk pikuknya kerumunan tamu undangan."Ayah, Riana disini,"panggil Riana membuat suasana semakin tidak kondusif.Banyak tamu terlihat mulai terganggu dengan situasi yang mulai kacau. Bahkan mempelai perempuan dan laki-laki yang tengah melakukan prosesi di bawah hunusan pedang ikut kehilangan fokus. Suasana benar-benar menjadi kacau tanpa terkendali."Kamu mau mati?"tanya Gita dingin dari arah berlawanan berdiri di jajaran wedding organizer.GITA POVMembawanya ke tempat ini benar seperti yang ku duga. Apa dia mulai gila memanggil sembarang orang sebagai ayahnya? Beruntung Celine dengan cepat bisa membawa Riana menjauh dari lokasi. Saat ini aku hanya bisa diam di depan Altezza yang menatapku penuh tanya."Apa kamu sudah gila? Ini acara besar bagi pengantin, Gita. Kenapa kamu harus mengejarnya?"tanya Altezza memijat pelipisnya.Suasana mungkin sudah beralih kondusif, namun beberapa wajah pembesar perusahaan ternyata ada disini sudah cukup membuatnya malu. "Aku tau salah, Altezza. Sungguh, anak kecil merepotkan,"ucapku hanya pasrah jika saja ada ultimatum masuk melalui emailnya.Bahkan aku sekarang juga sudah kehilangan nafsu makan. Sekalipun di ajak Altezza, kali ini aku benar-benar tidak nafsu makan. Saat ini yang ku butuhkan hanya ruangan sepi untuk menenangkan diri. "Permisi, Mbak. Saya boleh duduk di sini?"tanya seorang pria tampaknya salah satu pembawa pedang tadi di susul temannya yang lain."Aku bukan pemilik kurs
Bunyi lift saat tiba di lantai yang ku tuju memenuhi telinga ku. Aku merasa tidak pulang terlalu malam. Namun tidak biasanya terasa sunyi di sekitar hotel. Altezza juga sudah menghilang entah kemana. Tangan ku menggeser pelan kartu kamar hotel sebelum bergegas merebahkan tubuh ke atas ranjang. Namun semua rencana itu berakhir menjadi wacana saat melihat gadis kecil sedang tertidur pulas begitu rapi. Ayahnya mendidik gadis ini dengan keras sampai tidur pun teratur. Sayangnya dia masih terlalu lembut mengenai perasaannya.Padahal, itu lah yang sebenarnya mampu mengubah total karakter dan kebiasaan dari orang tersebut. Mataku tidak butuh waktu lama untuk kembali terpejam pulas. "Bunda, kapan pulang? Riana rindu Bunda,"ucap gadis itu memelukku hangat dengan mata terpejam.Akh, aku sudah mau tidur malah menjadi penasaran maksudnya. Tidak, Gita sekarang saat yang tepat untuk tidur. Lagipula gadis itu akan kembali ke pangkuan Ayahnya besok pagi, batinku enggan berpikir keras.Tapi mana mun
"Nona, nama Anda indah".UhukTelinga ku tidak sedang salah dengar kan. Sontak membuatku menoleh ke belakang tampak begitu saling memalingkan wajah. Apa pria di sebelah ku yang mengatakan itu?"Saya? Anda saja tidak mengenal saya,"ucapku cuek."Dyah Anggita Anindyaswari. Nama Dyah menunjukkan bangsawan Sunda pada masa Dyah Pitaloka,"ucap Dirga membuatku melenguh heran."Mengenal saya saja tidak. Anda sudah menerka asal saya. Apapun suku nya bukan menjadi pedoman pemberian nama. Lagian kalau saya Dyah Pitaloka pasti saya membalas dendam ke Majapahit bukannya bela pati,"ucapku membuatnya menghela nafas panjang. "Saya hanya berkomentar. Jika Anda tidak suka lupakan saja,"ucap Dirga pelan."Ada-ada saja. Kalau gitu, Mbak yang disana namanya Sinta artinya dia orang Jawa? Karena namanya tokoh Rama dan Sinta dalam Ramayana. Kemudian Mas disana namanya Aditya apa dia orang bercorak India dengan nama Adityawarman. Atau Mas yang disana namanya Adrian. Apa dia orang Barat? Kemudian Mas yang na
"Bawa saja, ini juga bawa. Aku bisa kesana dan beli lagi nanti,"ucap Azhara memasukkan banyak barang ke dalam ransel. "Duh, habis ini aku berpotensi langsung menikah kalau begini,"ucap Sinta menggeleng pelan."Ini juga perlu kamu bawa. Pakai kalau semisal ada kenduri. Dijamin langsung dapat suami,"ucap Azhara.Sementara aku hanya menatap keduanya malas. Dua orang itu ternyata sama bodohnya jika dipertemukan. Tunggu saja, tidak lama lagi bahkan mereka berdua akan kembali berulah. Lihatlah, entah berapa banyak barang yang akan dibawa Sinta. Mulai dari hair dryer, catokan, masker sampai semua jenis perlengkapan kecantikan dan oleh-oleh.Celine hanya tertawa sesekali bersama mereka. Aku harap gadis itu akan tetap normal meskipun bersama dengan mereka. Aku hanya khawatir kejiwaannya mungkin akan terganggu setelahnya. "Ayah, Tante Gita ajak ke Madiun juga. Sebentar saja, nanti baru kembali ke Surabaya,"ucap Riana malah menoleh."Nggak bisa, Nak. Nona Gita punya urusan disini,"ucap Dirga.
