Share

Bab 2 : Pria Berambut Cepak

Author POV

Pesawat Boeing-737 yang baru saja tiba mendarat dengan mulus di atas landasan pacu Bandara Juanda. Seorang pria berjalan santai dengan menarik kopernya diiringi seorang perempuan dan satu pria berambut cepak yang terus waspada dalam segala kondisi.

"Sertu Sinta. Serka Aditya,"panggil pria berambut pendek memalingkan wajah sejenak membaca situasi.

"Siap,"ucapnya begitu tegas mengundang perhatian sekitar.

"Kita sedang dalam tujuan kenduri. Bukan sedang perjalanan dinas. Tidak perlu formal begitu. Setelah ini, kalian langsung menemui orangtua saja. Jangan sampai terlambat. Oh iya, saya tadi mau bertanya. Apa sudah ada informasi mengenai Riana? Saya sudah memberitahu Rindy memintanya mengantar ke Bandara,"ucap pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.

"Baik, Pak. Tadi saya sudah menghubungi Mbak Rindy. Tapi belum ada informasi lagi. Saya sudah mengatakan memakai baju hitam pakai sneakers. Mungkin belum sampai Pak,"ucap Sinta menimpali.

Pria itu menghela nafas pelan melepaskan kedua ajudannya beranjak pulang ke rumah masing-masing. Setelah keduanya bersikeras menunggu sampai Riana ditemukan. Sementara dirinya bersandar ke cafetaria menunggu informasi lagi dari Rindy. Rambut cepak kharismatik sudah cukup membuatnya menarik banyak perhatian yang melintas.

Ponselnya berdering berulang menampilkan nama saudara ipar yang tidak pernah keberatan dititipkan putri semata wayangnya. Mau pesonanya menggugah seperti apapun, nyatanya tidak bisa menutupi fakta dia seorang duda beranak satu.

"Dirga. Aku sudah memberikan Rania ke ajudanmu,"ucap Rindy di seberang.

"Masalahnya, Rindy. Ajudan ku sudah menunggu dari dua jam yang lalu tapi masih belum bertemu denganmu. Kamu tidak salah orang, kan,"ucap Dirga memicingkan matanya.

Bukan suatu hal baru saudara iparnya itu akan memulai kekonyolan saat terburu-buru. Dirga hanya menghela nafas pelan. Rindy juga punya kesibukan sendiri. Tentu tidak bisa dibandingkan dengan penjaga bayi sepanjang waktu. Riana, putrinya juga begitu rewel jika dititipkan ke kedua orangtuanya.

"Tidak, Dirga. Aku ingat ajudanmu pakai baju hitam, celana putih dan sneakers putih. Dia berjalan bersama dengan laki-laki memakai jaket hitam,"ucap Rindy membuat Dirga yakin memang benar Sinta berpenampilan demikian.

"Oh iya, Dirga. Dia tadi pakai kacamata hitam dan berjilbab mirip dengan gayamu saat mau terbang. Aku jadi semakin yakin itu ajudanmu,"ucap Rindy membuat Dirga tersedak kopi yang dipesannya.

"Nanti ku hubungi lagi. Terima kasih, Rindy,"ucap Dirga mengambil langkah lebar menarik kopernya mendekati pusat informasi.

Rindy tidak salah memberikan Riana. Terlebih dengan kualifikasi yang dipaparkan memang benar mirip Sinta. Sayangnya Sertu Sinta non muslim. Untuk apa dirinya memakai jilbab? Tentu saja dirinya tidak akan memakai kain itu dikepalanya.

"Permisi, Mbak. Saya ingin mencari putri saya. Ini fotonya. Namanya Riana Elvina Atmaja,"ucap Dirga tergesa.

"Dua puluh menit yang lalu, anak kecil ini kemari dengan seorang perempuan memakai baju hitam, Pak. Awalnya perempuan itu mau menyerahkan ke pihak bandara karena diduga menjadi korban konten kreator yang membuat ulah.

Tetapi melihat dari reaksi anak itu tampak mengenal dengan baik dan tidak ingin berpisah. Akhirnya perempuan itu dengan berat hati membawanya, Pak. Setelahnya kami tidak tau, Pak,"ucapnya membuat Dirga melongo.

"Apa ada pengenal sebagai identitas untuk melaporkan ke pihak berwajib?"tanya Dirga berusaha mencari putrinya ke kantor polisi.

"Perempuan itu berusia sekitar 25 tahun dengan make up tipis dan dari pakaian hitam yang dikenakan formal. Perempuan itu memakai jam tangan berwarna hitam. Oh iya, Pak. Perempuan itu dijemput mobil SUV milik Petrokimia dengan dikawal beberapa bodyguard,"ucapnya membuat Dirga menghela nafas pelan.

Apa dirinya juga harus menceburkan diri mencari ke dalam perusahaan superior di kota ini? Apa tidak ada lagi yang bisa membantu dirinya terkait hal ini? Sekalipun melapor ke pihak berwajib, tidak mampu mengungkap ke dalam anggotanya secara menyeluruh. Terlebih perempuan itu sudah jelas tamu kehormatan mereka.

Dirga tidak cepat kehilangan akal. Dirinya segera menuju kantor utama Petrokimia. Meskipun mereka tamu kehormatan tidak akan berkurang hanya karena bertanya saja pikirnya. Melihat jam di pergelangan tangannya, Dirga tau masih memiliki waktu sebelum tiba ke acara kenduri.

"Riana, kamu dimana Nak?,"tanya Dirga memijat pelipisnya.

Di sisi lain, Riana tengah duduk tenang menghindari tatapan intimidasi perempuan di sebelahnya. Dirinya memilih tinggal di kamar yang sama dengan Gita dibandingkan Celine. Mengingat Rindy menitipkan pada Gita bukan pada Celine.

"Tante ajudan Ayah, kan. Kenapa malah ke hotel?"tanya Riana membuka suara.

Sedari tadi gadis itu hanya bungkam sembari duduk di atas sofa ruang tengah. Sementara sosok yang ditanya tengah bersandar pada headboard membaca kembali presentasinya. Gadis itu berusaha tetap fokus tidak memperhatikan anak kecil yang sedang menatapnya takut.

"Seharusnya itu pertanyaan ku dan aku bukan ajudan Ayahmu,"ucap Gita menikmati waktu beristirahat sejenak.

"Tante bohong,"cicit Riana.

"Terserah,"ucap Gita beranjak mengganti pakaian menjadi lebih santai sebelum sore nanti pergi ke rumah Stela.

Riana hanya bisa diam menatap setiap kegiatan Gita. Entah dirinya menangis atau berteriak, Gita tidak akan peduli. Sungguh kesalahan buruk sudah banyak berulah selama bersama Tante Rindy, pikir Riana.

Ting

"Mbak Gita, saya mau mengantar nasi yang dipesan".

Suara Celine dari voice note membuat Gita segera beranjak. Sementara Riana hanya mengawasi perempuan itu kesana kemari. Dirinya tidak ingin mengatakan apapun lagi.

"Taruh saja di atas meja. Kalau lapar pasti akan makan dengan sendirinya,"ucap Gita membuka lebar pintu kamarnya.

"Mbak, kita akan berangkat beberapa menit lagi,"ucap Celine mengingatkan.

"Aku tau itu. Tapi apa kita tinggalkan dia di sini?"tanya Gita menatapnya.

"Di sini cukup aman untuknya, Mbak,"ucap Celine sebelum berlalu.

Gita yakin dengan wajahnya yang lesu setelah setengah jam hanya bisa merengek dalam ketakutannya pasti membuatnya kelaparan. Dirinya tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk berbicara. Dugaannya tepat sasaran. Melihat hidangan tersaji membuat Riana mengambil langkah kecil mendekati meja.

"Tante kejam. Aku mau cuci tangan,"cicitnya membuat Gita menunjuk kamar mandi.

Sebuah pencapaian besar seorang Gita mau bertahan lebih dari 10 menit bersama anak kecil. Hal itu membuat Celine menunggu dengan sigap jika sewaktu-waktu amarah atasannya itu meningkat.

"Kalau kejam seharusnya aku sudah memotongmu menjadi 10 bagian dan membuang ke sungai,"ucap Gita jengah.

"Tante kalau galak nanti diputusin pacarnya, loh,"ucap Rania membuat Gita berdecak pelan.

"Atau nanti nggak punya temen, loh,"ucap Riana berusaha menakuti Gita.

Sayangnya Gita tidak seperti semua perempuan yang ditemui sebelumnya yang takut dengan ucapan itu. Gadis keras kepala, mandiri, modern dan kharismatik seperti Gita tidak membutuhkan semua itu.

"Berhenti berbicara aneh-aneh. Sekalipun kamu mendoakan, aku yang akan mengaminkan. Dengar, aku tidak mengenalmu dan tidak tertarik mengetahuinya. Diam dan makan lah "ucap Gita membuat Riana menegak ludah kasar.