"Ya sudah, sama anak ku saja,"ucap Shafiya."Bercanda mulu dari. Sudah berbicara serius malah bercanda. Dia juga sudah punya istri, Bu Shafiya. Ada anaknya lagi. Lebih baik saya lajang seumur hidup kalau gitu,"ucapku mencuci piring membereskan meja makan.Suasana rumah yang selalu damai cukup membuat pikiran ku terkadang rileks dengan sendirinya. Kapan lagi telinga ku tidak terganggu bisingnya suara pabrik?"Kamu orang Kalimantan tapi logat Bugis, Kutai, Jawa. Gimana atuh?"tanya Shafiya membuatku membuang nafas sebal."Di Kalimantan semua etnis bertemu jadinya ya gini,"ucapku mengupas jeruk di atas meja. "IBUUU". Sapaan merusak telinga terdengar sumbang membuatku ingin mual saja. Apa semua orang di rumah ini tidak ada yang waras? Hah, ini wanita yang menitipkan Rania sewaktu di bandara."Kamu kira Ibu tuli kah? Bisanya keponakanmu kamu titipkan orang lain,"ucap Shafiya sebal."Tadi buru-buru, Bu. Dia Gita, kan?"tanya Rindy mengambil tempat di depan ku. "Iya, Mbak Rindy,"ucapku mena
"Manusia hanya lah makhluk fana. Tidak ada sesuatu yang sempurna selain Allah. Maka jika dia mengatakan dirinya sempurna maupun kesempurnaan sesungguhnya itu dusta belaka"Dyah Anggita Anindyaswari Rapat tinggal menunggu waktu di monitor untuk dimulai. Tapi aku heran dengan sekitar. Mengapa meja hari ini terlihat ada yang kosong? Siapa yang mengisi disana? Sepertinya kemarin semuanya hadir di sini. Apa ada yang absen atau izin?"Hari ini seperti agenda dari pertemuan ini, maka kami menyerahkan kepada Pak Wicitra delegasi dari Pupuk Anumerta di Petrokimia,"ucap Dhito membuat wajah senior harap harap cemas.Kapan lagi dapat tunjangan lebih besar? Aku harap siapapun yang berada di posisi itu benar-benar cakap dan bertanggung jawab. Bukan pria seperti Pak Daniel. Altezza terasa lebih baik dan lebih bijaksana dalam menjalin konsolidasi seperti ini."Baik, semuanya sudah melihat presentasi kemarin siang. Karena itu kami juga dengan sepakat juga telah memilih Nona Dyah Anggita Anindyaswari
Bunyi monitor berpadu dengan dinginnya ruangan membuatku membuka mata menatap sekitar. Anisa menatapku penuh dengan kata-kata yang ingin segera dikeluarkan dari bibirnya."Kamu kira aku sekarat? Untuk apa kamu memasang alat medis sebanyak ini? Aku mau pulang saja,"ucapku membuatnya mengajukan 5 jarinya."Kak. Sekarang aku dokternya. Lagian kenapa kakak nggak makan? Apa gaji pokok dan tunjangan 30 jutamu tidak bisa menyisakan waktu untuk makan?"omel Anisa menyebalkan."Aku hanya GERD saja. Sudah jangan berlebihan,"ucapku sadar kondisi tubuh.Aku sadar punya penyakit itu. Hanya saja kali ini begitu ceroboh sampai lupa dan berakhir di rumah sakit. Terlebih dokternya saudara ku sendiri. Aku sudah membayangkan cerewetnya perempuan di depan mataku."Hanya? Kakak pingsan 10 jam dan mengatakan hanya?"tanya Anisa gemas."Bertindak lah sebagai dokter dan jangan berlebihan. Aku ingin pulang dan tidur di rumah saja,"ucapku membuatnya menatap tidak percaya."Kak-,""Celine, coba beritahu pada Alte
Author POV Seorang pria bersandar di teras rumah menikmati liburan tanpa beban pekerjaan sejenak sebelum memulai hal baru. Putri kecilnya sekarang sudah terlelap di kelamnya malam. Sementara dirinya masih terjaga memikirkan kembali kalimat perempuan asing yang ditemuinya beberapa waktu lalu.Dirinya memang terlalu ceroboh dalam menjaga anak. Bagaimana jika yang dititipkan adalah penculik? Bukannya dramatis, namun nyatanya banyak kasus yang bisa menimpa anak-anak. "Sudah malam kok masih diluar, Nak?"tanya Setyo mengambil tempat di sebelahnya."Nggak bisa tidur, Rama,"ucap Dirga mengusap lengannya beberapa kali karena terkena gigitan nyamuk."Memikirkan Gita?"tanya Setyo membuatnya malah tergelak."Gita itu hanya orang asing yang sekedar bertemu, Rama,"ucap Dirga menuangkan teko kopi ke gelas yang baru."Heh, Rama itu yang menggendongmu dari bayi sampai sekarang. Tidak biasanya kamu berdiam diluar begini,"ucap Setyo.Pria itu paham betul apa yang sedang putranya hadapi. Riana setiap h