Gita menyampirkan outer yang melengkapi penampilan brukat di tubuhnya. Matanya melirik jam tangan sebelum bergegas memasukkan semua barang ke dalam tasnya. Waktu adalah hal segalanya bagi Gita. Dirinya tidak mau menodai kedisiplinannya dengan kehadiran anak kecil tanpa identitas itu.

"Tante mau kemana? Apa aku boleh ikut?"tanya Rania menunduk.

Gita menatap sekilas pakaian yang Rania pakai terlihat sangat tidak mungkin untuk menghadiri acara pernikahan Stela. Lagipula sepertinya dia akan berhenti mencari sedikit buah tangan.

"Mandi atau tidur. Saya tunggu 2 menit. Lebih dari itu tidur saja di sini,"ucap Gita mengangkat telfon penting meninggalkan gadis itu membuat pilihan.

-&-

Altezza menatap heran Celine yang tidak berhenti wira-wiri di depan kamar Gita. Entah apa yang membuat Celine begitu khawatir dengan Ayana.

"Celine. Duduklah dulu,"tawar Altezza menepuk bangku di sebelahnya.

"Terima kasih, Pak. Saya paham karakter Mbak Gita ketika bertemu dengan anak kecil. Saya khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan,"ucap Celine gusar.

"Tidak perlu gusar begitu,"ucap Gita cuek keluar dari kamar begitu anggun dengan anak kecil di belakangnya.

"Kamu yakin akan pergi dengan anak itu?"tanya Altezza.

"Apa ada pilihan disini?"tanya Gita menghela nafas kasar.

"Silahkan, Mbak Gita. Tadi asisten putranya Pak Ramli sudah mengirimkan komentar, pesan dan tanggapan mengenai terobosan pengembangan yang Anda jabarkan saat rapat kemarin lusa,"ucap Celine memberikan tablet berisi beberapa draf pekerjaan.

"Terima kasih, Celine. Apa kita bisa berhenti di pusat perbelanjaan sebentar? Aku tidak membawa apapun untuk Stela,"ucap Gita memasuki lift.

"Tentu saja. Ayo gadis kecil jangan terlalu lama. Gita tidak akan menunggumu sekalipun kamu anak kecil,"ucap Altezza mengajak Riana membersamai langkah jenjang ketiganya.

"Om itu suami atau pacarnya tante itu?,"tanya Rania menatap Gita dan Celine di depannya.

"Tidak keduanya. Dia orang cerdas yang hidup mandiri. Kalau kamu jadi perempuan, jadilah yang sepertinya,"ucap Altezza terkekeh mendengar pertanyaan Riana.

Mendengar kalimat Altezza membuatnya mengangguk pelan. Beberapa pria segera mempersilahkan ketiganya masuk, membuat Riana sejenak berpikir mungkinkah ketiga orang itu sama seperti ayahnya hanya berbeda matra saja.

"Om. Kalian itu tentara?"tanya Riana saat mengambil tempat di sebelah Altezza yang terlihat lebih ramah.

"Apa penampilan kami terlihat seperti tentara? Apa kamu bisa diam sejenak? Mbak Gita ingin menghubungi klien,"ucap Celine berusaha ramah sebelum keheningan tercipta di tengah mereka.

Riana menatap bagian dalam mobil membuatnya tidak bisa berhenti terkagum. Mobilnya bahkan jauh lebih besar dan mewah berbeda dengan semua mobil yang pernah dirinya tumpangi. Tangan kecilnya menyenggol tangan Altezza pelan.

"Om. Tante itu apa profesinya?"tanya Riana membuat Altezza menghela nafas panjang.

"Ehm. Kamu bisa menyebutnya engineer,"ucap Altezza membuat Rania memutar bola matanya heran.

"Pekerjaan jenis apa itu, Om? Aku baru mendengarnya. Setau ku pekerjaan itu ada pilot, dokter, polisi, tentara, petani, masinis, arsitek, perawat, guru, dosen, bidan dan pengusaha saja. Aku tidak pernah mendengar yang itu,"ucap Riana mengecilkan suara begitu melihat Celine menoleh.

"Berarti wawasanmu terlalu sempit. Kamu masih harus banyak belajar lagi,"ucap Altezza.

"Tapi guru ku nggak pernah bilang ada pekerjaan namanya engineer,"ucap Riana masih bersikeras.

"Kalau tidak ada, apa nama pekerjaan kami jadinya? Lihat ini,"ucap Altezza menunjukkan jenis pekerjaan dari ponselnya.

"Kenapa guru ku tidak pernah bilang di kelas?"tanya Rania masih bertahan dengan argumennya.

"Ya begitulah istimewanya pekerjaan kami. Coba kamu bayangkan dunia tanpa engineer. Kalau kamu mau merancang bangunan perlu arsitek. Tapi untuk menghitung agar bangunan itu berdiri, pekerjaan engineer. Untuk mengobati luka dengan alkohol dilakukan analis atau apoteker. Tapi untuk membuat alkohol perlu engineer.

Mobil memerlukan bahan bakar untuk berjalan. Bahan bakar dari alam harus diolah engineer dulu sebelum bisa dipakai. Petani ingin menjual sayuran dan perlu pupuk, engineer yang membuatnya.m. Kira-kira begitu pentingnya engineer,"ucap Altezza membuat Gita menghela nafas jengah.

"Tidak semua orang punya pekerjaan yang general seperti ayahmu dan hentikan keras kepalamu. Kalau kamu diberitahu suatu ilmu biasakan adab. Diam dan dengarkan. Bukan membantah,"ucap Gita menyandarkan kepalanya tenang.

"Tante kenal Ayah ku?"tanya Riana.

Lagipula ayah mana yang memasukkan berbagai jenis kebanggaan terhadap profesinya ke dalam tas anaknya. Apa mungkin dirinya begitu ingin anaknya juga mengikuti jejak langkahnya? Bagaimana bisa Gita mengganti pakaian Rania ke pesta dengan baju loreng anak-anak? Bahkan gadis kecil itu tidak sedang karnaval.

"Tidak dan tidak ingin tahu,"ucap Gita beranjak memasuki pusat perbelanjaan.

-&-

Altezza dan Celine tidak bisa berkata-kata begitu melihat seorang perempuan yang terkenal tak punya hati memilihkan pakaian formal untuk anak kecil. Bahkan anak kecil itu sudah seperti anak para pembesar perusahaan saja. Apalagi sepanjang melewati beberapa tamu menggandeng erat tangannya seperti tak ingin lepas. Sepertinya harus ada penjelasan atas sikap yang tidak biasa ini.

"Kamu jangan berisik,"ucap Gita menatapnya tajam sebelum menyapa beberapa manager dari departemen lain yang turut hadir.

"Hah, ku kira dia benar-benar sudah berubah. Rupanya dia menjadi lebih bengis,"ucap Altezza.

"Jangan harapkan hal itu dari Mbak Gita, Pak Altezza,"ucap Celine terkekeh pelan lega melihat Gita masih tetap tidak punya perasaan.

Riana yang sedari tadi diam melihat setiap prosesi acara sangat berharap bisa segera bertemu ayahnya diantara kerumunan makhluk berbaju hijau. Dirinya sudah tidak akan bisa bertahan lama jika hidup bersama makhluk dingin di depannya.

Dewi fortuna sepertinya sedang berpihak padanya hari ini. Matanya tanpa sengaja melihat ayahnya berada di tengah para tentara yang menghunus pedang. Iya, dia yakini memang ayahnya. Bahkan nama yang tertulis di bajunya pun sama. Tanpa menunggu lama gadis itu berlari menerobos kerumunan yang berusaha mengabadikan momen.

Gita yang tengah asyik menikmati puding dibuat kaget dengan tingkah aneh anak kecil itu. Tanpa basa-basi, dirinya segera mengambil langkah panjang sebelum kekacauan terjadi. Celine dan Altezza yang melihatnya segera bergegas berjaga untuk mengatasi kemungkinan terburuk. Bagaimana bisa seorang Gita berlari di tengah banyak kerumunan tanpa peduli dirinya saat ini?

"Ayah,"jerit Riana tertahan beberapa pria wedding organizer yang menjaga suasana di sekitar prosesi tetap kondusif.

Sementara pria yang dipanggil kehilangan fokus. Suaranya benar seperti suara putrinya yang tengah berusaha dia cari. Matanya segera menelisik mencari suara kecil di antara hiruk pikuknya kerumunan tamu undangan.

"Ayah, Riana disini,"panggil Riana membuat suasana semakin tidak kondusif.

Banyak tamu terlihat mulai terganggu dengan situasi yang mulai kacau. Bahkan mempelai perempuan dan laki-laki yang tengah melakukan prosesi di bawah hunusan pedang ikut kehilangan fokus. Suasana benar-benar menjadi kacau tanpa terkendali.

"Kamu mau mati?"tanya Gita dingin dari arah berlawanan berdiri di jajaran wedding organizer.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status